Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Kerajaan Islam di Jawa

Disusun Oleh:
Abizar Afif Arrihza
Ach.Muhaimin Irzan
M.Syahrul R.A.S
M.Vicky Syahputra
M.Zaydan Dwi S
M.Andhi Arya
M.Alby Nur
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat
ALLAH SWT, atas segala limpahan rahmat dan
petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
MAKALAH KERAJAAN ISLAM DI JAWA ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata
pelajaran Sejarah indonesia .
Dorongan dari orang tua kami dan juga tidak
lupa dukungan dan kerja sama dari teman-teman
kami yang begitu besar sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas Makalah Kerajaan Islam Di
Jawa ini dengan tepat waktu. Sehingga penulis
mengucapkan banyak terimakasih untuk semuanya.
Penulis sadar bahwa Makalah Kerajaan Islam
ini, masih jauh dari kata sempurna, maka saran dan
kritik yang membangun dari pembaca amatlah
penulis harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dipakai
sebagai bahan referensi yang dapat memberikan
wawasan luas dalam dunia pendidikan.
1 Februari 2018
Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I KERAJAAN DEMAK
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang.
1.2 Tujuan Penulisan Makalah
1.3 Metode Penulisan Makalah
2. Pembahasan
2.1 Awal Kerajaan Demak
2.2 Letak Kerajaan Demak
2.3 Kehidupan Politik Kerajaan Demak
2.4 Kehidupan Ekonomi Kerajaan Demak
2.5 Kehidupan Sosial-budaya Kerajaan Demak
2.6 Keruntuhan Kerajaan Demak
2.7 Demak Dibawah Kekuasaan Raja – Raja Mataram

3. Kesimpulan
BAB II KERAJAAN MATARAM
A. Kerajaan Mataram Islam
B. Peta Kerajaan Mataram

BAB III KESULTANAN CIREBON


1. Perkembangan Awal
2. Pendirian
3. Terpecahnya Kesultanan Cirebon
4. Puncak Kejayaan
BAB IV KESULTANAN BANTEN
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I KERAJAAN DEMAK

1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.
Sebelumnya kerajaan Demak merupakan keadipatian vazal dari kerajaan
Majapahit. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1500 hingga
tahun 1550 (Soekmono: 1973). Raden patah adalah bangsawan kerajaan
Majapahit yang telah mendapatkan pengukuhan dari Prabu Brawijaya yang
secara resmi menetap di Demak dan mengganti nama Demak menjadi
Bintara.
(Muljana: 2005). Raden Patah menjabat sebagai adipati kadipaten
Bintara, Demak..Atas bantuan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu
menganut islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik, ia mendirikan Kerajaan
Islam dengan Demak sebagai pusatnya. Raden patah sebagai adipati Islam
di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit saat itu, karena kondisi
Kerajaan Majapahit yang memang dalam kondisi lemah. Bisa dikatakan
munculnya Kerajaan Demak merupakan suatu proses Islamisasi hingga
mencapai bentuk kekuasaan politik. Apalagi munculnya Kerajaan Demak
juga dipercepat dengan melemahnya pusat Kerajaan Majapahit sendiri,
akibat pemberontakan serta perang perebutan kekuasaan di kalangan
keluarga raja-raja.( Poesponegoro: 1984).
Sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa, Kerajaan Demak
sangat berperan besar dalam proses Islamisasi pada masa itu. Kerajaan
Demak berkembang sebagai pusat perdagangan dan sebagai pusat
penyebaran agama Islam. Wilayah kekuasaan Demak meliputi Jepara,
Tuban, Sedayu Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Di
samping itu, Kerajaan Demak juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting
seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik yang berkembang
menjadi pelabuhan transito (penghubung).

1.2 TUJUAN PENULISAN MAKALAH

Adapun tujuan penulisan makalah yang kami tulis, dalam


pembuatan makalah Belajar dan Pembelajaraan dengan perumusan
masalah di atas adalah :
A. Menjelaskan awal mula berdirinya kerajaan Demak
B. Menjelaskan kondisi politik kerajaan Demak
C. Menjelaskan kondisi ekonomi kerajaan Demak
D. Menjelaskan kondisi sosial – budaya kerajaan Demak
E. Menjelaskan peradaban kerajaan Demak pada abad XVI
F. Menjelaskan perang saudara di kerajaan Demak
G. Menjelaskan keruntuhan Demak
H. Menjelaskan Demak dibawah kekuasaan raja – raja
Mataram

1.3 METODE PENULIASAN MAKALAH

Metode atau cara yang digunakan dalam penulisan


makalah interaksi edukasi dan konsep belajar serta
pembelajaran dalam pembuatan makalah ini dalam mencari
referensi atau sumbernya yang kami buat adalah melakukan
studi kepustakaan dan mencari sumber dari Internet. Juga
sumber-sumber lain yang dapat menjadikan referensi makalah
yang kami buat ini.

