Anda di halaman 1dari 9

PEMODELAN SPASIAL KERENTANAN POPULASI PENDUDUK

TERHADAP BENCANA DI JAWA BARAT

Mahliyatin Muzayyana, Irwan Meilano, Akhmad Riqqi


Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
mahliyatin.muzayyana@students.itb.ac.id

ABSTRAK
Jawa Barat merupakan provinsi dengan populasi penduduk dan potensi bencana yang besar. Hal ini
menyebabkan Jawa Barat memiliki kerentanan populasi penduduk terhadap bencana yang tinggi.
Hingga saat ini belum terdapat informasi mengenai kerentanan penduduk terhadap bencana di Jawa
Barat secara detail. Padahal informasi tersebut sangat penting untuk diketahui sebagai landasan dalam
penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan yang berhubungan dengan tindakan untuk
mencegah dan/atau mengatasi bencana. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pemodelan kerentanan populasi
penduduk terhadap bencana di wilayah Provinsi Jawa Barat. Pembuatan model kerentanan populasi
terhadap bencana dilakukan menggunakan analisis faktor untuk mengetahui hubungan antar variabel
kerentanan penduduk. Pemodelan dilakukan dalam grid skala ragam resolusi 5”x5” (±150m x 150m)
dengan terlebih dahulu melakukan pemodelan distribusi penduduk untuk dijadikan sebagai masukan
dalam pemodelan kerentanan penduduk. Tingkat kerentanan penduduk dalam suatu wilayah akan
direpresentasikan secara spasial oleh indeks kerentanan penduduk yang dimiliki oleh setiap sel grid.
Hasil pemodelan menunjukkan bahwa terdapat enam faktor utama yang mempengaruhi kerentanan
penduduk di Jawa Barat, yaitu faktor demografis, faktor lingkungan pemukiman, faktor kelompok
dengan kebergantungan tinggi, faktor kesehatan, faktor kemiskinan, dan faktor perumahan. Setiap
faktor memiliki variabel dominan yang memiliki nilai korelasi terbesar yaitu jumlah penduduk wanita
(faktor 1; 0,960), jumlah keluarga di lingkungan kumuh (faktor 2; 0,962), jumlah penduduk usia di atas
65 tahun (faktor 3; 0,979), jumlah penduduk cacat (faktor 4; 0,559), jumlah keluarga prasejahtera
(faktor 5; 0,716) dan jumlah pondok pesantren (faktor 6; 0,613). Daerah dengan indeks kerentanan
tertinggi berada di wilayah Kec. Baleendah (indeks kerentanan penduduk = 21,216 ) dan terendah
berada di wilayah Kec. Karangjaya (indeks kerentanan penduduk = 1,123 ).

Kata kunci: kerentanan penduduk, model spasial, bencana, Jawa Barat

indeks

PENDAHULUAN
Penduduk adalah orang-orang yang berada alam maupun faktor manusia sehingga
dalam suatu wilayah, terikat oleh aturan-aturan mengakibatkan timbulnya korban jiwa atau
yang berlaku dan saling berinteraksi satu manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
dengan lainnya. Jawa Barat merupakan provinsi benda, dan dampak psikologis. Jawa barat
di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk merupakan salah satu provinsi dengan jumlah
paling besar yaitu 43.053.732 jiwa (Sensus kejadian bencana terbesar di Indonesia.
Penduduk Tahun 2010). Provinsi Jawa Barat Berdasarkan data Indeks Risiko Bencana
juga memiliki kepadatan penduduk terbesar Indonesia (IRBI) 2013 BNPB, Jawa Barat
kedua setelah DKI Jakarta yaitu mencapai merupakan provinsi kedua dengan indeks risiko
1.217 jiwa/km2. bencana tertinggi setelah Jawa Timur.
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian Tingginya potensi bencana yang dapat terjadi di
peristiwa yang mengancam dan mengganggu Jawa Barat ditambah dengan besarnya jumlah
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang penduduk yang tinggal di provinsi ini
disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau non menyebabkan penduduk di Jawa Barat sangat

