Anda di halaman 1dari 13

Diagnosis dan Penatalaksanaan Perdarahan pada Hidung

Venny Debora Yolanda

102014125

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email: venny.2014fk125@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan

Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun
usia lanjut. Epistaksis seringkaii merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan
ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang
berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak
segera ditangani. Perdarahan hidung merupakan masalah yang sangat lazim, sehingga tiap dokter
harus siap menangani kasus demikian. Kunci menuju pengobatan yang tepat adalah aplikasi
tekanan pada pembuluh yang berdarah. Agaknya 90 persen kasus epistaksis anterior mudah diatasi
dengan tekanan yang kuat, kontinu pada kedua sisi hidung tepat di atas kartilago ala nasi, dengan
pasien dalam posisi duduk tegak. Posisi ini mengurangi tekanan vaskular, dan pasien dapat lebih
mudah membatukkan darah di dalam faring. Namun bila ternyata kontrol tidak memadai, dokter
perlu segera mencoba cara lain.1,2

Anamnesis

Anamnesis merupakan wawancara riwayat kesehatan pasien baik secara langsung atau
tidak langsung yang memiliki tiga tujuan utama yaitu mengumpulkan informasi, membagi
informasi, dan membina hubungan saling percaya untuk mendukung kesejahteraan pasien.
Informasi atau data yang dokter dapatkan dari wawancara merupakan data subjektif berisi hal yang
diutarakan pasien kepada dokter mulai dari keluhan utama hingga riwayat pribadi dan sosial.
Anamnesis yang diketahui pada kasus ini adalah keluhat utama, riwayat penyakit sekarang, dan
riwayat penyakit dahulu.3

Epistaksis (mimisan) berarti pendarahan dari dalam hidung. Biasanya darah berasal dari
hidung sendiri kendati pula dapat mengalir dari sinus paranasalis atau nasofaring. Biasanya riwayat
medis yang disampaikan oleh pasien cukup dapat menunjukan lokasi asal pendarahan. Walaupun
demikian, pada pasien yang berada adalam posisi berbaring atau yang pendarahannya berasal dari
struktur posterior, mungkin darahnya tidak mengalir lewat lubang hidung, tetapi mengalir ke
dalam tenggorok. Anda harus mengidentifikasi sumber pendarahannya dengan cermat – apakah
darah itu dari hidung ataukah darah yang dibatukan atau dimuntahkan keluar? Lakukan
pemeriksaan untuk mengkaji lokasi pendarahan, keparahannya dan gejala lain yang menyertai.
Apakah epistaksis ini merupakan permasalahan yang terjadi berali-kali? Apakah terdapat pula
gejala mudah memar atau mudah berdarah di bagian tubuh yang lain?, Selain itu perlu ditanyakan
juga;4

1. Riwayat perdarahan sebelumnya


2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari
hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. Hipertensi
8. Diabetes melitus
9. Penyakit hati
10. Penggunaan antikoagulan
11. Trauma hidung yang belum lama
12. Obat-obatan, mis., aspirin, fenilbutazon (Butazolidin)2

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik kejang demam, dilakukan antara lain pemeriksaan kesadaran,
tanda-tanda vital, dan rangsang meningeal.

A. Pemeriksaan Kesadaran

Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Orang
normal dapat berada dalam keadaan: sadar, mengantuk atau tidur. Bila ia tidur, ia dapat
disadarkan oleh rangsang, misalnya rangsang nyeri, bunyi atau gerak. Rangsang ini
disampaikan pada sistem aktivitas retikuler, yang berfungsi mempertahankan kesadaran.
Sistem aktifitas retikuler terletak di bagian atas batang otak, terutama di mesensefalon dan
hipotalamus. Lesi di otak, yang terletak di atas hipotalamus tidak akan menyebabkan
penurunan kesadaran, kecuali bila lesinya luas dan bilateral. Lesi fokal di cerebrum,
misalnya oleh tumor atau strok, tidak akan menyebabkan koma, kecuali bila letaknya
dalam dan mengganggu hipotalamus.5
Dalam memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter melakukan inspeksi,
konversasi dan bila perlu memberikan rangsang nyeri.5
1. Inspeksi. Perhatikan apakah pasien berespons secara wajar terhadap stimulus visual,
auditoar dan taktil yang ada di sekitarnya.
2. Konversasi. Apakah pasien memberikan reaksi wajar terhadap suara konversasi,
atau dapat dibangunkan oleh suruhan atau pertanyaan yang disampaikan dengan
suara yang kuat ?
3. Nyeri. Bagaimana respons pasien terhadap rangsang nyeri?5