2. PEMBAHASAN
2.1 Awal Kerajaan Demak
Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Demak, dan
berdiri pada tahun 1478 M. Hal ini didasarkan atas jatuhnya
kerajaan Majapahit yang diberi tanda Candra Sengkala: Sirna
hilang Kertaning Bumi, yang berarti tahun saka 1400 atau 1478 M.
Kerajaan Demak itu didirikan oleh Raden Fatah. Beliau
selalu memajukan agama islam di bantu oleh para wali dan
saudagar Islam.Raden Fatah nama kecilnya adalah Pangeran
Jimbun. Menurut sejarah, dia adalah putera raja Majapahit yang
terakhir dari garwa Ampean, dan Raden Fatah dilahirkan di
Palembang. Karena Arya Damar sudah masuk Islam maka Raden
Fatah dididik secara Islam, sehingga jadi pemuda yang taat
beragama Islam.
Setelah usia 20 tahun Raden Fatah dikirim ke Jawa untuk
memperdalam ilmu agama di bawa asuhan Raden Rahmat dan
akhirnya kawin dengan cucu beliau. Dan akhirnya Raden Fatah
menetap di Demak (Bintoro). Pada kira-kira tahun 1475 M, Raden
Fatah mulai melaksanakan perintah gurunya dengan jalan
membuka madrasah atau pondok pesantren di daerah tersebut.
Rupanya tugas yang diberikan kepada Raden Fatah dijalankan
dengan sebaik-baiknya. Lama kelamaan Desa Glagahwangi ramai
dikunjungi orang-orang. Tidak hanya menjadi pusat ilmu
pengetahuan dan agama, tetapi kemudian menjadi pusat
peradagangan bahkan akhirnya menjadi pusat kerajaan Islam
pertama di Jawa.
Desa Glagahwangi, dalam perkemabangannya kemudian
karena ramainya akhirnya menjadi ibukota negara dengan nama
Bintoro Demak.

2.2 Letak Kerajaan Demak

Secara geografis Kerajaan Demak terletak di daerah Jawa Tengah, tetapi pada awal
kemunculannya kerajaan Demak mendapat bantuan dari para Bupati daerah pesisir Jawa
Tengah dan Jawa Timur yang telah menganut agama Islam.Pada sebelumnya, daerah Demak
bernama Bintoro yang merupakan daerah vasal atau bawahan Kerajaan Majapahit. Kekuasaan
pemerintahannya diberikan kepada Raden Fatah (dari kerajaan Majapahit) yang ibunya
menganut agama Islam dan berasal dari Jeumpa (Daerah Pasai). Letak Demak sangat
menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada zaman dahulu wilayah
Demak terletak di tepi selat di antara Pegunungan Muria dan Jawa. Sebelumnya selat itu
rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik sehingga kapal dagang dari Semarang dapat
mengambil jalan pintas untuyk berlayar ke Rembang. Tetapi sudah sejak abad XVII jalan
pintas itu tidak dapat dilayari setiap saat.Pada abad XVI agaknya Deamak telah menjadi gudang
padi dari daerah pertanian di tepian selat tersebut.
Konon, kota Juwana merupakan pusat seperti itu bagi daerah tersebut pada sekitar
1500. Tetapi pada sekitar 1513 Juwana dihancurkan dan dikosongkan oleh Gusti Patih,
panglima besar kerajaan Majapahit yang bukan Islam. Ini kiranya merupakan peralawanan
terakhir kerajaan yang sudah tua itu. Setelah jatuhnya Juwana, Demak menjadi penguasa
tunggal di sebelah selatan Pegunungan Muria.
Yang menjadi penghubung antara Demak dan Daerah pedalaman di Jawa Tengah
ialah Sungai Serang (dikenal juga dengan nama-nama lain), yang sekarang bermuara di Laut
Jawa antara Demak dan Jepara.Hasil panen sawah di daerah Demak rupanya pada zaman
dahulu pun sudah baik. Kesempatan untuk menyelenggarakan pengaliran cukup. Lagi pula,
persediaan padi untuk kebutuhan sendiri dan untuk pergadangan masih dapat ditambah oleh
para penguasa di Demak tanpa banyak susah, apabila mereka menguasai jalan penghubung di
pedalaman Pegging dan Pajang.

