Pertumbuhan lembaga keuangan syariah yang diawali perkembangan bank syariah dan
diikuti keuangan syariah lainnya memnuculkan semangt baru di kalangan pemikir muslim untuk
menggali khasanah ilmu pengetahuan Islam dan menemukan pemikiran ekonomi Islam dari
masa paling awal Islam hingga kontemporer untuk dapat merumuskan suatu bangunan yang
belakangan disebut sebagai ilmu dan system ekonomi Islam.
Sementara itu, dalam setiap pembahasan ilmu ekonomi, perkembangan ilmu ekonomi
sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, diyakini dimulai sejak tahun 1776. Waktu itu dimotori
oleh Adam Smith, pemikir dari Inggris dengan karya monumentalnya, An Inquiry into The
Nature an Causes of The Wealth of Nations. Sebelumnya sudah banyak pemikiran-pemikiran
yang dikemukakan mengenai persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi oleh suatu masyarakat,
maupun suatu negara, namun dikemas secara sistematis. Topik-topik yang dibahas masih
terbatas dan belum ada analisis yang menyeluruh mengenai berbagai aspek dari kegiatan
perekonomian dalam suatu masyarakat. Analisis yang masih terbatas tersebut menyebabkan
pemikiran-pemikiran ekonomi masih belum dipandang sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Adam Smith memperkenalkan apa yang kini dikenal dengan sistem ekonomi liberalis
kapitalis. Sistem ini digagas oleh Adam Smith untuk menentang sistem ekonomi merkantilisme,
yang sangat menekankan campur tangan pemerintah dalam memajukan perekonomian. Adam
Smith agaknya lebih menghendaki kegiatan ekonomi itu dibiarkan bergerak sendiri, dengan
hukum dan logikanya sendiri. Pasarlah yang akan mengatur aktivitas ekonomi, menggerakkan
dan memekarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan mendatangkan
kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih luas.
Akan tetapi, sistem ekonomi liberalis-kapitalis itu ternyata berdampak negatif, yaitu
pendapatan yang tidak merata, peningkatan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang makin
melebar. Ekses itu timbul karena pasar yang bekerja maksimal membuat persaingan menjadi
tidak terhindarkan. Akibatnya menyisakan ruang lapang bagi pengusaha kuat dan tentu saja,
pengusaha kecil tergilas turbin produktfitas dalam sistem ekonomi.
Kondisi ini menimbulkan kritik di kalangan ilmuwan lainnya, misalnya Karl Marx,
menurutnya, sekalipun sistem liberal-kapitalis secara relatif berhasil memajukan tingkat
pertumbuhan ekonomi, tetapi sistem itu telah mengorbankan manusia: menggiringnya ke dalam
rantai ketergantungan, perbudakan ekonomi, dan keterasingan bukan hanya dari produk dan
kerja, melainkan dari kehidupan itu sendiri. Kritik Marx terhadap kapitalisme agaknya lebih
karena kecenderungan sistem kapitalis yang mengabaikan nilai-nilai moral kemanusiaan.
Dengan mengadopsi sekaligus merevisi ide Marx, Stalin, pemimpin revolusi Rusia di
permulaan abad dua puluh, membangun suatu monopoli industrial yang dipimpin oleh suatu
organisasi birokrasi yang mempergunakan sentralisasi dan industrialisasi birokratis. Dalam
sistem sosialis negara mempunyai peran yang besar dalam melakukan aktivitas ekonomi. Melalui
sistem ini pula, masalah-masalah seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, dan distribusi
pendapatan yang tidak merata diharapkan dapat diatasi.
Hanya saja, karena kompetisi di dalam sistem sosialis adalah hal yang terlarang, tentu saja
dorongan untuk berprestasi dan meningkatkan produktivitas kerja menjadi menurun. Akibatnya
sistem sosialis tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan baik. Fenomena satu
dasawarsa terakhir ini, neraga-negara Eropa Timur yang menerapkan sistem sosialis ternyata
mengalami kebangkrutan ekonomi dan mulai melirik sistem pasar bebas sebagai landasan
pembangunan ekonomi.
