Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I

PENDAHULUAN

Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena

pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan kelenjar tiroid dapat berupa gangguan fungsi

atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.1

Secara klinis struma dapat dibedakan menjadi struma toksik (perubahan fungsi

fisiologis kelenjar tiroid “hipertiroid”) dan struma non toksik (eutiroid). Struma toksik

sendiri dibagi menjadi struma diffusa toksik (Graves disease) dan struma nodusa toksik

(Plummer’s disease). Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan

bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. 1

Hipertiroid merupakan penyakit metabolik yang menempati urutan kedua

terbesar setelah diabetes melitus. Struma diffusa toksik (Graves disease) merupakan

penyebab hipertiroid terbanyak pertama kemudian disusul oleh Plummer’s disease,

dengan perbandingan 60% karena Graves disease dan 40% karena Plummer’s disease. 1

Graves disease (GD) pertama kali dilaporkan oleh Parry pada tahun 1825,

kemudian Graves pada tahun 1835 dan disusul oleh Basedow pada tahun 1840.

Distribusi jenis kelamin dan umur pada penyakit hipertiroid amat bervariasi dari

berbagai klinik. Perbandingan wanita dan laki-laki yang didapat di RSUP Palembang

adalah 3,1 : 1 di RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS. Dr. Soetomo 8 : 1 dan di RSHS

Bandung 10 :1. Sedangkan distribusi menurut umur di RSUP Palembang yang


2

terbanyak adalah pada usia 21 – 30 tahun (41,73%), tetapi menurut beberapa penulis

lain puncaknya antara 30 – 40 tahun.2

Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 1999 diperkirakan

200 juta, 12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka kejadian hipertiroid yang

didapat dari beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44% – 48,93% dari seluruh

penderita dengan penyakit kelenjar gondok. Di AS diperkirakan 0,4% populasi

menderita GD, biasanya sering pada usia di bawah 40 tahun. 2

Pengobatan penderita hipertiroid sangat komplek, dan masih banyak perbedaan

pendapat dari para ahli tentang cara terbaik dalam pengobatan. Faktor seks, umur, berat

ringannya penyakit, penyakit lain yang menyertainya, penerimaan penderita serta

pengalaman dari pengelolah harus dipertimbangkan. Berdasarkan uraian di atas penulis

ingin membahas lebih dalam mengenai GD. 2


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Graves disease (GD) adalah penyakit otoimun dimana tiroid terlalu aktif,

menghasilkan jumlah yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidakseimbangan

metabolisme serius yang dikenal sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan

kelainannya dapat mengenai mata dan kulit. Penyakit Graves merupakan bentuk

tirotoksikosis yang tersering dijumpai dan dapat terjadi pada segala usia, lebih

sering terjadi pada wanita dibanding pria. Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih

dari gambaran tirotoksikosis, goiter, ophtalmopathy (exopthalmus), dermopathy

(pretibial myxedema).3

2.2 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI

GD merupakan suatu penyakit otoimun yaitu saat tubuh menghasilkan

antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka

penyakit ini dapat timbul secara tiba-tiba dan penyebabnya masih belum

diketahui. Hal ini disebabkan oleh autoantibodi tiroid (TSHR-Ab) yang

mengaktifkan reseptor TSH (TSHR), sehingga merangsang tiroid sintesis dan

sekresi hormon, dan pertumbuhan tiroid (menyebabkan gondok membesar difus).3

Saat ini diidentifikasi adanya antibodi IgG sebagai thryoid stimulating

antibodies pada penderita GD yang berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropin

pada sel tiroid yang menginduksi sintesa dan pelepasan hormon tiroid. Beberapa
4

penulis mengatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh multifaktor antara

genetik, endogen dan faktor lingkungan. Terdapat beberapa faktor predisposisi:3

2.2.1 Genetik

Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan populasi

umum untuk terkena Graves. Gen HLA yang berada pada rangkaian

kromosom ke-6 (6p21.3) ekspresinya mempengaruhi perkembangan

penyakit autoimun ini. Molekul HLA terutama klas II yang berada pada sel

T di timus memodulasi respons imun sel T terhadap reseptor limfosit T (T

lymphocyte receptor/TcR) selama terdapat antigen. Interaksi ini merangsang

aktivasi T helper limfosit untuk membentuk antibodi. T supresor limfosit

atau faktor supresi yang tidak spesifik (IL-10 dan TGF-β) mempunyai

aktifitas yang rendah pada penyakit autoimun kadang tidak dapat

membedakan mana T helper mana yang disupresi sehingga T helper yang

membentuk antibodi yang melawan sel induk akan eksis dan meningkatkan

proses autoimun.

2.2.2. Jenis Kelamin

Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons

imun oleh estrogen. Hal ini disebabkan karena epitope ekstraseluler TSHR

homolog dengan fragmen pada reseptor LH dan homolog dengan fragmen

pada reseptor FSH.


5

2.2.3. Status gizi

Status gizi dan berat badan lahir rendah sering dikaitkan dengan

prevalensi timbulnya penyakit autoantibodi tiroid.

2.2.4. Stress

Stress juga dapat sebagai faktor inisiasi untuk timbulnya penyakit

lewat jalur neuroendokrin.