2.3 KEHIDUPAN POLITIK KERAJAAN DEMAK


Ketika kerajaan Majapahit mulai mundur, banyak bupati yang ada di daerah pantai
utara Pulau Jawa melepaskan diri. Bupati-bupati itu membentuk suatu persekutuan di bawah
pimpinan Demak. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, berdirilah kerajaan Demak sebagai
kerajaan Islam pertama dipulau Jawa. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak
adalah sebagai berikut :
A. Raden Patah (1500-1518)
Raden Patah adalah pendiri dan sultan pertama dari kerajaan Demak yang
memerintah tahun 1500-1518 (Muljana: 2005). Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah
adalah putra prabu Brawijaya raja terakhir. Di ceritakan prabu Brawijaya selain kawin dengan
Ni Endang Sasmitapura, juga kawin dengan putri cina dan putri campa. Karena Ratu Dwarawati
sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, prabu Brawijaya terpaksa
memberikan putri Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah
melahirkan Raden Patah, setelah itu putri Cina dinikahi Arya Damar, dan melahirkan seorang
anak laki-laki yang diberi nama Raden Kusen. Demikianlah Raden Patah dan Raden Kusen
adalah saudara sekandung berlainan bapak.
B. Adipati Unus (1518 - 1521)
Pada tahun 1518 Raden Patah wafat kemudian digantikan putranya yaitu Pati
Unus.Pati Unus terkenal sebagai panglima perang yang gagah berani dan pernah memimpin
perlawanan terhadap Portugis di Malaka. Karena keberaniannya itulah ia mendapatkan julukan
Pangeran Sabrang lor.
Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental menceritakan asal-usul dan pengalaman
Pate Unus. Dikatakan bahwa nenek Pate Unus berasal dari Kalimantan Barat Daya.Ia
merantau ke Malaka dan kawin dengan wanita Melayu.
Dari perkawinan itu lahir ayah Pate Unus, ayah Pate Unus kemudian kembali ke Jawa
dan menjadi penguasa di Jepara. Setelah dewasa beliau diambil mantu oleh Raden Patah yang
telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden Patah, Adipati Unus
resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahiran beliau sendiri). Karena
ayahanda beliau (Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih
lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari banyak
orang memanggil beliau dengan yang lebih mudah Pati Unus.
C. Sultan Trenggono (1521 - 1546)
Sultan Trenggono adalah Sultan Demak yang ketiga, beliau memerintah Demak dari
tahun 1521-1546 M. ( Badrika: 2006 ). Sultan Trenggono adalah putra Raden Patah pendiri
Demak yang lahir dari permaisuri Ratu Asyikah putri Sunan Ampel. Menurut Suma Oriental,
ia dilahirkan sekitar tahun 1483. Ia merupakan adik kandung Pangeran Sabrang Lor, raja
Demak sebelumnya (versi Serat Kanda). Sultan Trenggono memiliki beberapa orang putra dan
putri.
Diantaranya yang paling terkenal ialah Sunan Prawoto yang menjadi raja penggantinya,
Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara, Ratu Mas Cempaka yang menjadi istri Sultan
Hadiwijaya, dan Pangeran Timur yang berkuasa sebagai adipati di wilayah Madiun dengan gelar
Rangga Jumena.
Sultan Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di
bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut
Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana
(1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan
Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima
perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi
menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah
pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto

D. Sunan Prawata (1546 – 1549)


Sunan Prawata adalah nama lahirnya (Raden Mukmin) adalah raja keempat
Kesultanan Demak, yang memerintah tahun 1546-1549. Ia lebih cenderung sebagai seorang
ahli agama daripada ahli politik. Pada masa kekuasaannya, daerah bawahan Demak seperti
Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas tanpa mampu dihalanginya.
Menurut Babad Tanah Jawi, ia tewas dibunuh oleh orang suruhan bupati Jipang Arya
Penangsang, yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Setelah kematiannya, Hadiwijaya
memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan Kesultanan Demak pun berakhir.
Sepeninggal Sultan Trenggana yang memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546,
Raden Mukmin selaku putra tertua naik tahta.Ia berambisi untuk melanjutkan usaha ayahnya
menaklukkan Pulau Jawa. Namun, keterampilan berpolitiknya tidak begitu baik, dan ia lebih
suka hidup sebagai ulama daripada sebagai raja. Raden Mukmin memindahkan pusat
pemerintahan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Lokasinya saat ini kira-kira adalah desa
Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.Oleh karena itu, Raden Mukmin
pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat
dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel Pinto.
2.4 KEHIDUPAN EKONOMI KERAJAAN DEMAK
Seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya, bahwa letak Demak
sangat strategis di jalur perdagangan nusantara memungkinkan Demak berkembang sebagai
kerajaan maritim. Dalam kegiatan perdagangan, Demak berperan sebagai penghubung antara
daerah penghasil rempah di Indonesia bagian Timur dan penghasil rempah-rempah Indonesia
bagian barat.Dengan demikian perdagangan Demak semakin berkembang.Dan hal ini juga
didukung oleh penguasaan Demak terhadap pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir pantai
pulau Jawa.
Sebagai kerajaan Islam yang memiliki wilayah di pedalaman, maka Demak juga
memperhatikan masalah pertanian, sehingga beras merupakan salah satu hasil pertanian yang
menjadi komoditi dagang.Dengan demikian kegiatan perdagangannya ditunjang oleh hasil
pertanian, mengakibatkan Demak memperoleh keuntungan di bidang ekonomi. Letak
kerajaan Demak yang strategis , sangat membantu Demak sebagai kerajaan Maritim. Lagi pula
letaknya yang ada di muara sungai Demak mendorong aktivitas perdagangan cepat
berkembang.Di samping dari perdagangan, Demak juga hidup dari agraris.Pertanian di Demak
tumbuh dengan baik karena aliran sungai Demak lewat pelabuhan Bergota dan Jepara.Demak
bisa menjual produksi andalannya seperti beras, garam dan kayu jati.