1
rentan terhadap bencana alam. Kerentanan Pemodelan persebaran penduduk dilakukan
penduduk terhadap bencana adalah suatu dalam grid skala ragam resolusi 5”x5” dengan
kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat mempertimbangkan kelas tutupan lahan dan
yang mengarah atau menyebabkan jenis jalan. Data yang menjadi masukan dalam
ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman pemodelan persebaran penduduk adalah data
bencana. Informasi mengenai kerentanan ini batas administrasi kecamatan, data tutupan
sangat penting untuk diketahui karena dapat lahan, data jalan, data grid resolusi 5”x5”, dan
digunakan sebagai landasan dalam melakukan data jumlah penduduk per kecamatan di
berbagai tindakan pencegahan ataupun Provinsi Jawa Barat.
penanggulangan bencana. Akan tetapi, hingga
Masing-masing kelas tutupan lahan dan jenis
saat ini belum tersedia informasi mengenai
jalan memiliki nilai bobot yang berbeda. Bobot
kerentanan populasi penduduk di Provinsi Jawa
tutupan lahan diperoleh dari nilai fungsi lahan
Barat. Sehingga, dibutuhkan pemodelan
(Riqqi, 2008) sedangkan bobot jalan
kerentanan penduduk terhadap bencana untuk
merupakan nilai korelasi antara jenis jalan dan
wilayah Provinsi Jawa Barat.
kepadatan penduduk di jalan tersebut (Nengsih,
Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan 2014). Perbandingan antara bobot tutupan lahan
persebaran penduduk serta memodelkan dan jenis jalan dalam perhitungan kepadatan
kerentanan populasi penduduk di Provinsi Jawa penduduk adalah 75% tutupan lahan dan 25%
Barat. Model persebaran penduduk yang jenis jalan. Bobot tutupan lahan dan jenis jalan
dihasilkan akan digunakan sebagai masukan pada penelitian ini diadopsi dari hasil penelitian
dalam pemodelan kerentanan penduduk. Nengsih (2014) dan ditunjukkan pada Tabel 1.
Produk dari penelitian ini adalah model Data tutupan lahan dan data jalan yang
persebaran penduduk dan model kerentanan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat
populasi penduduk di Provinsi Jawa Barat yang pada Gambar 1. Perhitungan jumlah penduduk
disajikan dalam peta persebaran penduduk dan dalam satu unit area dilakukan dengan
peta kerentanan penduduk. menggunakan persamaan (1).
METODE Tabel 1. Bobot persentase kelas tutupan lahan
Secara umum, penelitian ini dilakukan dalam dan jenis jalan (Nengsih, 2014)
beberapa tahapan. Tahap pertama adalah studi Jenis Jalan dan Kelas Lahan Bobot Awal Bobot Persentase
literatur mengenai teori ataupun penelitian Jalan Arteri 0.379 0.095
mengenai persebaran penduduk dan kerentanan Jalan Kolektor 0.036 0.009
Jalan Lokal 0.719 0.180
sosial. proses dilanjutkan dengan pengumpulan
Jalan Lain 0.2876 0.072
data yang akan digunakan dalam penelitian. Pemukiman 0.437 0.328
Bersamaan dengan pengumpulan data, Sawah 0.126 0.095
dilakukan pembuatan grid skala ragam resolusi Pertambangan 0.111 0.083
5”x5” untuk wilayah Jawa Barat. Setelah data Tambak 0.100 0.075
terkumpul, dilanjutkan dengan proses Pertanian Lahan Kering Campur 0.077 0.058
Pertanian Lahan Kering 0.077 0.058
pemodelan persebaran penduduk dan proses
Belukar 0.048 0.036
analisis faktor. Analisis faktor dilakukan pada Belukar Rawa 0.048 0.036
data dengan satuan administrasi kecamatan. Hutan Lahan Kering Sekunder 0.023 0.017
Hasil pemodelan persebaran penduduk dan Hutan Tanaman 0.023 0.017
anlaisis faktor menjadi masukan dalam Perkebunan 0.005 0.004
Hutan Lahan Kering Primer 0.000 0.000
perhitungan indeks kerentanan penduduk.
Bandara/ Pelabuhan 0.000 0.000
Setelah itu, proses dilanjutkan dengan Tanah Terbuka 0.000 0.000
pemodelan kerentanan populasi penduduk Badan Air 0.000 0.000
terhadap bencana. Setelah didapatkan model Rawa 0.000 0.000
kerentanan penduduk, dilakukan validasi pada Hutan Mangrove Primer 0.000 0.000
model tersebut. Setelah model kerentanan Hutan Mangrove Sekunder 0.000 0.000
Hutan Rawa Primer 0.000 0.000
penduduk divalidasi, dilakukan visualisasi dari
Savanna/ Padang rumput 0.000 0.000
kedua model dalam bentuk peta. Hutan Rawa Sekunder 0.000 0.000
Transmigrasi 0.000 0.000
2
(a)

