1945 (UUD NRI tahun 1945) merupakan kesepakatan luhur bangsa Indonesia
untuk hidup bersama (modus vivendi) dalam ikatan satu bangsa yang majemuk.
Modus Vivendi tersebut, telah melahirkan cita negara, yang merupakan identitas
dan pedoman bangsa dalam melangkah. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menyatakan
bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Dalam konsep Negara Hukum,
cita negara maupun perilaku atau tindakan rakyat diatur oleh hukum. Hukum
sebagai alat dalam merekayasa sosial masyarakat memiliki tujuan yang harus
dengan parameter yang bersifat kuantitatif, berbasis pada konsep “the greatest
maupun untuk menentukan kebijakan pemerintah untuk rakyat. Dalam hal ini
memiliki nilai esensial dalam suatu produk hukum, salah satunya adalah dalam
Pasal 33 UUD NRI tahun 1945, Pasal tersebut menyatakan bahwa bumi air dan
Salah satu jenis sumber daya alam yang harus dipreservasi demi
tanah memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat penting. Hal ini disebabkan
karena hampir seluruh aspek kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari tanah.
Keberadaan tanah tidak hanya dapat ditinjau dari aspek ekonomis dan
kesejahteraan semata, akan tetapi mempunyai kaitan yang erat sekali dengan
keadaan yang seperti apapun juga akan tetapi masih bersifat tetap dan bahkan
bisa menjadi lebih menguntungkan. Selain itu fakta menunjukkan bahwa tanah
dikuburkan.
Berdasarkan prinsip hukum agraria di Indonesia, terdapat hak penguasaan
atas tanah. Hak penguasaan atas tanah yang krusial dan termuat dalam UUD NRI
tahun 1945 salah satunya adalah hak tradisional dari masyarakat hukum adat,
seperti yang termuat dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi, “Negara mengakui
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.” Hak atas penguasaan tanah yang tersirat dalam pasal tersebut
terutama yang berada di kawasan hutan ‘dirampas’ secara massif dan sistematis
oleh negara. Situasi ini terpola di seluruh nusantara dan dilegitimasi oleh
kebijakan-kebijakan pemerintah. Hal ini merupakan salah satu bias dari masa
Kolonial Belanda yang hingga kini belum ditinggalkan. Indonesia sebagai negara
terdaftar dan tidak memiliki bukti kepemilikan baik formiil maupun materiil
adalah tanah negara). Doktrin hukum ini sebenarnya diciptakan oleh pemerintah
kolonial untuk merampas tanah rakyat Indonesia saat itu yang sayangnya masih
dilihat secara historis memiliki kedudukan yang sudah amat tua di Indonesia.
Bahkan keberadaannya melebihi umur dari Negara Indonesia dan jauh lebih tua
dari terbentuknya kerajaan yang paling awal didirikan. Secara historis warga
yaitu budaya petani sawah dengan tatanan masyarakat serta hak kepemilikan
yang ditata secara kolektif, khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat. Namun
hingga sekarang pengaturan terkait tanah ulayat masyarakat hukum adat masih
Pengaturan hukum terkait hak kepemilikan atas tanah ulayat salah satunya
Adat bisa menerima delegasi kewenangan penguasaan negara atas bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam. Jika ada bidang tanah yang dikuasai langsung
oleh negara (tanah negara), termasuk yang berasal dari tanah bekas hak,
ulayat diikuti dengan syarat-syarat pengakuan. Jelas bahwa pemberian hak ulayat
oleh “para pemain” terutama di jabatan pemerintah daerah dengan dalil untuk
Jelaslah bahwa pengakuan pemerintah atas hak kepemilikan tanah ulayat hanya
adat seperti dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1). Pasal ini menjelaskan bahwa
pemilik modal dengan masyarakat hukum adat berada dalam posisi yang berbeda
persetujuan tanah dan imbalannya” membuat masyarakat hukum adat tak punya
tanah ulayat seakan-akan tidak serius dan hanya dilakukan sekedar formalitas.