2.5 KEHIDUPAN SOSIAL – BUDAYA KERAJAAN DEMAK


Berdirinya kerajaan Demak banyak didorong oleh latar belakang untuk
mengembangkan dakwah Islam.Oleh karena itu tidak heran jika Demak gigih melawan daerah-
daerah yang ada dibawah pengaruh asing. Berkat dukungan Wali Songo , Demak berhasil
menjadikan diri sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa yang memiliki pengaruh cukup luas.
Untuk mendukung dakwah pengembangan agama Islam, dibangun Masjid Agung Demak
sebagai pusatnya.Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Demak lebih berdasarkan pada
agama dan budaya Islam karena pada dasarnya Demak adalah pusat penyebaran Islam di pulau
Jawa.
Sebagai pusat penyebaran Islam Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali
seperti Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonar.Para wali tersebut
memiliki peranan yang penting pada masa perkembangan kerajaan Demak bahkan para wali
tersebut menjadi penasehat bagi raja Demak. Dengan demikian terjalin hubungan yang erat
antara raja/bangsawan, para wali/ulama dengan rakyat.
Hubungan yang erat tersebut, tercipta melalui pembinaan masyarakat yang
diselenggarakan di Masjid maupun Pondok Pesantren.Sehingga tercipta kebersamaan atau
Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan di antara orang-orang Islam).
Demikian pula dalam bidang budaya banyak hal yang menarik yang merupakan
peninggalan dari kerajaan Demak.Salah satunya adalah Masjid Demak, di mana salah satu tiang
utamanya terbuat dari pecahan-pecahan kayu yang disebut Soko Tatal.Masjid Demak dibangun
atas pimpinan Sunan Kalijaga. Di serambi depan Masjid (pendopo) itulah Sunan Kalijaga
menciptakan dasar-dasar perayaan Sekaten (Maulud Nabi Muhammad saw) yang sampai
sekarang masih berlangsung di Yogyakarta dan Cirebon.
Dilihat dari arsitekturnya, Masjid Agung Demak seperti yang tampak pada gambar 10
tersebut memperlihatkan adanya wujud akulturasi kebudayaan Indonesia Hindu dengan
kebudayaan Islam.Salah satu peninggalan berharga kerajaan Demak adalah bangunan Masjid
Demak yang terletak di sebelah barat alun-alun Demak. Masjid Agung Demak memiliki ciri
khas yakni salah satu tiang utamanya terbuat dari tatal ( potongan kayu), atap tumpang, dan di
belakngnya terdapat makam raja-raja Demak.
2.6 KERUNTUHAN KERAJAAN DEMAK
Setelah wafatnya Sultan Trenggana menimbulkan kekacauan politik yang hebat di
keraton Demak. Negeri-negeri bagian (kadipaten) berusaha melepaskan diri dan tidak
mengakui lagi kekuasaan Demak. Di Demak sendiri timbul pertentangan di antara para waris
yang saling berebut tahta. Orang yang seharusnya menggantikan kedudukan Sultan Trengggono
adalah pengeran Sekar Seda Ing Lepen. Namun, ia dibunuh oleh Sunan Prawoto yang
berharap dapat mewarisi tahta kerajaan. Adipati Jipang yang beranama Arya Penangsang, anak
laki-laki Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, tidak tinggal diam karena ia merasa lebih berhak
mewarisi tahta Demak. Sunan Prawoto dengan beberapa pendukungnya berhasil dibunuh dan
Arya Penangsang berhasil naik tahta.
Akan tetapi, Arya Penangsang tidak berkuasa lama karena ia kemudian di kalahkan
oleh Jaka Tingkir yang di bantu oleh Kiyai Gede Pamanahan dan putranya Sutawijaya, serta KI
Penjawi.
Jaka tingkir naik tahta dan penobatannya dilakukan oleh Sunan Giri. Setelah menjadi
raja, ia bergelar Sultan Handiwijaya serta memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke
Pajang pada tahun 1568.
Sultan Handiwijaya sangat menghormati orang-orang yang telah berjasa. Terutama
kepada orang-orang yang dahulu membantu pertempuran melawan Arya Penangsang. Kyai
Ageng Pemanahan mendapatkan tanah Mataram dan Kyai Panjawi diberi tanah di Pati.
Keduanya diangkat menjadibupati di daerah-daerah tersebut.Sutawijaya, putra Kyai Ageng
Pemanahan diangkat menjadi putra angkat karena jasanya dalam menaklukan Arya
Penangsang. Ia pandai dalam bidang keprajuritan. Setelah Kyai Ageng Pemanahan wafat pada
tahun 1575, Sutawijaya diangkat menjadi penggatinya.
Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya wafat. Putranya yang bernama Pangeran Benawa
diangkat menjadi penggantinya. Timbul pemberontakan yang dilakukan oleh Arya Panggiri,
putra Sunan Prawoto, ia merasa mempunyai hak atasa tahta Pajang. Pemberontakan itu dapat
digagalkan oleh Pangeran Benawan dengan bantuan Sutawijaya.Pengeran Benawan menyadari
bahwa dirinya lemah, tidak mamapu mengendalikan pemerintahan, apalagi menghadapi
musuh-musuh dan bupati-bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Pajang kepada
saudara angkatnya, Sutawijaya pada tahun 1586. Pada waktu itu Sutawijaya telah menjabat
bupati Mataram, sehingga pusat kerajaan Pajang dipindahkan ke Mataram.

2.7 DEMAK DIBAWAH KEKUASAAN RAJA – RAJA MATARAM


Setelah sekitar 1588 Panembahan Senapati berkuasa di Jawa Tengah sebelah selatan,
raja-raja Pati, Demak, dan Grobongan dianggapnya sebagai sampun kareh (sudah dikuasai).
Sekitar 1589 mereka diperintah ikut dia bersama prajurit Mataram ke Jawa Timur,
manaklukan raja-raja Jawa Timur. Maksud raja Mataram ini gagal, tampaknya terutama karena
campur tangan Sunan Giri. Panembahan Senapati terpaksa kembali ke Mataram dengan
tangan hampa.