Kerapuhan sistem sosialis, terasa getarannya dalam sistem liberal-kapitalis, yang dibuktikan
dengan adanya krisis. Pada dekade 30-an abad duapuluh, terjadi depresi ekonomi besar-besaran.
Perekonomian menjadi lesu dan pengangguran merajalela. Orang banyak beranggapan bahwa
apa yang diramalkan oleh Marx tentang pembusukan di dalam sistem liberal-kapitalis akan
segera menjadi kenyataan. Kedua aliran pemikiran tersebut ternyata menggiring pada suatu
kutub extrimitas. Yang satu aktivitas ekonomi benar-benar diserahkan pada tindakan individu
dan yang lain amat ditentukan oleh kekuasaan pemerintah. Sampai di sini tampak ditemui jalan
buntu.
Keadaan tersebut segera dapat diselamatkan oleh John Maynard Keynes. Menurutnya,
perekonomian sepenuhnya tidak harus diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi dalam batas-
batas tertentu, campur tangan negara justru amat diperlukan. Intervensi negara menjadi suatu
keniscayaan terutama mendorong perekonomian kembali pada posisi keseimbangan. Keynes
sangat berbeda dengan Smith. Pandangan Keynes di atas merupakan sebuah revolusi dalam
pemikiran ekonomi liberal-kapitalis yang berkembang sejak adam Smith.
Dalam perkembangan selanjutnya, teori ekonomi modern menyerap teori-teori yang ditulis
oleh para pemikir Muslim. Keadaan ini, agak sulit ditemukan buktinya, karena teori-teori
ekonomi modern yang dikembangkan oleh para pemikir Barat, tidak menyebutkan secara tegas,
rujukan-rujukannya yang berasal dari kitab-kitab klasik keilmuan Islam.
Josep Schumpeter misalnya mengatakan, adanya “Great Gap” dalam sejarah pemikir
ekonomi selama 500 tahun yaitu masa yang dikenal sebagai the dark ages. Dalam karyanya,
“History of Economis Analysis”, ia menegaskan bahwa pemikir ekonomi timbul pertama kali di
zaman Yunani Kuno pada abad 4 SM dan bangkit kembali pada abad ke 13 M di tangan pemikir
skolastik Thomas Aquinas. Dalam periodisasi sejarah Islam, masa kegelapan Barat tersebut
adalah masa kegemilangan Islam. Suatu hal yang berusaha ditutupi oleh Barat karena pemikiran-
pemikiran ekonomi Islam pada masa ini yang kemudian banyak dijadikan rujukan oleh para
ekonom Barat.
Perdebatan di seputar masalah ekonomi tersebut, mendorong kita untuk menelaah kembali
kesejarahan Islam Klasik. Saat itu tradisi dan praktek ekonomi maupun perdagangan dengan
landasan syari’ah telah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw, bahkan lebih luas dari itu. Beliau
yang hidup di tengah masyarakat Arab kuno telah menanamkan prinsip-prinsip etika ekonomi
dan perdagangan yang bertumpu pada syari’ah. Praktek ekonomi maupun perdagangan
masyarakat Arab saat itu tidak hanya mengenal barter, tetapi sistem jual beli telah berlaku, mata
uang Persia dan Romawi juga telah dikebal luas oleh masyarakat dan telah menjadi sarana
pertukaran yang efektif. Bahkan tukar menukar valuta asing atau “Sharf”, demikian pula anjak
piutang dan pembayaran tidak tunai telah dikenal untuk perdagangan antar nagara. Sebuah
lembaga pengumpul dan pendistribusi dana masyarakat teah dilakukan oleh “Bait al-Mâl” yakni
sebuah lembaga yang menggantikan lembaga peninggalan raja-raja kuno yang dipergunakan
untuk menarik upeti dari rakyat.
