Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN I:

PENGANTAR UMUM SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM : THE GREAT GAP

Pertumbuhan lembaga keuangan syariah yang diawali perkembangan bank syariah dan
diikuti keuangan syariah lainnya memnuculkan semangt baru di kalangan pemikir muslim untuk
menggali khasanah ilmu pengetahuan Islam dan menemukan pemikiran ekonomi Islam dari
masa paling awal Islam hingga kontemporer untuk dapat merumuskan suatu bangunan yang
belakangan disebut sebagai ilmu dan system ekonomi Islam.
Sementara itu, dalam setiap pembahasan ilmu ekonomi, perkembangan ilmu ekonomi
sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, diyakini dimulai sejak tahun 1776. Waktu itu dimotori
oleh Adam Smith, pemikir dari Inggris dengan karya monumentalnya, An Inquiry into The
Nature an Causes of The Wealth of Nations. Sebelumnya sudah banyak pemikiran-pemikiran
yang dikemukakan mengenai persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi oleh suatu masyarakat,
maupun suatu negara, namun dikemas secara sistematis. Topik-topik yang dibahas masih
terbatas dan belum ada analisis yang menyeluruh mengenai berbagai aspek dari kegiatan
perekonomian dalam suatu masyarakat. Analisis yang masih terbatas tersebut menyebabkan
pemikiran-pemikiran ekonomi masih belum dipandang sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Adam Smith memperkenalkan apa yang kini dikenal dengan sistem ekonomi liberalis
kapitalis. Sistem ini digagas oleh Adam Smith untuk menentang sistem ekonomi merkantilisme,
yang sangat menekankan campur tangan pemerintah dalam memajukan perekonomian. Adam
Smith agaknya lebih menghendaki kegiatan ekonomi itu dibiarkan bergerak sendiri, dengan
hukum dan logikanya sendiri. Pasarlah yang akan mengatur aktivitas ekonomi, menggerakkan
dan memekarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan mendatangkan
kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih luas.
Akan tetapi, sistem ekonomi liberalis-kapitalis itu ternyata berdampak negatif, yaitu
pendapatan yang tidak merata, peningkatan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang makin
melebar. Ekses itu timbul karena pasar yang bekerja maksimal membuat persaingan menjadi
tidak terhindarkan. Akibatnya menyisakan ruang lapang bagi pengusaha kuat dan tentu saja,
pengusaha kecil tergilas turbin produktfitas dalam sistem ekonomi.
Kondisi ini menimbulkan kritik di kalangan ilmuwan lainnya, misalnya Karl Marx,
menurutnya, sekalipun sistem liberal-kapitalis secara relatif berhasil memajukan tingkat
pertumbuhan ekonomi, tetapi sistem itu telah mengorbankan manusia: menggiringnya ke dalam
rantai ketergantungan, perbudakan ekonomi, dan keterasingan bukan hanya dari produk dan
kerja, melainkan dari kehidupan itu sendiri. Kritik Marx terhadap kapitalisme agaknya lebih
karena kecenderungan sistem kapitalis yang mengabaikan nilai-nilai moral kemanusiaan.
Dengan mengadopsi sekaligus merevisi ide Marx, Stalin, pemimpin revolusi Rusia di
permulaan abad dua puluh, membangun suatu monopoli industrial yang dipimpin oleh suatu
organisasi birokrasi yang mempergunakan sentralisasi dan industrialisasi birokratis. Dalam
sistem sosialis negara mempunyai peran yang besar dalam melakukan aktivitas ekonomi. Melalui
sistem ini pula, masalah-masalah seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, dan distribusi
pendapatan yang tidak merata diharapkan dapat diatasi.
Hanya saja, karena kompetisi di dalam sistem sosialis adalah hal yang terlarang, tentu saja
dorongan untuk berprestasi dan meningkatkan produktivitas kerja menjadi menurun. Akibatnya
sistem sosialis tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan baik. Fenomena satu
dasawarsa terakhir ini, neraga-negara Eropa Timur yang menerapkan sistem sosialis ternyata
mengalami kebangkrutan ekonomi dan mulai melirik sistem pasar bebas sebagai landasan
pembangunan ekonomi.
Kerapuhan sistem sosialis, terasa getarannya dalam sistem liberal-kapitalis, yang dibuktikan
dengan adanya krisis. Pada dekade 30-an abad duapuluh, terjadi depresi ekonomi besar-besaran.
Perekonomian menjadi lesu dan pengangguran merajalela. Orang banyak beranggapan bahwa
apa yang diramalkan oleh Marx tentang pembusukan di dalam sistem liberal-kapitalis akan
segera menjadi kenyataan. Kedua aliran pemikiran tersebut ternyata menggiring pada suatu
kutub extrimitas. Yang satu aktivitas ekonomi benar-benar diserahkan pada tindakan individu
dan yang lain amat ditentukan oleh kekuasaan pemerintah. Sampai di sini tampak ditemui jalan
buntu.
Keadaan tersebut segera dapat diselamatkan oleh John Maynard Keynes. Menurutnya,
perekonomian sepenuhnya tidak harus diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi dalam batas-
batas tertentu, campur tangan negara justru amat diperlukan. Intervensi negara menjadi suatu
keniscayaan terutama mendorong perekonomian kembali pada posisi keseimbangan. Keynes
sangat berbeda dengan Smith. Pandangan Keynes di atas merupakan sebuah revolusi dalam
pemikiran ekonomi liberal-kapitalis yang berkembang sejak adam Smith.
Dalam perkembangan selanjutnya, teori ekonomi modern menyerap teori-teori yang ditulis
oleh para pemikir Muslim. Keadaan ini, agak sulit ditemukan buktinya, karena teori-teori
ekonomi modern yang dikembangkan oleh para pemikir Barat, tidak menyebutkan secara tegas,
rujukan-rujukannya yang berasal dari kitab-kitab klasik keilmuan Islam.
Josep Schumpeter misalnya mengatakan, adanya “Great Gap” dalam sejarah pemikir
ekonomi selama 500 tahun yaitu masa yang dikenal sebagai the dark ages. Dalam karyanya,
“History of Economis Analysis”, ia menegaskan bahwa pemikir ekonomi timbul pertama kali di
zaman Yunani Kuno pada abad 4 SM dan bangkit kembali pada abad ke 13 M di tangan pemikir
skolastik Thomas Aquinas. Dalam periodisasi sejarah Islam, masa kegelapan Barat tersebut
adalah masa kegemilangan Islam. Suatu hal yang berusaha ditutupi oleh Barat karena pemikiran-
pemikiran ekonomi Islam pada masa ini yang kemudian banyak dijadikan rujukan oleh para
ekonom Barat.
Perdebatan di seputar masalah ekonomi tersebut, mendorong kita untuk menelaah kembali
kesejarahan Islam Klasik. Saat itu tradisi dan praktek ekonomi maupun perdagangan dengan
landasan syari’ah telah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw, bahkan lebih luas dari itu. Beliau
yang hidup di tengah masyarakat Arab kuno telah menanamkan prinsip-prinsip etika ekonomi
dan perdagangan yang bertumpu pada syari’ah. Praktek ekonomi maupun perdagangan
masyarakat Arab saat itu tidak hanya mengenal barter, tetapi sistem jual beli telah berlaku, mata
uang Persia dan Romawi juga telah dikebal luas oleh masyarakat dan telah menjadi sarana
pertukaran yang efektif. Bahkan tukar menukar valuta asing atau “Sharf”, demikian pula anjak
piutang dan pembayaran tidak tunai telah dikenal untuk perdagangan antar nagara. Sebuah
lembaga pengumpul dan pendistribusi dana masyarakat teah dilakukan oleh “Bait al-Mâl” yakni
sebuah lembaga yang menggantikan lembaga peninggalan raja-raja kuno yang dipergunakan
untuk menarik upeti dari rakyat.
Praktik riba dan bunga serta perdagangan ilegal seperti monopoli dan penimbunan telah
mendapat perhatian Rasulullah Saw dan digantinya dengan sistem perdagangan yang
menjunjung keadilan, kejujuran, dan pertanggungjawaban sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Ini
adalah sebuah revolusi besar terhadap sistem ekonomi yang dilakukan beliau.
