Anda di halaman 1dari 30

KLIPING

AMALAN-AMALAN SUNAH NAHDLATUL ULAMA (NU)

Nama : Nanda Aulia F.


Kelas : V (lima)
No. Absen : 16

MI RAUDLHATUL HUDA
SEMARANG
2018
Tradisi Ngapati, Mitoni, dan Tingkepan

Ngapati atau Ngupati adalah upacara selametan ketika kehamilan menginjak pada usia 4
bulan. Sedangkan Mitoni atau Tingkepan adalah upacara selametan ketika kandungan berusia
7 bulan. Upacara selametan tersebut dilakukan dengan tujuan agar janin yang ada dalam
kandungan nantinya lahir dalam keadaan sehat wal afiyat serta menjadi anak yang salih.

Al-Qur’an al-Karim menganjurkan kita agar selalu mendoakan anak cucu kita, kendatipun
mereka belum lahir. Dalam al-Qur’an dikisahkan tentang Nabi Ibrahim a.s yang mendoakan
anak cucunya yang masih belum lahir

َ‫س ِل َمةً لَك‬


ْ ‫س ِل َم ْي ِن لَكَ َو ِم ْن ذُ ِ ِّريَّتِ َنا أ ُ َّمةً ُم‬
ْ ‫ َربَّنَا َواجْ عَ ْلنَا ُم‬.
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan
(jadikanlah) di Antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.”(QS. Al-
Baqarah:128).

Di sisi lain, Nabi SWT juga mendoakan janin sebagian sahabat beliau.

“Anas bin Malik AS berkata: “Abu Thalhah memiliki seorang anak laki-laki yang
sedang sakit. Kemudian ia pergi meninggalkan keluarganya. Kemudian anak kecil itu
meninggal dunia. Setelah AbuThalhah pulang, beliau bertanya kepada isterinya, Ummu
Sulaim, “Bagaimana keadaan anak kita?” Ummu Sulaim menjawab, “Dia sekarang dalam
kondisi tenang sekali.” Kemudian Ummu Sulaim menyiapkan makan malam, sehingga Abu
Thalhah pun makan malam. Selain makan malam, keduanya melakukan hubungan layaknya
suami isteri. Setelah selesai, Ummu Sulaim menyuruh orang-orang agar mengubur anak laki-
lakinya itu. Pagi harinya, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah SWT dan menceritakan
kejadian malam harinya. Nabi SWT bertanya, “Tadi malam kalian tidur bersama?” Abu
Thalhah menjawab, “Ya.” Lalu Nabi SWT berdoa, “Ya Allah, berkahilah keduanya.” Lalu
Ummu Suliam melahirkan anak laki-laki.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Selain itu, para ulama menganjurkan agar kita selalu bersedekah ketika mempunyai hajat
yang kita inginkan tercapai. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi, seorang ulama ahli
hadits dan fikih madzhab al-Syafi’I, berkata:

‫صدَقَة ِع ْنداْأل ُ ُم ْور ْال ُم ِه َّمةَ(المجموع شرح‬ ْ َ ‫َوقَال أ‬


َّ ‫ يُ ْستَ َحب اْ ِإل ْكثَار ِمن ال‬:‫ص َحابُنا‬
)6\233‫المهذب‬
“Para ulama kami berkata,’Disunnahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi
urusan-urusan yang penting.”(al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,juz 6, hal. 233)

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa upacara selametan pada masa-masa
kehamilan seperti ngapati ketika kandungan berusia 4 bulan atau tingkepan ketika kandungan
berusi 7 bulan, tidak dilarang oleh agama, dan substansinya dianjurkan dan pernah dilakukan
oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi kaum
Wahabi di Saudi Arabia.

Mengiringi Jenazah dengan Bacaan Tahlil

Mengiringi jenazah dengan bacaan tahlil adalah boleh, bahkan ada riwayat yang
menyebutkan bahwa hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah saw. berdasarkan hadits berikut
ini:

َ ‫ َو ُه َو َي ْمشِي خ َْل‬،‫سلَّ َم‬


‫ف‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو ِل‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ لَ ْم َي ُك ْن يُ ْس َم ُع ِم ْن َر‬:‫ قَا َل‬،‫ع َم َر‬ُ ‫ع ْن اب ِْن‬ َ
]1[‫اجعًا‬ َّ ‫ ََّل إلَهَ َّإَّل‬:ُ‫ َّإَّل قَ ْول‬،ِ‫ْال ِجنَازَ ة‬
ِ ‫ َو َر‬،‫ ُم ْب ِديًا‬،ُ‫َّللا‬

“Ibn Umar berkata, “Tidak pernah terdengar dari Rasulullah saw. ketika mengantarkan
jenazah kecuali ucapan La Ilaaha Illallaah, pada waktu berangkat dan pulangnya.”