Praktik riba dan bunga serta perdagangan ilegal seperti monopoli dan penimbunan telah
mendapat perhatian Rasulullah Saw dan digantinya dengan sistem perdagangan yang
menjunjung keadilan, kejujuran, dan pertanggungjawaban sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Ini
adalah sebuah revolusi besar terhadap sistem ekonomi yang dilakukan beliau.
Satu hal yang berkaitan dengan masalah yang diperdebatkan di atas, penentuan harga
diserahkan pada mekanisme pasar yaitu diletakkan pada kekuatan penawaran dan permintaan itu
sendiri, seperti terungkap dari sebuah hadist Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh ‘Anas bin
Mâlik, bahwa suatu ketika terjadi kenaikan harga-harga barang di kota Madinah, beberapa
sahabat menghadap Nabi Saw mengadukan masalah itu dan meminta beliau agar mematok
harga-harga barang di pasaran. Rasulullah menjawab “sesungguhnya Allah yang menetapkan
harga, yang menahan, dan melepaskan, dan yang mengatur rezeki. Dan aku mengharapkan agar
saat berjumpa Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun diantara kalian yang menggugatku
karena kezaliman dalam soal jiwa dan harta”.
Meski demikian pada kasus lain dimana ada ketidakadilan dan unsur penipuan terjadi dalam
aktivitas bisnis masyarakat, Rasulullah Saw tetap melakukan campur tangan, dalam hal ini turut
mengendalikan dan mengontrol harga, menyeimbangkan permintaan dan penawaran.
Pada masa selanjutnya, tradisi dan praktek ekonomi Islam terus dikembangkan. Misalnya
Abu Bakar telah menggunakan asas pemerataan dalam distribusi harta negara, kebijakan ini
berbeda dengan Umar bin Khatab yang menggunakan sistem distribusi dengan asas
pengistimewaan pada orang-orang tertentu seperti assâbilqunal awwalûn, keluarga Nabi, dan
para pejuang perang, mereka mendapat prioritas pertama. Sumber penerimaan negara berasal
dari zakat, jizyah, kharaj, ghanimah dan fai, dan masa Umar telah dikembangkan lebuh luas
seperti adanya ‘Ushr’ dari pajak perdagangan antara negara muslim dengan negara asing lainnya.
Diversifikasi dalam berbagai sumber pemasukan negara saat itu membuat kas negara menempati
posisi surplus.
Pasca Khulafa Rasyidin dan seiring dengan pergantian sistem pemerintahan Islam yang
berkembang ke arah dinasti-dinasti Islam dalam suatu organisasi pemerintahan yang kuat, telah
muncul tokoh-tokoh pemikir muslim, yang dapat dikategorikan sebagai fuqaha, para filosof dan
sufi dengan berbagai karya ilmiahnya termasuk pemikiran tentang ekonomi.
Mengikuti kronologi sejarah pemikiran ekonomi Islam yang dikemukakan Nejatullah
Siddiqi, didapati bahwa sejarah pemikiran ekonomi muslim dikelompokan dalam tiga periode,
dan tefokus pada tokoh-tokoh utama saja. Pertama, sampai 450 Hijrah, meliputi para penemu
dan pendiri dalam bidang hukum [fuqaha], diantara mereka yang menuliskan karyanya dalam
bidang ekonomi adalah ‘Abû Yûsuf (182/798); Muhammad bin Hasan Asy-Syaibâni (189/804);
‘Abû Ubaid (224/838); Yahya bin ‘Umar (289/902); Mawardi (450/1058); Ibnu Hazm
(456/1064). Kedua, 400 tahun berikutnya, meliputi tokoh intelektual terkenal seperti al-Ghazâli
(451-505/1055-1111); Ibnu Taimiyyah (661-728/1263-1328); Ibnu Khaldun (732-808/1332-
1404). Ketiga, 500 tahun terakhir antara lain Shah Waliullah (1114-1176/1703-1762),
Muhammad bin Abdul Wahhâb (1206/1787); Muhammad ‘Abduh (1230/1905); Muhammad
Iqbal (1356/1932) dan beberapa pemikir lain.
