Caseeee Makalah
Caseeee Makalah
DISPEPSIA
Penyusun :
030.13.095
Pembimbing :
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 030.13.095
Judul : Dispepsia
RSUD Bekasi
i
Jakarta, Februari 2018
Pembimbing,
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Dispepsia”. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan
dan penyelesaian tugas ini, terutama kepada dr. Nurfaita Mislihar, SpPD selaku pembimbing
yang telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan tugas ini tidak lepas dari kesalahan dan
kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan berbagi saran dan masukan untuk perbaikan
selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap semoga tugas ini dapat memberikan manfaat sebesar-
besarnya dalam bidang kedokteran, khususnya untuk bidang ilmu penyakit dalam.
030.13.095
3
DAFTAR ISI
I. Status Pasien...................................................................................................... 4
II. Definisi..............................................................................................................12
III. Epidemiologi....................................................................................................12
IV. Patofisiologi.....................................................................................................12
V. Diagnosis............................................................................................................15
4
VI.1. Dispepsia belum diinvestigasi..................................................................17
STATUS MEDIK
BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUD KOTA BEKASI
Nama : Ny. F
Usia : 43 tahun
5
Alamat : Jl. Perjuangan Rw.8
Agama : Islam
Status : Menikah
No. RM : 09791163
II. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan pada tanggal Sabtu 20 Januari 2018 pukul 11.30 WIB secara
autoanamnesa di bangsal Bougenvile RSUD Kota Bekasi oleh dokter muda Ica Ulfa
Sausan.
A. Keluhan Utama
B. Keluhan Tambahan
Pasien datang ke RSUD Kota Bekasi dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 2 hari SMRS,
nyeri tidak menjalar, dan pasien sudah mendapat obat sebelumnya yang dibeli di
warung yaitu promaag namun nyeri pada ulu hati tetap tidak berkurang. Sebelumnya
pasien tidak pernah merasakan nyeri pada ulu hati. Nyeri dirasakan terkadang hilang
timbul, nyeri sedikit berkurang setelah diberi obat oleh perawat.. Pasien juga
mengeluhkan mual muntah, muntah sudah 4 kali, warna muntah jernih isi makanan,
pasien juga mengeluhkan pusing, lemas, batuk, nafsu makan menurun. BAB dan BAK
dalam batas normal. Pasien riwayat TB paru tahun 2010 dan telah tuntas pengobatan.
Pasien mengatakan dokter pernah mendiagnosa pasien terkena kencing manis, tetapi
6
pasien tidak pernah minum obat.
Pasien memiliki riwayat penyakit TB pada tahun 2010 dan dokter mengatakan telah
tuntas minum obat. Pasien mengatakan dokter pernah mendiagnosa pasien terkena
kencing manis, tetapi pasien tidak pernah minum obat.
Di keluarga Ny. F tidak ada yang mengalami gejala yang serupa. Tidak ada riwayat
hipertensi, diabetes melitus, serta penyakit paru dan jantung.
Ny. F sering mengkonsumsi makanan asam dan pedas, menggunakan obat warung
untuk menghilangkan nyeri yang dirasa. Ny F tidak merokok dan tidak mengkonsumsi
minuman beralkohol.
G. Riwayat Pengobatan
1. Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Sikap : Kooperatif
Status Gizi :
BB : 48 kg
TB : 150 cm
BMI : 21,3 = Gizi Baik
2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
7
Nadi : 86 kali/menit
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : 36,80C
3. Status Generalis
a. Kesadaran
GCS : E4M6V5 = 15 ( Compos Mentis )
b. Kulit : Warna kuning langsat, tidak ikterik maupun
sianosis
c. Kepala : Bentuk normal, normocephali, rambut
hitam distribusi merata.
d. Mata : Konjungtiva anemis (-)/(-) , sclera ikterik
(-)/(-), pupil bulat isokhor dengan diameter
3mm / 3mm, reflex cahaya (+)/(+), reflex
cahaya tak langsung (+)/(+), oedema
palpebra (-)/(-)
e. Telinga : Normotia, secret (-)/(-), darah (-)/(-)
f. Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum,
darah (-)/(-), pernapasan cuping hidung (-)
g. Mulut :
Bibir : bentuk normal, simetris, mukosa warna
merah muda, basah, tidak pucat,
tidak sianosis
Gigi dan gusi : gigi geligi lengkap, oral hygine baik.