(b)
Gambar 1. (a) Data tutupan lahan Provinsi Jawa Barat tahun 2014 dan (b) data jalan Provinsi
Jawa Barat tahun 2011 (Sumber: Badan Informasi Geospasial (BIG))
𝑃𝑗 = ∑𝑛𝑖=1 𝐴𝑖𝑗(𝑊𝑖 + 𝑊𝑗𝑙)𝐷𝑖𝑗.................... (1)
untuk dua tingkat administrasi, yaitu untuk
dimana,
tingkat kecamatan dan tingkat desa. Validasi
Pj: jumlah penduduk total
dilakukan dengan membandingkan jumlah
Aij: luas area setiap kelas tutupan lahan
penduduk model dengan jumlah penduduk
Dij: densitas penduduk setiap kelas tutupan
yang berasal dari data kependudukan BPS.
lahan
Wi: bobot dari setiap kelas tutupan lahan
Pemodelan kerentanan penduduk dilakukan
Wjl: bobot dari setiap jenis jalan.
dengan analisis faktor eksploratori untuk
mendapatkan hubungan antar-variabel
Pemodelan persebaran penduduk ini juga
pembentuk kerentanan penduduk serta
dilakukan untuk jumlah penduduk wanita dan
mengurangi jumlah variabel yang diamati.
jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur.
Metode ekstraksi yang digunakan Principal
Validasi model persebaran penduduk dilakukan
Axis Factoring dengan metode rotasi matriks

3
Varimax rotation. Metode pemilihan faktor penduduk dilakukan menggunakan persamaan
yang digunakan adalah Kaiser’s Criterion (2).
dimana faktor dipilih jika memiliki nilai eigen
lebih besar dari 1,0. Data dan variabel yang 𝐼𝐾𝑃 = ∑𝑛𝑖=1((𝑉𝑖 ) × (𝑉𝑓) ) × 𝐵𝑖 ...... (2)
digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan dimana,
dalam Tabel 1. 𝐼𝐾𝑃 : Indeks kerentanan penduduk dalam
suatu daerah
Variabel Cutter, dkk. (2003) Fekete (2010) Data dalam penelitian ini
Socioeconomic status 𝑉𝑖 : Nilai variansi untuk variabel ke-i
(Income, political power, Pendapatan per kapita
prestige) 𝑉𝑓 : Variansi total dalam satu faktor
Income
Per capita income Jumlah bangunan kumuh
Status sosio-
ekonomi
resources
Jumlah keluarga di
𝐵𝑖 : Nilai elemen dari variabel ke-i
Economis dependencies
lingkungan kumuh
Population growth
Employment loss
Jumlah keluarga prasejahtera
Hasil pemodelan kerentanan penduduk
Laju pertumbuhan penduduk
Age Age
Penduduk usia dibawah 15 divalidasi secara kualitatif. Model yang telah
tahun

