Anda di halaman 1dari 27

CASE

DISPEPSIA

Penyusun :

Ica Ulfa Sausan

030.13.095

Pembimbing :

dr. Nurfaita Mislihar, SpPD


KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI

PERIODE 15 JANUARI – 24 MARET 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Ica Ulfa Sausan

NIM : 030.13.095

Universitas : Universitas Trisakti

Fakultas : Fakultas Kedokteran

Program Studi : Program Studi Profesi Dokter

Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit Dalam

Periode : 15 Januari – 24 Maret 2018

Judul : Dispepsia

Pembimbing : dr. Nurfaita Mislihar, SpPD

TELAH DIPERIKSA dan DISETUJUI TANGGAL:

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Bekasi

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

i
Jakarta, Februari 2018

Pembimbing,

dr. Nurfaita Mislihar, SpPD

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Dispepsia”. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan
dan penyelesaian tugas ini, terutama kepada dr. Nurfaita Mislihar, SpPD selaku pembimbing
yang telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga tugas ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan tugas ini tidak lepas dari kesalahan dan
kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan berbagi saran dan masukan untuk perbaikan
selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap semoga tugas ini dapat memberikan manfaat sebesar-
besarnya dalam bidang kedokteran, khususnya untuk bidang ilmu penyakit dalam.

Jakarta, Februari 2018

Ica Ulfa Sausan

030.13.095

3
DAFTAR ISI

I. Status Pasien...................................................................................................... 4

II. Definisi..............................................................................................................12

III. Epidemiologi....................................................................................................12

IV. Patofisiologi.....................................................................................................12

IV.1 Sekresi Asam Lambung…………………………………………………............................13

IV.2 Helicobacter pylori.....................................................................................13

IV.3 Dismotilitas Gastrointestinal......................................................................13

IV.4 Peranan hipersensitivitas viseral..............................................................14

IV.5 Faktor psikologis........................................................................................14

V. Diagnosis............................................................................................................15

V.1. Diagnosis Dispepsia..................................................................................15

V.2. Diagnosis infeksi Hp..................................................................................15

VI. Tata laksana......................................................................................................16

4
VI.1. Dispepsia belum diinvestigasi..................................................................17

VI.2. Dispepsia yang telah diinvestigasi...........................................................17

VI.2.1. Dispepsia organik..................................................................................17

VI.2.2. Dispepsia fungsional.............................................................................17

VI.3. Tata laksana dispepsia dengan infeksi Hp.........................................17

VII. Daftar Pustaka.................................................................................................18

STATUS MEDIK
BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUD KOTA BEKASI

Nama : Ny. F

Usia : 43 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

5
Alamat : Jl. Perjuangan Rw.8

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

Tanggal masuk RS : 15 Januari 2018

No. RM : 09791163

II. ANAMNESA

Anamnesa dilakukan pada tanggal Sabtu 20 Januari 2018 pukul 11.30 WIB secara
autoanamnesa di bangsal Bougenvile RSUD Kota Bekasi oleh dokter muda Ica Ulfa
Sausan.

A. Keluhan Utama

Nyeri ulu hati ± 2hari SMRS

B. Keluhan Tambahan

Mual (+) muntah (+) Pusing (+) batuk (+)

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSUD Kota Bekasi dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 2 hari SMRS,
nyeri tidak menjalar, dan pasien sudah mendapat obat sebelumnya yang dibeli di
warung yaitu promaag namun nyeri pada ulu hati tetap tidak berkurang. Sebelumnya
pasien tidak pernah merasakan nyeri pada ulu hati. Nyeri dirasakan terkadang hilang
timbul, nyeri sedikit berkurang setelah diberi obat oleh perawat.. Pasien juga
mengeluhkan mual muntah, muntah sudah 4 kali, warna muntah jernih isi makanan,
pasien juga mengeluhkan pusing, lemas, batuk, nafsu makan menurun. BAB dan BAK
dalam batas normal. Pasien riwayat TB paru tahun 2010 dan telah tuntas pengobatan.
Pasien mengatakan dokter pernah mendiagnosa pasien terkena kencing manis, tetapi

6
pasien tidak pernah minum obat.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat penyakit TB pada tahun 2010 dan dokter mengatakan telah
tuntas minum obat. Pasien mengatakan dokter pernah mendiagnosa pasien terkena
kencing manis, tetapi pasien tidak pernah minum obat.

