Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Ginjal Kronik


1. Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal
adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal
yang irreversibel dan memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap,
berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Sukandar, 2006).
Gagal ginjal kronik (GGK) Adalah suatu sindrom klinis yang
disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung
progresif, dan cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular
(LFG) kurang dari 50 mL/menit (Suhardjono dkk, 2001).
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit
akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi
penumpukan sisa metabolit (toksit uremik) di dalam darah.(Arif mutaqin
dkk, 2011)
2. Patofisiologis
Secara ringkas patofisiologis gagal ginjal kronis dimulai pada fase
awal gangguan, keseimbangan cairan penanganan garam, serta
penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian
ginjal yang sakit .Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25 % normal,
manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-
nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak .Nefron
yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsobrpsi, dan sekresinya,
serta mengalami hipertrofi.Arif mutaqin dkk, 2011)
Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron
yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-nefron

5
tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini
tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk
meningkatkan reabsorbsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron-
nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal akan
berkurang. Pelepasan renin akan meningkat bersama dengan kelebihan
beban cairan sehingga dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan
memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan tujuan agar terjadi peningkatan
filtrsi protein-protein plasma. Kondisi akan bertambah buruk dengan
semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai respon dari kerusakan
nefron dan secara progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan
manifestasi penumpukan metabolit-metabolit yang seharusnya dikeluarkan
dari sirkulasi sehingga akan terjadi sidrom uremia berat yang memberikan
banyak manifestasi pada setiap organ tubuh .
3. Penyebab Gagal ginjal kronik
Penyebab Gagal ginjal kronik menurut ( Price,2002)
1) Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (SIK) sering terjadi dan menyerang manusia
tanpa memandang usia, terutama wanita. Infeksi saluran kemih
umumnya dibagi dalam dua kategori : Infeksi saaluran kemih bagian
bawah (uretritis, sistitis, prostatis) dan infeksi saluran kencing bagian
atas (pielonepritis akut). Sistitis kronik dan pielonepritis dan infeksi
saluran kencing bagian ginjal tahap akhir pada anak-anak (Price,2002).
2) Penyakit Peradangan
Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabnya
oleh glomerulonepritis Kronik. Pada glomerulonepritis kronik, akan
terjadi kerusakan glomerulus secara progresif yang pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya gagal ginjal (Price,2002).
3) Nifrosklerosis Hipertensif
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat.
Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan
kerusakan pada ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat

6
menyebabkan hipertensi atau ikut berperan pada hipertensi melalui
mekanisme retensi natrium dan air, serta pengaruh vasopresor dari
sistem renin angitensin (Price,2002).
4) Gangguan Kongenital dan Herediter
Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan
penyakit herediter yang terutama mengenai tubulus ginjal. Keduanya
dapat berakhir dengan gagal ginjal meskipun lebih sering di jumpai
pada penyakit polikistik (Price,2002).
5) Gangguan Metabolik
Penyakit metabolik yang dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik
antara lain diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme primer dan
amiloidosis (Price, 2002).
6) Nefropati Toksik
Ginjal khusnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahan –
bahan kimia karena alsan-alasan :
a. Ginjal menerima 25% dari curah jantung, sehingga sering dan
mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah yang besar.
b. Interstitium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia
dikonsentrasikan pada daerah yang relatif hipovaskular.
c. Ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan obat
,sehingga insufisiensi ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan
meningkatkan konsentrasi dalam cairan tubulus (Price,2002).
4. Gejala Gagal ginjal kronik
Gejalanya : (Anggota IKAPI,2008)
Perubahan frekuensi kencing, sering ingin berkemih pada malam hari
pembengkakan pada bagian pergelangan kaki, kram otot pada malama hari
Lemah dan lesu, kurang berenergi, Nafsu makan turun, mual, dan muntah ,
Sulit tidur, bengkak seputar mata pada pagi waktu bangun pagi hari atau
mata merah dan berair (uremic red eyes) karena deposit garam kalsium
fosfat yang dapat menyebabkan iritasi hebat pada selaput lendir mata, kulit
gatal dan kering.