Komposisi dan Special needs population Dependencies


Penduduk usia diatas 65
tahun
terbentuk dibandingkan dengan variabel-
ketidakmampuan
anggota rumah
Social dependence Penduduk penderita cacat variabel penyusun kerentanan pada daerah
Jumlah penduduk per rumah
tangga Family structure
tangga maisng-masing sehingga akan diketahui
Gender Jumlah wanita
kesesuaian antara tingkat kerentanan model
Status minoritas Education Education Jumlah sekolah dasar
dan kemampuan Ethnical dengan variabel kerentanannya.
berbahasa Race and etnicity Jumlah taman kanak-kanak
background
Jumlah penduduk per area
Lingkungan
Medical Services Medical cares
pemukiman HASIL DAN PEMBAHASAN
tempat tinggal Urban-rural
Occupation Luas area pemukiman
context
Renters
Building or
apartment type
Kepadatan penduduk Model persebaran penduduk dan model
Insfrastructure and
lifelines
Potential of the
region/county
Jumlah puskesmas kerentanan penduduk terhadap bencana yang
Residential property dihasilkan dalam penelitian ini disajikan dalam
Rural/Urban Jumlah pondok pesantren
Commercial and bentuk peta. Peta tersebut disajikan dengan
industrial developement
teknik pewarnaan Choropleth yang
Sebelum melakukan analisis faktor, data harus menggunakan gradasi warna untuk
dinormalisasi terlebih dahulu agar memiliki menunjukkan perbedaan nilai. Hasil pemodelan
rentang yang sama. Setelah itu, proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 dan
dilakukan dengan menguji kecocokan data Gambar 5.
untuk diterapkan dalam analisis faktor.
Pada peta persebaran penduduk, semakin gelap
Pengujian tersebut dilakukan dengan uji
warna daerah maka semakin besar jumlah
Kaiser-Mayer-Olkin of Sampling Adequancy
penduduk pada daerah tersebut. Sedangkan
(KMO) serta Bartlett’s test of Sphericity. Suatu
semakin terang warna suatu daerah, maka
data dikatakan cocok untuk diterapkan dalam
semakin kecil jumlah penduduk pada daerah
analisis faktor apabila memiliki nilai KMO >
tersebut. Dari peta tersebut, dapat dilihat bahwa
0,5 dan nilai signifikansi hasil tes Bartlett <
hasil pemodelan persebaran penduduk ini telah
0,005.
mencermikan keadaan yang sebenarnya.
Apabila analisis faktor telah dilakukan, akan Daerah yang memiliki jumlah penduduk yang
didapatkan seperangkat variabel dengan pola tinggi (berwarna gelap) sebagian besar
yang stabil. Sehingga, akan diperoleh variabel- terkonsentrasi pada daerah perkotaan, terutama
variabel yang memiliki korelasi yang besar dan pada kota-kota besar yang menjadi ibukota
mewakili satu atau beberapa variabel yang lain, provinsi serta dekat dengan ibukota Jakarta.
yang disebut faktor. Setiap faktor akan Beberapa daerah yang terlihat memiliki jumlah
memiliki variabel yang dipilih berdasarkan penduduk yang tinggi adalah Kota Bandung,
nilai variansi terbesarnya. Kemudian, setelah Kota Bekasi, Kota Cirebon, dan Kota Bogor.
semua variabel dikelompokkan dalam masing- Sedangkan daerah-daerah yang memiliki
masing faktor, akan dilakukan perhitungan jumlah penduduk yang rendah (berwarna
indeks kerentanan penduduk yang terang) umumnya berada di daerah sub-urban,
menggunakan nilai variansi variabel sebagai misalnya daerah Kabupaten Sukabumi,
bobot.. Perhitungan indeks kerentanan Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, dsb.

4
Gambar 2. Peta persebaran penduduk Provinsi Jawa Barat dalam sistem grid skala ragam resolusi
5”x5”

Kualitas dari hasil persebaran penduduk ini lahannya adalah non-pemukiman dengan jenis
dipastikan dengan adanya validasi. Validasi jalan jalan lain yang memiliki bobot yang
untuk tingkat kecamatan dilakukan di seluruh rendah. Sehingga, pada daerah perkotaan
kecamatan di Kabupaten Pangandaran dan Kota memiliki kepadatan penduduk yang tinggi
Bekasi. Hasil validasi menunjukkan bahwa sesuai dengan kondisi sebenarnya dan pada
rata-rata selisih antara jumlah penduduk model daerah non-perkotaan memiliki kepadatan
dengan jumlah penduduk BPS dalam satu penduduk yang sangat rendah, jauh lebih
kecamatan mendekati 0. Sehingga, dapat rendah dari keadaan sebenarnya. Visualisasi
diketahui bahwa, baik untuk daerah perkotaan kelas tutupan lahan dan jenis jalan dari daerah
ataupun non-perkotaan, persebaran penduduk perkotaan dan non-perkotaan yang digunakan
telah dilakukan dengan baik. dalam validasi disajikan dalam Gambar 3.
Validasi model persebaran penduduk untuk Analisis faktor yang dilakukan dalam
tingkat administrasi desa dilakukan di pemodelan kerentanan penduduk menjelaskan
Kecamatan Harjamukti (Kota Cirebon) dan 55, 158% dari total variansi kumulatif dengan
Kecamatan Cisarua (Kabupaten Sumedang). hasil enam faktor yang mewakili setiap variabel
Rata-rata selisih antara jumlah penduduk model kerentanan penduduk. Enam faktor tersebut
dan jumlah penduduk BPS untuk Kec. dipilih berdasarkan nilai eigen yang dimiliki.
Harjamukti adalah 12,41% sedangakn Kec. Faktor dengan nilai eigen lebih dari 1,0
Cisarua adalah 19,91%. Dari hasil tersebut, dianggap mewakili variabel yang lain dan akan
dapat dilihat bahwa pada daerah perkotaan nilai dipilih sebagai salah satu faktor. Visualisasi
selisihnya lebih kecil daripada daerah non- dari nilai eigen masing-masing faktor dapat
perkotaan. Hal ini dikarenakan kelas tutupan di dilihat pada Scree Plot yang disajikan dalam
daerah perkotaan sebagian besar adalah Gambar 4. Setelah didapatkan faktor-haktor
pemikiman dan jenis jalan lain yang memiliki tersebut, setiap variabel dikelompokkan ke
bobot tertinggi. Berbeda dengan kawasan non- dalam faktor berdasarkan keberadaan nilai
perkotaan yang sebagian besar kelas tutupan loading terbesarnya. Hasil pengelompokkan
variabel tersebut ditujnjukkan dalam Tabel 3.