Satu hal yang berkaitan dengan masalah yang diperdebatkan di atas, penentuan harga
diserahkan pada mekanisme pasar yaitu diletakkan pada kekuatan penawaran dan permintaan itu
sendiri, seperti terungkap dari sebuah hadist Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh ‘Anas bin
Mâlik, bahwa suatu ketika terjadi kenaikan harga-harga barang di kota Madinah, beberapa
sahabat menghadap Nabi Saw mengadukan masalah itu dan meminta beliau agar mematok
harga-harga barang di pasaran. Rasulullah menjawab “sesungguhnya Allah yang menetapkan
harga, yang menahan, dan melepaskan, dan yang mengatur rezeki. Dan aku mengharapkan agar
saat berjumpa Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun diantara kalian yang menggugatku
karena kezaliman dalam soal jiwa dan harta”.
Meski demikian pada kasus lain dimana ada ketidakadilan dan unsur penipuan terjadi dalam
aktivitas bisnis masyarakat, Rasulullah Saw tetap melakukan campur tangan, dalam hal ini turut
mengendalikan dan mengontrol harga, menyeimbangkan permintaan dan penawaran.
Pada masa selanjutnya, tradisi dan praktek ekonomi Islam terus dikembangkan. Misalnya
Abu Bakar telah menggunakan asas pemerataan dalam distribusi harta negara, kebijakan ini
berbeda dengan Umar bin Khatab yang menggunakan sistem distribusi dengan asas
pengistimewaan pada orang-orang tertentu seperti assâbilqunal awwalûn, keluarga Nabi, dan
para pejuang perang, mereka mendapat prioritas pertama. Sumber penerimaan negara berasal
dari zakat, jizyah, kharaj, ghanimah dan fai, dan masa Umar telah dikembangkan lebuh luas
seperti adanya ‘Ushr’ dari pajak perdagangan antara negara muslim dengan negara asing lainnya.
Diversifikasi dalam berbagai sumber pemasukan negara saat itu membuat kas negara menempati
posisi surplus.
Pasca Khulafa Rasyidin dan seiring dengan pergantian sistem pemerintahan Islam yang
berkembang ke arah dinasti-dinasti Islam dalam suatu organisasi pemerintahan yang kuat, telah
muncul tokoh-tokoh pemikir muslim, yang dapat dikategorikan sebagai fuqaha, para filosof dan
sufi dengan berbagai karya ilmiahnya termasuk pemikiran tentang ekonomi.
Mengikuti kronologi sejarah pemikiran ekonomi Islam yang dikemukakan Nejatullah
Siddiqi, didapati bahwa sejarah pemikiran ekonomi muslim dikelompokan dalam tiga periode,
dan tefokus pada tokoh-tokoh utama saja. Pertama, sampai 450 Hijrah, meliputi para penemu
dan pendiri dalam bidang hukum [fuqaha], diantara mereka yang menuliskan karyanya dalam
bidang ekonomi adalah ‘Abû Yûsuf (182/798); Muhammad bin Hasan Asy-Syaibâni (189/804);
‘Abû Ubaid (224/838); Yahya bin ‘Umar (289/902); Mawardi (450/1058); Ibnu Hazm
(456/1064). Kedua, 400 tahun berikutnya, meliputi tokoh intelektual terkenal seperti al-Ghazâli
(451-505/1055-1111); Ibnu Taimiyyah (661-728/1263-1328); Ibnu Khaldun (732-808/1332-
1404). Ketiga, 500 tahun terakhir antara lain Shah Waliullah (1114-1176/1703-1762),
Muhammad bin Abdul Wahhâb (1206/1787); Muhammad ‘Abduh (1230/1905); Muhammad
Iqbal (1356/1932) dan beberapa pemikir lain.
Masa berikutnya adalah masa dimana lahir banyak tokoh pemikir kontemporer yang
mengkhususkan diri dalam menekuni bidang ekonomi Islam yang lebih sistematis dan dengan
mengikuti perkembangan ilmu ekonomi modern, diantaranya adalah Khursyid Ahmad,
Nejatullah Siddiqi, Umar Chapra, afzalurrahman, Muhammad Abdul Mannan, dan lain-lain.
Rekam-jejak para peletak pondasi ekonomi Islam di atas Berikut ini akan sedikit dipaparkan
wacana pemikiran ekonomi muslim yang cukup menonjol karyanya dalam bidang ekonomi pada
fase pertama dan kedua dan memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada perkembangan
selanjutnya.

BAGIAN II:
KEBIJAKAN EKONOMI PADA PERIODE AWAL ISLAM
A. Tradisi Dan Praktek Ekonomi Pada Masa Rasulullah Saw
1. Kegiatan Ekonomi Bangsa Arab Sebelum Islam
Jauh sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab telah terkenal dengan kehidupan
perniagaannya. Kondisi wilayah Jazirah Arab dan sekitarnya yang didominasi oleh padang pasir,
pegunungan yang tandus dan penuh dengan bebatuan, tampaknya menjadi alasan utama
mayoritas penduduk Arab untuk memilih perniagaan sebagai sumber mata pencaharian mereka.
Di antara kota-kota di negeri Arab, Mekah merupakan kota yang sangat penting dan terkenal
karena letaknya sebagai jalur perdagangan ramai yang menghubungkan Yaman di selatan dengan
Syiria di utara.
Suku Quraisy yang merupakan suku asal Nabi Muhammad Saw dan pemegang otoritas
sebagai penjaga Ka’bah adalah suku bangsa Arab yang paling dominan dan berpengaruh,
termasuk dalam kegiatan perniagaan. Dengan statusnya sebagai penjaga Ka’bah tersebut, suku
Quraisy memiliki peluang dan kemudahan dalam berniaga. Mereka sangat leluasa dan aman
untuk melakukan perjalanan dagang di seluruh kawasan Arab, meskipun di wilayah yang sedang
berkecamuk perang. Hampir seluruh suku bangsa Arab menghormati kafilah-kafilah suku
Quraisy, baik dalam bentuk penyediaan izin singgah setiap saat, fasilitas dagang, maupun
jaminan keamanan.
Seperti halnya ke utara dan selatan, suku Quraisy juga mengadakan perjalanan niaga ke
timur dan barat untuk menghubungkan antara Bahrain dan Selat Persia (Teluk Arab) di satu
pihak dengan Sudan dan Habsy melalui Laut Merah di pihak lain. Keleluasaan dalam perniagaan
tersebut serta interaksinya yang luas dengan dunia luar, terutama penduduk Syiria, Mesir, Irak,
Iran, Yaman, dan Ethiopia, tidak saja mendatangkan keuntungan materi yang besar, tetapi juga
meningkatkan kadar pengetahuan, kecerdasan, dan kearifan suku Quraisy, sehingga
menempatkan suku ini sebagai suku yang paling piawai dalam berniaga, baik dalam bentuk
syirkah maupun mudhârabah, yang membawa mereka kepada kemakmuran dan kekuasaan.
Sementara itu, mayoritas penduduk kota Yatsrib (Madinah) memilih bercocok tanam, di
samping pengrajin besi dan berniaga, sebagai sumber utama mata pencaharian mereka. Hal ini
ditunjang oleh kondisi daerah tersebut yang memiliki tingkat kelembaban dan curah hujan yang
cukup, sehingga menjadikannya sebagai daerah yang subur.
Dalam melakukan transaksi perniagaannya, suku bangsa Arab mempunyai kebiasaan
menerapkan sistem ribawi, sebagai berikut:
(a) Seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan perjanjian bahwa pembayarannya
akan dilakukan pada suatu tanggal yang telah disetujuai bersama. Apabila pembeli tidak
dapat membayar tepat pada waktunya, suatu tenggang waktu akan diberikan dengan syarat
membayar dengan jumlah yang lebih besar daripada harga awal.
(b) Seseorang meminjamkan sejumlah uang selama jangka waktu tertentu dengan syarat, pada
saat jatuh tempo, peminjam membayar pokok modal bersama dengan suatu jumlah tetap
riba atau tambahan.