2.2.5. Merokok

Merokok dan hidup di daerah dengan defisiensi iodium.

2.2.6. Infeksi Toxin, infeksi bakteri dan virus.

Bakteri Yersinia enterocolitica yang mempunyai protein antigen pada

membran selnya yang sama dengan TSHR pada sel folikuler kelenjar tiroid

diduga dapat mempromosi timbulnya penyakit Graves terutama pada

penderita yang mempunyai faktor genetik. Kesamaan antigen bakteri atau

virus dengan TSHR atau perubahan struktur reseptor terutama TSHR pada

folikel kelenjar tiroid karena mutasi atau biomodifikasi oleh obat, zat kimia

atau mediator inflamasi menjadi penyebab timbulnya autoantibodi terhadap

tiroid dan perkembangan penyakit ini.

2.2.7. Periode post partum

Periode post partum dapat memicu timbulnya gejala hipertiroid.


6

2.2.8. Pengobatan sindroma defisiensi imun (HIV)

Penggunaan terapi antivirus dosis tinggi highly active antiretroviral

theraphy (HAART) berhubungan dengan penyakit ini dengan meningkatnya

jumlah dan fungsi CD4 sel T.

2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID

Kelenjar tiroid pada manusia terletak tepat di depan trakea. Sel-sel yang

memproduksi hormon tiroid tersusun dalam folikel-folikel dan

mengkonsentrasikan iodin yang digunakan untuk sintesis hormon tiroid. Hormon

yang bersirkulasi adalah tiroksin (T4) dan tri-iodotironin (T3). Kelenjar paratiroid

menempel pada tiroid dan memproduksi hormon paratiroid (Parathormon ; PTH).

PTH penting dalam pengontrolan metabolisme kalsium dan fosfat. Sel-Sel

parafolikuler terletak dalam tiroid tersebar di antara folikel. Sel-Sel ini

memproduksi kalsitonin yang menghambat resorpsi kalsium tulang.4


7

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid Diambil dari (Sitorus, 2004)4

Kelenjar tiroid juga mengandung clear cell atau sel parafolikuler atau sel C

yang mensintesis kalsitonin. T3 mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi, dan

metabolisme. T3 selain disekresi oleh kelenjar tiroid juga merupakan hasil

deiodinasi dari T4 di jaringan perifer. T3 dan T4 disimpan terikat pada 3 protein

yang berbeda : glikopreotein tiroglobulin di dalam koloid dari folikel, prealbumin

pengikat tiroksin dan albumin serum. Hanya sedikit T3 dan T4 yang tidak terikat

terdapat dalam sirkulasi darah.4

Pengaturan sekresi hormon tiroid dilakukan oleh TSH (thyroid-stimulating

hormone) dan adenohipofisis. Sintesis dan pelepasannya dirangsang oleh TRH

(Thyrotropin-releasing hormone) dari hipothalamus. TSH disekresi dalam

sirkulasi dan terikat pada reseptornya pada kelenjar tiroid. TSH mengontrol

produksi dan pelepasan T3 dan T4. Efek TRH dimodifikasi oleh T3, peningkatan

konsentrasi hormon tiroid, misalnya, mengurangi respons adenohipofisis terhadap

TRH (mengurangi reseptor TRH) sehingga pelepasan TSH menurun dan sebagai

akibatnya kadar T3 dan T4 menurun (umpan balik negatif). Sekresi TRH juga

dapat dimodifikasi tidak hanya oleh T3 secara negatif (umpan balik) tetapi juga

melalui pengaruh persarafan.5


8

Gambar 2. Fisiologi Kelenjar Tiroid Diambil dari (Hidayat, 2009)5

Produksi hormon tiroid (T3 dan T4) dalam kelenjar tiroid dipengaruhi oleh

hormon TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang dikeluarkan oleh kelenjar

hopofisis. Sekresi TSH diatur oleh kadar T3 dan T4 dalam sirkulasi melalui

pengaruh umpan balik negatif dan juga oleh Thyrotrophin Releasing Hormone

(TRH) dari hipotalamus. Kadar hormon bebas yang tinggi akan menekan sekresi

TSH oleh kelenjar hipofisis, sehingga produksi T3 dan T4 menurun. Sebaliknya

kadar hormon bebas yang rendah akan meningkatkan sekresi TSH sehingga

meningkatkan produksi T3 dan T4.5


9

Proses pembentukan T3 dan T4 dalam kelenjar tiroid menempuh beberapa

langkah, yaitu:6

2.3.1. Iodide trapping

Proses ini merupakan transpor aktif (dengan stimulasi TSH) dan

berhubungan dengan Na,K,ATPase dimana sel folikel menarik yodida dari

darah kedalamnya (20 kali lebih kuat dari pada perfusi darah). Minimal

dibutuhkan lebih kurang 100-300 ug yodida untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari.

2.3.2. Organifikasi (oksidasi dan yodinasi)

Proses ini terdiri dari oksidasi (oleh tiroid peroksidase) dari yodida ke

yodium yang kemudian disusul oleh proses yodinasi dengan tirosin yang

berasal dari residu tirosil, dari pemecahan tiroglobulin untuk kemudian

membentuk monoiodothyrosine (MIT) dan diiodothyrosine (DIT).