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Di keluarga Ny. F tidak ada yang mengalami gejala yang serupa. Tidak ada riwayat
hipertensi, diabetes melitus, serta penyakit paru dan jantung.

F. Riwayat Kebiasaan dan Gaya Hidup

Ny. F sering mengkonsumsi makanan asam dan pedas, menggunakan obat warung
untuk menghilangkan nyeri yang dirasa. Ny F tidak merokok dan tidak mengkonsumsi
minuman beralkohol.

G. Riwayat Pengobatan

Pasien hanya meminum promaag disaat nyeri timbul.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 20 Januari 2018

1. Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Sikap : Kooperatif
Status Gizi :
 BB : 48 kg
 TB : 150 cm
 BMI : 21,3 = Gizi Baik

2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg

7
Nadi : 86 kali/menit
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : 36,80C

3. Status Generalis
a. Kesadaran
GCS : E4M6V5 = 15 ( Compos Mentis )
b. Kulit : Warna kuning langsat, tidak ikterik maupun
sianosis
c. Kepala : Bentuk normal, normocephali, rambut
hitam distribusi merata.
d. Mata : Konjungtiva anemis (-)/(-) , sclera ikterik
(-)/(-), pupil bulat isokhor dengan diameter
3mm / 3mm, reflex cahaya (+)/(+), reflex
cahaya tak langsung (+)/(+), oedema
palpebra (-)/(-)
e. Telinga : Normotia, secret (-)/(-), darah (-)/(-)
f. Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum,
darah (-)/(-), pernapasan cuping hidung (-)
g. Mulut :
 Bibir : bentuk normal, simetris, mukosa warna
merah muda, basah, tidak pucat,
tidak sianosis
 Gigi dan gusi : gigi geligi lengkap, oral hygine baik.
 Lidah : bentuk normal, simetris, tidak ada deviasi,
permukaan tidak kotor, tepi tidak hiperemis
 Uvula : letak di tengah, tidak
hiperemis, tidak membesar

 Faring : tidak hiperemis


 Tonsil : T1 / T1 tenang
h. Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5 ± 2 cmH20,
distensi vena jugularis dextra (-),

8
trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak
teraba
i. Paru
 Inspeksi : Bentuk normal, gerakan napas simetris,
tidak ada retraksi sela iga
 Palpasi : Vocal fremitus simteris di kedua lapang
paru

 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru


 Auskultasi : Suara napas vesikuler di kedua lapang
Paru (+)/(+), wheezing (-)/(-), ronchi (-)/(-)
j. Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 6 garis
midclavicula sinistra
 Perkusi :
- Batas paru-hepar : Sela iga VII garis midclavicularis dextra
- Batas paru-lambung : Sela iga VIII garis aksilaris anterior sinistra
- Batas jantung sinistra : Sela iga V medial linea midclavicularis sinistra
- Batas jantung dextra : Sela iga IV garis sternalis dextra


 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular,
murmur (-)/(-), gallop (-)/(-)
k. Abdomen
 Inspeksi : Bentuk normal, tidak ada kelainan kulit
yang bermakna
 Auskultasi : Bising usus (+) 2x/menit

 Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen,


Shifting dullness (-)
 Palpasi : Supel (+), Tidak teraba pembesaran organ,
nyeri tekan (-), ballottement (-)/(-)
l. Ekstremitas

9
 Atas : Simetris, kuku sianosis (-), akral hangat
CRT < 2 detik, pitteing oedem (-)/(-)
 Bawah : Simetris, kuku sianosis (-), akral hangat,
CRT < 2 detik, Pitting oedem (-)/(-).