Lidah : bentuk normal, simetris, tidak ada deviasi,
permukaan tidak kotor, tepi tidak hiperemis
Uvula : letak di tengah, tidak
hiperemis, tidak membesar
8
trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak
teraba
i. Paru
Inspeksi : Bentuk normal, gerakan napas simetris,
tidak ada retraksi sela iga
Palpasi : Vocal fremitus simteris di kedua lapang
paru
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular,
murmur (-)/(-), gallop (-)/(-)
k. Abdomen
Inspeksi : Bentuk normal, tidak ada kelainan kulit
yang bermakna
Auskultasi : Bising usus (+) 2x/menit
9
Atas : Simetris, kuku sianosis (-), akral hangat
CRT < 2 detik, pitteing oedem (-)/(-)
Bawah : Simetris, kuku sianosis (-), akral hangat,
CRT < 2 detik, Pitting oedem (-)/(-).
IV. PEMERIKSAANPENUNJANG
10
11
V. RESUME
Pasien wanita usia 43 tahun datang ke RSUD Kota Bekasi dengan keluhan nyeri
ulu hati sejak 2 hari SMRS, nyeri tidak menjalar, pasien sudah mendapat obat
sebelumnya yang dibeli di warung yaitu promaag namun nyeri pada ulu hati tetap
tidak berkurang. Sebelumnya pasien tidak pernah merasakan nyeri pada ulu hati.
Nyeri dirasakan terkadang hilang timbul, nyeri sedikit berkurang setelah diberi obat
oleh perawat. Pasien juga mengeluhkan mual muntah, muntah sudah 4 kali, warna
muntah jernih isi makanan, pasien juga mengeluhkan pusing, lemas, batuk, nafsu
makan menurun. BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien riwayat TB paru tahun
2010 dan telah tuntas pengobatan. Pasien mengatakan dokter pernah mendiagnosa
pasien terkena kencing manis, tetapi pasien tidak pernah meminum obat. Pasien tidak
pernah mengkonsumsi obat jangka panjang kecuali saat pengobatan TB.
- DISPEPSIA ORGANIK
- ELEKTROLIT IMBALANCE
- BEKAS TB PARU
12
- DISPEPSIA FUNGSIONAL
VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Endoskopi
- USG
- Barium Meal
VIII. TATALAKSANA
Kuratif :
Istirahat dan
Diet yang ketat (makan secara teratur, porsi kecil tapi sering dan rendah lemak)
Medikamentosa :
Futrolit 20
Ondansentron 2 x 1
Ranitidin 2 x 1
13
BAB II
DISPEPSIA
I. Definisi
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion=
pencernaan).(1) Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit atau
ketidaksanggupan dalam mencerna. Berdasarkan konsensus International Panel of
14
Clinical Investigators, dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas.(2) Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa
gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan,
cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa. Untuk
dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. (3)
II. Epidemiologi
Berdasarkan profil data kesehatan Indonesia tahun 2006 yang diterbitkan Depkes RI
pada tahun 2007, dispepsia menempati urutan ke-10 dengan proporsi 1,52% (34.029 kasus)
dari 10 kategori jenis penyakit terbanyak dirawat inap di seluruh rumah sakit yang ada
Indonesia dan pada tahun 2010 kasus dispepsia mengalami peningkatan yaitu menduduki
peringkat ke-5 dari 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit dengan jumlah kasus laki- laki
9.594 (38,82%) dan perempuan 15.122 (61,18%), sedangkan untuk penyakit rawat jalan
dispepsia menduduki peringkat ke-6 dengan jumlah kasus laki-laki 34.981 dan perempuan
53.618 serta didapatkan 88.599 kasus baru dan 163.428 kunjungan. Data dari pustaka Negara
Barat prevalensi dispepsia sekitar 7-41%, tetapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan
medis. Populasi Amerika Serikat yang terkena dispepsia adalah 25% dari total penduduknya
per tahun dan hanya 5% dari jumlah penderita tersebut yang mengunjungi dokter layanan
primer. (4)
III. Patofisiologi
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya dispepsia
fungsional, antara lain: sekresi asam lambung, dismotilitas gastrointestinal, hipersensitivitas
viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor lingkungan, psikologis
Sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah lambung setiap hari. Getah lambung ini
mengandung berbagai macam zat. Asam hidroklorida (HCl) dan pepsinogen merupakan
kandungan dalam getah lambung tersebut. Konsentrasi asam dalam getah lambung sangat pekat
sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak
15
mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor
pelindung lambung. Kasus dengan dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas
mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut. Peningkatan
sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang tidak teratur. Pola makan yang
tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam
lambung. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan
sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung.
b) Helicobacter pylori(5)
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan
diterima. Kekerapan infeksi H. pylori terdapat sekitar 50% pada dispepsia fungsional dan tidak
berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai terdapat kecenderungan untuk melakukan eradikasi H.
pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan
konservatif baku.
c) Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan
lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gangguan akomodasi lambung saat
makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah
atau dua pertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-
80% kasus dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati.
Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan dengan gejala dispepsia dan merupakan faktor
penyebab yang mendasari dalam dispepsia fungsional. Gangguan pengosongan lambung dan
fungsi motorik pencernaan terjadi pada sub kelompok pasien dengan dispepsia fungsional. Sebuah
studi meta-analisis menyelidiki dispepsia fungsional dan ganguan pengosongan lambung,
ditemukan 40% pasien dengan dispepsia fungsional memiliki pengosongan lebih lambat 1,5 kali
dari pasien normal.
16
d) Peranan hipersensitivitas viseral
Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan antara dispepsia fungsional dengan
gangguan psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetusakan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung
yang mendahului mual setelah stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik stres
kehidupan, fungsi otonom dan motilitas masih kontroversial.
IV. Diagnosis
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan fungsional. Dispepsia
organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi, gastritis, duodenitis dan
proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma III.
Dispepsia fungsional
17
d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala
(termasuk yang terdeteksi
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa,
sedikitnya terjadi
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa,
sedikitnya terjadi
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa
yang berlebihan
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan
18
moderat/sedang,
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian
atas/epigastrium
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfi
ngter Oddi
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat
puasa
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien-pasien yang datang
dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu: (6)
• Disfagia progresif
• Anemia
• Demam
19
• Massa daerah abdomen bagian atas
Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi terlebih dahulu
dengan endoskopi.
Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi dan faktor
penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah dapat dimulai berdasarkan sindroma
klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan dilanjutkan sesuai hasil investigasi.
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik selama 1-4
minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Hp. Untuk daerah dan etnis
tertentu serta pasien dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal.
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPI misalnya
omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor Antagonist [H2RA]),
prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasarkan
dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Masih ditunggu
pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton pump yang
diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411.
Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat diterapkan pada
pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya.
• Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon terhadap perubahan gaya
hidup, antasida, pemberian PPI tunggal selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.
• Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum pernah diperiksa.
• Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus gastroduodenal.
20
• Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura trombositopenik idiopatik
dan defisiensi vitamin B12.
Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empirik, melainkan
harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau tanpa
pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani sebagai dispepsia fungsional.
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi dilakukan
berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia
organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum,
atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat
yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misal rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole 2x30 mg
dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.
Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat
diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada.
21
oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular.
Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dispepsia
fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini menunjukkan perbaikan
gejala yang signifikan pada pasien dispepsia fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1
dibandingkan plasebo. Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan norepinerfrin
tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding plasebo.
Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin sentral mungkin
merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi antidepresan pada pasien dispepsia
fungsional.
Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi eradikasi Hp
dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama 7 hari lebih baik
dari terapi selama 5 hari.
22
Tabel 2. Regimen Terapi Eradikasi Hp(12)
Lini Pertama:
Lini Kedua: Golongan obat ini dipakai bila gagal dengan rejimen yang
mengandung klaritromisin
23
PPI* 2x1 7-14 hari
Lini ketiga: Jika gagal dengan rejimen lini kedua. Bila memungkinkan,
pilihan ditentukan berdasarkan uji resistensi dan/ atau perubahan
klinis.
Rifabutin
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonner GF. Upper gastrointestinal evaluation related to the pelvic fl oor. In: Davila GW,
Ghoniem GM, Wexner SD, editors. Pelvic Floor Dysfunction. 1st ed. Springer-Verlag London
Limited;
2006. p. 67-8.
3. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report on functional dyspepsia.
J Neurogastroenterol Motil 2012;18:150-68.
24
6. Otero W, Zuleta MG, Otero L. Update on approaches to patients with dyspepsia and
functional dyspepsia. Rev Col Gastroenterol. 2014;29(2):129-34.
7. Appendix A: Rome III diagnostic criteria for functional gastrointestinal disorders. In:
Drossman DA, editor. Rome III: The functional gastrointestinal disorders. Raleigh, NC: Rome
Foundation; 2006 .p. 885-97.
9. El-Serag HB, Talley NJ. Systematic review: the prevalence and clinical course of functional
dyspepsia. Aliment Pharmacol Ther. 2004;19:643-54.
10. Syam AF, Abdullah M, Rani AA, et al. A comparison of 5 or 7 days of rabeprazole triple
therapy for eradication of Helicobacter pylori. Med J Indones 2010:113-7.
12. Hunt RH, Xiao SD, Megraud F, et al. Helicobacter pylori in developing countries. World
Gastroenterology Organisation Global Guideline. J Gastrointestin Liver Dis 2011;20:299-304.
25