Perubahan Patologis Tingkat Kesadaran


Penyakit dapat mengubah tingkat kesadaran ke dua arah, yaitu : meningkatkan atau
menurunkan tingkat kesadaran. Peningkatan tingkat kesadaran dapat pula mendahului
penurunan kesadaran, jadi merupakan suatu siklus. Pada kesadaran yang meningkat atau
eksitasi serebral dapat ditemukan tremor, euforia, dan mania. Pada mania, penderitanya
dapat merasakan ia hebat (“grandios”); alur pikiran cepat berubah, hiperaktif, banyak
bicara dan insomnia (tak dapat atau sulit tidur).5
Delirium. Penderita delirium menunjukkan penurunan kesadaran disertai
peningkatan yang abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang
terganggu. Pada keadaan ini pasien tampak gaduh-gelisah, kacau, disorientasi, berteriak,
aktivitas motoriknya meningkat, meronta-ronta. Penyebab delirium beragam, diantaranya
ialah kurang tidur oleh berbagai obat, dan gangguan metabolik toksik. Pada manula,
delirium kadang didapatkan waktu malam hari. Penghentian mendadak obat anti-depresan
yang telah lama digunakan dapat menyebabkan delirium-tremens. Demikian juga bila
pecandu alkohol mendadak menghentikan minum alkohol dapat mengalami keadaan
delirium dengan keadaan gaduh-gelisah.5
Secara sederhana tingkat kesadaran dapat dibagi atas: kesadaran yang normal
(kompos mentis), somnolen, sopor, koma-ringan dan koma.5
Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen
disebut juga sebagai: latergi, obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oieh mudahnya
penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.5
Sopor (stupor). Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan rangsang
yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi, la masih dapat mengikuti suruhan
yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri penderita tidak
dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak
dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menangkis rangsang
nyeri masih baik.5
Koma-ringan (semi-koma). Pada keadaan ini, tidak ada respons terhadap rangsang
verbal. Refleks (kornea, pupil dlsbnya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai
respons terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi,
merupakan jawaban “primitif. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.5
Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali
terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.5
Pembagian tingkat kesadaran di atas merupakan pembagian dalam pengertian klinis, dan
batas antara tingkatan ini tidak tegas. Tidaklah mengherankan bila kita menjumpai
penggunaan kata soporo-koma, somnolen-sopor.5
B. Inspeksi dan Palpasi

Inspeksi permukaan anterior dan inferior hidung. Biasanya penekanan lembut pada
ujung-depan hidung pasien dengan ibu jari tangan Anda akan memperlebar lubang hidung
(nostril) dan dengan bantuan lampu senter kecil (penlight) atau cahaya otoskop, Anda dapat
melihat sebagian pemandangan setiap vestibulum hidung. Jika ujung hidung tersebut terasa
nyeri ketika disentuh, lakukan tindakan ini dengan hati-hati dan sedapat mungkin tidak
memanipulasi hidung. Perhatikan setiap ketidaksimetrisan atau deformitas pada hidung.4
Tes Obstruksi Nasal, jika diperlukan, dilakukan dengan menekan kedua cuping hidung
secara bergantian dan meminta kepada pasien untuk menarik napas.4
Inspeksi bagian dalam rongga hidung dengan alat otoskop dan spekulum telinga
yang terbesar. Minta pasien untuk mendongakkan kepalanya sedikit ke belakang dan
masukkan spekulum secara hati-hati ke dalam vestibulum setiap lubang hidung dengan
menghindari sentuhan dengan septum nasi yang peka. Pegang tangkai otoskop pada satu
sisi untuk menghindari bagian dagu pasien dan meningkatkan mobilitas Anda. Dengan
mengarahkan spekulum ke posterior, kemudian ke atas melalui beberapa langkah kecil,
coba untuk melihat konka inferior dan media, septum nasi, dan saluran hidung yang sempit
di antara kedua struktur ini. Beberapa keadaan asimetris pada kedua sisi tersebut
merupakan hal yang normal.4
Pada pemeriksaan ini perlu diperhatikan:4
- Mukosa hidung yang menutupi septum dan konka nasalis. Perhatikan warnanya dan
setiap pembengkakan, perdarahan atau eksudat. Jika terdapat eksudat, perhatikanlah
karakternya: jenuh, mukopurulen atau purulen. Normalnya mukosa hidung tampak
sedikit lebih merah daripada mukosa mulut.
- Septum nasi (sekat rangga hidung). Perhatikan setiap deviasi, inflamasi atau perforasi
pada septum nasi. Bagian anterior bawah septum nasi (yang dapat dijangkau oleh jari
tangan pasien) merupakan daerah yang sering menjadi [ sumber epistaksis (mimisan}.
- Setiap abnormalitas seperti ulkus atau polip.4