7
5. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit gagal ginjal kronik dilakukan
pada stadium dini penyakit gagal ginjal kronik. Upaya pencegahan yang
telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit gagal ginjal dan
kardiovaskular yaitu pengobatan hipertensi (semakin rendah tekanan darah
semakin semakin kecil resiko penurunan fungsi ginjal ) pengendalian gula
darah, lemak darah, anemia penghentian merokok, peningkatan aktivitas
fisik dan pengendalian berat badan (Roesly).
6. Penatalaksanaan Diet Gagal ginjal kronik
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dikelompokkan menurut stadium,
yaitu stadium I, II, III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan
fungsi ginjal yang berat tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis
biasa disebut kondisi pre dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi
konservatif yang meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan
mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke
stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi kurang masih banyak dialami
pasien PGK. Penelitian keadaan gizi pasien PGK dengan Tes Kliren
Kreatinin (TKK) ≤ 25 ml/mt yng diberikan terapi konservatif di Poliklinik
Ginjal Hipertensi RSCM, dijumpai 50 % dari 14 pasien dengan status gizi
kurang. Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan
yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah.
Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu
perhatian melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan
makanan oleh tim kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim
terpadu yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan
lain diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan
gizi (Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar
mencapai status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga
keseimbangn cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai
kualitas hidup yang cukup baik.

8
Penatalaksanaan Diet pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik pre
dialisis stadium IV dengan TKK < 25 ml/mt pada dasarnya mencoba
memperlambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut dengan cara
mengurang beban kerja nephron dan menurunkan kadar ureum darah.
Standar diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi
konservatif adalah sebagai berikut: (instalasi Gizi Perjan RS dr. Cipto
Mangunkusumo dan Asosiasi Dietesien Indonesia,2005 )
1. Syarat Dalam Menyusun Diet
Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30
kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori Protein
untuk pemeliharaan jaringan tubuh dan mengganti sel-sel yang rusak
sebesar 0,6 g/kg BB. Apabila asupan energi tidak tercapai, protein
dapat diberikan sampai dengan 0,75 g/kg BB. Protein diberikan lebih
rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut
Diet Rendah Protein. Pada waktu yang lalu, anjuran protein bernilai
biologi tinggi/hewani hingga ≥ 60 %, akan tetapi pada saat ini anjuran
cukup 50 %. Saat ini protein hewani dapat dapat disubstitusi dengan
protein nabati yang berasal dari olahan kedelai sebagai lauk pauk untuk
variasi menu.
Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 %
diutamakan lemak tidak jenuh.
Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari
ditambah IWL ± 500 ml.
Garam disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta penumpukan
cairan dalam tubuh. Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6 g/hari setara
dengan 1000-3000 mg Na/hari.
Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70
meq/hari
Fosfor yang dianjurkan ≤ 10 mg/kg BB/hari
Kalsium 1400-1600 mg/hari

9
2. Bahan Makanan yang Dianjurkan
Sumber Karbohidrat: nasi, bihun, mie, makaroni, jagng, roti, kwethiau,
kentang, tepung-tepungan, madu, sirup, permen, dan gula.
Sumber Protein Hewani: telur, susu, daging, ikan, ayam.
Bahan Makanan Pengganti Protein Hewani
Hasil olahan kacang kedele yaitu tempe, tahu, susu kacang kedele,
dapat dipakai sebagai pengganti protein hewani untuk pasien yang
menyukai sebagai variasi menu atau untuk pasien vegetarian asalkan
kebutuhan protein tetap diperhitungkan. Beberapa kebaikan dan
kelemahan sumber protein nabati untuk pasien penyakit ginjal kronik
akan dibahas.
Sumber Lemak: minyak kelapa, minyak jagung, minyak kedele,
margarine rendah garam, mentega.
Sumber Vitamin dan Mineral
Semua sayur dan buah, kecuali jika pasien mengalami hipekalemi
perlu menghindari buah dan sayur tinggi kalium dan perlu pengelolaan
khusus yaitu dengan cara merendam sayur dan buah dalam air hangat
selama 2 jam, setelah itu air rendaman dibuang, sayur/buah dicuci
kembali dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat dimasak
menjadi stup buah/coktail buah.
3. Bahan Makanan yang Dihindari
Sumber Vitamin dan Mineral
Hindari sayur dan buah tinggi kalium jika pasien mengalami
hiperkalemi. Bahan makanan tinggi kalium diantaranya adalah bayam,
gambas, daun singkong, leci, daun pepaya, kelapa muda, pisang,
durian, dan nangka.
Hindari/batasi makanan tinggi natrium jika pasien hipertensi, udema
dan asites. Bahan makanan tinggi natrium diantaranya adalah garam,
vetsin, penyedap rasa/kaldu kering, makanan yang diawetkan,
dikalengkan dan diasinkan.