(c) Antara peminjam dengan pemberi pinjaman melakukan kesepakatan terhadap suatu tingkat
riba selama jangka waktu tertentu. Apabila telah jatuh tempo dan belum bisa
membayarnya, peminjam diharuskan membayar suatu tingkat kenaikan riba tertentu
sebagai kompensasi tambahan tenggang waktu pembayaran.
Dengan demikian, perdagangan merupakan dasar perekonomian bangsa Arab sebelum Islam
datang. Berkenaan dengan hal tersebut, prasyarat untuk melakukan suatu transaksi adalah adanya
alat pembayaran yang dapat dipercaya. Pada saat itu, jazirah Arab dan sekitarnya
mempergunakan mata uang dinar dan dirham yang merupakan satuan mata uang Romawi dan
Persia, dua kerajaan besar yang sangat berpengaruh di wilayah tersebut. Di samping itu, karena
ekspansi perdagangan yang dilakukannya sangat luas, bangsa Arab juga mempergunakan alat
pembayaran kredit. Akan tetapi, volume sirkulasi alat pembayaran ini masih sangat sedikit jika
dibandingkan dengan uang, karena jazirah Arab dan sekitarnya ketika itu berada dalam suasana
ketidakpastian.
2. Praktek dan Kebijakan Ekonomi Rasulullah saw
Muhammad Saw lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun Gajah di tengah-tengah
keluarga terhormat yang miskin yang berasal dari kabilah Bani Hasyim, sebuah kabilah yang
kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Ia lahir dalam keadaan yatim, karena ayahnya, Abdullah
bin Abdul Muthalib, wafat ketika ia masih berada dalam kandungan. Sejak kecil, Muhammad
Saw. diasuh oleh Halimah Sa’diyah hingga berusia 4 tahun. Setelah itu, selama 2 tahun,
Muhammad Saw. berada dalam asuhan ibu kandungnya, Aminah binti Wahab. Ketika usianya
menginjak 6 tahun, ia menjadi yatim piatu. Abdul Muthalib, selanjutnya, mengambil alih
tanggung jawab merawat Muhammad Saw.
Namun, selang dua tahun kemudian, kakeknya tersebut meninggal dunia. Tanggung jawab
berikutnya beralih kepada Abu Thalib. Dalam asuhan dan didikan pamannya tersebut,
Muhammad Saw. tumbuh dewasa dan banyak belajar mengenai bisnis perdagangan hingga
diangkat Allah Swt. sebagai Nabi dan Rasul-Nya.
a. Periode Mekah: Muhammad Saw. Sebagai Seorang Pedagang
Seperti anggota suku Quraisy lainnya, Muhammad Saw. menekuni dunia perdagangan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada usia 12 tahun, ia ikut serta dalam perjalanan dagang ke
Syiria bersama pamannya, Abu Thalib. Setelah menginjak dewasa dan menyadari bahwa
pamannya berasal dari keluarga besar namun berekonomi lemah, Muhammad saw mulai
berdagang sendiri pada taraf kecil dan pribadi di kota Mekah.
Dalam melakukan usaha dagangnya, Muhammad Saw. menggunakan modal orang lain yang
berasal dari para janda kaya dan anak yatim yang tidak mampu menjalankan modalnya sendiri.
Dari hasil mengelola modal tersebut, ia mendapatkan upah atau bagi hasil sebagai mitra.
Muhammad Saw. sering melakukan perjalanan bisnis ke berbagai negeri, seperti Syiria, Yaman,
dan Bahrain untuk mempertahankan usahanya
Kepiawaiannya dalam berdagang yang disertai dengan reputasi dan integritas yang baik
membuat Muhammad Saw. dijuluki al-amîn (terpercaya) dan ash-shiddîq (jujur) oleh penduduk
Mekah yang berimplikasi pada semakin banyaknya kesempatan berdagang dengan modal orang
lain. Sejarah mencatat bahwa Muhammad Saw. banyak melakukan perdagangan dengan modal
dari Khadijah binti Khuwailid, seorang janda kaya yang kelak menjadi pendamping hidupnya.
Setelah menikah dengan Khadijah, Muhammad Saw. tetap menjalankan usaha
perdagangannya. Ia menjadi manajer sekaligus mitra dalam usaha isterinya. Perjalanan dagang
beberapa kali diadakan ke berbagai pusat perdagangan dan pekan dagang di semenanjung Arab
dan negeri-negeri perbatasan Yaman, Bahrain, Irak, dan Syiria. Muhammad saw juga terlibat
dalam urusan dagang yang besar di festival dagang Ukaz dan Dzul Majaz selama musim haji.
Pada musim yang lain, ia sibuk mengurus perdagangan grosir di pasar-pasar kota Mekah.
Muhammad saw melakukan hampir semua urusan dagang melalui agen-agennya dan hanya
sedikit sekali bertindak sebagai agen untuk para pedagang lain. Kadang-kadang ia mengambil
pinjaman berdasarkan gadai, membeli barang dengan tunai, dan dengan pinjaman.
Muhammad saw melakukan banyak transaksi jual-beli sebelum kenabiannya. Setelah
diangkat sebagai Nabi, keterlibatannya dalam urusan perdagangan agak menurun. Bahkan,
sesudah hijrah ke Madinah, aktivitas penjualannya semakin sedikit jika dibandingkan dengan
aktivitas pembelian.
b. Periode Madinah: Muhammad saw Sebagai Seorang Kepala Negara
Setelah mendapat perintah dari Allah swt, Nabi Muhammad saw berhijrah ke Yatsrib
(Madinah). Ia disambut dengan hangat oleh penduduk kota tersebut dan diangkat sebagai
pemimpin mereka. Berbeda dengan periode Mekah, Islam menjadi kekuatan politik pada periode
Madinah. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat (mu’âmalah) banyak
turun di kota ini. Nabi Muhammad saw mempunyai kedudukan sebagai kepala negara, di
samping pemimpin agama. Dengan kata lain, dalam diri Nabi Muhammad saw terkumpul dua
kekuasaan sekaligus, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai rasul
secara otomatis merupakan kepala negara.
Rasulullah saw segera membuang sebagian besar tradisi dan nilai-nilai yang bertentangan
dengan ajaran Islam dari seluruh aspek kehidupan masyarakat muslim. Kondisi negara baru yang
dibentuk ini, tidak diwarisi sumber keuangan sedikitpun sehingga sulit dimobilisasi dalam waktu
dekat. Karenannya, Rasulullah saw segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat,
yaitu:
a) Membangun masjid sebagai Islamic Centre.
b) Menjalin ukhuwwah islamiyyah antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar.
c) Menjalin kedamaian dalam negara.
d) Mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya.
e) Membuat konstitusi negara.
f) Menyusun sistem pertahanan negara.
g) Meletakkan dasar-dasar keuangan negara.

1) Pembangunan Sistem Ekonomi


Setelah menyelesaikan masalah politik dan konstitusional, Rasulullah saw merubah sistem
ekonomi dan keuangan negara sesuai dengan ketentuan Alquran. Prinsip-prinsip kebijakan
ekonomi yang dijelaskan Alquran adalah sebagai berikut:
a) Allah swt adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta.
b) Manusia hanyalah khalifah Allah swt di muka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya
c) Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah seizin Allah swt. Oleh karena itu,
manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki
manusia lain yang lebih beruntung.
d) Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
e) Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
f) Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan.
g) Menetapkan kewajiban bagi seluruh individu, termasuk orang-orang miskin.
2) Pendirian Lembaga Baitul Mal dan Kebijakan Fiskal
Rasulullah saw merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di
bidang keuangan negara di abad ketujuh. Semua hasil penghimpunan kekayaan negara harus
dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan negara.
Tempat pusat pengumpulan dana itu disebut bait al-mâl yang di masa Nabi Muhammad saw
terletak di Masjid Nabawi. Pemasukan negara yang sangat sedikit disimpan di lembaga ini dalam
jangka waktu yang pendek untuk selanjutnya didistribusikan seluruhnya kepada masyarakat.
(1) Pendapatan Baitul Mal
Sumber-sumber pendapatan negara pada masa pemerintahan Rasulullah saw tidak
bersumber dari zakat saja. Pada masa ini, sisi penerimaan APBN terdiri dari:
(a) Kharaj, yaitu pajak terhadap tanah. Pajak ini ditentukan berdasarkan tingkat produktivitas
tanah. Secara spesifik, besarnya pajak ini ditentukan tiga hal, yaitu karakteristik atau
tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman, dan jenis irigasi.