2.3.3. Coupling

Terjadi proses coupling antara MIT dan DIT sehingga terbentuk T3

dan T4 yang terikat dengan tiroglobulin; terbentuknya T4 lebih dominan

dari pada T3 meskipun efek metaboliknya lebih lemah. Kedua hormon yang

terikat ini disimpan dalam koloid.

2.3.4. Sekresi

Melalui aktivitas lisosom (bantuan enzim protease), T3 dan T4

terlepas dari tiroglobulin dan dengan pengaruh TSH, kedua hormon ini

masuk aliran darah dengan perbandingan T3:T4 = 1:5. Selanjutnya terjadi

proses deyodinasi (bantuan hormon diyodotirosinase), dimana MIT dan DIT


10

akan dipecah menjadi yodium dan residu tirosil. Hanya sebagian kecil MIT

dan DIT yang dapat lolos masuk aliran darah (normal tidak terukur). Bentuk

bebas T3 dan T4 dalam sirkulasi hanya sekitar 0,3% dan 0,02% dari total

hormon keseluruhan dengan waktu paruh 1-1,5 hari (T3) dan 7 hari (T4).

Gambar 3. Produksi dan Regulasi Hormon Tiroid Diambil dari (Price and Lorraine,

2006)6

Belum seluruhnya fisiologi hormon tiroid yang diketahui. Saat ini

diketahui bahwa hormon tiroid berperan penting dalam pembentukan kalori,

pada metabolisme karbohidrat, protein dan kolesterol serta proses

pertumbuhan. Hormon tiroid juga berhubungan erat dengan fungsi

katekolamin dalam tubuh.6


11

2.3.5. Pembentukan kalori

Hormon ini bekerja dengan cara meninggikan komsumsi oksigen pada

hampir semua jaringan tubuh yang aktif dalam metabolisme, kecuali pada

otak, hipofisis anterior, limpa dan kelenjar limfe. Dengan meningkatnya

taraf metabolisme, maka kebutuhan tubuh akan semua zat makanan juga

bertambah. Tiroksin juga berperan dalam proses termogenesis, yaitu dengan

meningkatkan produksinya pada suhu dingin, yang berarti memperbanyak

pembentukan kalori selain dari adanya vasodilatasi perifer dan

bertambahnya curah jantung.

2.3.6. Metabolisme karbohidrat

Hormon tiroid bekerja dengan mempercepat penyerapan karbohidrat

dari usus dan efek ini tidak bergantung pada pada efek kalorigeniknya. Pada

keadaan hipertiroidisme, simpanan glikogen hati sangat sedikit karena

proses katabolisme yang tinggi disertai bertambahnya sekresi katekolamin

(adrenalin). Oleh karena itu pada penderita hipertiroidisme akan ditemukan

gambaran kurva uji toleransi glukosa oral yang sangat khas.

2.3.7. Metabolisme protein

Hormon tiroid (tiroksin) dalam kadar normal akan memperlihatkan

efek anabolik berupa sintesis RNA dan protein yang bertambah. Sebaliknya

pada kadar yang berlebihan, justru akan terjadi hambatan sintesis RNA,

sehingga terjadi keseimbangan nitrogen negatif. Pada kadar sangat tinggi,

tiroksin dapat menimbulkan uncoupling pada proses fosforilasi oksidatif,

sehingga ATP berkurang dan pembentukan panas bertambah.


12

2.3.8. Metabolisme lemak dan kolesterol

Tiroksin akan merangsang proses lipolisis dan pelepasan asam lemak

bebas dari jaringan lemak. Disamping itu juga terdapat rangsangan terhadap

sel hati untuk metabolisme dan sintesis kholesterol. Adanya penurunan

kadar kholesterol disebabkan oleh proses metabolisme melebihi proses

sintesisnya.

2.3.9. Pertumbuhan

Efek hormon tiroid untuk proses pertumbuhan berhubungan erat

dengan pengaruhnya terhadap berbagai jenis enzim, metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein.

2.3.10. Sistem saraf

Efek yang terjadi mungkin sebagian disebabkan oleh sekresi

katekolamin yang meningkat, sehingga beberapa pusat dalam formasio

retikularis menjadi lebih aktif. Refleks tendon dalam (deep reflex tendon)

juga dipengaruhi dan biasanya akan jauh lebih cepat daripada normal.

2.4 PATOFISIOLOGI

Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi

berlebihan dari hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3).

Didapatkan pula peningkatan produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil

meningkatnya konversi tiroksin (T4) di jaringan perifer.2


13

Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme

jaringan, proses oksidasi jaringan, proses pertumbuhan dan sintesa protein.