Masa berikutnya adalah masa dimana lahir banyak tokoh pemikir kontemporer yang
mengkhususkan diri dalam menekuni bidang ekonomi Islam yang lebih sistematis dan dengan
mengikuti perkembangan ilmu ekonomi modern, diantaranya adalah Khursyid Ahmad,
Nejatullah Siddiqi, Umar Chapra, afzalurrahman, Muhammad Abdul Mannan, dan lain-lain.
Rekam-jejak para peletak pondasi ekonomi Islam di atas Berikut ini akan sedikit dipaparkan
wacana pemikiran ekonomi muslim yang cukup menonjol karyanya dalam bidang ekonomi pada
fase pertama dan kedua dan memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada perkembangan
selanjutnya.
BAGIAN II:
KEBIJAKAN EKONOMI PADA PERIODE AWAL ISLAM
A. Tradisi Dan Praktek Ekonomi Pada Masa Rasulullah Saw
1. Kegiatan Ekonomi Bangsa Arab Sebelum Islam
Jauh sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab telah terkenal dengan kehidupan
perniagaannya. Kondisi wilayah Jazirah Arab dan sekitarnya yang didominasi oleh padang pasir,
pegunungan yang tandus dan penuh dengan bebatuan, tampaknya menjadi alasan utama
mayoritas penduduk Arab untuk memilih perniagaan sebagai sumber mata pencaharian mereka.
Di antara kota-kota di negeri Arab, Mekah merupakan kota yang sangat penting dan terkenal
karena letaknya sebagai jalur perdagangan ramai yang menghubungkan Yaman di selatan dengan
Syiria di utara.
Suku Quraisy yang merupakan suku asal Nabi Muhammad Saw dan pemegang otoritas
sebagai penjaga Ka’bah adalah suku bangsa Arab yang paling dominan dan berpengaruh,
termasuk dalam kegiatan perniagaan. Dengan statusnya sebagai penjaga Ka’bah tersebut, suku
Quraisy memiliki peluang dan kemudahan dalam berniaga. Mereka sangat leluasa dan aman
untuk melakukan perjalanan dagang di seluruh kawasan Arab, meskipun di wilayah yang sedang
berkecamuk perang. Hampir seluruh suku bangsa Arab menghormati kafilah-kafilah suku
Quraisy, baik dalam bentuk penyediaan izin singgah setiap saat, fasilitas dagang, maupun
jaminan keamanan.
Seperti halnya ke utara dan selatan, suku Quraisy juga mengadakan perjalanan niaga ke
timur dan barat untuk menghubungkan antara Bahrain dan Selat Persia (Teluk Arab) di satu
pihak dengan Sudan dan Habsy melalui Laut Merah di pihak lain. Keleluasaan dalam perniagaan
tersebut serta interaksinya yang luas dengan dunia luar, terutama penduduk Syiria, Mesir, Irak,
Iran, Yaman, dan Ethiopia, tidak saja mendatangkan keuntungan materi yang besar, tetapi juga
meningkatkan kadar pengetahuan, kecerdasan, dan kearifan suku Quraisy, sehingga
menempatkan suku ini sebagai suku yang paling piawai dalam berniaga, baik dalam bentuk
syirkah maupun mudhârabah, yang membawa mereka kepada kemakmuran dan kekuasaan.
Sementara itu, mayoritas penduduk kota Yatsrib (Madinah) memilih bercocok tanam, di
samping pengrajin besi dan berniaga, sebagai sumber utama mata pencaharian mereka. Hal ini
ditunjang oleh kondisi daerah tersebut yang memiliki tingkat kelembaban dan curah hujan yang
cukup, sehingga menjadikannya sebagai daerah yang subur.
Dalam melakukan transaksi perniagaannya, suku bangsa Arab mempunyai kebiasaan
menerapkan sistem ribawi, sebagai berikut:
(a) Seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan perjanjian bahwa pembayarannya
akan dilakukan pada suatu tanggal yang telah disetujuai bersama. Apabila pembeli tidak
dapat membayar tepat pada waktunya, suatu tenggang waktu akan diberikan dengan syarat
membayar dengan jumlah yang lebih besar daripada harga awal.