(b) Zakat. Pada masa awal pemerintahan Islam, zakat dikumpulkan dalam bentuk uang tunai,
hasil peternakan, dan hasil pertanian.
(c) Khums, yaitu pajak proporsional sebesar 20%. Dalam perkembangannya, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama Syiah dan Sunni mengenai objek khums ini.
Kalangan Syiah menyatakan objek khums ini adalah semua pendapatan, sedangkan
kalangan Sunni menyatakan objek khums hanyalah hasil rampasan perang. Namun, Imam
Abu Ubaid, seorang ulama Sunni, beranggapan bahwa objek khums juga meliputi barang
temuan dan barang tambang.
(d) Jizyah, yaitu pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-muslim sebagai pengganti
layanan sosial-ekonomi dan jaminan perlindungan keamanan dari negara Islam.
(e) Penerimaan lainnya, seperti kaffârah dan harta waris dari orang yang tidak menjadi ahli
waris.
(2) Pengeluaran Baitul Mal
Pada masa Rasulullah saw, dana Baitul Mal dialokasikan untuk penyebaran Islam,
pendidikan dan kebudayaan, pengembangan ilmu pengetahuan, pembangunan infrastruktur,
pembangunan armada perang dan keamanan, dan penyediaan layanan kesejahteraan sosial.
Seluruh alokasi dana Baitul Mal tersebut mempunyai dampak terhadap pertumbuhan
ekonomi, baik secara langsung ataupun tidak. Seperti alokasi untuk penyebaran Islam yang
berdampak terhadap kenaikan aggregate demand sekaligus aggregate supply karena jumlah
populasi akan meningkat dan penggunaan sumber daya alam akan semakin maksimal. Kasus
dalam hal tersebut adalah peristiwa hijrahnya kaum Muhajirin ke Madinah dan persaudaraannya
dengan kaum Anshar. Selain itu, penyebaran Islam ini juga akan dapat meningkatkan pendapatan
Baitul Mal.
Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, tidak berarti bahwa Marginal Propensity to
Consume akan meningkat pula. Berdasarkan sebuah penelitian, peningkatan pendapatan
masyarakat justru berpengaruh terhadap kenaikan Marginal Propensity to Save. Karena
Rasulullah saw sangat mendorong umatnya agar melakukan investasi, peningkatan Marginal
Propensity to Save akan menaikkan tingkat investasi. Akibatnya, dalam jangka panjang, hal
tersebut akan meningkatkan pula pendapatan nasional secara keseluruhan.
Penerimaan negara secara keseluruhan pada masa Nabi Muhammad saw tidak tercatat
secara sempurna, karena beberapa alasan. Pertama, minimnya jumlah orang Islam yang bisa
membaca, menulis, dan mengenal aritmatika sederhana. Kedua, sebagian besar bukti
pembayaran dibuat dalam bentuk yang sederhana, baik yang didistribusikan maupun yang
diterima. Ketiga, sebagian besar hasil pengumpulan zakat hanya didistribusikan secara lokal.
Keempat, berbagai bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.
Kelima, pada sebagian besar kasus, ghanîmah segera didistribusikan setelah terjadi peperangan.
Catatan pengeluaran secara rinci pada masa ini juga tidak ada. Namun demikian, tidak bisa
diambil kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Dalam banyak kasus, pencatatan diserahkan kepada pengumpul zakat dan setiap orang umumnya
terlatih dalam masalah pngumpulan zakat. Setiap perhitungan yang ada disimpan dan diperiksa
sendiri oleh Rasulullah saw. Ia juga menyita setiap hadiah yang diterima oleh para pengumpul
zakat, sekaligus memberikan teguran kepadanya.
(3) Instrumen Kebijakan Fiskal
(a) Peningkatan pendapatan nasional dan tingkat partisipasi kerja. Dalam rangka
meningkatkan permintaan agregat (aggregate demand) masyarakat muslim di Madinah,
Rasulullah saw melakukan kebijakan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum
Anshar. Hal ini menyebabkan terjadinya distribusi pendapatan dari kaum Anshar ke kaum
Muhajirin yang berimplikasi pada peningkatan permintaan total di Madinah. Selain itu,
Rasulullah saw juga menerapkan kebijakan penyediaan lapangan kerja bagi kaum
Muhajirin, sekaligus peningkatan pendapatan nasional kaum muslimin, dengan
mengimplementasikan akad muzarâ’ah, musâqat, dan mudhârabah. Secara alami,
perluasan produksi dan fasilitas perdagangan meningkatkan produksi total kaum muslimin
dan pemanfaatan sumber daya tenaga kerja, lahan, dan modal. Rasulullah saw juga
membagikan tanah kepada kaum Muhajirin untuk pembangunan pemukiman yang
berimplikasi pada peningkatan partisipasi kerja dan aktivitas pembangunan pemukiman di
Madinah, sehingga menghasilkan kesejahteraan umum kaum muslimin. Begitu pula harta
rampasan perang sebesar 80% dibagikan kepada para mujahidin yang turut mempengaruhi
peningkatan kekayaan dan pendapatan mereka yang pada akhirnya meningkatkan
permintaan agregat.
(b) Kebijakan pajak. Penerapan kebijakan pajak yang dilakukan Rasulullah saw, seperti
kharaj, khums, dan zakat, menyebabkan terciptanya kestabilan harga dan mengurangi
tingkat inflasi. Pajak ini, khususnya khums, mendorong stabilitas pendapatan dan produksi
total pada saat terjadi stagnasi dan penurunan permintaan dan penawaran agregat.
Kebijakan ini juga tidak menyebabkan penurunan harga ataupun jumlah produksi.
(c) Anggaran. Pengaturan APBN yang dilakukan Rasulullah saw secara cermat, efektif dan
efisien, menyebabkan jarang terjadinya defisit anggaran meskipun sering terjadi
peperangan.
(d) Kebijakan fiskal khusus. Rasulullah saw menerapkan beberapa kebijakan fiskal secara
khusus untuk pengeluaran negara, yaitu: meminta bantuan kaum muslimin secara sukarela
untuk memenuhi kebutuhan pasukan muslim; meminjam peralatan dari kaum nonmuslim
secara cuma-cuma dengan jaminan pengembalian dan ganti rugi bila terjadi kerusakan;
meminjam uang dari orang-orang tertentu untuk diberikan kepada para muallaf; serta
menerapkan kebijakan insentif untuk menjaga pengeluaran dan meningkatkan partisipasi
kerja dan produksi kaum muslimin.
3. Kebijakan Moneter

Seperti yang telah dikemukakan bahwa mata uang yang dipergunakan bangsa Arab, baik
sebelum Islam maupun sesudahnya, adalah dinar dan dirham. Kedua mata uang tersebut
memiliki nilai yang tetap dan karenanya tidak ada masalah dalam perputaran uang. Jika dirham
diasumsikan sebagai satuan uang, nilai dinar adalah perkalian dari dirham, sedangkan jika
diasumsikan dinar sebagai unit moneter, nilainya adalah sepuluh kali dirham. Walaupun
demikian, dalam perkembangan berikutnya, dirham lebih umum digunakan daripada dinar. Hal
ini sangat berkaitan erat dengan penaklukan tentara Islam terhadap hampir seluruh wilayah
kekaisaran Persia. Sementara itu, tidak semua wilayah kekaisaran Romawi berhasil dikuasai
tentara Islam.