Hormon-hormon tiroid ini berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam tubuh

melalui mekanisme transport asam amino dan elektrolit dari cairan ekstraseluler

kedalam sel, aktivasi/sintesa protein enzim dalam sel dan peningkatan proses-

proses intraseluler.2

Dengan meningkatnya kadar hormon ini maka metabolisme jaringan, sintesa

protein dan lain-lain akan terpengaruh, keadaan ini secara klinis akan terlihat

dengan adanya palpitasi, takikardi, fibrilasi atrium, kelemahan, banyak keringat,

nafsu makan yang meningkat, berat badan yang menurun. Kadang - kadang gejala

klinis yang ada hanya berupa penurunan berat badan, payah jantung, kelemahan

otot serta sering buang air besar yang tidak diketahui sebabnya.2

Patogenesis GD masih belum jelas diketahui. Diduga peningkatan kadar

hormon tiroid ini disebabkan oleh suatu aktivator tiroid yang bukan TSH yang

menyebabkan kelenjar timid hiperaktif. Aktivator ini merupakan antibodi

terhadap reseptor TSH, sehingga disebut sebagai antibodi reseptor TSH. Antibodi

ini sering juga disebut sebagai thyroid stimulating immunoglobulin (TSI). Dan

ternyata TSI ini ditemukan pada hampir semua penderita GD.2

Selain itu pada GD sering pula ditemukan antibodi terhadap tiroglobulin dan

anti mikrosom. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa kedua antibodi ini

mempunyai peranan dalam terjadinya kerusakan kelenjar tiroid. Antibodi

mikrosom ini bisa ditemukan hampir pada 60 -70% penderita PG, bahkan dengan

pemeriksaan radioassay bisa ditemukan pada hampir semua penderita, sedangkan


14

antibodi tiroglobulin bisa ditemukan pada 50% penderita. Terbentuknya

autoantibodi tersebut diduga karena adanya efek dari kontrol immunologik

(immunoregulation), defek ini dipengaruhi oleh faktor genetik seperti HLA dan

faktor lingkungan seperti infeksi atau stress.7

Gambar 4. TSH dan Kelenjar Tiroid Orang Sehat dan Penderita Graves Disease

Diambil dari (Toft, 2001)7


15

Gambar 5. Patogenesis Graves Disease Diambil dari (Paulev and Zubieta)8

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya penyakit Grave memiliki 4

gejala utama yaitu tirotoksikosis, goiter, opthalmopati, dan dhermopati. Adapun

patogenesis dari masing-masing gejala sebagai berikut:8

2.4.1 Tirotoksikosis

Hampir semua patogenesis penyakit ini melibatkan faktor

immunologi. Hiperaktivitas terjadi karena tersensitasinya T-helper.

Tersensitasinya T-helper ini akan berespon terhadap antigen yang terdapat

pada tiroid, yang selanjutnya memacu sel B untuk membentuk antibodi:

2.4.1.1. TSI (Thyroid-stimulating immunoglobulin) yang menurut

hipotesis para ahli dapat meningkat cAMP sehingga memacu

terjadinya tirotoksikosis.
16

2.4.1.2. TgAb (thyroglobulin antibody) yang dapat meningkatkan

tiroglobulin.

2.4.1.3. TPO Ab (Thyroperoksidase antibody) yang dapat memacu kerja

enzim peroksidase.

2.4.2. Opthalmopati

Patogenesis opthalmopati melibatkan Tcytotoxicity. Ini terjadi karena

tersensitasinya Ab sitotoksik terhadap antigen TSH-R fibroblast orbita, otot

orbita dan jaringan tiroid. Mekanisme tersensitasinya sampai saat ini para

ahli belum mengetahui secara pasti. Selanjutnya Tc akan menghasilkan

sitokin yang dapat menyebabkan:

2.4.2.1. Inflamasi pada fibroblast orbita

2.4.2.2. Orbital myositis

2.4.2.3. Diplopia

2.4.2.4. Proptosis

2.4.3. Dhermopati. Patogenesis dhermopati umurnya sama seperti opthalmologi

hanya saja daerah yang terkena pada daerah pretibia, subperiosteal pada

phalanges tangan dan kaki.

2.4.4. Patogenesis takikardi, anxietas, berkeringat disebabkan karena hormon

thyroid merangsang medulla adrenal untuk mensekresikan katekolamin.

Jumlah epinefrine normal tetapi ada peningkatan pada norepinefrine yang

bekerja pada sistem saraf simpatik. Terangsangnya sistem saraf simpatik

ternyata memberikan efek perangsangan pada daerah hipotalamus dan

ganglia basalis. Seperti yang diketahui bahwa hipotalamus berfungsi sebagai


17

regulator vegetatif (detak jantung, pernafasan, sekresi kelenjar, berkeringat,

dll) pada tubuh dan ganglia basalis (sebagai pusat emosi dan pusat nafsu

makan).

2.5. Diagnosis

2.5.1. Anamnesis

Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan

yang sulit dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai

mengancam jiwa penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan

sirkulasi dan kolaps. Keluhan utama biasanya berupa salah satu dari

meningkatnya nervositas, berdebar-debar atau kelelahan. Dari penelitian

pada sekelompok penderita didapatkan 10 gejala yang menonjol yaitu:2

− Nervositas

− Kelelahan atau kelemahan otot-otot

− Penurunan berat badan sedang nafsu makan baik

− Diare atau sering buang air besar

− Intoleransi terhadap udara panas

− Keringat berlebihan

− Perubahan pola menstruasi

− Tremor

− Berdebar-debar

− Penonjolan mata dan leher


18

Gejala-gejala hipertiroid ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai

beberapa tahun sebelum penderita berobat ke dokter, bahkan sering seorang

penderita tidak menyadari penyakitnya.2

Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu : seorang

penderita tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda

pada mata, telapak tangan basah dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo,

pembesaran leher, nadi yang cepat, aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan

pemendekan waktu refleks Achilles. Atas dasar tanda-tanda klinis tersebut

sebenarnya suatu diagnosis klinis sudah dapat ditegakkan.2

2.5.2. Pemeriksaan Fisik

2.5.2.1.Inspeksi

2.5.2.1.1. Pemeriksa berada di depan penderita. Penderita sedikit duduk dengan kepala

sedikit fleksi atau leher terbuka sedikit hiperekstensi agar m.