Mungkin sekali penguasa Demak, Pati dan Grobongan yang pada 1589 telah bersikap
sebagai taklukan yang patuh itu, sama dengan mereka yang telah mengakui Sultan Pajang, yang
sudah tua dan meninggal pada 1587, sebagai penguasa tertinggi. Jadi, agaknya Pangeran Kediri
di Demak, setelah mengalami penghinaan di Pajang sebelumnya ternyata masih berhasil
memerintah tanah asalnya beberapa waktu.
Pada 1595 orang Demak memihak raja-raja Jawa Timur, yang mulai melancarkan
serangan terhadap kerajaan Mataram yang belum sempat berkonsolidasi. Serangan tersebut
dapat dipatahkan, tetapi panglima perang Mataram, Senapati Kediri yang sudah membelot ke
Mataram gugur dalam pertempuran dekat Uter. Sehabis perang, Panembahan mengangkat Ki
Mas Sari sebagai adipati di Demak. Rupanya karena pemimpin pemerintahan yang sebelumnya
tidak memuaskan atau ternyata tidak dapat dipercaya.Tumenggung Endranata I di Demak ini
pada tahun-tahun kemudian agaknya juga tidak bebas dari pengaruh plitik pesisir yang
berlawanan dengan kepantingan Mataram di Pedalaman. Pada tahun 1627 ia terlibat dalam
pertempuran antara penguasa di Pati, Pragola II dan Sultan Agung. Ia di bunuh dengan keris
sebagai pengkhianat atas perintah Sultan Agung.
Sesudah dia masih ada lagi seorang tumenggung Endranata II yang menjadi bupati di
Demak. Tumenggung ini seorang pengikut setia Susuhunan Mangkurat II di Kartasura yang
memerintah Jawa Tengah pada perempat terakhir abad XVII. Pada tahun 1678 disebutkan
adanya Tumenggung Suranata di Demak.
Sebagai pelabuhan laut agaknya kota Demak sudah tidak berarti pada akhir abad XVI.
Sebagai produsen beras dan hasil pertanian lain, daerah Demak masih lama mempunyai
kedudukan penting dalam ekonomi kerajaan raja-raja Mataram. Sampai abad XIX di banyak
daerah tanah Jawa rasa hormat pada masjid Demak dan makam-makam Kadilangu masih
bertahan di antara kaum beriman, kota Demak dipandang sebagai tanah suci. Hal itulah yang
terutama menyebabkan nama Demak dalam sejarah Jawa tetap tidak terlupakan di samping
nama Majapahit.

3.1 KESIMPULAN
Kerajaan ini hanya berumur pendek. Namun, para rajanya merupakan pahlawan-
pahlawan mujahid terbaik. Raja pertama mereka adalah Raden Fatah, yang berhasil
menjadikan negerinya sebagai sebuah negara independen pada masanya. Setelah itu anaknya,
Patih Yunus (Adipati Unus) berkuasa. Dia berhasil mengadakan perluasan wilayah kerajaan.
Dia menghilangkan kerajaan Majapahit yang beragama Hindhu, yang pada saat itu sebagian
wilayahnya menjalin kerja sama dengan orang-orang Portugis.
Setelah wafatnya Patih Yunus pada tahun 938 H/1531 M, memerintahlah raja paling
terkenal dari kerajaan ini yaitu Raden Trenggono (Sultan Trenggana). Dia adalah seorang
mujahid besar yang di antara hasil usahanya yang terkenal adalah masuknya Islam ke daerah
Jawa Barat. Dia wafat pada tahun 953 H/1546 M.
Kebudayaan yang berkembang di kerajaan Demak bercorak Islam. Hal tersebut
tampak dari peninggalan-peninggalan sejarahnya berupa masjid, makam, batu nisan, kitab suci
Al-Quran, kaligrafi dan karya sastra. Sampai sekarang pun Demak di kenal sebagai pusat
pendidikan agama Islam.
BAB II KERAJAAN MATARAM
A. KERAJAAN MATARAM ISLAM

Kerajaan Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati Ing Alag(Sutawijaya)