5
(a) (b)
Gambar 3. (a) Kelas tutupan lahan dan jenis jalan pada daerah perkotaan dan (b) Kelas tutupan
lahan dan jenis jalan pada daerah nonperkotaan

Gambar 4. Scree Plot dari faktor-faktor hasil analisis faktor

Variabel dengan nilai loading terbesar di dan juga jumlah penduduk per rumah tangga
masing-masing faktor adalah variabel dominan yang menunjukkan adanya ketidakmerataan
dalam faktor tersebut. Sedangkan variabel persebaran penduduk. Faktor 2 mewakili aspek
dengan nilai loading diatas 0,9 merupakan lingkungan tempat tinggal karena didominasi
variabel yang paling mempengaruhi kerentanan oleh variabel jumlah bangunan dan keluarga di
penduduk. area kumuh yang mencerminkan kondisi
lingkungan tempat tinggal. Faktor 3 mewakili
Setiap faktor mewakili aspek yang berbeda,
aspek kebergantungan karena didominasi oleh
bergantung pada variabel dominan yang berada
jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur.
pada faktor tersebut. Faktor 1 mewakili aspek
Variabel ini mewakili penduduk dengan usia
permasalahan demografis karena pada faktor
rentan yang memiliki kebergantungan tinggi.
ini didominasi oleh variabel jumlah penduduk
Faktor 4 mewakili aspek kesehatan karena
wanita, jumlah penduduk di area pemukiman,

6
didominasi oleh variabel jumlah penduduk semakin besar pula tingkat kerantanan
cacat dan jumlah unit pelayanan kesehatan. penduduk di daerah tersebut.
Faktor 5 mewakili aspek kemiskinan karena
Daerah dengan indeks kerentanan penduduk
didominasi oleh variabel keluarga prasejahtera.
tertinggi adalah Kecamatan Baleendah, Kab.
Faktor 6 mewakili aspek perumahan karena
Bandung, yaitu sebesar 21,216. Daerah tersebut
didominasi oleh variabel jumlah pondok
memiliki jumlah yang besar pada variabel-
pesantren. Jumlah pondok pesantren mewakili
variabel dominan kerentana penduduk.
bangunan atau perumahan dengan jumlah
Variabel-variabel tersebut adalah jumlah
penghuni yang banyak.
keluarga di area kumuh (0,962), jumlah
Tabel 3. Hasil pengelompokkan variabel bangunan di area kumuh (0,957), dan jumlah
dalam faktor penduduk wanita (0,960). Selain variabel
Faktor 1 20,634 Faktor 2 11,706 Faktor 3 10,245
Jumlah
dengan nilai variansi di atas 0,9, beberapa
Jumlah Keluarga di Penduduk usia
penduduk
wanita
0,960
area kumuh
0,962
>65 tahun
0,979 variabel yang memiliki nilai tinggi di
Penduduk di
area 0,929
Jumlah bangunan
0,957
Penduduk usia
0,743
kecamatan ini adalah variabel yang dominan
di area kumuh <15 tahun
pemukiman dalam faktornya. Variabel tersebut adalah
Luas area Densitas
0,783 0,228
pemukiman penduduk jumlah penduduk cacat (0,559; dominan di
Rasio luas area
Jumlah SD 0,608 0,072
pemukiman faktor 4) dan jumlah pondok pesantren (0,613;
Jumlah TK 0,465
Penduduk per
dominan di faktor 6). Banyaknya variabel yang
0,373
Rumah tangga
Faktor 4 4,524 Faktor 5 4,393 Faktor 6 3,656
dominan serta memiliki nilai yang tinggi
Jumlah
Jumlah keluarga
Jumlah tersebut sangat mempengaruhi nilai indeks
Penduduk 0,559 0,716 Pondok 0,613
prasejahtera
cacat pesantren kerentanan penduduk dan menyebabkan
Jumlah
0,211
puskesmas tingginya indeks kerentanan penduduk di
Pada peta kerentanan penduduk yang daerah ini.
ditunjukkan pada Gambar 3. daerah dengan Daerah yang memiliki nilai indeks kerentanan
warna paling gelap memiliki indeks kerentaan terendah adalah Kecamatan Karangjaya,
penduduk tertinggi dan daerah dengan warna Kabupaten Tasikmalaya, yaitu sebesar 0,76.
paling terang adalah daerah dengan indeks Daerah ini memiliki kerentanan penduduk
kerentanan penduduk terendah. Semakin besar terhadap bencana yang rendah karena hampir
nilai kerentanan penduduk di suatu daerah, semua variabel penysunnya memiliki jumlah