IV. PEMERIKSAANPENUNJANG

10
11
V. RESUME

Pasien wanita usia 43 tahun datang ke RSUD Kota Bekasi dengan keluhan nyeri
ulu hati sejak 2 hari SMRS, nyeri tidak menjalar, pasien sudah mendapat obat
sebelumnya yang dibeli di warung yaitu promaag namun nyeri pada ulu hati tetap
tidak berkurang. Sebelumnya pasien tidak pernah merasakan nyeri pada ulu hati.
Nyeri dirasakan terkadang hilang timbul, nyeri sedikit berkurang setelah diberi obat
oleh perawat. Pasien juga mengeluhkan mual muntah, muntah sudah 4 kali, warna
muntah jernih isi makanan, pasien juga mengeluhkan pusing, lemas, batuk, nafsu
makan menurun. BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien riwayat TB paru tahun
2010 dan telah tuntas pengobatan. Pasien mengatakan dokter pernah mendiagnosa
pasien terkena kencing manis, tetapi pasien tidak pernah meminum obat. Pasien tidak
pernah mengkonsumsi obat jangka panjang kecuali saat pengobatan TB.

Pada pemeriksaan fisik diapatkan : Keadaan umum tampak sakit sedang;


Kesadaran Compos mentis; Tekanan Darah 110/70 ; Nadi 86x/menit ; Pernapasan 18
x/menit ; Suhu 36,80C. Status generalis didapatkan pada pemeriksaan abdomen
ditemukan nyeri tekan pada regio epigastrium. Pada auskultasi, bising usus 4x/menit.

Pada pemeriksaan lab: Hb 9,0, Ht 26,5 , Na 133, K 3,2 , Cl 88.

Pada pemeriksaan BTA 3 x menunjukkan hasil negative.

VI. DIAGNOSIS KERJA

- DISPEPSIA ORGANIK

- ELEKTROLIT IMBALANCE

- BEKAS TB PARU

VII. DIAGNOSIS BANDING

12
- DISPEPSIA FUNGSIONAL
VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN

- Endoskopi

- Urea Breath Test

- USG

- Barium Meal

VIII. TATALAKSANA

Kuratif :

Istirahat dan

Diet yang ketat (makan secara teratur, porsi kecil tapi sering dan rendah lemak)

Medikamentosa :

Futrolit 20

Ondansentron 2 x 1

Omeprazol tab 2x20 mg

Ranitidin 2 x 1

13
BAB II

DISPEPSIA

I. Definisi

Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion=
pencernaan).(1) Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit atau
ketidaksanggupan dalam mencerna. Berdasarkan konsensus International Panel of

14
Clinical Investigators, dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas.(2) Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa
gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan,
cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa. Untuk
dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. (3)

II. Epidemiologi

Berdasarkan profil data kesehatan Indonesia tahun 2006 yang diterbitkan Depkes RI
pada tahun 2007, dispepsia menempati urutan ke-10 dengan proporsi 1,52% (34.029 kasus)
dari 10 kategori jenis penyakit terbanyak dirawat inap di seluruh rumah sakit yang ada
Indonesia dan pada tahun 2010 kasus dispepsia mengalami peningkatan yaitu menduduki
peringkat ke-5 dari 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit dengan jumlah kasus laki- laki
9.594 (38,82%) dan perempuan 15.122 (61,18%), sedangkan untuk penyakit rawat jalan
dispepsia menduduki peringkat ke-6 dengan jumlah kasus laki-laki 34.981 dan perempuan
53.618 serta didapatkan 88.599 kasus baru dan 163.428 kunjungan. Data dari pustaka Negara
Barat prevalensi dispepsia sekitar 7-41%, tetapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan
medis. Populasi Amerika Serikat yang terkena dispepsia adalah 25% dari total penduduknya
per tahun dan hanya 5% dari jumlah penderita tersebut yang mengunjungi dokter layanan
primer. (4)

III. Patofisiologi

Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya dispepsia
fungsional, antara lain: sekresi asam lambung, dismotilitas gastrointestinal, hipersensitivitas
viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor lingkungan, psikologis

a) Sekresi Asam Lambung

Sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah lambung setiap hari. Getah lambung ini
mengandung berbagai macam zat. Asam hidroklorida (HCl) dan pepsinogen merupakan
kandungan dalam getah lambung tersebut. Konsentrasi asam dalam getah lambung sangat pekat
sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak

15
mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor
pelindung lambung. Kasus dengan dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas
mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut. Peningkatan
sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang tidak teratur. Pola makan yang
tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam
lambung. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan
sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung.

b) Helicobacter pylori(5)

Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan
diterima. Kekerapan infeksi H. pylori terdapat sekitar 50% pada dispepsia fungsional dan tidak
berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai terdapat kecenderungan untuk melakukan eradikasi H.
pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan
konservatif baku.

c) Dismotilitas Gastrointestinal

Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan
lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gangguan akomodasi lambung saat
makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah
atau dua pertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-
80% kasus dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati.

Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan dengan gejala dispepsia dan merupakan faktor
penyebab yang mendasari dalam dispepsia fungsional. Gangguan pengosongan lambung dan
fungsi motorik pencernaan terjadi pada sub kelompok pasien dengan dispepsia fungsional. Sebuah
studi meta-analisis menyelidiki dispepsia fungsional dan ganguan pengosongan lambung,
ditemukan 40% pasien dengan dispepsia fungsional memiliki pengosongan lebih lambat 1,5 kali
dari pasien normal.

16
d) Peranan hipersensitivitas viseral

Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia fungsional, terutama


peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral terhadap rangsangan reseptor
kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal lambung bagian proksimal. Hal ini dapat
menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia.

e) Faktor psikologis (8)

Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan antara dispepsia fungsional dengan
gangguan psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetusakan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung
yang mendahului mual setelah stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik stres
kehidupan, fungsi otonom dan motilitas masih kontroversial.

IV. Diagnosis

IV.1. Diagnosis Dispepsia

Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan fungsional. Dispepsia
organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi, gastritis, duodenitis dan
proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma III.

Kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional(7)

Dispepsia fungsional

Kriteria diagnostik terpenuhi* bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:

a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu

b. Perasaan cepat kenyang

c. Nyeri ulu hati

17
d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium

2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala
(termasuk yang terdeteksi

saat endoskopi saluran cerna bagian atas [SCBA])

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul

sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

a. Postprandial distress syndrome

Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa,
sedikitnya terjadi

beberapa kali seminggu

2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa,
sedikitnya terjadi

beberapa kali seminggu

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul

sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang

1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa
yang berlebihan

2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium

b. Epigastric pain syndrome

Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan

18
moderat/sedang,

paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu

2. Nyeri timbul berulang

3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian
atas/epigastrium

4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin

5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfi
ngter Oddi

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul

sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang

1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal

2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat
puasa

3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.

Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien-pasien yang datang
dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu: (6)

• Penurunan berat badan (unintended)

• Disfagia progresif

• Muntah rekuren atau persisten

• Perdarahan saluran cerna

• Anemia

• Demam

19
• Massa daerah abdomen bagian atas

• Riwayat keluarga kanker lambung

• Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun

Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi terlebih dahulu
dengan endoskopi.

VI. Tata laksana

Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi dan faktor
penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah dapat dimulai berdasarkan sindroma
klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan dilanjutkan sesuai hasil investigasi.

VI.1. Dispepsia belum diinvestigasi

Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik selama 1-4
minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Hp. Untuk daerah dan etnis
tertentu serta pasien dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal.

Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPI misalnya
omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor Antagonist [H2RA]),
prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasarkan
dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Masih ditunggu
pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton pump yang
diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411.

Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat diterapkan pada
pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya.

Test and treat dilakukan pada (9)

• Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon terhadap perubahan gaya
hidup, antasida, pemberian PPI tunggal selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.

• Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum pernah diperiksa.

• Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus gastroduodenal.

20
• Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura trombositopenik idiopatik
dan defisiensi vitamin B12.

Test and treat tidak dilakukan pada:

• Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)

• Anak-anak dengan dispepsia fungsional

Dispepsia yang telah diinvestigasi

Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empirik, melainkan
harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau tanpa
pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani sebagai dispepsia fungsional.

Setelah investigasi, tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus


dispepsia ditemukan GERD sebagai kelainannya.

VI.2.1. Dispepsia organik (11)

Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi dilakukan
berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia
organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum,
atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat
yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misal rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole 2x30 mg
dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.

Dispepsia fungsional

Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat
diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada.

Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain


sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia
fungsional. Hal ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu
patofisiologi dispepsia fungsional. Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid

21
oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular.

Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dispepsia
fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini menunjukkan perbaikan
gejala yang signifikan pada pasien dispepsia fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1
dibandingkan plasebo. Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan norepinerfrin
tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding plasebo.

Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin sentral mungkin
merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi antidepresan pada pasien dispepsia
fungsional.

VI.3. Tata laksana dispepsia dengan infeksi Hp20 (10)

Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap gejala dispepsia.


Dalam salah satu studi cross-sectional pada 21 pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta (2010) didapatkan bahwa terapi eradikasi memberikan perbaikan gejala pada
mayoritas pasien dispepsia dengan persentase perbaikan gejala sebesar 76% dan 81%
penemuan Hp negatif yang diperiksa dengan UBT.

Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi eradikasi Hp
dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama 7 hari lebih baik
dari terapi selama 5 hari.

22
Tabel 2. Regimen Terapi Eradikasi Hp(12)

Obat Dosis Durasi

Lini Pertama:

PPI* 2x1 7-14 hari

Amoksisilin 1000 mg (2x1)

Klaritromisin 500 mg (2x1)

Di daerah yang diketahui resistensi klaritromisin >20%:

PPI* 2x1 7-14 hari

Bismut subsalisilat 2 x 2 tablet

Metronidazole 500 mg (3x1)

Tetrasiklin 250 mg (4x1)

Jika bismut tidak ada:

PPI* 2x1 7-14 hari

Amoksisilin 1000 mg (2x1)

Klaritromisin 500 mg (2x1)

Metronidazole 500 mg (3x1)

Lini Kedua: Golongan obat ini dipakai bila gagal dengan rejimen yang
mengandung klaritromisin

PPI* 2x1 7-14 hari

Bismut subsalisilat 2 x 2 tablet

Metronidazole 500 mg (3x1)

Tetrasikilin 250 mg (4x1)

23
PPI* 2x1 7-14 hari

Amoksisilin 1000 mg (2x1)

Levofloksasin 500 mg (2x1)

Lini ketiga: Jika gagal dengan rejimen lini kedua. Bila memungkinkan,
pilihan ditentukan berdasarkan uji resistensi dan/ atau perubahan
klinis.

PPI* 2x1 7-14 hari

Amoksisilin 1000 mg (2x1)

Levofloksasin 500 mg (2x1)

Rifabutin

DAFTAR PUSTAKA

1. Bonner GF. Upper gastrointestinal evaluation related to the pelvic fl oor. In: Davila GW,
Ghoniem GM, Wexner SD, editors. Pelvic Floor Dysfunction. 1st ed. Springer-Verlag London
Limited;

2006. p. 67-8.

2. Talley NJ, Colin-Jones D, Koch KL, Koch M, Nyren O, Stanghellini V. Functional


dyspepsia: a classifi cation with guidelines for diagnosis and management. Gastroenterol Int.
1991;4:145.

3. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report on functional dyspepsia.
J Neurogastroenterol Motil 2012;18:150-68.

4. Kementerian Kesehatan 2007.

5. Marcellus SK, Makmun D, Murdani A, Achmad F, dkk. Konsensus Nasional Penatalaksanaan


Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. Jakarta. 2014.

24
6. Otero W, Zuleta MG, Otero L. Update on approaches to patients with dyspepsia and
functional dyspepsia. Rev Col Gastroenterol. 2014;29(2):129-34.

7. Appendix A: Rome III diagnostic criteria for functional gastrointestinal disorders. In:
Drossman DA, editor. Rome III: The functional gastrointestinal disorders. Raleigh, NC: Rome
Foundation; 2006 .p. 885-97.

8. Djojodiningrat D. Dispepsia fungsional. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata


M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 354-6.

9. El-Serag HB, Talley NJ. Systematic review: the prevalence and clinical course of functional
dyspepsia. Aliment Pharmacol Ther. 2004;19:643-54.

10. Syam AF, Abdullah M, Rani AA, et al. A comparison of 5 or 7 days of rabeprazole triple
therapy for eradication of Helicobacter pylori. Med J Indones 2010:113-7.

11. Futagami S, Shimpuku M, Yin Y, et al. Pathophysiology of functional dyspepsia. J Nippon


Med Sch 2011;78:280-5.

12. Hunt RH, Xiao SD, Megraud F, et al. Helicobacter pylori in developing countries. World
Gastroenterology Organisation Global Guideline. J Gastrointestin Liver Dis 2011;20:299-304.

25

Anda mungkin juga menyukai