Hukum Melakukan Talqin Mayit

Ada dua jenis talqin yang dianjurkan dalam Islam, yaitu talqin saat sakaratul maut dan talqin
saat pemakaman jenazah. Penjelasan dan dalil masing-masing jenis talqin tersebut adalah
sebagai berikut.

Talqin Saat Sakaratul Maut

Yakni mentalqin orang yang akan meninggal dunia sebelum nafasnya sampai di
tenggorokan, dan hal itu disunnahkan. Berdasarkan hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim
dan lainnya:
“Dari Abi Sa’id al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Talqinkanlah orang yang akan
mati diantara kamu dengan ucapan La ‘Ilaaha Illallah.” (HR. Muslim [1523])

Talqin saat pemakaman jenazah

Imam al-Nawawi dalam al-Aldzkar menjelaskan bahwa membaca talqin untuk mayit
setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah. Didasarkan pada sabda Nabi saw. yang
diriwayatkan oleh Abi Umamah:

“Dari Abi Umamah r.a. beliau berkata,”Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka
perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah saw. memperlakukan orang-orang yang wafat
diantara kita. Rasulullah saw. memerintahkan kita, seraya bersabda, “Ketika diantara kamu
ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka hendaklah
salah satu diantara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai
Fulan bin Fulanah”. Orang yang berada dalam kubur pasti mendengar apa yang kamu
ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan)
berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam
kuburannya. Orang yang berada di atas kuburan itu berucap lagi, “Wahai Fulan bin
Fulanah”, maka si mayyit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu
memberi rahmat kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan di sini).”
(Karena itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata,”Ingatlah sewaktu
engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan
Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau
akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad
sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imam (penuntun jalan)mu. (Setelah dibacakan talqin
ini) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita
kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu
Umamah kemudian berkata, “Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
saw. “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah
menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “Wahai Fulan bin
Hawa.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7979], Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Mawt hal. 9 tanpa
ada komentar).
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits tentang talqin ini termasuk hadits dha’if, karena
ada seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam
rangka fadha’il al-a’mal, hadits ini dapat digunakan.

Kaitannya dengan firman Allah SWT :

ِ ‫ت ِب ُمس ِْم ٍع َم ْن فِي ْالقُب‬


)٢٢( ‫ُور‬ َ ‫َو َما أ َ ْن‬
“Dan engkau (wahai Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadkan orang yang di dalam
kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir:22).

Yang dimaksud dengan kata man fi al-qubur (orang yang berada di dalam kubur) dalam ayat
ini ialah orang-orang kafir yang diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima
dakwah. Kata mati tersebut adalah metaforis (bentuk majaz) dari hati mereka yang mati. (Tafsir
al-Khazin, juz V, hal. 347).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang beriman itu di dalam kubur bisa
mendengar suara orang yang membimbing talqin tersebut dengan kekuasaan Allah SWT. Hal
ini dapat diperkokoh dengan kebiasaan Rasulullah SAW apabila berziarah kekuburan selalu
mengucapkan salam. Seandainya ahli kubur tidak mendengar salam Rasulullah SAW, tentu
Rasulullah SAW tidak melakukan sesuatu yang sia-sia, dan itu tidak mungkin.

Hadits tentang kesunnahan mentalqin mayyit juga dikutip oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-
Harrani dalam Majmu’ al-Fatawa dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dalam
kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam imam al-
Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Imam Ibn Mandah tersebut adalah:

“Al-Thabarani telah meriwayatkan dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Ibn Mandah, dari Abu
Umamah dari Rasulullah SAW, Bersabda: “Apabila salah seorang saudara kamu meninggal
dunia, lalu kalian meratakan tanah diatas makamnya, maka hendaklah salah seorang kamu
berdiri di bagian kepalanya,dan katakanlah, “Wahai fulan bin fulanah”, maka sesungguhnya
ia mendengar dan menjawab panggilan itu. Kemudian katakana, “Wahai fulan bin fulanah”,
maka ia kan duduk dengan sempurna. Kemudian katakana, “Wahai fulan bin fulanah”, maka
sesungguhnya ia berkata , “Berilah kami petunjuk, semoga Allah mengasihimu”, tetapi kalian
tidak menyadarinya. Lalu katakanlah, “Ingatlah janji yang kamu pegang ketika keluar dari
dunia, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, bahwa Muhammad utusan Allah,
bahwa kamu rela menerima Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai
Nabi dan al-Qur’an sebagai pemimpin.” Maka pada saat itu, Malaikat Munkar dan Nakir akan
saling berpegangan tangan dan berkata, “Mari kita pergi. Kita tidak duduk di samping orang
yang telah dituntun jawabannya. “Nantinya Allah yang akan memberikan jawaban terhadap
kedua Malaikat itu.” Seorang laki-laki berkata bertanya “Wahai Rasulullah, jika ibu mayit itu
tidak diketahui?” Beliau menjawab, “Nisbatkan kepada Hawwa, “Wahai Fulan bin Hawwa.”