10
B. Hemodialisa
Menurut Price dan Wilson (1995) dialisa adalah suatu proses dimana
solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori
dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan
dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa.
Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari
plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan
konsentrasiatautekanantertentu.Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997)
hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah
pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat.
Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume
cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan
hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan
perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan
masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat
dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan
dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher &
Wilcox, 1997).
C. Asupan Protein Penderita Gagal Ginjal Kronik
Asupan protein adalah banyaknya zat gizi protein yang dikonsumsi
rata – rata per hari dibandingkan kebutuhan untuk mencapai kebutuhan
normal. Asupan Protein sangat diperlukan mengingat fungsinya dalam tubuh.
Asupan protein dapat dipengaruhi oleh konsumsi protein yang rendah dalam
diit, asupan makanan yang kurang pengaruh dari melemahnya kekebalan
tubuh. Pengaruh asupan protein disamping asupan kalori memegang peranan
yang penting dalam penanggulangan gizi penderita gagal ginjal kronik,
karena gejala sindrom uremik disebabkan karena menumpuknya katabolisme
protein tubuh.
Asupan protein cukup 1-1,2 gr/kg BB/hari, untuk menjaga
keseimbangan nitrogen dan kehilangan protein selama didialisis. Sekurang-
kurangnya 50% asupan protein berasal dari protein bernilai biologi tinggi,

11
yang lebih lengkap kandungan asam amino escensialnya sumber protein ini
biasanya dari golongan hewani, misalnya telur, daging, ayam, ikan, susu,
kerang dan lain-lain dalam jumlah sesuai anjuran (Roesma,1992).
D. Kadar Ureum Pasien Gagal Ginjal Kronik
Gugusan amino dicopot dari asam amino bila asam itu didaur ulang
menjadi sebagian dari protein lain atau dirombak dan akhirnya dikeluarkan
dari tubuh. Amino transferase (transaminase) yang ada diberbagai jaringan
mengkatalis pertukaran gugusan amino antara senyawa-senyawa yang ikut
serta dalam reaksi-reaksi sintesis. Di lain pihak, deaminasi oksidatif
memisahkan gugusan amino dari molekul aslinya dan gugusan yang
dilepaskan itu diubah menjadi amoniak. Amoniak diantar ke hati dan disana
ia berubah menjadi ureum melalui reaksi-reaksi bersambung. Ureum adalah
satu molekul kecil yang mudah mendifusi ke dalam cairan ekstrasel, tetapi
pada akhirnya ia dipekatkan dalam urin dan diekskresi. Jika keseimbangan
nitrogen dalam keadaan mantap, ekskresi ureum kira-kira 25 gr setiap hari
(Apleton Lange, 2005).
Kadar ureum dalam serum mencerminkan keseimbangan antara
produksi dan ekskresi. Metode penetapan adalah dengan mengukur nitrogen;
di Amerika Serikat hasil penetapan disebut sebagai nitrogen ureum dalam
darah (Blood Urea Nitrogen, BUN). Dalam serum normal konsentrasi BUN
adalah 8-25 mg/dl. Nitrogen menyusun 28/60 bagian dari berat ureum, karena
itu konsentrasi ureum dapat dihitung dari BUN dengan menggunakan faktor
perkalian 2,14. Penetapan ureum tidak banyak diganggu oleh artefak. Pada
pria mempunyai kadar rata-rata ureum yang sedikit lebih tinggi dari wanita
karena tubuh pria memiliki lean body mass yang lebih besar. Nilai BUN
mungkin agak meningkat kalau seseorang secara berkepanjangan makan
pangan yang mengandung banyak protein, tetapi pangan yang baru saja
disantap tidak berpengaruh kepada nilai ureum pada saat manapun. Jarang
sekali ada kondisi yang menyebabkan kadar BUN dibawah normal.
Membesarnya volume plasma yang paling sering menjadi sebab. Kerusakan
hati harus berat sekali sebelum terjadi BUN karena sintesis melemah.

