Anda di halaman 1dari 10

URGENSI PENGATURAN HUKUM SECARA KOMPREHENSIF

TERHADAP HAK KEPEMILIKAN ATAS TANAH ULAYAT UNTUK

MASYARAKAT HUKUM ADAT

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD NRI tahun 1945) merupakan kesepakatan luhur bangsa Indonesia

untuk hidup bersama (modus vivendi) dalam ikatan satu bangsa yang majemuk.

Modus Vivendi tersebut, telah melahirkan cita negara, yang merupakan identitas

dan pedoman bangsa dalam melangkah. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menyatakan

bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Dalam konsep Negara Hukum,

dinamika kehidupan kenegaraan harus mengidealkan hukum, maka pelaksanaan

cita negara maupun perilaku atau tindakan rakyat diatur oleh hukum. Hukum

sebagai alat dalam merekayasa sosial masyarakat memiliki tujuan yang harus

berdampak positif bagi para subyeknya. Menurut Jeremy Bentham, berdasarkan

prinsip utilitarianisme, hukum memiliki tujuan untuk membahagiakan rakyatnya

dengan parameter yang bersifat kuantitatif, berbasis pada konsep “the greatest

happiness of the greatest number” (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang

terbesar) yang menjadi norma untuk setiap perilaku masing-masing orang

maupun untuk menentukan kebijakan pemerintah untuk rakyat. Dalam hal ini

maka hukum terkait penyelenggaraan negara harus dibangun dan dibentuk

dengan tujuan untuk membahagiakan rakyat sebesar-besarnya serta harus

meliputi keinginan rakyat banyak.


Penerapan prinsip utilitarianisme dalam produk hukum di Indonesia yang

memiliki nilai esensial dalam suatu produk hukum, salah satunya adalah dalam

Pasal 33 UUD NRI tahun 1945, Pasal tersebut menyatakan bahwa bumi air dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Ketentuan tersebut

selanjutnya merupakan landasan konstitusional dan sekaligus arah bagi

pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan monopoli pengaturan,

penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam

serta pengaturan hubungan hukumnya yang berlandaskan semangat sosial.

Salah satu jenis sumber daya alam yang harus dipreservasi demi

masyarakat adalah tanah. Kehidupan manusia bergantung pada tanah karena

tanah memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat penting. Hal ini disebabkan

karena hampir seluruh aspek kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari tanah.

Keberadaan tanah tidak hanya dapat ditinjau dari aspek ekonomis dan

kesejahteraan semata, akan tetapi mempunyai kaitan yang erat sekali dengan

masalah sosial, politis, yuridis, psikologis, kultural dan religius.

Tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami

keadaan yang seperti apapun juga akan tetapi masih bersifat tetap dan bahkan

bisa menjadi lebih menguntungkan. Selain itu fakta menunjukkan bahwa tanah

adalah tempat tinggal untuk masyarakat, memberikan penghidupan kepada

persekutuan, merupakan tempat dimana para warga masyarakat yang meninggal

dikuburkan.
Berdasarkan prinsip hukum agraria di Indonesia, terdapat hak penguasaan

atas tanah. Hak penguasaan atas tanah yang krusial dan termuat dalam UUD NRI

tahun 1945 salah satunya adalah hak tradisional dari masyarakat hukum adat,

seperti yang termuat dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi, “Negara mengakui

dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang.” Hak atas penguasaan tanah yang tersirat dalam pasal tersebut

adalah hak kepemilikan atas tanah ulayat.