(b) Seseorang meminjamkan sejumlah uang selama jangka waktu tertentu dengan syarat, pada
saat jatuh tempo, peminjam membayar pokok modal bersama dengan suatu jumlah tetap
riba atau tambahan.
(c) Antara peminjam dengan pemberi pinjaman melakukan kesepakatan terhadap suatu tingkat
riba selama jangka waktu tertentu. Apabila telah jatuh tempo dan belum bisa
membayarnya, peminjam diharuskan membayar suatu tingkat kenaikan riba tertentu
sebagai kompensasi tambahan tenggang waktu pembayaran.
Dengan demikian, perdagangan merupakan dasar perekonomian bangsa Arab sebelum Islam
datang. Berkenaan dengan hal tersebut, prasyarat untuk melakukan suatu transaksi adalah adanya
alat pembayaran yang dapat dipercaya. Pada saat itu, jazirah Arab dan sekitarnya
mempergunakan mata uang dinar dan dirham yang merupakan satuan mata uang Romawi dan
Persia, dua kerajaan besar yang sangat berpengaruh di wilayah tersebut. Di samping itu, karena
ekspansi perdagangan yang dilakukannya sangat luas, bangsa Arab juga mempergunakan alat
pembayaran kredit. Akan tetapi, volume sirkulasi alat pembayaran ini masih sangat sedikit jika
dibandingkan dengan uang, karena jazirah Arab dan sekitarnya ketika itu berada dalam suasana
ketidakpastian.
2. Praktek dan Kebijakan Ekonomi Rasulullah saw
Muhammad Saw lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun Gajah di tengah-tengah
keluarga terhormat yang miskin yang berasal dari kabilah Bani Hasyim, sebuah kabilah yang
kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Ia lahir dalam keadaan yatim, karena ayahnya, Abdullah
bin Abdul Muthalib, wafat ketika ia masih berada dalam kandungan. Sejak kecil, Muhammad
Saw. diasuh oleh Halimah Sa’diyah hingga berusia 4 tahun. Setelah itu, selama 2 tahun,
Muhammad Saw. berada dalam asuhan ibu kandungnya, Aminah binti Wahab. Ketika usianya
menginjak 6 tahun, ia menjadi yatim piatu. Abdul Muthalib, selanjutnya, mengambil alih
tanggung jawab merawat Muhammad Saw.
Namun, selang dua tahun kemudian, kakeknya tersebut meninggal dunia. Tanggung jawab
berikutnya beralih kepada Abu Thalib. Dalam asuhan dan didikan pamannya tersebut,
Muhammad Saw. tumbuh dewasa dan banyak belajar mengenai bisnis perdagangan hingga
diangkat Allah Swt. sebagai Nabi dan Rasul-Nya.
a. Periode Mekah: Muhammad Saw. Sebagai Seorang Pedagang
Seperti anggota suku Quraisy lainnya, Muhammad Saw. menekuni dunia perdagangan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada usia 12 tahun, ia ikut serta dalam perjalanan dagang ke
Syiria bersama pamannya, Abu Thalib. Setelah menginjak dewasa dan menyadari bahwa
pamannya berasal dari keluarga besar namun berekonomi lemah, Muhammad saw mulai
berdagang sendiri pada taraf kecil dan pribadi di kota Mekah.
Dalam melakukan usaha dagangnya, Muhammad Saw. menggunakan modal orang lain yang
berasal dari para janda kaya dan anak yatim yang tidak mampu menjalankan modalnya sendiri.
Dari hasil mengelola modal tersebut, ia mendapatkan upah atau bagi hasil sebagai mitra.