sistem ketatanegaraannya, masyarakat hukum adat telah lebih dahulu tinggal dan
telah mempunyai otonomi asli dan hak-hak atas tanah serta yang terkandung di
sekelompok orang yang terikat oleh suatu hukum karena persamaan tempat
tinggal atau pun keturunannya. Hingga sampai detik ini, perlindungan dan
kepemilikan atas tanah ulayat oleh masyarakat hukum adat dapat dibuktikan
dengan memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat hukum adat. Pertama
hukum adat yang berpanduan pada hukum adat. Menurut hukum adat di
Indonesia, ada dua macam hak yang timbul atas tanah, antara lain yaitu:
hukum);
dipergunakan untuk menyebutkan hak ini dalam bahasa Indonesia maupun dalam
persekutuan dengan tanah itu sendiri. Namun kini istilah hak ulayat dipergunakan
UUPA yang mengatur lebih rinci mengenai hak dan tanah ulayat adalah
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, yang dibuat
hak ulayat dan kriteria serta prosedur pengakuan terhadap hak ulayat. Dalam
Pasal 1 peraturan tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa tanah ulayat adalah
bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari masyarakat hukum adat
(Perda) Kabupaten setelah melalui tahapan penelitian untuk menilai apakah hak
yang diakui oleh masyarakat itu telah memenuhi kriteria hak ulayat yang
memberikan kriteria yang harus dipenuhi agar hak ulayat dapat diakui, yaitu : (a)
terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum
kelemahan yaitu terbatasnya tanah-tanah ulayat yang dapat diakui melalui Perda
ulayat yang pada saat berlakunya Perda telah dikuasai oleh perorangan/badan
hukum dengan hak atas tanah menurut UUPA. Ketentuan ini dapat diterima
dengan alasan memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah
penyerobotan tanah-tanah adat pada masa lalu yang dilakukan dengan paksaan
dan kekerasan di atas tanah-tanah ulayat tersebut sudah tergolong subyek hukum
yang teritikad baik atau tidak. Kedua, pengakuan atas tanah-tanah ulayat tidak
pemerintah, badan hukum atau perorangan. Selain itu, persoalan serupa akan
dengan cara melawan hukum dan melanggar rasa keadilan masyarakat hukum
adat. Ketiga, pengakuan terhadap tanah-tanah ulayat tidak dapat diberikan pada
tanah-tanah yang berada di dalam kawasan hutan. Jika dilihat dari besarnya
Perlu diketahui bahwa Hak ulayat mempunyai sifat berlaku keluar dan ke
dalam. Maka kewajiban yang pertama penguasa adat yang bersumber pada hak
seluruh atau sebagian tanah wilayahnya kepada siapapun. Hal ini mengandung
arti bahwa, ada pengecualian, dimana anggota masyarakat hukum adat diberikan
kekuasaan untuk menggunakan tanah yang berada pada wilayah hukumnya. Hak
ulayat sifat berlaku keluar merupakan hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan
oleh penguasa adat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan terhadap
orang asing atau bukan anggota masyarakat yang bermaksud ingin mengambil
hasil hutan atau membuka tanah dalam wilayah hak ulayat tersebut.
Solusinya dapat dilakukan yang pertama adalah melalui solusi normatif yaitu
Nasional (BPN) yang memiliki tugas khusus untuk melakukan pendaftaran tanah
ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Perbaikan terhadap peraturan
BPN sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan
dan sektoral. Salah satu yang menjadi tugas utama dari BPN adalah
menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu, untuk melakukan pendaftaran tanah
terutama tanah ulayat, maka hal tersebut merupakan tugas dan kewajiban dari
BPN. Untuk memperjelas pengakuan hukum terhadap tanah ulayat, maka perlu
dilakukan pendaftaran tanah yang merupakan wewenang utama dari unit khusus
pendaftaran tanah ulayat. Jika melihat struktur organisasi dari BPN, maka unit
tersebut berada di bawah Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah.
Selain beranggotakan pejabat dari BPN, Unit Pendaftaran Tanah Ulayat juga
seperti tokoh adat, ketua suku adat, maupun orang-orang yang dianggap memiliki