Biasakan untuk meletakkan semua spekulum hidung atau telinga yang sudah dipakai
ini di luar kotak instrumen Anda. Kemudian, buang spekulum disposabel atau jika
spekulum tersebut masih akan digunakan lagi (misalnya spekulum nondisposabel dari
logam), cuci dan lakukan desinfeksi secara benar. (Anda harus mengecek kebijakan yang
dikeluarkan oleh rumah sakitt Anda mengenai prosedur ini).4
Palpasi untuk menemukan nyeri tekan pada sinus. Tekan daerah sinus frontalis dari
sebelah bawah alis mata dengan menghindari penekanan pada bola mata, kemudian tekan
daerah sinus maksilaris.4
Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah; pemeriksaan darah tepi lengkap,
fungsi hemostasis, fungsi hati, dan fungsi ginjal.
A. Uji Alergi
Untuk mengidentifikasi alergi sebagai penyebab keadaan patologis di hidung dan
tenggorok, tes kulit dan pemeriksaan serologis dilakukan. Metode pemeriksaan yang paling
mudah dan murah adalah tes jarum (prick test), yaitu berbagai alergen vang umum
dimasukkan ke dalam kulit pasien. Reaksi kulit berupa kemerahan (eritema) dan urtika
menandakan hiper- sensitivitas terhadap zat yang bersangkutan, tetapi tidak menunjukkan
bahwa alergi menjadi pemicu timbulnya penyakit pada pasien. Pemeriksaan serologis
untuk mendiagnosis alergi dapat dilakukan dengan menilai IgE nonspesifik total (PRIST)
dan IgE spesifik-antigen (RAST, radioallergosorbent test). Akhirnya, uji provokasi
intranasal akan memberikan petunjuk mengenai alergi sebagai penyebab timbulnya gejala.
Alergen yang dicurigai ditaruh pada bagian bawah hidung. Pada uji tersebut, perubahan
permeabilitas terhadap udara yang terjadi dinilai dengan rinomanometri (lihat bawah).6
B. Rinomanometri
Pemeriksaan ini merupakan pengukuran secara objektif permeabilitas hidung
terhadap udara. Dengan lubang hidung ditutup, perbedaan tekanan antara kedua sisi
vestibulum dan nasofaring diukur. Nilai yang ditampilkan adalah volume per satuan waktu
dalam bentuk grafik. Dengan menyemprotkan zat Vasokonstriktor (misalnya, naphazoline)
ke dalam hidung, efek dekongesti mukosa hidung dapat diperiksa.6
C. Rontgen
Pada sinusitis akut, dilakukan pemeriksaan foto rontgen bidang oksipitomental dan
oksipitofrontal (Gambar 2). Foto bidang oksipitomental memperlihatkan sinus maxillaris,
sinus frontalis, dan sinus sphenoidalis; sedangkan foto bidang oksipitofrontal menilai sinus
frontalis dan cellulae ethmoidales. Namun, nilai pemeriksaan sinus sphenoidalis tidak
begitu besar. Dengan pemindaian CT, pembengkakan mukosa kronis dan proses neoplastik
dapat diketahui. Pemeriksaan MRI terutama digunakan untuk menilai proses pada jaringan
lunak, yang meragukan.6
Gambar 1. Pemeriksaan rontgen diagnostik untuk sinus paranasal, a) Bidang oksi-
pitofrontal, b) bidang oksipitomental, c) foto rontgen oksipitomental memperlihatkan
polisinusitis dengan air-fluid level di sinus maxillaris kiri.6