(1584-1601), pada sekitar abad ke-16. Pusat kerajaan terletakdi Yogyakarta. Ia mempunyai cita-
cita untuk mempersatukan Jawa ke dalam pengaruh kekuasaannya. Untuk itu, ia melakukan
perluasan kekuasaan kedaerah Demak, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruan.
Tetapi cita-citanya itu mendapat rintangan dari daerah lainnya dan Surabaya tidak dapat
ditaklukkan. Para pelaut Belanda melaporkan tentang ekspedisi Mataram melawan Banten
sekitar tahun 1597 yang mengalami kegagalan. Senopati meninggal tahun 1601, dan
dimakamkan di Kota Gede. Ia digantikan oleh putranya bernama Mas Jolang terkenal dengan
nama Panembahan Seda Ing Krapyak (1601-1613).
Pada tahun 1602, Pangeran Puger, saudara sepupu raja yang telah diangkat
sebagai penguasa Demak melakukan pemberontakan. Pada tahun 1602, Krapyak dipaksa
mundur, namun sekitar 1605 Pangeran Puger berhasil dikalahkannya.
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan dalam
berbagai bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram adalah sebuah negara
agraris yang mengutamakan mata pencahariannya dalam bidang pertanian. Kehidupan
masyarakatnya berkembang dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang berupa beras
(padi). Di bidang kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan
perpaduan tahun Saka dengan tahun Hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung
mengarang kitab sastra gending yang berupa kitab filsafat. Sultan Agung juga menciptakan
tradisi Syahadatain (dua kalimah syahadat) atau Sekaten, yang sampai sekarang tetap diadakan
di Yogyakarta dan Cirebon setiap tahun.
Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan
tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram dibedakan antara
penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan
Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap
dipertahankan. Puncak hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan
status kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun
Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan
1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar,
dan kolam.
Sementara itu, VOC berhasil menduduki Batavia. Sultan Agung berusaha
melakukan serangan ke Batavia (markas VOC) pada tahun 1628 dan 1629 dengan tujuan
untuk mengusir Belanda dari Batavia, tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Serangannya
yang pertama pada tahun 1628, membuat beberapa kali benteng VOC terancam jatuh, namun
upaya ini belum berhasil, pihak Jawa menderita kerugian besar.

Pada tahun 1629, Sultan Agung mencoba lagi melakukan serangan kedua. Serangan
ini pun ternyata mengalami kegagalan
pasukan-pasukan Mataram mulai bergerak pada akhir Mei, tetapi pada bulan Juli
kapal-kapal VOC berhasil menemukan dan menghancurkan gudang-gudang beras dan perahu-
perahu di Tegal dan Cirebon yang disiapkan untuk tentara Sultan Agung.
Penyerangan terhadap Batavia hanya bertahan selama beberapa minggu, pihak Sultan
Agung banyak mengalami penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kelaparan. Pada
tahun 1645, Sultan Agung wafat dan dimakamkan di situs pemakaman di puncak bukit tertinggi
di Imogiri, yang ia buat sebelumnya.
Kerajaan Mataram kemudian dipimpin oleh putranya, Amangkurat I (1647-1677).
Pada masa pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena masuknya pengaruh
Belanda. Amangkurat I dan pengganti-pengganti selanjutnya bekerja samadengan VOC dan
penguasa Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai tanah Jawa
yang subur. Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755 dilakukanPerjanjian
Giyanti, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua wilayah kerajaan, yaitu:
1. Daerah kesultanan Yogyakarta yang dikenal dengan nama Ngayogyakarta
Hadiningrat dipimpin oleh Mangkubumi sebagai rajanya dengan gelar Sultan
Hamengkubuwono I.
2. Daerah Kasunanan Surakarta, dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono. Campur
tangan Belanda mengakibatkan kerajaan Mataram terbagi menjadi beberapa bagian, sehingga
pada tahun 1813 terdapat empat keluarga raja yang masing-masing memiliki wilayah kekuasaan,
yaitu: Kerajaan Yogyakarta,Kasunanan Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.

BAB III
KESULTAN CIREBON

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan
Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh
kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah
desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana
bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan
mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai
nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di
sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan
terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:,
air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman,
Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di
pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara
maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat
penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
1. Perkembangan awal

A. Ki Gedeng Tapa

Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah
seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan
membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun
Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai
menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

B. Ki Gedeng Alang-Alang

Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu
adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden
Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang,
yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat,
Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu
yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

C. Pangeran Cakrabuana

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga


Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki
Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai
Rara Santang dan Raden Kian Santang. Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan
haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk
agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran
agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan
Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari
istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana
Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap
sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji
Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton
Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
2. Pendirian
Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon didirikan pada tahun 1552 oleh panglima kesultanan Demak, kemudian
yang menjadi Sultan Cirebon ini wafat pada tahun 1570 dan digantikan oleh putranya yang
masih sangat muda waktu itu.[2] Berdasarkan berita dari klenteng Talang dan Semarang, tokoh
utama pendiri Kesultanan Cirebon ini dianggap identik dengan tokoh pendiri Kesultanan
Banten yaitu Sunan Gunung Jati.[2]