sternokleidomastoideus relaksasi sehingga kelenjar tiroid mudah dievaluasi

2.5.2.1.2. Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa

komponen berikut:

2.5.2.1.2.1.Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus

2.5.2.1.2.2.Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler

2.5.2.1.2.3.Jumlah: uninodusa atau multinodusa

2.5.2.1.2.4.Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler lokal

2.5.2.1.2.5.Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut

bergerak
19

2.5.2.1.2.6.Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan

2.5.2.2.Palpasi

Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa berdiri di

belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan.

Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi:

2.5.2.2.1. Perluasan dan tepi

2.5.2.2.2. Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak dapat

diraba trakea dan kelenjarnya

2.5.2.2.3. Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan

2.5.2.2.4. Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus (tiroid letaknya lebih dalam

dari musculus ini)

2.5.2.2.5. Limfonodi dan jaringan sekitarnya

2.5.2.3.Auskultasi

“Bruit sound” pada ujung bawah kelenjar tiroid.

Gambar 6. Goiter pada Penderita Graves Disease Diambil dari (Toft, 2001)7
20

2.5.2.4.Tes Khusus

2.5.2.4.1. Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi merah

2.5.2.4.2. Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa

dengan meletakkan sehelai kertas di atas tangan

2.5.2.4.3. Oftalmopati

Tabel 1. Pemeriksaan Oftalmopati

Test Cara pemeriksaan mata & tanda hipertiroid

Joffroy sign Tidak bisa mengangkat alis dan mengerutkan

dahi

Von Stelwag Mata jarang berkedip

Von Grave Melihat ke bawah, palpebra superior tidak

dapat mengikuti bulbus okuli sehingga antara

palpebra superior dan cornea terlihat jelas

sklera bahagian atas

Rosenbach sign Memejam mata, tremor dari palpebra ketika

mata tertutup

Moebius sign Mengarahkan jari telunjuk mendekati mata

pasien di medial, pasien sukar mengadakan

dan mempertahankan konvergensi

Exopthalmus Mata kelihatan menonjol keluar

Diambil dari (Hermawan, 2000)2


21

Gambar 7. Eksoftalmus pada Penderita Graves Disease Diambil dari

(Toft, 2001)7

Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorik yang spesifik untuk hormon tiroid

tak dapat dilakukan, penggunaan indeks Wayne atau Indeks New Castle sangat

membantu menegakkan diagnosis hipertiroid. Pengukuran metabolisme basal (BMR),

bila basil BMR > ± 30, sangat mungkin bahwa seseorang menderita hipertiroid.3
22

Tabel 2. Indeks Wayne

Diambil dari (Shahab, 2002)3


23

Tabel 3. Indeks New Castle

Diambil dari (Shahab, 2002)3


24

Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon timid (thyroid

function test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free thyroxine index (FT41).

Adapun pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan diagnosis antara lain:

pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti tiroglobulin dan antimikrosom,

pengukuran kadar TSH serum, test penampungan yodium radioaktif (radioactive iodine

uptake) dan pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning) Khir mengemukakan

pendapatnya untuk menegakkan diagnosis GD, yakni : adanya riwayat keluarga yang

mempunyai penyakit yang sama atau mempunyai penyakit yang berhubungan dengan

otoimun, di samping itu pada penderita didapatkan eksoftalmus atau miksedem

pretibial; kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi tiroid.3

2.5.3. Pemeriksaan Penunjang

2.5.3.1.Pemeriksaan laboratorium3

2.5.3.1.1. Kadar T4 & T3 meningkat (tirotoksikosis)


25

Gambar 8. Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme

Diambil dari (Shahab, 2002)3

2.5.3.1.2. Tirotropin Reseptor Assay (TSIs) berfungsi untuk menegakkan diagnosis

Grave disease.

2.5.3.1.3. Tes faal hati untuk monitoring kerusakan hati karena penggunaan obat

antitiroid seperti thioamides.

2.5.3.1.4. Pemeriksaan Gula darah pada pasien diabetes, penyakit grave dapat

memperberat diabetes, sebagai hasilnya dapat terlihat kadar A1C yang

meningkat dalam darah

2.5.3.1.5. Kadar antibodi terhadap kolagen XIII menunjukan Grave Oftalmofati yang

sedang aktif.

2.5.3.2.Pemeriksaan Radiologi3

2.5.3.2.1. Foto Polos Leher  Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada

trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar

yang membesar.

2.5.3.2.2. Radio Active Iodine (RAI)  scanning dan memperkirakan kadar uptake

iodium berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid.

2.5.3.2.3. USG  Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi

pertama pada pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan

laboratorium
26

2.5.3.2.4. CT Scan  Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan

massa dari tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea

(apakah ada penyempitan, deviasi dan invasi).