Diagnosis

A. Epistaksis Anterior
Hanya pada perdarahan akut, diagnosis harus sedikit ditunda atau dilakukan
bersamaan dengan pemberian terapi. Bila penyebab perdarahan belum diketahui,
parameter sirkulasi harus diketahui lebih dahulu. Dengan pengambilan spesimen darah,
diagnosis kerja pertama dapat disingkirkan atau ditegakkan melalui hasil pemeriksaan
status koagulasi darah. Setelah mukosa dibius, dengan endoskopi hidung, letak sumber
perdarahan dapat dicari.6
Yang penting adalah menemukan letak relatif perdarahan terhadap concha hidung
untuk menentukan apakah dari wilayah suplai darah a. carotis interna (di atas concha) atau
a. carotis externa (di bawah concha). Dengan bantuan angiografi, sumber perdarahan juga
dapat diketahui. Pada kecurigaan atas pertumbuhan neoplastik, diperlukan pemeriksaan
CT.6
Selain itu, perlu juga dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang sehingga dapat
meyakinkan diagnosis, terutama untuk membedakan pendarahan anterior atau posterior,
sehingga dapat ditegakan diagnosis kerjanya, yaitu epistaksis anterior et causa trauma.
B. Epistaksis Posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan
biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien
dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena
pecahnya arteri sfenopalatina. Pada posisi duduk atau setengah tidur, darah mengalir ke
arah tenggorokan.1
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Untuk
menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang
disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat
dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah
di sisi berlawanan.1
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan
kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik
keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian
kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon
perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat meliwati palatum mole masuk ke
nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam
kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa
di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya.
Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya
ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut
tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.1
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan
tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring.1
Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon.
Akhir- akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus
untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya
pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi
a.sfenopalatina dengan panduan endoskop.1
C. Epistaksis ec Kelainan Kongenital
Pada kelainan kongenital pembuluh darah hidung lebih lebar, tipis, jaringan ikat
dan sel-selnya lebih sedikit, sehingga mudah terjadi epistaksis. Kelainan kongenital yang
sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary
hemorrhagic teleangiectasis Osler-Rendu-Weber disease). Juga sering terjadi pada Von
Willenbrand disease.1
Sindrom Osler Weber Rendu atau juga disebut teleangiektasi hemoragik herediter,
merupakan suatu sindrom autosomal dominan yang ditandai oleh pembentukan lesi
vaskular di sekitar bibir, rongga mulut dan hidung. Salah satu manifestasi utama yang
lazim adalah epistaksis berulang hingga memerlukan transfusi lebih dari satu kali.
Dermoplasti septum adalah suatu metode yang dirancang untuk mengendalikan epistaksis
berulang. Prosedur operatif meliputi pengangkatan mukosa septum nasi anterior, dasar
hidung dan bagian anterior konka inferior dengan hati-hati, dan mengganti mukosa ini
dengan cangkok kulit ketebalan paruh. Prosedur biasanya dilakukan hanya pada satu sisi,
namun dapat diulangi kemudian pada sisi satunya. Meskipun menimbulkan pembentukan
krusta di dalam hidung, namun prosedur ini mungkin perlu dilakukan pada pasien yang
telah mendapat transfusi berulang. Terapi hormonal telah memberi perbaikan pada
sebagian pasien, sehingga intervensi bedah dapat dihindarkan.2

Epidemiologi

Frekuensi epistaksis sulit untuk ditentukan karena sebagian besar kejadian dapat ditangani
sendiri, dan oleh karena itu, tidak dilaporkan. Namun, dari beberapa sumber terakhir, kejadian
seumur hidup dari epistaksis pada populasi umum adalah sekitar 60%, dengan lebih sedikit dari
10% mencari pertolongan medis.7
Distribusi usia bervariasi, dengan puncak pada anak-anak (2-10 tahun) dan orang yang
lebih tua (50-80 tahun). Epistaksis tidak terjadi pada bayi yang tidak terdapat koagulopati atau
patologi hidung (misalnya, atresia choanal, neoplasma). Trauma lokal tidak terjadi sampai
kemudian di tahun-tahun balita. Anak-anak dan remaja juga memiliki insiden lebih jarang.
Pertimbangkan penyalahgunaan kokain pada pasien remaja. Prevalensi epistaksis cenderung lebih
tinggi pada laki-laki (58%) daripada perempuan (42%).7