a. Penawaran dan Permintaan Uang


Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad saw, kedua mata uang tersebut diimpor; dinar
dari Romawi dan dirham dari Persia. Besarnya volume impor dinar dan dirham dan juga barang-
barang komoditas bergantung kepada volume komoditas yang diekspor ke kedua negara tersebut
dan wilayah-wilayah lain yang berada di bawah pengaruhnya. Lazimnya, uang akan diimpor jika
permintaan uang (money demand) pada pasar internal mengalami kenaikan dan, sebaliknya,
komoditas akan diimpor jika permintaan uang mengalami penurunan. Hal yang menarik di sini
adalah tidak adanya pembatasan terhadap impor uang karena permintaan internal dari Hijaz
terhadap dinar dan dirham secara proporsional sangat kecil, sehingga tidak berpengaruh terhadap
penawaran dan permintaan dalam perekonomian Romawi dan Persia. Namun demikian, selama
pemerintahan Nabi Muhammad saw, uang tidak dipenuhi dari keuangan negara semata, tetapi
juga dari hasil perdagangan luar negeri. Karena tidak adanya pemberlakuan tarif dan bea masuk
pada barang impor, uang diimpor dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi permintaan
internal. Pada sisi yang lain, nilai emas dan perak pada kepingan dinar dan dirham sama dengan
nilai nominal (face value) uangnya, sehingga keduanya dapat dibuat perhiasan atau ornamen.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada awal periode Islam, penawaran uang (money
supply) terhadap pendapatan sangat elastis.
Frekuensi transaksi perdagangan dan jasa menciptakan permintaan uang dan karenanya
motif utama permintaan terhadap uang pada masa ini adalah permintaan transaksi (transaction
demand). Sementara itu, situasi yang kurang kondusif, permusuhan kaum Qurasy terhadap kaum
muslimin, dan keterlibatan kaum muslimin pada sedikitnya 26 gazwah dan 32 sariyyah yang
berarti rata-rata enam kali perang dalam setiap tahunnya, telah menimbulkan permintaan uang
untuk berjaga-jaga (precautionary demand) terhadap kebutuhan yang tidak terduga. Akibatnya,
permintaan terhadap uang selama periode ini umumnya bersifat permintaan transaksi dan
pencegahan. Pelarangan penimbunan, baik uang maupun komoditas, dan talaqqi rukban tidak
memberikan kesempatan terhadap penggunaan uang dengan selain kedua motif tersebut.
Ketika penduduk Arab memeluk agama Islam, jumlah populasi kaum muslimin
berkembang dengan pesat. Di samping itu, harta rampasan perang (ghanimah) dibagikan kepada
seluruh kaum muslimin, sehingga standar hidup dan pendapatan mereka meningkat. Berdasarkan
semua ini, Nabi Muhammad saw, melalui kebijakan khususnya, meningkatkan kemampuan
produksi dan ketenagakerjaan kaum muslimin secara terus-menerus. Keseluruhan faktor ini
meningkatkan permintaan transaksi terhadap uang dalam perekonomian awal periode Islam. Di
samping itu, penawaran uang tetap elastis karena tidak ada hambatan terhadap impor uang ketika
permintaan terhadapnya mengalami kenaikan. Di sisi lain, ketika penawaran akan naik,
penawaran berlebih (excess supply) akan diubah secara mudah menjadi ornamen emas atau
perak. Akibatnya, tidak ada penawaran atau permintaan berlebih terhadap mata uang emas dan
perak dan pasar akan selalu tetap berada pada keseimbangan (equilibrium). Oleh karena itu, nilai
uang tetap stabil.
b. Pemercepatan Peredaran Uang
Faktor lain yang berpengaruh terhadap stabilitas nilai uang adalah pemercepatan peredaran
uang. Sistem pemerintahan yang legal dan, khususnya, perangkat hukum yang tegas dalam
menentukan peraturan etika dagang dan penggunaan uang memiliki pengaruh yang signifikan
dalam meningkatkan pemercepatan peredaran uang. Larangan terhadap kanz cenderung
mencegah dinar dan dirham keluar dari perputaran. Begitu juga larangan praktek bunga uang
mencegah tertahannya uang di tangan pemilik modal. Kedua larangan ini mendorong
pemercepatan peredaran uang secara signifikan. Demikian juga tindakan Rasulullah saw
mendorong masyarakat untuk mengadakan akad kerjasama dan mendesak mereka untuk
memberikan qard al-hasan semakin memperkuat pemercepatan peredaran uang.
Struktur pasar memiliki pengaruh yang kuat terhadap pemercepatan peredaran uang.
Monopoli kaum Quraisy dalam bisnis perdagangan yang sudah ada sejak dahulu perlahan-lahan
mulai berkurang. Setelah fath al-Makkah, hak istimewa terakhir yang dimiliki kaum Quraisy
dalam pengurusan Ka’bah dan pengorganisasian pasar Ukaz dan Dzul Majaz diambil alih dari
tangan mereka. Jadi, dapat dikatakan bahwa penghapusan struktur monopoli dari pasar
perdagangan telah meningkatkan efisiensi pertukaran dan membawa perekonomian kepada
distribusi pendapatan yang lebih baik. Oleh karena itu, permintaan efektif mengalami kenaikan
dalam pasar, begitu pula halnya dengan permintaan transaksi terhadap uang. Hal ini
mempercepat peredaran uang.
Dalam perekonomian pertanian dan nomaden di awal periode Islam, komoditas
dipertukarkan dengan cara barter. Karenanya, dinar dan dirham tidak dipergunakan dalam
perdagangan. Bahkan, ketika komoditas ditukarkan dengan uang, proses perdagangan menjadi
lambat dan tentunya hal ini mempengaruhi pemercepatan perputaran ekonomi secara
keseluruhan. Dapat dipahami bahwa setelah hijrah, secara bertahap, pemercepatan peredaran
uang cenderung meningkat. Keberhasilam kaum muslimin dalam berbagai peperangannya
menguatkan rasa percaya diri dan optimisme tentang masa depan yang lebih baik di tangan
mereka. Setelah perdamaian Hudaibiah, optimisme ini semakin meningkat. Dan setelah fath al-
Makkah, sistem Islam telah tersusun baik di seluruh Arab. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa di samping peningkatan volume aktivitas ekonomi, pemercepatan peredaran uang juga
mengalami kenaikan.
c). Pengaruh Kebijakan Fiskal Terhadap Nilai Uang
Pada awal-awal masa pemerintahan Rasulullah saw, perekonomian mengalami penyusutan
permintaan efektif. Perpindahan kaum muslimin dari Mekah ke Madinah yang tidak dibekali
dengan kekayaan ataupun simpanan dan juga keahlian, yang akan diperlukan di Madinah, telah
menciptakan keseimbangan perekonomian yang rendah. Sejumlah peperangan telah menyerap
banyak jumlah tenaga kerja yang seharusnya dapat dipergunakan untuk pekerjaan produktif.
Oleh karena itu, kebijakan yang tepat perlu diambil untuk meningkatkan permintaan secara
keseluruhan. Kebijakan yang diambil, yang biasanya disertai dengan peningkatan jumlah
permintaan, juga menaikkan kemampuan produksi dan ketenagakerjaan dan secara positif
mempengaruhi nilai uang. Masalah utama yang dihadapi Nabi Muhammad saw dilihat dari sudut
pandang kebijakan fiskal adalah pengaturan pengeluaran untuk biaya perang yang rata-rata
terjadi setiap dua bulan. Perlengkapan persenjataan, transportasi, dan keperluan lainnya
memerlukan biaya yang besar dalam keuangan negara. Penyediaan biaya hidup minimum untuk
setiap muslim turut pula menambah beban kewajiban finansial negara. Begitu pula gaji hakim,
pegawai yang tersebar, akuntan, kasir, dan petugas penarik pajak dibayarkan dari dana bait al-
mal. Kendati demikian besar seluruh pengeluaran ini, keuangan negara tidak mengalami defisit
anggaran selama awal periode Islam. Hanya dalam satu kesempatan Nabi Muhammad saw
melakukan pinjaman setelah fath al-Makkah untuk membayar masyarakat Mekah yang baru
memeluk Islam. Bagaimanapun, pinjaman ini telah dilunasi dalam waktu kurang dari setahun
setelah kembali dari perang Hunain.
Kebijakan lain yang dilakukan Rasulullah saw adalah memberikan kesempatan yang lebih
besar kepada kaum muslimin dalam melakukan aktivitas produktif dan ketenagakerjaan. Nabi
Muhammad saw mendesak golongan Anshar dan Muhajirin, sejak awal kedatangan mereka ke
Madinah, untuk melakukan akad mudharabah, muzara’ah, dan musaqat satu sama lain.