2.5.3.2.5. MRI  Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus

hipertiroid)

2.5.3.2.6. Radiografi nuklir  dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga

sebagai terapi.

2.5.3.3.Pemeriksaan Jarum Halus

Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum halus.

Pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan suspek diagnosis ataupun benigna.

2.6.Penatalaksanaan

Pada dasarnya pengobatan penderita hipertiroidi meliputi:2

2.6.1. Pengobatan Umum

2.6.1.1.Istirahat

Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin

meningkat. Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang

melelahkan/mengganggu pikiran balk di rmah atau di tempat bekerja. Dalam keadaan

berat dianjurkan bed rest total di Rumah Sakit.


27

2.6.1.2.Diet

Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini antara lain

karena : terjadinya peningkatan metabolisme, keseimbangan nitrogen yang negatif dan

keseimbangan kalsium yang negatif.

2.6.1.3.Obat penenang

Mengingat pada GD sering terjadi kegelisahan, maka obat penenang dapat

diberikan. Di samping itu perlu juga pemberian psikoterapi.

2.6.2. Pengobatan Khusus

2.6.2.1. Obat antitiroid

Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah thionamide, yodium, lithium,

perchlorat dan thiocyanat. Obat yang sering dipakai dari golongan thionammide adalah

propylthiouracyl (PTU), 1 - methyl – 2 mercaptoimidazole (methimazole, tapazole,

MMI), carbimazole. Obat ini bekerja menghambat sintesis hormon tetapi tidak

menghambat sekresinya, yaitu dengan menghambat terbentuknya monoiodotyrosine

(MIT) dan diiodotyrosine (DIT), serta menghambat coupling diiodotyrosine sehingga

menjadi hormon yang aktif. PTU juga menghambat perubahan T4 menjadi T3 di

jaringan tepi, serta harganya lebih murah sehingga pada saat ini PTU dianggap sebagai

obat pilihan.

Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme di kelenjar gondok sehingga

pengaruh pengobatan lebih tergantung pada konsentrasi obat dalam kelenjar dari pada di
28

plasma. MMI dan carbimazole sepuluh kali lebih kuat daripada PTU sehingga dosis

yang diperlukan hanya satu persepuluhnya.

Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300 - 600 mg perhari untuk PTU atau 30 -

60 mg per hari untuk MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam atau sebagai dosis

tunggal setiap 24 jam. Dalam satu penelitian dilaporkan bahwa pemberian PTU atau

carbimazole dosis tinggi akan memberi remisi yang lebih besar.

Secara farmakologi terdapat perbedaan antara PTU dengan MMI/CBZ, antara

lain adalah :

2.6.2.1.1. MMI mempunyai waktu paruh dan akumulasi obat yang lebih lama

dibanding PTU di clalam kelenjar tiroid. Waktu paruh MMI ± 6 jam

sedangkan PTU + 11/2 jam.

2.6.2.1.2. Penelitian lain menunjukkan MMI lebih efektif dan kurang toksik dibanding

PTU.

2.6.2.1.3. MMI tidak terikat albumin serum sedangkan PTU hampir 80% terikat pada

albumin serum, sehingga MMI lebih bebas menembus barier plasenta dan air

susu sehingga untuk ibu hamil dan menyusui PTU lebih dianjurkan.

Jangka waktu pemberian tergantung masing-masing penderita (6 - 24 bulan) dan

dikatakan sepertiga sampai setengahnya (50 - 70%) akan mengalami perbaikan yang

bertahan cukup lama. Apabila dalam waktu 3 bulan tidak atau hanya sedikit

memberikan perbaikan, maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan yang dapat

menggagalkan pengobatan (tidak teratur minum obat, struma yang besar, pernah

mendapat pengobatan yodium sebelumnya atau dosis kurang).


29

Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-gatal, skin rash dapat

ditanggulangi dengan pemberian anti histamin tanpa perlu penghentian pengobatan.

Dosis yang sangat tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera pengecap, cholestatic

jaundice dan kadang-kadang agranulositosis (0,2 - 0,7%), kemungkinan ini lebih besar

pada penderita umur di atas 40 tahun yang menggunakan dosis besar. Efek samping lain

yang jarang terjadi berupa arthralgia, demam rhinitis, conjunctivitis, alopecia, sakit

kepala, edema, limfadenopati, hipoprotombinemia, trombositopenia, gangguan

gastrointestinal.

2.6.3. Yodium

Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut tetapi dalam

masa 3 minggu efeknya akan menghilang karena adanya escape mechanism dari

kelenjar yang bersangkutan, sehingga meski sekresi terhambat sintesa tetap ada.

Akibatnya terjadi penimbunan hormon dan pada saat yodium dihentikan timbul sekresi

berlebihan dan gejala hipertiroidi menghebat. Pengobatan dengan yodium (MJ)

digunakan untuk memperoleh efek yang cepat seperti pada krisis tiroid atau untuk

persiapan operasi. Sebagai persiapan operasi, biasanya digunakan dalam bentuk

kombinasi. Dosis yang diberikan biasanya 15 mg per hari dengan dosis terbagi yang

diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan. Marigold dalam penelitiannya

menggunakan cairan Lugol dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3 kali perhari yang diberikan

10 hari sebelum dan sesudah operasi.