12
Konsentrasi BUN juga dapat digunakan sebagai petunjuk LFG. Bila
seseorang menderita penyakit ginjal kronik maka LFG menurun, kadar BUN
dan kreatinin meningkat. Keadaan ini dikenal sebagai azotemia (zat nitrogen
dalam darah). Kadar kreatinin merupakan indeks LFG yang lebih cermat
dibandingkan BUN. Hal ini terutama karena BUN dipengaruhi oleh jumlah
protein dalam diet dan katabolisme protein tubuh (Sylvia dan Price,1995).
E. Kreatinin Pasien Gagal Ginjal Kronik
Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatinin. Kreatinin
yang terutama disintesis oleh hati, terdapat hampir semuanya dalam otot
rangka; disana ia terikat secara reversibel kepada fosfat dalam bentuk
fosfokreatin, yakni senyawa penyimpan energi. Reaksi kreatin + fosfat ↔
fosfokreatin bersifat reversibel pada waktu energi dilepas atau diikat. Akan
tetapi sebagian kecil dari kreatin itu secara irreversibel berubah menjadi
kreatin yang tidak mempunyai fungsi sebagai zat berguna dan adanya dalam
darah beredar hanyalah untuk diangkut ke ginjal. Jumlah kreatinin yang
disusun sebanding dengan massa otot rangka; kegiatan otot tidak banyak
mempengaruhi. Nilai rujukan untuk pria adalah 0,6 – 1,3 mg/dl dan untuk
wanita 0,5 – 1 mg/dl serum. Nilai kreatinin pada pria lebih tinggi karena
jumlah massa otot pria lebih besar dibandingkan jumlah massa otot wanita
(Mark 2005). Banyaknya kreatinin yang disusun selama sehari hampir tidak
berubah kecuali kalau banyak jaringan otot sekaligus rusak oleh trauma atau
oleh suatu penyakit. Ginjal dapat mengekskresi kreatinin tanpa kesulitan.
Berbeda dari ureum berkurang aliran darah dan urin tidak banyak mengubah
ekskresi kreatinin, karena perubahan singkat dalam pengaliran darah dan
fungsi glomerulus dapat diimbangi oleh meningkatnya ekskresi kreatinin oleh
tubuli. Kadar kreatinin dalam darah dan ekskresi kreatinin melalui urin per 24
jam menunjukkan variasi amat kecil; pengukuran ekskresi kreatinin dalam
urin 24 jam tidak jarang digunakan untuk menentukan apakah pengumpulan
urin 24 jam dilakukan dengan cara benar. Kreatinin dalam darah meningkat
apabila fungsi ginjal berkurang. Jika pengurangan fungsi ginjal terjadi secara
lambat dan disamping itu massa otot juga menyusun secara perlahan, maka

13
ada kemungkinan kadar kreatinin dalam serum tetap sama, meskipun ekskresi
per 24 jam kurang dari normal. Ini bisa didapat pada pasien berusia lanjut
kadar BUN yang meningkat berdampingan dengan kadar kreatinin yang
normal biasanya menjadi petunjuk ke arah sebab ureumnya tidak normal.
Ureum dalam darah cepat meninggi daripada kreatinin bila fungsi ginjal
menurun, pada dialisis kadar ureum lebih dulu turun dari kreatinin. Jika
kerusakan ginjal berat dan permanen, kadar ureum terus-menerus meningkat,
sedangkan kadar kreatinin cenderung mendatar. Kalau kreatinin dalam darah
sangat meningkat, terjadi ekskresi melalui saluran cerna.
F. Status Gizi Pasien Gagal Ginjal Kronik
Status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat
keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari
pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan
indikator yang digunakan (Depkes,2002).
Status Gizi dapat dilakukan dengan cara:
Penilaian Gizi Secara Langsung
1. Antropometri : Antropometri dapat berarti ukuran tubuh manusia.
Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh
dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum
digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.
Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi
jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
Bentuk aplikasi penilaian status gizi dengan antropometri antara lain
dengan penggunaan teknik Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass
Index (BMI). IMT ini merupakan alat atau cara yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan. Dengan IMT ini antara lain dapat
ditentukan berat badan beserta resikonya. Misalnya berat badan kurang
dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat
badan lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit degeneratif.