Etiologi

Pada dasarnya, penyebab epistaksis dapat dibedakan menjadi penyebab lokal dan sistemik.
Pada kebanyakan kasus (90%), tempat perdarahan terdapat di pleksus Kiesselbach, suatu pleksus
pembuluh darah di bagian depan septum hidung. Penyebab tersering adalah manipulasi jari
(mengupil) atau trauma. Yang termasuk dalam trauma antara lain adalah (meskipun relatif jarang)
perdarahan ke dalam rongga hidung akibat fraktur frontobasal, yang merobek a. ethmoidalis
anterior. Penyebab lokal lainnya adalah ruptur pembuluh darah karena hembusan hidung yang
kuat, rhinitis sicca, atau benda asing. Patologi septum hidung (perforasi, abses) biasanya juga
menyebabkan epistaksis dengan derajat keparahan yang berbeda-beda. Peradangan mukosa
hidung, misalnya pada infeksi virus atau pada alergi, meningkatkan kerentanan struktur yang
memang rentan tersebut. Akhirnya, kemungkinan neoplasma sebagai penyebab perdarahan juga
harus dipikirkan, misalnya fibroma nasofaring juvenil (sangat jarang). Pemicu sistemik yang
tersering adalah penyakit sirkulasi-vas- kular (hipertensi, arteriosklerosis). Penyakit dengan
diatesis hemoragik, baik kongenital maupun didapat, tidak secara langsung berisiko tinggi
menimbulkan epistaksis, tetapi bila terjadi, perdarahan ringan sulit berhenti. Pengobatan untuk
keadaan tersebut antara lain adalah antikoagulan atau inhibitor agregasi trombosit. Penyakit Osler,
sebagai contoh vasopati sistemik, juga bermanifestasi berupa teleangiektasia di kulit dan mukosa
mulut selain epistaksis berulang. Tabel 1 merangkum penyebab tersering epistaksis.6

Tabel 1. Penyebab tersering epistaksis.6

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat
seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya
benda asing tajam atau trauma pembedahan.1
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat
terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang
mengalami pembengkakan.1

Patofisiologi

Mula-mula pemeriksa harus memperhatikan apakah sumber perdarahan berada pada sisi
kanan atau kiri, bagian depan atau belakang hidung, dan di atas atau di bawah meatus media, yang
secara kasar membagi suplai darah atas dua kontributor utama, arteri karotis ekstema dan intema.
Arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis intema, mencabangkan arteri etmoidalis anterior
dan posterior. Keduanya menyuplai bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya
berasal dari arteri karotis ekstema dan cabang-cabang utamanya. Arteri sfenopalatina membawa
darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum.2
Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Suatu
pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan sebagian
anastomosis ini dan dikenal sebagai Little area atau pleksus Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya
dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan subjek trauma fisik dan lingkungan berulang, maka
merupakan lokasi epistaksis tersering.2
Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di “little area”. Bagian septum nasi anterior inferior
merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan mudah
terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut. Walaupun
hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal
ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan
perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami
inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.8,9
Epistaksis anterior kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior
atau dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena
keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada
anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.1

Gambar 2. Pembuluh darah hidung.


(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/80526-overview#a01)
Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan,
menghentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.1
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta
tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dulu misalnya dengan memasang infus. Jalan
napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.1
Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah
perdarahan dari anterior atau posterior.1
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung dan
alat pengisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan.1
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari
hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaanya lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring
dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran napas
bawah.1
Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan
tidak bergerak-gerak.1
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah
dengan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah di-
basahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukkan ke dalam
rongga hidung untuk menghentikan per- darahanan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan
tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi
biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.1

Menghentikan perdarahan anterior


Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan.
Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat dicoba
dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil.1
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan
Nitras Argenti (AgN03) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.1
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan pe-
masangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep
antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan
perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun
dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan.1
Pada perdarahan di bagian rongga hidung anterior, biasanya dimasukkan kasa yang sudah
dioles dengan salep. Cara lain adalah menggunakan tampon busa yang akan mengembang sendiri
karena kelembaban dan menimbulkan penekanan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada
perdarahan satu sisi, pemasangan tampon selalu dilakukan di kedua sisi untuk memberikan tekanan
yang memadai di tempat perdarahan. Pada perdarahan yang tidak jelas sumbernya, kateter balon
dengan dua ruang dimasukkan. Setelah terisi dengan air, kateter tersebut memberikan penekanan
pada rongga hidung dan pada bagian minor nasofaring. Dengan demikian, aliran darah ke dalam
tenggorokan dapat dihindari. Keuntungan lainnya adalah pemasangan kateter yang mudah dan
tidak terlalu membebani bagi pasien. Bila kateter balon tidak memberikan hasil yang memuaskan,
tampon Bellocq dapat dipasang sebagai tampon belakang. Pada pemasangan tampon tersebut,
suatu gulungan kapas dipasang pada area choana atau nasofaring dan bagian hidung lainnya
disumbat dengan tampon anterior. Akan tetapi, risiko aspirasi dengan adanya gulungan kapas
tersebut meningkat, dan dapat menimbulkan gejala depresi pernapasan melalui penekanan di
batang otak. Pemasangan tampon sebaiknya tidak melebihi 2-3 hari di hidung, untuk menghindari
infeksi dan nekrosis jaringan akibat penekanan. Profilaksis dengan antibiotika dapat
dipertimbangkan. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor
penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.1

