Anda di halaman 1dari 3

REVIEW

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001


TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI

1. UU RI NOMOR 22 TAHUN 2001 Pasal 9


(1) “Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh : a. Badan Usaha yang berbentuk; b.
Badan Usaha Milik Negara; c. Badan Usaha Milik Daerah; d. Koperasi; e. Badan Usaha
Swasta.”
(2) “Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu.”

Saya tidak setuju dengan pasal tersebut. Alasannya adalah pasal tersebut seara halus telah
melanggar UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 yang berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Pasal tersebut justru menjelaskan bahwa banyak badan usaha yang diperbolehkan untuk
melakukan kegiatan usaha hulu termasuk Badan Usaha Swasta dan Bentuk Usaha Tetap
(perusahaan asing). Sesuai dengan Pasal 1 Ayat 18, Bentuk Usaha Tetap adalah badan
usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah NKRI yang melakukan kegiatan
di wilayah NKRI dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Republik Indonesia. Seharusnya hanya BUMN saja yang boleh melakukan kegiatan usaha
hulu di NKRI agar migas yang merupakan materi yang menguasai hajat hidup orang
banyak dapat dikuasai oleh negara, dalam hal ini adalah Pertamina. Sayangnya, pasal
tersebut menyebabkan Pertamina, sebagai BUMN yang sahamnya 100% dikuasai negara,
harus bersaing dalam tender untuk Wilayah Kerja yang tidak jarang juga Pertamina kalah
bersaing dengan perusahaan asing. Padahal seharusnya Pertamina adalah representasi dari
negara itu sendiri.

2. UU RI NOMOR 22 TAHUN 2001 Pasal 56 Ayat 2


“Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, pidana
yang dijatuhkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tersebut adalah pidana
denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya.”

Saya tidak setuju dengan ayat tersebut. Alasannya adalah pada Pasal 57 tertera bahwa,
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55
adalah kejahatan. Sudah sangat jelas tindak kejahatan yang dilakukan adalah tindak
pencurian terhadap suatu negara. Contoh pada Pasal 52 yang berbunyi: “Setiap orang yang
melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa mempunyai Kontrak Kerja Sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp. 60.000.000.000,00 (enam puluh miliar
rupiah)”. Yang artinya jika ada badan usaha yang melakukan eksplorasi dan/atau
eksploitasi tanpa ada KKS, maka hanya didenda, dan untuk pencabutan hak atau
perampasan barang merupakan pidana tambahan sesuai Pasal 58. Hal tersebut sangat tidak
masuk akal karena artinya negara memberikan kesempatan kepada Badan Usaha untuk
mencuri migas di NKRI. Seharusnya pidana yang dijatuhkan langsung digabung dengan
Pasal 58, menjadi pidana denda dan pencabutan hak atau perampasan barang yang
digunakan atau diperoleh dalam kegiatan usaha migas.

3. UU RI NOMOR 22 TAHUN 2001 Pasal 26


“Terhadap kegiatan pengolahan Lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan
hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi yang dilakukan
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak diperlukan Izin Usaha tersendiri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23.”

Saya tidak setuju dengan pasal tersebut. Alasannya adalah pasal tersebut bersifat
kontradiktif dengan Pasal 10 ayat 1 yang berbunyi: “Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir”.
Dimana Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada
kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga (Pasal 1 Ayat
10). Artinya tidak boleh ada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang sama, yang
melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir. Sehingga pasal tersebut seharusnya tidak perlu
ada karena secara tersirat bahwa boleh ada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang
sama, yang melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir. Namun jika memang akhirnya
perbolehkan, maka kesalahan terdapat di Izih Usaha. Dikatakan pada pasal tersebut bahwa
Izin Usaha tersendiri tidak perlu ada untuk kegiatan berkelanjutan, namun hal tersebut
fatal. Izin Usaha adalah batasan-batasan dan kesepakatan tertulis yang seharusnya
membahas setiap kegiatan yang berbeda dengan terperinci menyangkut kegiatan usaha
Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga. Seharusnya selalu ada bahkan
sejak awal untuk setiap rincian kegiatan di usaha hilir.
4. UU RI NOMOR 22 TAHUN 2001 Pasal 22 Ayat 1
“Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua
puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri.”

5. UU RI NOMOR 22 TAHUN 2001 Pasal 46 Ayat 3


“Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pengaturan dan
penetapan mengenai: a. ketersediaan Bahan Bakar Minyak; b. cadangan Bahan Bakar
Minyak nasional; c. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar
Minyak; d. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa; e. harga Gas Bumi untuk rumah
tangga dan pelanggan kecil; f. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.”

Anda mungkin juga menyukai