Selama 71 tahun Indonesia merdeka, hak Masyarakat Hukum Adat,

terutama yang berada di kawasan hutan ‘dirampas’ secara massif dan sistematis

oleh negara. Situasi ini terpola di seluruh nusantara dan dilegitimasi oleh

kebijakan-kebijakan pemerintah. Hal ini merupakan salah satu bias dari masa

Kolonial Belanda yang hingga kini belum ditinggalkan. Indonesia sebagai negara

post kolonial masih menganut sistem domeinverklaring (tanah yang tidak

terdaftar dan tidak memiliki bukti kepemilikan baik formiil maupun materiil

adalah tanah negara). Doktrin hukum ini sebenarnya diciptakan oleh pemerintah

kolonial untuk merampas tanah rakyat Indonesia saat itu yang sayangnya masih

berlaku sampai sekarang. Padahal, keberadaan Masyarakat Hukum Adat jika

dilihat secara historis memiliki kedudukan yang sudah amat tua di Indonesia.

Bahkan keberadaannya melebihi umur dari Negara Indonesia dan jauh lebih tua

dari terbentuknya kerajaan yang paling awal didirikan. Secara historis warga

Masyarakat Hukum Adat Indonesia merupakan migran dari kawasan lainnya di


Asia Tenggara. Secara kultural termasuk dalam kawasan budaya Austronesia,

yaitu budaya petani sawah dengan tatanan masyarakat serta hak kepemilikan

yang ditata secara kolektif, khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat. Namun

hingga sekarang pengaturan terkait tanah ulayat masyarakat hukum adat masih

belum melindungi hak-hak masyakarat hukum adat secara penuh.

Pengaturan hukum terkait hak kepemilikan atas tanah ulayat salah satunya

diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 2 ayat (4) UUPA menyebutkan bahwa,

“Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan

kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat Masyarakat Hukum Adat,

sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,

menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.” Dalam Pasal 2 ayat (4)

UUPA disebutkan bahwa pelaksanaan hak menguasai dari negara dalam

pelaksanaannya bisa dikuasakan kepada daerah–daerah Swantantra dan

masyarakat–Masyarakat Hukum Adat. Dalam hal tersebut Masyarakat Hukum

Adat bisa menerima delegasi kewenangan penguasaan negara atas bumi, air,

ruang angkasa dan kekayaan alam. Jika ada bidang tanah yang dikuasai langsung

oleh negara (tanah negara), termasuk yang berasal dari tanah bekas hak,

penguasannnya dapat didelegasikan kepada Masyarakat Hukum Adat.

Kemudian, Pasal 3 menuliskan pengakuan masyarakat hukum adat atas hak

ulayat diikuti dengan syarat-syarat pengakuan. Jelas bahwa pemberian hak ulayat

sarat dengan kekuasaan karena pengaturan tersebut mempertimbangkan

kepentingan negara. Padahal, selama ini latar belakang banyaknya sengketa


tanah adat dikarenakan adanya ekspansi-ekspansi perkebunan yang dilakukan

oleh “para pemain” terutama di jabatan pemerintah daerah dengan dalil untuk

mensejahterakan masyarakat dengan mengatasnamakan kepentingan negara.

Jelaslah bahwa pengakuan pemerintah atas hak kepemilikan tanah ulayat hanya

sebatas pengakuan semu (pseudo label recognition).

Pseudo label recognition atas hak-hak masyarakat hukum adat bukan

hanya dicantumkan pada UUPA saja, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014

tentang Perkebunan masih lemah dalam mengakui eksistensi masyarakat hukum

adat seperti dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1). Pasal ini menjelaskan bahwa

pemilik modal dengan masyarakat hukum adat berada dalam posisi yang berbeda

dengan diaturnya ketentuan “melakukan musyawarah untuk memperoleh

persetujuan tanah dan imbalannya” membuat masyarakat hukum adat tak punya

pilihan selain menyerahkan tanahnya. Pengakuan negara atas hak kepemilikan

tanah ulayat seakan-akan tidak serius dan hanya dilakukan sekedar formalitas.