Gambar 3. Tampon hidung anterior untuk menghentikan pendarahan di bagian anterior


hidung.6

Pada perdarahan yang tidak kunjung berhenti, pembuluh darah utama dapat diligasi atau
diembolisasi. Pembuluh yang menerima tindakan tersebut pada perdarahan di atas kerangka tengah
hidung antara lain aa. ethmoidales, sedangkan pada perdarahan di bagian bawah rongga hidung, a.
sphenopalatina atau a. maxillaris. Pada prosedur tersebut, ligasi sebaiknya dilakukan sedekat
mungkin dengan sumber perdarahan.1

Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari
usaha penanggulangan epistaksis.1
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah,
juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak
dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark
miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau tranfusi darah
harus dilakukan secepatnya.1
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotik.1
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia atau toxic
shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon
hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang
tampon baru.1
Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba
Eustachius, dan airmata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara retrograd
melalui duktus nasolakrimalis.1
Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole
atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter
balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis
mukosa hidung atau septum.1

Pencegahan
Mencegah pendarahan berulang. Setelah perdarahan, untuk sementara dapat diatasi dengan
pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis.
Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam
atau Kesehatan Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.1

Prognosis
Untuk sebagian besar dari populasi umum, epistaksis hanyalah gangguan. Namun,
masalahnya kadang-kadang dapat mengancam jiwa, terutama pada pasien lanjut usia dan pada
pasien dengan masalah medis yang mendasari. Untungnya , kematian jarang terjadi dan biasanya
disebabkan oleh komplikasi dari hipovolemia, dengan perdarahan berat atau kondisi penyakit yang
mendasarinya.7
Secara keseluruhan, prognosis baik tetapi variabel, dengan perawatan yang tepat, prognosis
akan sangat baik. Ketika perawatan suportif yang memadai disediakan dan masalah medis yang
mendasari dikendalikan, kebanyakan pasien tidak mungkin untuk mengalami perdarahan ulang
apapun. Orang lain mungkin memiliki pendarahan berulang yang menghilang secara spontan atau
dengan pengobatan mandiri minimal. Sebagian kecil pasien mungkin memerlukan pengobatan
yang lebih agresif.7
Penutup
Epistaksis sebenarnya merupakan suatu gejala bukan suatu penyakit. Penyebab epistaksis
banyak, namun yang paling sering adalah manipulasi jari atau trauma. Pada epistaksis perlu
dibedakan apakah pendarahan anterior atau posterior. Cara membedakannya adalah dengan
meminta pasien untuk duduk tegak, dan kemudian melihat aliran darah apakah melalui hidung
(anterior) atau tenggorokan (posterior). Penanganannya harus dilakukan sesegera mungkin.
Apabila semakin cepat dan tepat penanganannya, maka akan semakin baik prognosisnya.

Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. h. 155-
9
2. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC; 2013. h. 223-6.
3. Bickley LS, Szilagyi PG. Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates: buku saku. Edisi
ke-5. Jakarta: EGC; 2008. h.1-9.
4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8. Jakarta:
EGC; 2009. h. 142-3, 162-3.
5. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. h. 7-11, 17-20.
6. Nagel P, Gurkov R. Dasar-dasar ilmu THT. Jakarta: EGC; 2012. H. 34-7, 50-1.
7. Epitaxis, diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/863220-overview#a0156,
30 November 2016.
8. Thompson, Sharon W. Epsitaksis in Emergency Care of Children. Boston : Jones and
Barlett Publisher, 1990. h. 190-1.
9. Soudheiner, Judith M. The Nose & Paranasal Sinuses in Hay, Wiiliam W. et.al. Current
Pediatric Diagnose and Treatment. 6th Ed. USA : The Mc. Groww Hill Companies Inc,
2007. h. 479.

Anda mungkin juga menyukai