2.6.4. Penyekat Beta (Beta Blocker)


30

Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya

hipersensitivitas pada sistim simpatis. Meningkatnya rangsangan sistem simpatis ini

diduga akibat meningkatnya kepekaan reseptor terhadap katekolamin. Penggunaan obat-

obatan golongan simpatolitik diperkirakan akan menghambat pengaruh hati. Reserpin,

guanetidin dan penyekat beta (propranolol) merupakan obat yang masih digunakan.

Berbeda dengan reserpin/guanetidin, propranolol lebih efektif terutama dalam kasus-

kasus yang berat. Biasanya dalam 24 - 36 jam setelah pemberian akan tampak

penurunan gejala. Khasiat propranolol:

2.6.4.1.penurunan denyut jantung permenit

2.6.4.2.penurunan cardiac output

2.6.4.3.perpanjangan waktu refleks Achilles

2.6.4.4.pengurangan nervositas

2.6.4.5.pengurangan produksi keringat

2.6.4.6.pengurangan tremor

Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat menghambat

konversi T4 ke T3 di perifer. Bila obat tersebut dihentikan, maka dalam waktu ± 4 - 6

jam hipertiroid dapat kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan, karena penggunaan

dosis tunggal propranolol sebagai persiapan operasi dapat menimbulkan krisis tiroid

sewaktu operasi. Penggunaan propranolol antara lain sebagai: persiapan tindakan

pembedahan atau pemberian yodium radioaktif, mengatasi kasus yang berat dan krisis

tiroid.

2.6.5. Ablasi kelenjar gondok


31

Pelaksanaan ablasi dengan pembedahan atau pemberian I131.

2.6.5.1.Tindakan pembedahan

Indikasi utama untuk melakukan tindakan pembedahan adalah mereka yang

berusia muda dan gagal atau alergi terhadap obat-obat antitiroid. Tindakan pembedahan

berupa tiroidektomi subtotal juga dianjurkan pada penderita dengan keadaan yang tidak

mungkin diberi pengobatan dengan I131 (wanita hamil atau yang merencanakan

kehamilan dalam waktu dekat). Indikasi lain adalah mereka yang sulit dievaluasi

pengobatannya, penderita yang keteraturannya minum obat tidak terjamin atau mereka

dengan struma yang sangat besar dan mereka yang ingin cepat eutiroid atau bila

strumanya diduga mengalami keganasan, dan alasan kosmetik. Untuk persiapan

pembedahan dapat diberikan kombinasi antara thionamid, yodium atau propanolol guna

mencapai keadaan eutiroid. Thionamid biasanya diberikan 6 - 8 minggu sebelum

operasi, kemudian dilanjutkan dengan pemberian larutan Lugol selama 10 - 14 hari

sebelum operasi. Propranolol dapat diberikan beberapa minggu sebelum operasi,

kombinasi obat ini dengan Yodium dapat diberikan 10 hari sebelum operasi. Tujuan

pembedahan yaitu untuk mencapai keadaan eutiroid yang permanen. Dengan

penanganan yang baik, maka angka kematian dapat diturunkan sampai 0.

2.6.5.2.Ablasi dengan I131

Sejak ditemukannya I131 terjadi perubahan dalam bidang pengobatan hipertiroid.

Walaupun dijumpai banyak komplikasi yang timbul setelah pengobatan, namun karena

harganya murah dan pemberiannya mudah, cara ini banyak digunakan.


32

Tujuan pemberian I131 adalah untuk merusak sel-sel kelenjar yang hiperfungsi.

Sayangnya I131 ini temyata menaikan angka kejadian hipofungsi kelenjar gondok (30 —

70% dalam jollow up 10 — 20 tahun) tanpa ada kaitannya dengan besarnya dosis obat

yang diberikan. Di samping itu terdapat pula peningkatan gejala pada mata sebanyak 1

— 5% dan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perubahan gen dan keganasan

akibat pengobatan cara ini, walaupun belum terbukti.

Penetapan dosis 1131 didasarkan atas derajat hiperfungsi serta besar dan beratnya

kelenjar gondok. Dosis yang dianjurkan ± 140 — 160 micro Ci/gram atau dengan dosis

rendah ± 80 micro Ci/gram.

Dalam pelaksanaannya perlu dipertimbangkan antara lain: dosis optimum yang

diperlukan kelenjar tiroid, besar/ukuran dari kelenjar yang akan diradiasi, efektivitas I131

di dalam jaringan dan sensitivitas jaringan tiroid terhadap I131. 11

2.7.Pengobatan dengan Penyulit

2.7.1. Graves Disease dan Kehamilan

Angka kejadian GD dengan kehamilan ± 0,2%. Selama kehamilan biasanya GD

mengalami remisi, dan eksaserbasi setelah melahirkan.