Kemitraan ini menghasilkan tenaga kerja kaum Muhajirin dan penggunaan simpanan atau aset
modal kaum Anshar yang berbentuk tanah pertanian dan kebun. Oleh karena itu, kapasitas
aktivitas perdagangan dan pertanian berkembang di Madinah. Berbagai kebijakan ini yang
meningkatkan penawaran agregat (aggregate supply) masyarakat Madinah diterapkan setelah
perjanjian persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar dilaksanakan. Berkat kerjasama ini,
volume perdagangan dan aktivitas pertanian meningkat yang pada akhirnya meningkatkan
permintaan agregat (aggregate demand) masyarakat. Peningkatan penawaran agregat membawa
perekonomian dan stabilitas nilai mata uang kepada suatu tingkat keseimbangan yang lebih
tinggi.
Di antara aturan yang diterapkan Rasulullah saw untuk meningkatkan aktivitas pertanian di
Madinah adalah pembagian tanah hasil penaklukan Bani Nadir kepada Muhajirin dan dua orang
Anshar. Aturan lainnya yang diterapkan pada dua tahun pertama setibanya di Madinah adalah
pembagian tanah untuk perumahan. Kedua kebijakan tersebut menaikkan tingkat produksi dan
jasa dalam perekonomian Madinah yang akhirnya membawa kepada tingginya tingkat
keseimbangan penawaran dan permintaan agregat. Seiring dengan kemajuan di bidang
perekonomian, kesejahteraan dan ketenagakerjaan kaum muslimin turut meningkat. Dengan
demikian, kebijakan fiskal, meskipun melalui perluasan, tidak menimbulkan pengaruh buruk
terhadap nilai uang.
d) Mobilisasi dan Utilisasi Tabungan
Salah satu tujuan khusus perekonomian pada awal perkembangan Islam adalah
penginvestasian tabungan yang dimiliki masyarakat. Hal ini diwujudkan dengan dua cara, yaitu
mengembangkan peluang investasi islami secara legal dan mencegah kebocoran penggunaan
tabungan untuk tujuan yang tidak islami.
Pengembangan peluang investasi islami secara legal dilakukan dengan mengadopsi sistem
investasi konvensional yang kemudian disesuaikan dengan syariah, sehingga pihak pemilik
tabungan dan pengusaha dapat bekerjasama dengan suatu ex-ante agreement share yang
menghasilkan nilai tambah. Karena kegiatan utama ekonomi adalah jasa, pertanian, perdagangan,
dan kerajinan tangan, bentuk hukum yang sesuai untuk semua kegiatan ini adalah mudharabah,
muzara’ah, musaqat, dan musyarakah. Tabungan yang dimiliki masyarakat dialokasikan untuk
perdagangan dan kerajinan tangan, sedangkan aset fisik seperti tanah digunakan untuk pertanian.
Berkat dorongan dan bimbingan Rasulullah saw, kaum Muhajirin dan Anshar siap melakukan
akad kerjasama, umumnya berdasarkan pembagian kepemilikan 50%-50%. Mengingat kaum
Muhajirin kekurangan modal dan skill dalam bidang pertanian dan perdagangan, bagian
kepemilikan yang diterima tidak sesuai dengan nilai partisipasi mereka. Melalui akad kerjasama
ini, kaum Anshar mengajarkan skill yang dibutuhkan, sehingga produktivitas investasi
meningkat.
Bentuk kerjasama seperti ini sangat menguntungkan bagi pemilik modal karena mereka
dapat terlibat secara langsung dalam proses investasi. Pengalaman, informasi, serta metode
supervisi dan manajemen yang mereka miliki secara langsung dapat diterapkan. Dalam
kerjasama ini, resiko usaha ditanggung oleh kedua belah pihak.Pengalaman dan informasi yang
diperoleh para pelaku usaha ini kemudian diinformasikan kepada para investor dan pemilik
tabungan lainnya untuk menarik mereka dalam kerjasama serupa. Penyebaran informasi dan
pengetahuan secara merata kepada masyarakat luas akan dapat mengurangi resiko investor dalam
menjalankan usahanya. Selain pendapatan yang diterima, informasi dan metode administrasi
aktivitas ekonomi yang mereka dapatkan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk
melakukan investasi.
Pada awal masa Islam, melalui berbagai cara, pemerintah menyediakan fasilitas yang
berorientasi investasi. Pertama, memberikan berbagai kemudahan bagi produsen untuk
berproduksi. Kedua, memberikan keuntungan pajak terutama bagi unit produksi baru. Metode
perpajakan Islam tidak membahayakan insentif dan efisiensi aktivitas unit ekonomi karena
penarikan pajak dilakukan secara proporsional terhadap keuntungan, pendapatan sewa, dan quasi
rent yang diperoleh dari berbagai kegiatan ekonomi. Ketiga, meningkatkan efisiensi produksi
sektor swasta dan peran serta masyarakat dalam berinvestasi. Hal ini dilakukan dengan
memperkenalkan teknik produksi dan keahlian baru kepada kaum muslimin. Ilmu pengetahuan
yang baru dan keterampilan ditransfer secara konstan dari Persia dan Romawi yang kemudian
diadopsi oleh masyarakat muslim. Keuangan negara akan menanggung pembiayaan pengenalan
teknologi yang di luar kemampuan keuangan sektor swasta atau sebuah industri yang sangat
diperlukan masyarakat muslim. Teknologi produksi senjata dan ilmu kedokteran diadopsi dari
Persia oleh Rasulullah saw sendiri dengan dana dari perbendaharaan publik. Hal tersebut adalah
pertanda baik dari usaha sektor publik untuk mengatasi berbagai hambatan dalam menjalankan
proses produksi dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Seluruh tindakan tersebut tidak hanya
meningkatkan efisiensi investasi, tetapi juga secara tidak langsung mempermudah dan
mempercepat arus tabungan ke dalam proses investasi.
Metode lainnya untuk mengivestasikan tabungan adalah qard al-hasan yang sangat
dianjurkan dalam Islam. Anjuran ini menjadi motivasi tersendiri bagi masyarakat muslim untuk
meminjamkan harta dan kekayaan mereka kepada produsen. Dengan cara ini, selain efisiensi
produksi dan kesejahteraan konsumen yang meningkat, kepuasan batin pemberi modal juga
meningkat. Walaupun memberi qard al-hasan dianggap bukan dari bagian kegiatan investasi
dari sisi ilmu ekonomi murni, dari sisi Alquran, tindakan ini merupakan kegiatan yang produktif
mengingat tingkat return-nya sepuluh kali lipat atau lebih. Oleh karena itu, dalam pandangan
seorang muslim memberikan qard al-hasan merupakan satu investasi dengan return yang jelas
dan aman.
Dari sudut pandang makroekonomi, qard al-hasan akan menciptakan suatu sistem efisiensi
dana untuk produksi atau konsumsi dengan asumsi yang memberi dan yang diberi qard al-hasan
memiliki informasi yang sempurna. Sistem ini mendorong peningkatan kesejahteraan umum dan
ekspansi aggregate supply.
Metode ketiga untuk menyalurkan tabungan dalam kegiatan investasi adalah infak dan
wakaf. Karena terdapat unsur reliji dan spiritual dalam dua hal ini, kaum muslimin menunjukkan
antusiasmenya untuk melakukan infak dan wakaf. (myh)
B. Tradisi Dan Praktek Ekonomi Masa Pemerintahan Al-Khulafa Al-Rasyidin
1. Masa Pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq
Setelah Rasulullah saw wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn
Abu Quhafah at-Tamimi terpilih sebagai Khalifah Islam yang pertama. Ia merupakan pemimpin
agama sekaligus kepala negara kaum muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya
berlangsung selama dua tahun, Abu Bakar ash-Shiddiq banyak menghadapi persoalan dalam
negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan
hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok
tersebut melalui apa yang disebut Perang Riddah. Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam
negeri, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan
Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia
sebelum usaha ini selesai dilakukan.
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat Islam, Abu Bakar ash-Shiddiq
melaksanakan berbagai kebijakan ekonomi seperti yang telah dipraktekkan Rasulullah saw. Ia
sangat memperhatikan keakuratan penghitungan zakat, sehingga tidak terjadi kelebihan atau
kekurangan pembayarannya. Hasil pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai pendapatan
negara dan disimpan dalam Baitul Mal untuk langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum
muslimin hingga tidak ada yang tersisa.