14
Berikut contoh penggunaan metode IMT ini untuk mementukan
kondisi berat badan kita. Pada contoh ini akan disampaikan penjelasan
tentang cara-cara yang dianjurkan untuk mencapai berat badan normal
berdasarkan IMT yang kemudian disesuaikan dengan keseimbangan
konsumsi sehari-hari.
Untuk memantau indeks masa tubuh orang dewasa digunakan
timbangan berat badan dan pengukur tinggi badan. Penggunaan IMT
hanya untuk orang dewasa berumur > 18 tahun dan tidak dapat
diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan.
Untuk mengetahui nilai IMT ini, dipergunakan formula sebagai
berikut :
Berat Badan (Kg)
IMT = ——————————————————
Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

Berdasarkan perhitungan diatas maka akan dapat ditentukan standard


IMT seseorang dengan berpedoman sebagai berikut (Depkes ,2003) :

Tabel 1.Kategori IMT


Kategori Batas Ambang
Underweight < 18.5
Normal 18.5-22.9
Overweight 23-24.9
Obesias I 25.0-30.0
Obesitas II >30.0
Sumber :WHO 2005
2. Klinis : Teknik penilaian status gizi juga dapat dilakukan secara klinis.
Pemeriksaan secra klinis penting untuk menilai status gizi masyarakat.
Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada
jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut

15
dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan
tubuh seperti kelenjar tiroid.
3. Biokimia : Penilaian status gizi secara biokimia dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang
dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh, seperti darah, urine, tinja,
jaringan otot, hati.
4. Biofisik : Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan
status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan
melihat perubahan struktur dari jaringan. Metode ini secara umum
digunaakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik
(epidemic of night blindnes).
G. Asupan protein hewani dan nabati dengan kadar ureum pasien gagal
ginjal kronik hemodialisa
BUN merupakan sampah dari pemecahan protein. BUN dipengaruhi
oleh jumlah protein dalam diet, fungsi residual renal, efisiensi HD, dan
katabolisme. Melalui HD, BUN dibuang. Pemeriksaan BUN sering dipakai
untuk menilai hubungan faal ginjal dengan diet yang diberikan kepada
Pasien (Suhardjono dkk ,2001).
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan didapatkan protein dari
kedelai dapat menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi, dan proinflamato
cytokines yang diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal
lebuh lanjut. Penelitian lain mengenai diet dengan protein nabati pada pasien
PGK adalah dapat menurunkan ekresi urea, serum kolesterol total dan LDL
sebagai pencegah kelainan pada jantung yang sering dialami pada pasien
PGK. Pada binatang percobaan dengan penurunan fungsi ginjal yang diberi
casein dibandingkan dengan protein kedelai setelah 1-3 minggu didapatkan
menunda penurunan fungi ginjal lebih lanjut.

16
H. Asupan protein hewani dan nabati dengan kreatinin pasien gagal ginjal
kronik hemodialisa
Kreatinin plasma merupakan indikator massa otot dan status gizi.
Anabolit ini merupakan hasil akhir nitrogen dari metabolisme dari
metabolisme protein yang diekskresikan lewat urin. Meskipun asupan protein
mempengaruhi kreatinin, namun pengaruhnya tidak langsung karena kreatinin
disintesis dari kretin dengan menggunakan asam amino essensial prekursor
kreatinin, yaitu arginin dan glisin (Massry,2004).
Kadar ureum darah (BUN) dan kreatinin meningkat, dan biasanya
penderita akan mengalami kelelahan, hilang nafsu makan, mual dan muntah.
Jika keadaan sudah demikian,yang perlu dibatasi adalah cairan (maksimal
500-1000ml/hari), protein (difokuskan pada protein dengan nilai biologis
tinggi), natrium dan kalium (Fatimah, 2008).
I. Kerangka Teori

Gagal ginjal kronik

Hemodialisa

Asupan protein Asupan Gizi Asupan protein


hewani nabati

Kadar ureum
dan Kreatinin

17
J.Kerangka Konsep

Kadar ureum
Asupan protein
hewani

Kreatinin
Asupan protein
nabati

K. Hipotesis
a) Ada hubungan asupan protein hewani dengan kadar ureum pasien gagal
ginjal kronik hemodialisis di RSUD Tugurejo Semarang .
b) Ada hubungan asupan protein nabati dengan kadar ureum pasien gagl
ginjal kronik hemodialisa di RSUD Tugurejo Semarang
c) Ada hubungan asupan protein hewani dengan kadar kreatinin pasien gagal
ginjal kronik hemodialisa di RSUD Tugurejo Semarang
d) Ada hubungan asupan protein nabati dengan kadar kreatinin pasien gagal
ginjal kronik hemodialisis di RSUD Tugurejo Semarang .

18

Anda mungkin juga menyukai