Dalam pengobatan, yodium radioaktif merupakan kontraindikasi karena pada

bayi dapat terjadi hipotiroidi yang ireversibel. Penggunaan propranolol masih

kontroversi. Beberapa peneliti memberikan propranolol pada kehamilan, dengan dosis

40 mg 4 kali sehari tanpa menimbulkan gangguan pada proses kelahiran, tanda-tanda

teratogenesis dan gangguan fungsi tiroid dari bayi yang baru dilahirkan. Tetapi beberapa

peneliti lain mendapatkan gejala-gejala proses kelahiran yang terlambat, terganggunya


33

pertumbuhan bayi intrauterin, plasenta yang kecil, hipoglikemi dan bradikardi pada bayi

yang baru lahir.

Umumnya propranolol diberikan pada wanita hamil dengan hipertiroid dalam

waktu kurang dari 2 minggu bilamana dipersiapkan untuk tindakan operatif.

Pengobatan yang dianjurkan hanya pemberian obat antitiroid dan pembedahan.

Untuk menentukan pilihan tergantung faktor pengelola maupun kondisi penderita. PTU

merupakan obat antitiroid yang digunakan, pemberian dosis sebaiknya serendah

mungkin. Bila terjadi efek hipotiroid pada bayi, pemberian hormon tiroid tambahan

pada ibu tidak bermanfaat mengingat hormon tiroid kurang menembus plasenta.

Pembedahan dilakukan bila dengan pemberian obat antitiroid tidak mungkin.

Sebaiknya pembedahan ditunda sampai trimester I kehamilan untuk mencegah

terjadinya abortus spontan.

2.7.2. Eksoftalmus

Pengobatan hipertiroid diduga mempengaruhi derajat pengembangan

eksofalmus. Selain itu pada eksoftalmus dapat diberikan terapi antara lain: istirahat

dengan berbaring terlentang, kepala lebih tinggi; mencegah mata tidak kering dengan

salep mata atau larutan metil selulose 5%; menghindari iritasi mata dengan kacamata

hitam; dan tindakan operasi; dalam keadaan yang berat bisa diberikan prednison peroral

tiap hari.

2.7.3. Krisis Tiroid

Krisis tiroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis yang sekonyong-konyong

menjadi hebat dan disertai antara lain adanya panas badan, delirium, takikardi, dehidrasi
34

berat dan dapat dicetuskan oleh antara lain: infeksi dan tindakan pembedahan. Prinsip

pengelolaan hampir sama, yakni mengendalikan tirotoksikosis dan mengatasi

komplikasi yang terjadi. Untuk mengendalikan tirotoksikosis dapat digunakan terapi

kombinasi dengan dosis tinggi misalnya PTU 300 mg tiap 6 jam, KJ 10 tetes tiap 6 jam,

propranolol 80 mg tiap 6 jam (IV 2 — 4 mg tiap 4 jam) dan dapat diberikan

glukokortikoid (hidrokortison 300 mg). Sedangkan untuk mengatasi komplikasinya

tergantung kondisi penderita dan gejala yang ada. Tindakan harus secepatnya karena

angka kematian penderita ini cukup besar.


35

BAB III

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan pada referat ini adalah :

3.1.Graves Disease adalah penyakit otoimun dimana tiroid terlalu aktif, menghasilkan

jumlah yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidakseimbangan metabolisme serius

yang dikenal sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan kelainannya dapat

mengenai mata dan kulit.

3.2.Angka kejadian Graves Disease pada wanita sebanyak 5 kali lipat daripada laki-laki

dengan usia bervariasi antara 20-40 tahun (perempuan: laki-laki dari kejadian 5:01-

10:01).

3.3.Patogenesis Graves Disease, diduga peningkatan kadar hormon tiroid ini

disebabkan oleh suatu aktivator tiroid yang bukan TSH yang menyebabkan kelenjar

timid hiperaktif.

3.4.Penegakan diagnosis meliputi anamnesia (keluhan yang berhubungan dengan

tirotoksikosis), pemeriksaan fisik ditemukan gejala utama berupa goiter,

opthalmopati, & dermopati, dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan

laboratorium (peningkatan kadar T3 dan T4) dan pemeriksaan radiologi yang

meliputi foto polos leher, radio active iodine (RAI), USG, CT scan, dan MRI.

3.5.Pengobatan Graves Disease terdiri dari pengobatan umum (istirahat, diet, dan obat

penenang), pengobatan khusus (obat antitiroid, yodium, penyekat beta, dan ablasi

kelenjar gondok), dan pengobatan dengan penyulit (kehamilan dengan Graves

disease, eksoftalmus, dan krisis tiroid).


36

DAFTAR PUSTAKA

1. Jasalim, Umar. 2011. Struma Difusa Toksik. FK Universitas Mulawarman.

Samarinda.

2. Hermawan, A. G. 2000. Pengelolahan dan Pengobatan Hipertiroid. FK

Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

3. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan

Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi

Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18

4. Sitorus, M. S. 2004. Anatomi Klinis Kelenjar Thyroid. FK USU. Medan.

5. Hidayat, N. Y. 2009. Sistem Hormon. Tanggal 21 September 2012

6. Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

EGC. Jakarta.

7. Toft AD, Subclinical hyperthyroidism [Clinical Practice], N. Engl. J. Med.

345:512-516, 2001

8. Paulev and Zubieta. Thyroid Hormones and Disorders. Tanggal 21 September

2012 available from http://www.zuniv.net/physiology/book/chapter28.html

Anda mungkin juga menyukai