Seperti halnya Rasulullah saw, Abu Bakar ash-Shiddiq juga melaksanakan kebijakan
pembagian tanah hasil taklukan, sebagian diberikan kepada kaum muslimin dan sebagian yang
lain tetap menjadi tanggungan negara. Di samping itu, ia juga mengambil alih tanah-tanah dari
orang-orang yang murtad untuk kemudian dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam secara
keseluruhan.
Dalam mendistribusikan harta Baitul Mal tersebut, Abu Bakar menerapkan prinsip
kesamarataan, memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah saw dan tidak
membeda-bedakan antara sahabat yang terlebih dahulu memeluk Islam dengan sahabat yang
kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dengan wanita. Menurutnya,
dalam hal keutamaan beriman, Allah swt yang akan memberikan ganjarannya, sedangkan dalam
masalah kebutuhan hidup, prinsip kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan.
Dengan demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq, harta Baitul Mal
tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada
seluruh kaum muslimin, bahkan ketika Abu Bakar ash-Shiddiq wafat, hanya ditemukan satu
dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum muslimin diberikan bagian yang sama dari
hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum muslimin mendapat
manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan
tersebut berimplikasi pada peningkatan aggregate demand dan aggregate supply yang pada
akhirnya akan menaikkan total pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah
antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.
2. Masa Pemerintahan Umar ibn al-Khattab
Untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat
Islam, Abu Bakar ash-Shiddiq bermusyawarah dengan para pemuka sahabat tentang calon
penggantinya. Berdasarkan hasil musyawarah tersebut, ia menunjuk Umar ibn al-Khattab sebagai
Khalifah Islam II. Keputusan tersebut diterima dengan baik oleh kaum muslimin. Setelah
diangkat sebagai khalifah, Umar ibn al-Khattab menyebut dirinya sebagai khalifah khalifati
Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-
Mu’minin (Komandan orang-orang yang beriman).
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun, Umar ibn al-Khattab
banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, Palestina, Syiria,
sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar
ibn al-Khattab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh Persia. Administrasi
pemerintah diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Mekah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah,
Kufah, Palestina, dan Mesir. Ia juga membentuk jawatan kepolisian dan jawatan tenaga kerja.
Pendirian Lembaga Baitul Mal
Seiring dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan
Umar ibn al-Khattab, pendapatan negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini
memerlukan perhatian khusus untuk mengelolanya agar dapat dimanfaatkan secara benar, efektif
dan efisien. Setelah melakukan musyawarah dengan para pemuka sahabat, Khalifah Umar ibn al-
Khattab mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta Baitul Mal sekaligus, tetapi
dikeluarkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan di antaranya disediakan
dana cadangan. Cikal bakal lembaga Baitul Mal yang telah dicetuskan dan difungsikan oleh
Rasulullah saw dan diteruskan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, semakin dikembangkan fungsinya
pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn al-Khattab sehingga menjadi lembaga yang reguler
dan permanen.
Pada tahun 16 H, bangunan lembaga Baitul Mal pertama kali didirikan dengan Madinah
sebagai pusatnya. Hal ini kemudian diikuti dengan pendirian cabang-cabangnya di ibukota
provinsi. Untuk menangani lembaga tersebut, Khalifah Umar ibn al-Khattab menunjuk Abdullah
ibn Irqam sebagai bendahara negara dengan Abdurrahman ibn Ubaid al-Qari sebagai wakilnya.
Khalifah Umar ibn al-Khattab juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh
turut campur dalam mengelola harta Baitul Mal. Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggung
jawab terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai otoritas
penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung kepada pemerintah
pusat.
Bersamaan dengan reorganisasi lembaga Baitul Mal, sekaligus sebagai perealisasian salah
satu fungsi negara Islam, yakni fungsi jaminan sosial, Khalifah Umar ibn al-Khattab membentuk
sistem diwan yang, menurut pendapat terkuat, mulai dipraktekkan untuk pertama kalinya pada
tahun 20 H. Dalam rangka ini, ia menunjuk sebuah komite nassab ternama yang terdiri dari Aqil
bin Abi Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut’im untuk membuat laporan sensus
penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya. Daftar tersebut disusun secara
berurutan dimulai dari orang-orang yang mempunyai hubungan pertalian dengan Nabi
Muhammad saw, kelompok al-Sabiqun al-Awwalun, hingga seterusnya. Kaum wanita, anak-
anak dan para budak juga mendapat tunjangan sosial.
Dengan kata lain, Khalifah Umar ibn al-Khattab menerapkan prinsip keutamaan dalam
mendistribusikan harta Baitul Mal. Ia berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam
harus diperhitungkan dalam menetapkan bagian seseorang dari harta negara dan, karenanya,
keadilan menghendaki usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam
memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya. Namun
demikian, di kemudian hari, Khalifah Umar ibn al-Khattab menyadari bahwa cara tersebut keliru
karena membawa dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat. Ia bertekad akan mengubah
kebijakannya tersebut apabila masih diberi kesempatan hidup. Akan tetapi, Khalifah Umar telah
tewas terbunuh sebelum rencananya berhasil direalisasikan.Untuk mendistribusikan harta Baitul
Mal, Khalifah Umar ibn al-Khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu,
seperti:
(e)Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana
bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan. Besarnya jumlah dana
bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap penerima dana.
(f) Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Departemen ini bertanggung jawab terhadap
pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua
hal, yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi kebutuhan keluarganya agar
terhindar dari praktek suap dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan kalaupun
terjadi perbedaan, hal itu tetap dalam batas-batas kewajaran.
(g)Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan
bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti
guru dan juru dakwah.
(h)Departemen Jaminan Sosial. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana
bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.
Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar ibn al-Khattab mengklasifikasi pendapatan
negara menjadi empat bagian, yaitu:
(i) Pendapatan zakat dan ‘ushr (pajak tanah). Pendapatan ini didistribusikan dalam tingkat
lokal jika kelebihan penerimaan sudah disimpan di Baitul Mal Pusat dan dibagikan
kepada delapan ashnaf.
(j) Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin
atau untuk membiayai mereka yang sedang mencari kesejahteraan, tanpa diskriminasi
apakah ia seorang muslim atau bukan.
(k)Pendapatan kharaj, fai, jizyah, ‘ushr (pajak perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini
digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya
operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
(l) Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja,
pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
Di antara alokasi pendapatan Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran
negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana
pembangunan.
Dana pensiun ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam
kemiliteran. Dengan kata lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan
bersenjata dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa. Dana
ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Sistem administrasi dana
pensiun ini diorganisasi dengan baik. Dalam setahun, dana ini dibayarkan dua kali. Administrasi
dana pensiun terdiri dari dua bagian, bagian pertama berisi catatan sensus dan jumlah yang telah
menjadi hak setiap penerima dana dan bagian kedua berisi laporan pendapatan. Dana tersebut
didistribusikan melalui seorang arif yang masing-maisng bertanggung jawab atas sepuluh orang
penerima dana. Sementara itu, dana pertahanan negara digunakan untuk membeli sarana dan
prasarana militer, seperti perlengkapan perang dan pembangunan markas militer.
Sedangkan dana pembangunan digunakan untuk pembangunan pertanian dan perdagangan,
pembangunan jaringan terowongan, dan berbagai fasilitas umum lainnya yang dapat menunjang
kelancaran aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat umum.
Selain hal-hal tersebut, Khalifah Umar ibn al-Khattab juga menerapkan beberapa kebijakan
ekonomi lainnya, seperti:
(m) Kepemilikan Tanah. Dalam memperlakukan tanah-tanah taklukan, Khalifah
Umar ibn al-Khattab tidak membagi-bagikannya kepada kaum muslimin, tetapi
membiarkan tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan syarat membayar kharaj
dan jizyah. Ia beralasan bahwa penaklukan dilakukan yang pada masanya meliputi tanah
yang demikian luas sehingga bila dibagi-bagikan dikhawatirkan akan mengarah kepada
praktek tuan tanah. Khalifah Umar ibn al-Khattab juga melarang bangsa Arab untuk
menjadi petani karena mereka bukan ahlinya. Menurutnya, tindakan memberi lahan
pertanian kepada mereka yang bukan ahlinya sama dengan perampasan hak-hak publik.