Gambar 3. Peta kerentanan penduduk terhadap bencana Provinsi Jawa Barat dalam sistem grid
skala ragam resolusi 5”x5” 7
yang kecil. Variabel yang memiliki jumlah 3. Daerah dengan kerentanan penduduk
cukup besar (dengan indeks kerentanan tertinggi di Provinsi Jawa Barat berada
variabel lebih dari 1) hanyalah variabel jumlah di Kecamatan Baleendah, Kabupaten
sekolah dasar dan jumlah penduduk per rumah Bandung, dengan indeks kerentanan
tangga. penduduk adalah 21,216. Daerah ini
memiliki jumlah penduduk wanita,
Dengan adanya model kerentanan penduduk jumlah keluarga dan bangunan di area
ini, maka informasi mengenai kerentanan kumuh, jumlah penduduk prasejahtera,
penduduk di setiap area seluas ±150mx150m dan jumlah penduduk di area
Provinsi Jawa Barat telah diketahui. Dengan pemukiman yang tinggi. Sedangkan
demikian, model ini dapat digunakan sebagai daerah dengan kerentanan penduduk
panduan dalam menyusun kebijakan terkait terendah adalah Kecamatan
Karangjaya, Kabupaten Tasikmalaya
kebencanaan
dengan indeks kerentanan penduduk
PENUTUP sebesar 1,123. Hampir semua variabel
kerentanan penduduk pada daerah ini
Kerentanan penduduk penting untuk diketahui memiliki nilai yang kecil.
karena dapat menjadi dasar dalam mitigasi serta
pengambilan keputusan saat terjadi suatu Untuk meningkatkan kualitas hasil dalam
bencana. Dari pemodelan kerentanan penduduk pemodelan persebaran penduduk serta
untuk wilayah Jawa Barat yang telah dilakukan, pemodelan kerentanan populasi penduduk pada
didapatkan beberapa kesimpulan: penelitian selanjutnya, terdapat beberapa saran
yang diberikan berdasarkan pengerjaan
1. Pemodelan persebaran penduduk penelitian ini.
resolusi tinggi menggunakan grid skala
ragam dan bobot tutupan lahan dan 1. Di dalam melakukan pemodelan
jenis jalan memiliki rata-rata nilai persebaran penduduk, sebaiknya
selisih antara jumlah penduduk model diperhitungkan pula aspek-aspek
dan data BPS kurang dari 20% dan demografi, seperti jumlah penduduk
dapat dijadikan sebagai masukan per rumah tangga, sehingga akan
dalam pemodelan kerentanan menghasilkan hasil yang lebih
penduduk. merepresentasikan kondisi sebenarnya.
2. Pemodelan kerentanan penduduk 2. Di dalam melakukan pemodelan
menggunakan analisis faktor kerentanan penduduk, sebaiknya
menghasilkan enam faktor yang digunakan dapat yang lengkap dan
mewakili variabel. Faktor-faktor variabel sebanyak mungkin.
tersebut adalah faktor demografis, 3. Pemilihan metode perhitungan
faktor lingkungan pemukiman, faktor kerentanan penduduk harus dikaji
kelompok dengan kebergantungan kembali untuk mengetahui kekurangan
tinggi, faktor kesehatan, faktor serta kelebihannya.
kemiskinan, dan faktor perumahan. 4. Perlu dicoba metode perhitungan lain
Setiap faktor memiliki variabel di dalam pemodelan kerentanan
dominan yang memiliki nilai korelasi populasi penduduk terhadap bencana.
terbesar dan paling mempengaruhi Agar hasil yang didapatkan lebih baik,
kerentanan penduduk terhadap bencana sebaiknya digunakan pula data mengenai
yaitu jumlah penduduk wanita (faktor ancaman bencana di suatu daerah dalam
1; 0,960), jumlah keluarga di pemodelan kerentanan populasi penduduk
lingkungan kumuh (faktor 2; 0,962), terhadap bencana.
jumlah penduduk usia di atas 65 tahun
(faktor 3; 0,979), jumlah penduduk DAFTAR PUSTAKA
cacat (faktor 4; 0,559), jumlah keluarga
prasejahtera (faktor 5; 0,716) dan Borden, K.A., Schmidtlein, M.C., Emrich,
jumlah pondok pesantren (faktor 6; C.T., Piegorsch, W.W., & Cutter, S.L.
0,613). (2007). Vulnerability of U.S. Cities to
Environmental Hazards. Journal of