* Sunan Gunung Jati (1479-1568)


* Fatahillah (1568-1570)
* Panembahan Ratu I (1570-1649)
* Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan
Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran
Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan
Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama
gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula
dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

3. Terpecahnya Kesultanan Cirebon


Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran
Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak
berada di tempat, khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk
meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam
Perang Pagarage), dia mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk
memperbaiki hubungan diplomatik Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak
Trunojoyo yang disokong oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil
diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya
pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan
sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya
sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10
tahun lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar
Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.
ü Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa
penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan
Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon,
dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para
sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil
Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
Muhammad Badrudin (1677-1723)
Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul
Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran
Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan
Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan
melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan
tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton.
Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai
dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-
laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka
orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
ü Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa
pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang
putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan
sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda
dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda
yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807
dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup
dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu
Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara takhta Sultan
Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh
Imamuddin (1803-1811).
4. Puncak kejayaan

Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan


dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung,
menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten
berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[9] Perdagangan
laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang
Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam,
Filipina, Cina dan Jepang.
Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan
Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh
Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau
Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada
masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya
telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
BAB IV
KESULTANAN BANTEN

Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di


Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas
pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan
pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan
bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan
Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus
penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam
bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan
Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah
Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan
Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan
Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana
Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia
berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan
kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar
Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya
Trenggono, Banten yang sebelumnya bagian dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan
menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta
pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan
menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana
Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha
Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal
dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa bertahta pada tahun 1651-1682 dipandang
sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan,
dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan
Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke
Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun
1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang
sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat
perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji.
Perpecahan ini dimanfaatkan oleh VOC yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji,
sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya,
Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang
utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta
bantuan persenjataan.
Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke
kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga
dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran
Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun
pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan
Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei
1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya,
bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan
kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil
menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan
menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk
menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia,
mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi
pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler
dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC.
Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan
pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti
mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl
Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga
tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul
Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun
ing Nagari Banten.
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda
1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa
dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu
kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang
direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon.
Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan
penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya
disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk.

Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan


dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di
Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun
itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun
tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang
mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Seiring perkembangan zaman yang begitu cepat, kerajaan kerajaan di Indonesia mulai
di lupakan oleh masyarakat. Oleh karena itu kita sebagai pelajar dan generasi muda di
Indonesia wajib tetap mengenang dan melestarikan peninggalan peninggalan kerajaan di
Indonesia yang begitu melimpah. Setidaknya kita mengetahui akan peninggalan di pulau
tempat tinggal kita ini yaitu Pulau Jawa yang menyimpan banyak sekali sejarah sejarah yang
dapat kita ambil khikmahnya.
Di kerajaan islam di Jawa banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil khikmahnya
antara lain yaitu tidak mudah putus asa dalam meraih tujuan yang kita telah rencanakan dan
kita telah impikan. Penyebaran agama islam juga sangat berpengaruh sampai sekarang ini
sehingga agama islam tetap dapat lestari.

2. Saran
Makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan maupun referensi pengetahuan
mengenai Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Namun, kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan, karena melihat masih banyak hal-hal yang belum bisa dikaji lebih
mendalam dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan Sekecake, Peta dan Kerajaan Demak, http:// warungbaca9.blogspot.com,


Senin 09 January 2012, Jam 20:00
Ahmad al-Usairy, 2003,Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,
Jakarta: Akbar Media Eka Sarana
H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, 2003, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti
I Wayan Badrika, 2006, Sejarah untuk SMA kelas XI, Jakarta:Erlangga
Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara
Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS. 2005
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid II. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Pustaka . 1993.
Ridwanaz, Sejarah Agama Islam Di Indonesia (Kerajaan Demak), http//ridwanaz.com,
Minggu 08 January 2012, jam 14:00
http://ms.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Mataram_Kuno
http://haristepanus.wordpress.com/kerajaan-mataram-/
http://enzoblogy.blogspot.com/2009/09/-kerajaan-mataram.html
https://www.google.com/search?q=candi+sari&ie=utf-8&oe=utf-
8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&channel=fflb
https://www.google.com/search?q=candi+srikandi&ie=utf-8&oe=utf-
8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&channel=fflb
https://www.google.com/search?q=candi+sembrada&ie=utf-8&oe=utf-
8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&channel=fflb

Anda mungkin juga menyukai