Ia juga menegaskan bahwa negara berhak untuk mengambil alih tanah yang tidak
dimanfaatkan pemiliknya dengan memberikan ganti rugi secukupnya.
(n)Zakat. Khalifah Umar ibn al-Khattab menetapkan kuda, karet, dan madu sebagai objek
zakat karena, pada masanya, ketiga hal tersebut telah lazim diperdagangkan, bahkan
secara besar-besaran, sehingga mendatangkan keuntungan bagi para penjualnya.
(o)‘Ushr. Khalifah Umar ibn al-Khattab menerapkan pajak ‘ushr kepada para pedagang
yang memasuki wilayah kekuasaan Islam. Pada mulanya, kebijakan pajak ini merupakan
kebijakan resiprokal, untuk mengimbangi tindakan penguasa non-muslim yang
mengenakan pajak terhadap barang-barang dagangan kaum muslimin. Besarnya jumlah
pajak ini bervariasi, 2,5% bagi pedagang muslim, 5% bagi kafir dzimmi, dan 10% bagi
kafir harbi. Pajak ini hanya dibayar sekali dalam setahun sekalipun pedagang tersebut
memasuki wilayah Islam lebih dari sekali dalam setahun.
(p)Mata uang. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn al-Khattab, bobot mata uang
dinar seragam, yaitu sama dengan satu mitsqal atau 20 qirat atau 100 grain barley.
Sedangkan bobot dirham tidak seragam dan karenanya menimbulkan kebingungan
masyarakat. Atas dasar itu, Khalifah Umar ibn al-Khattab menetapkan bahwa dirham
perak seberat 14 qirat atau 70 grain barley. Dengan demikian, rasio antara satu dirham
dengan satu mitsqal adalah tujuh per sepuluh.
3. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan
Berbeda halnya dengan Abu Bakar ash-Shiddiq dalam menentukan calon penggantinya,
Khalifah Umar ibn al-Khattab membentuk sebuah tim yang terdiri dari enam orang sahabat, yaitu
Utsman ibn ‘Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibn al-Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqas,
dan Abdurrahman ibn ‘Auf. Ia meminta kepada tim tersebut untuk memilih salah seorang di
antara mereka sebagai penggantinya. Setelah Umar ibn al-Khattab wafat, tim ini melakukan
musyawarah dan berhasil menunjuk Utsman ibn ‘Affan sebagai Khalifah Islam III setelah
melalui persaingan yang ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Utsman ibn
‘Affan berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian
yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan. Ia juga berhasil menumpas pemberontakan
di daerah Khurasan dan Iskandariah.
Pada enam tahun pertama masa pemerintahannya, Khalifah Utsman ibn ‘Affan melakukan
penataan baru dengan mengikuti kebijakan Umar ibn al-Khattab. Dalam rangka pengembangan
sumber daya alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan
pembentukan organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan.
Khalifah Utsman ibn ‘Affan juga membentuk armada laut kaum muslimin di bawah komando
Muawiyah, hingga berhasil membangun supremasi kelautannya di wilayah Mediterania.
Laodicea dan wilayah di Semenanjung Syiria, Tripoli dan Barca di Afrika Utara menjadi
pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian, pemerintahan Khalifah Utsman ibn ‘Affan
harus menanggung beban anggaran yang tidak sedikit untuk memelihara angkatan laut tersebut.
Khalifah Utsman ibn ‘Affan tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia
meringankan beban pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di
bendahara negara. Hal tersebut menimbulkan kesalahpahaman dengan Abdullah ibn Irqam,
bendahara Baitul Mal. Konflik ini tidak hanya membuat Abdullah menolak upah dari
pekerjaannya, tetapi juga menolak hadir pada setiap pertemuan publik yang dihadiri Khalifah.
Permasalahan tersebut semakin rumit ketika muncul berbagai pernyataan kontroversi mengenai
pengeluaran harta Baitul Mal yang tidak hati-hati.
Khalifah Utsman ibn ‘Affan tetap mempertahankan sistem pemberian bantuan dan
santunan serta memberikan sejumlah besar uang kepada masyarakat yang berbeda-beda.
Meskipun meyakini prinsip persamaan dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, ia
memberikan bantuan yang berbeda pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, dalam
pendistribusian harta Baitul Mal, Khalifah Utsman ibn ‘Affan menerapkan prinsip keutamaan
seperti halnya Umar ibn al-Khattab.

Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman ibn ‘Affan mendelegasikan kewenangan
menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk
mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang
tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat.
Untuk meningkatkan pengeluaran di bidang pertahanan dan kelautan, meningkatkan dana
pensiun, dan pembangunan berbagai wilayah taklukan baru, negara membutuhkan dana
tambahan. Oleh karena itu, Khalifah Utsman ibn ‘Affan membuat beberapa perubahan
administrasi tingkat atas dan pergantian beberapa gubernur. Ia juga menerapkan kebijakan
membagikan tanah-tanah negara kepada individu-individu untuk reklamasi dan kontribusi
kepada Baitul Mal. Dari hasil kebijakannya ini, negara memperoleh pendapatan sebesar 50 juta
dirham atau naik 41 juta dirham jika dibandingkan pada masa Umar ibn al-Khattab yang tidak
membagi-bagikan tanah tersebut.
Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman ibn ‘Affan, tidak terdapat
perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsma ibn
‘Affan yang banyak menguntungkan keluarganya telah menimbulkan benih kekecewaan yang
mendalam pada sebagian besar kaum muslimin. Akibatnya, pada masa ini, pemerintahannya
lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah.
4. Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Setelah diangkat sebagai Khalifah Islam IV oleh segenap kaum muslimin, Ali ibn Abi
Thalib langsung mengambil beberapa tindakan, seperti memberhentikan para pejabat yang
korup, membuka kembali lahan perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang
kesayangan Utsman, dan mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan Umar ibn al-Khattab.
Masa pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam
tahun selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi
pemberontakan Thalhah, Zubair ibn al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman
ibn ‘Affan. Berbagai kebijakan tegas yang diterapkannya menimbulkan api permusuhan dengan
keluarga Bani Umayyah yang dimotori oleh Muawiyah ibn Abi Sofyan. Pemberontakan juga
datang dari golongan Khawarij, mantan pendukung Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang kecewa
terhadap keputusan tahkim pada perang Shiffin.
Sekalipun demikian, Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan
berbagai kebijakan yang mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Menurut sebuah
riwayat, ia secara sukarela menarik diri dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal. Selama
masa pemerintahannya, Khalifah Ali ibn Abi Thalib menetapkan pajak terhadap hasil hutan dan
sayuran. Selama masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, sistem administrasi Baitul Mal, baik di
tingkat pusat maupun daerah, telah berjalan dengan baik. Kerjasama antara keduanya berjalan
dengan lancar dan, karenanya, pendapatan Baitul Mal mengalami surplus. Dalam pendistribusian
harta Baitul Mal, Khalifah Ali ibn Abi Thalib menerapkan prinsip pemerataan. Ia memberikan
santunan yang sama kepada setiap orang tanpa memandang status sosial atau kedudukannya di
dalam Islam. Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berpendapat bahwa seluruh pendapatan negara
yang disimpan dalam Baitul Mal harus didistribusikan kepada kaum muslimin, tanpa ada
sedikitpun dana yang tersisa. Distribusi tersebut dilakukan sekali dalam sepekan. Hari Kamis
merupakan hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan
diselesaikan dan, pada hari Sabtu, penghitungan baru dimulai.
Selain itu, langkah penting yang dilakukan Khalifah Ali ibn Thalib pada masa
pemerintahannya adalah pencetakan mata uang koin atas nama negara Islam. Hal ini
menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan tersebut, kaum muslimin telah menguasai
teknologi peleburan besi dan pencetakan koin. Namun demikian, uang yang dicetak oleh kaum
muslimin itu tidak dapat beredar dengan luas karena pemerintahan Ali ibn Abi Thalib berjalan
sangat singkat seiring dengan terbunuhnya sang Khalifah pada tahun keenam pemerintahannya.

Anda mungkin juga menyukai