Muhammad Saw. sering melakukan perjalanan bisnis ke berbagai negeri, seperti Syiria, Yaman,
dan Bahrain untuk mempertahankan usahanya
Kepiawaiannya dalam berdagang yang disertai dengan reputasi dan integritas yang baik
membuat Muhammad Saw. dijuluki al-amîn (terpercaya) dan ash-shiddîq (jujur) oleh penduduk
Mekah yang berimplikasi pada semakin banyaknya kesempatan berdagang dengan modal orang
lain. Sejarah mencatat bahwa Muhammad Saw. banyak melakukan perdagangan dengan modal
dari Khadijah binti Khuwailid, seorang janda kaya yang kelak menjadi pendamping hidupnya.
Setelah menikah dengan Khadijah, Muhammad Saw. tetap menjalankan usaha
perdagangannya. Ia menjadi manajer sekaligus mitra dalam usaha isterinya. Perjalanan dagang
beberapa kali diadakan ke berbagai pusat perdagangan dan pekan dagang di semenanjung Arab
dan negeri-negeri perbatasan Yaman, Bahrain, Irak, dan Syiria. Muhammad saw juga terlibat
dalam urusan dagang yang besar di festival dagang Ukaz dan Dzul Majaz selama musim haji.
Pada musim yang lain, ia sibuk mengurus perdagangan grosir di pasar-pasar kota Mekah.
Muhammad saw melakukan hampir semua urusan dagang melalui agen-agennya dan hanya
sedikit sekali bertindak sebagai agen untuk para pedagang lain. Kadang-kadang ia mengambil
pinjaman berdasarkan gadai, membeli barang dengan tunai, dan dengan pinjaman.
Muhammad saw melakukan banyak transaksi jual-beli sebelum kenabiannya. Setelah
diangkat sebagai Nabi, keterlibatannya dalam urusan perdagangan agak menurun. Bahkan,
sesudah hijrah ke Madinah, aktivitas penjualannya semakin sedikit jika dibandingkan dengan
aktivitas pembelian.
b. Periode Madinah: Muhammad saw Sebagai Seorang Kepala Negara
Setelah mendapat perintah dari Allah swt, Nabi Muhammad saw berhijrah ke Yatsrib
(Madinah). Ia disambut dengan hangat oleh penduduk kota tersebut dan diangkat sebagai
pemimpin mereka. Berbeda dengan periode Mekah, Islam menjadi kekuatan politik pada periode
Madinah. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat (mu’âmalah) banyak
turun di kota ini. Nabi Muhammad saw mempunyai kedudukan sebagai kepala negara, di
samping pemimpin agama. Dengan kata lain, dalam diri Nabi Muhammad saw terkumpul dua
kekuasaan sekaligus, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai rasul
secara otomatis merupakan kepala negara.
Rasulullah saw segera membuang sebagian besar tradisi dan nilai-nilai yang bertentangan
dengan ajaran Islam dari seluruh aspek kehidupan masyarakat muslim. Kondisi negara baru yang
dibentuk ini, tidak diwarisi sumber keuangan sedikitpun sehingga sulit dimobilisasi dalam waktu
dekat. Karenannya, Rasulullah saw segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat,
yaitu:
a) Membangun masjid sebagai Islamic Centre.
b) Menjalin ukhuwwah islamiyyah antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar.
c) Menjalin kedamaian dalam negara.
d) Mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya.
e) Membuat konstitusi negara.
f) Menyusun sistem pertahanan negara.
g) Meletakkan dasar-dasar keuangan negara.
Seperti yang telah dikemukakan bahwa mata uang yang dipergunakan bangsa Arab, baik
sebelum Islam maupun sesudahnya, adalah dinar dan dirham. Kedua mata uang tersebut
memiliki nilai yang tetap dan karenanya tidak ada masalah dalam perputaran uang. Jika dirham
diasumsikan sebagai satuan uang, nilai dinar adalah perkalian dari dirham, sedangkan jika
diasumsikan dinar sebagai unit moneter, nilainya adalah sepuluh kali dirham. Walaupun
demikian, dalam perkembangan berikutnya, dirham lebih umum digunakan daripada dinar. Hal
ini sangat berkaitan erat dengan penaklukan tentara Islam terhadap hampir seluruh wilayah
kekaisaran Persia. Sementara itu, tidak semua wilayah kekaisaran Romawi berhasil dikuasai
tentara Islam.
Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman ibn ‘Affan mendelegasikan kewenangan
menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk
mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang
tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat.
Untuk meningkatkan pengeluaran di bidang pertahanan dan kelautan, meningkatkan dana
pensiun, dan pembangunan berbagai wilayah taklukan baru, negara membutuhkan dana
tambahan. Oleh karena itu, Khalifah Utsman ibn ‘Affan membuat beberapa perubahan
administrasi tingkat atas dan pergantian beberapa gubernur. Ia juga menerapkan kebijakan
membagikan tanah-tanah negara kepada individu-individu untuk reklamasi dan kontribusi
kepada Baitul Mal. Dari hasil kebijakannya ini, negara memperoleh pendapatan sebesar 50 juta
dirham atau naik 41 juta dirham jika dibandingkan pada masa Umar ibn al-Khattab yang tidak
membagi-bagikan tanah tersebut.
Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman ibn ‘Affan, tidak terdapat
perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsma ibn
‘Affan yang banyak menguntungkan keluarganya telah menimbulkan benih kekecewaan yang
mendalam pada sebagian besar kaum muslimin. Akibatnya, pada masa ini, pemerintahannya
lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah.
4. Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Setelah diangkat sebagai Khalifah Islam IV oleh segenap kaum muslimin, Ali ibn Abi
Thalib langsung mengambil beberapa tindakan, seperti memberhentikan para pejabat yang
korup, membuka kembali lahan perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang
kesayangan Utsman, dan mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan Umar ibn al-Khattab.
Masa pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam
tahun selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi
pemberontakan Thalhah, Zubair ibn al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman
ibn ‘Affan. Berbagai kebijakan tegas yang diterapkannya menimbulkan api permusuhan dengan
keluarga Bani Umayyah yang dimotori oleh Muawiyah ibn Abi Sofyan. Pemberontakan juga
datang dari golongan Khawarij, mantan pendukung Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang kecewa
terhadap keputusan tahkim pada perang Shiffin.
Sekalipun demikian, Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan
berbagai kebijakan yang mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Menurut sebuah
riwayat, ia secara sukarela menarik diri dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal. Selama
masa pemerintahannya, Khalifah Ali ibn Abi Thalib menetapkan pajak terhadap hasil hutan dan
sayuran. Selama masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, sistem administrasi Baitul Mal, baik di
tingkat pusat maupun daerah, telah berjalan dengan baik. Kerjasama antara keduanya berjalan
dengan lancar dan, karenanya, pendapatan Baitul Mal mengalami surplus. Dalam pendistribusian
harta Baitul Mal, Khalifah Ali ibn Abi Thalib menerapkan prinsip pemerataan. Ia memberikan
santunan yang sama kepada setiap orang tanpa memandang status sosial atau kedudukannya di
dalam Islam. Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berpendapat bahwa seluruh pendapatan negara
yang disimpan dalam Baitul Mal harus didistribusikan kepada kaum muslimin, tanpa ada
sedikitpun dana yang tersisa. Distribusi tersebut dilakukan sekali dalam sepekan. Hari Kamis
merupakan hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan
diselesaikan dan, pada hari Sabtu, penghitungan baru dimulai.
Selain itu, langkah penting yang dilakukan Khalifah Ali ibn Thalib pada masa
pemerintahannya adalah pencetakan mata uang koin atas nama negara Islam. Hal ini
menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan tersebut, kaum muslimin telah menguasai
teknologi peleburan besi dan pencetakan koin. Namun demikian, uang yang dicetak oleh kaum
muslimin itu tidak dapat beredar dengan luas karena pemerintahan Ali ibn Abi Thalib berjalan
sangat singkat seiring dengan terbunuhnya sang Khalifah pada tahun keenam pemerintahannya.