8
Homeland Security and Emergency Multiscale Grid System for
Management Vol. 4, Issue 2, Article 5. Environmental Data. Asia Geospatial
Forum 2011.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB). (2012). Peraturan Kepala Riqqi, Akhmad. (2008). Pengembangan
Badan Nasional Penanggulangan Pemetaan Geografik Berbasis
Bencana Nomoor 02 Tahun 2012 Pendekatan Ragam Skala untuk
Tentang Pedoman Umum Pengkajian Pengelolaan Wilayah Pesisir. Disertasi.
Risiko Bencana. Bandung: Institut Teknlgi Bandung.
Cutter, Susan L. (1996). Vulnerability to Taherboost, H., Sahibuddin, S., & Jalaliyoon,
Envirnmental Hazards. Progress in N. (2014). Exploratory Factor Analysis;
Human Geography 20,4 pp. 529-539. Concept and Theory. Advanced in
Applied and Pure Mathematics ISBN:
Cutter, Susan L., Boruff, B. 2003. Social 978-960-474-380-3.
Vulnerability to Environmental Hazards.
Fekete, Alexander. (2010) Assessment of Social
Vulnerability for River-Floods in
Germany. Master Tesis. United Nations
University
Flanagal, B.E., Gregory, E.W., Hallisey, E.J.,
Heitgerd, J.L., & Lewis, B. (2011). A
Social Vulnerability Index for Disaster
Management. Journal of Homeland
Security and Emergency Managemnet
Vol. 8, Issue 1, Article 3.
Holand, I.S., Lujala, P. & Rod, JK. (2011).
Social Vulnerability Assasement for
Norwegia: A Quantitive Approach.
Norsk Geogafisk Tidsskrift-Norwegian
Journal of Geography Vol. 65, 1-17.
ISSN 0029-1951.
Junaedi, H., Budianto, H., Maryati, I., &
Melani, Y. (2011). Data Transformasi
pada Data Mining. Konferensi Nasional
“Inovasi dalam Desain dan Teknologi
ISSN: 2089-1121.
Kirby, Ryan Hamilton. (2015). Measuring
Social Vulnerability to Enviromental
Hazards in the Dutch Province of
Zeeland. Master Thesis. Louisiana State
University and Agricultural and
Mechanical College.
Nengsih, Siska Rusdi. (2014). Pembangunan
Model Distribusi Populasi Penduduk
Resolusi Tinggi untuk Wilayah Indonesia
Menggunakan Sistem Grid Skala Ragam.
Master Thesis. Bandung: Institut
Teknolgi Bandung.
Riqqi, A., Fitria, A., Prijatna, K., Pratama, R.E.,
& Mahmudy, J. (2011). Indonesian

Anda mungkin juga menyukai