Padahal dari sebelum berdirinya Negara Indonesia dengan berbagai penerapan

sistem ketatanegaraannya, masyarakat hukum adat telah lebih dahulu tinggal dan

telah mempunyai otonomi asli dan hak-hak atas tanah serta yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh komunitas tersebut. Masyarakat hukum adat adalah

sekelompok orang yang terikat oleh suatu hukum karena persamaan tempat

tinggal atau pun keturunannya. Hingga sampai detik ini, perlindungan dan

pengakuan keberadaan atas kepemilikan tanah tersebut (tanah ulayat) masih

diatur dalam Peraturan Pemerintah daerah, melalui mekanisme yang terkesan

rancu dan belum solutif untuk perlindungannya.


Urgensi terhadap pengaturan hukum secara komprehensif terhadap hak

kepemilikan atas tanah ulayat oleh masyarakat hukum adat dapat dibuktikan

dengan memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat hukum adat. Pertama

perlu diketahui bagaimana pengaturan tanah ulayat sendiri dari masyarakat

hukum adat yang berpanduan pada hukum adat. Menurut hukum adat di

Indonesia, ada dua macam hak yang timbul atas tanah, antara lain yaitu:

(1) Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan,

dinikmati, diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu

wilayah tertentu yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan

hukum);

(2) Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan,

Van Vollenhoven menyebutkan hak ini sebagai beschikkingsrecht. Istilah yang

dipergunakan untuk menyebutkan hak ini dalam bahasa Indonesia maupun dalam

bahasa-bahasa daerah pengertiannya adalah sebagai lingkungan kekuasaan

sedangkan beshikkingsrecht menggambarkan tentang hubungan antara

persekutuan dengan tanah itu sendiri. Namun kini istilah hak ulayat dipergunakan

sebagai terjemahan dari beshikkingsrecht dinikmati, diusahai oleh seseorang

anggota dari persekutuan tertentu.

Kedua, pengaturan berdasar pada UUPA, Peraturan pelaksanaan dari

UUPA yang mengatur lebih rinci mengenai hak dan tanah ulayat adalah

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, yang dibuat

dengan tujuan untuk memberikan panduan kepada pemerintah daerah guna

menyelesaikan konflik-konflik yang terkait dengan penguasaan tanah oleh


masyarakat hukum adat. Peraturan ini memberikan definisi tentang tanah ulayat,

hak ulayat dan kriteria serta prosedur pengakuan terhadap hak ulayat. Dalam

Pasal 1 peraturan tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa tanah ulayat adalah

bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari masyarakat hukum adat

tertentu. Pengakuan terhadap hak ulayat diberikan melalui Peraturan Daerah

(Perda) Kabupaten setelah melalui tahapan penelitian untuk menilai apakah hak

yang diakui oleh masyarakat itu telah memenuhi kriteria hak ulayat yang

ditetapkan oleh PMNA/KBPN No. 5/1999.

Tidak semua hak ulayat dapat diakui, Pasal 2 PMNA/KBPN 5/1999

memberikan kriteria yang harus dipenuhi agar hak ulayat dapat diakui, yaitu : (a)

terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum

adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang

mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam

kehidupannya sehari-hari; (b) terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi

lingkungan hidup para wargapersekutuan hukum tersebut dan tempatnya

mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; (c) terdapat tatanan hukum adat

mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku

dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Ketentuan-ketentuan dalam PMNA/KBPN No. 5/1999 mengandung

kelemahan yaitu terbatasnya tanah-tanah ulayat yang dapat diakui melalui Perda

Kabupaten karena, : pertama, pengakuan tidak dapat diberikan atas tanah-tanah

ulayat yang pada saat berlakunya Perda telah dikuasai oleh perorangan/badan

hukum dengan hak atas tanah menurut UUPA. Ketentuan ini dapat diterima
dengan alasan memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah

yang beritikad baik, namun dengan melihat kembali praktik-praktik

penyerobotan tanah-tanah adat pada masa lalu yang dilakukan dengan paksaan

dan kekerasan di atas tanah-tanah ulayat tersebut sudah tergolong subyek hukum

yang teritikad baik atau tidak. Kedua, pengakuan atas tanah-tanah ulayat tidak

dapat diberikan pada bidang-bidang tanah yang sudah dibebaskan oleh

pemerintah, badan hukum atau perorangan. Selain itu, persoalan serupa akan

muncul terkait apakah proses pembebasan tersebut benar-benar dilakukan tidak

dengan cara melawan hukum dan melanggar rasa keadilan masyarakat hukum

adat. Ketiga, pengakuan terhadap tanah-tanah ulayat tidak dapat diberikan pada

tanah-tanah yang berada di dalam kawasan hutan. Jika dilihat dari besarnya

presentasi pengalokasian tanah untuk kawasan hutan, maka banyak tanah-tanah

ulayat yang berada di dalam kawasan hutan. Dengan demikian PMNA/KBPN

No. 5/1999 tidak dapat berlaku.

Perlu diketahui bahwa Hak ulayat mempunyai sifat berlaku keluar dan ke

dalam. Maka kewajiban yang pertama penguasa adat yang bersumber pada hak

tersebut adalah memelihara kesejahteraan, kepentingan anggota masyarakat

hukumnya, mencegah terjadinya perselisihan dalam penggunaan tanah dan jika

terjadi sengketa ia wajib menyelesaikannya. Memperhatikan hal tersebut maka

pada prinsipnya penguasa adat diperbolehkan mengasingkan atau mengalihkan

seluruh atau sebagian tanah wilayahnya kepada siapapun. Hal ini mengandung

arti bahwa, ada pengecualian, dimana anggota masyarakat hukum adat diberikan

kekuasaan untuk menggunakan tanah yang berada pada wilayah hukumnya. Hak
ulayat sifat berlaku keluar merupakan hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan

oleh penguasa adat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan terhadap

orang asing atau bukan anggota masyarakat yang bermaksud ingin mengambil

hasil hutan atau membuka tanah dalam wilayah hak ulayat tersebut.

Penyelesaian masalah berdasarkan urgensi seperti penjelasan di atas dapat

dilakukan melalui mekanisme pendaftaran tanah yang holistik dan komprehensif.

Solusinya dapat dilakukan yang pertama adalah melalui solusi normatif yaitu

mengadakan perubahan di dalam peraturan perundang-undangan, dan yang

kedua adalah melalui pembentukan unit khusus di dalam Badan Pertanahan

Nasional (BPN) yang memiliki tugas khusus untuk melakukan pendaftaran tanah

ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Perbaikan terhadap peraturan

perundang-undangan diperlukan sebagai pondasi atau basis dalam mekanisme

pendaftaran tanah yang dapat diakui dan dilaksanakan oleh elemen-elemen

pemerintahan. Sedangkan pembentukan unit khusus di BPN diperlukan karena

BPN sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan

bertanggung jawab pada presiden. BPN mempunyai wewenang untuk

melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional

dan sektoral. Salah satu yang menjadi tugas utama dari BPN adalah

menyelenggarakan fungsi pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka

menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu, untuk melakukan pendaftaran tanah

terutama tanah ulayat, maka hal tersebut merupakan tugas dan kewajiban dari

BPN. Untuk memperjelas pengakuan hukum terhadap tanah ulayat, maka perlu

dilakukan pendaftaran tanah yang merupakan wewenang utama dari unit khusus
pendaftaran tanah ulayat. Jika melihat struktur organisasi dari BPN, maka unit

tersebut berada di bawah Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah.

Selain beranggotakan pejabat dari BPN, Unit Pendaftaran Tanah Ulayat juga

melibatkan anggota-anggota dari masyarakat hukum adat di daerah setempat

seperti tokoh adat, ketua suku adat, maupun orang-orang yang dianggap memiliki

pengetahuan terkait tanah ulayat di suatu wilayah.

Anda mungkin juga menyukai