Hukum Selamatan 7 Hari Kematian

Di kalangan masyarakat kita da tradisi, ketika ada orang meninggal, maka pihak keluarga
mengadakan selamatan selama 7 hari, yang dihadiri para tetangga , kerabat dan handai taulan
dengan ritual bacaan yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal itu. Selamatan
tersebut dilakukan pula pada ke-40, 100, dan 1000 harinya. Lalu diadakan setiap tahunnya yang
diistilahkan dengan haul. berkaitan dengan tradisi selamatan selama 7 hari, ada atsar (riwayat)
dari ulama salaf berikut ini :

‫ست َ ِحبُّ ْو َن أ َ ْن يُّ ْط َع َم‬


ْ ‫س ْبعًا فَكَانُوا َي‬
َ ‫س ِإ َّن ا ْل َم ْوتَى يُ ْفتَنُ ْو َن فِي قُبُ ْو ِر ِه ْم‬
ُ ‫او ْو‬
ُ ‫ط‬َ ‫ان قَا َل‬ َ ‫س ْف َي‬
ُ ‫ع َْن‬
‫ع ْن ُه ْم تِ ْلكَ ْاْلَيَّام‬
َ

)178/2 ,‫ الحاوي للفتاوى‬,‫ (رواه اإلمام أحمد في كتاب الزهد‬.


“Dari Sufyan, berkata, “Imam Thawus berkata, “Sesungguhnya orang yang meninggal
akan diuji di dalam kubur selam tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf) mengajurkan
bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut.”

Syaikh Nawawi al-Bantani seorang ulama mutaakhkhirin, menjelaskan penentuan sedekah


melalui tradisi tahlil pada hari-hari tertentu itu merupakan kebiasaan masyarakat (al-‘adah).
Difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. “Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya
kebiasaan bersedekah untuk mayyit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, dua puluh
dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada
hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh kita Yusuf al-Sunbulawini.”

Bahkan, menyikapi atsar Imam Thawus yang diriwayatkan dari Sufyan tersebut daiatas,
Imam Ahmad bin Hanbal r.a, dalam kitab al-Zuhd menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh
hari itu adalah perbuatan sunnah. Lebih lanjut, Imam al-Suyuthi menilai hal tersebut
merupakan perbuatan sunnah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat.
“Kesunnahan memberikan sedekan makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang
tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, abad X Hijriyah) di Mekkah dan
Madinah, Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW
sampai sekarang saat ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama
(masa sahabat SAW).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat tentang penentuan hari dalam
tahlilan itu dapat dibenarkan.

Jamuan Makan Kepada Para Penta’ziyah

Dalam masyarakat kita da tradisi, ketika ada orang meninggal, maka pihak keluarga
menyiapkan hidangan makanan yang disuguhkan kepada para penta’ziyah. Tradisi ini sesuai
dengan atsar dari ulama salaf di atas. Selain itu, juga sesuai dengan hadits mauquf dari
Sayyidina Umar r.a berikut ini :

“Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar Umar r.a berkata: “Apabila
seseorang dari suku Quraisy memasuki satu pintu, pasti orang lain akan mengikutinya.” Aku
tidak mengerti perkataan ini, sampai akhirnya Umar r.a ditikam, lalu beliau berwasiat agar
Shuhaibyang menjadi Imam shalat selama tiga hari dan agar menyuguhkan makanan pada
orang-orang yang ta’ziyah. Setelah orang-orang pulang dari mengantarkan jenazah (Umar
r.a, ternyata hidangan makanan telah disiapkan, tetapi mereka tidak jadi makan, karena duka
cita yang tengah menyelimuti mereka.

Sealain itu, bolehnya menyuguhkan makanan kepada orang yang bertakziah, didasarkan
pada hadits:

“Dari Abdullah bin Amr r.a, “Ada seseorang yang bertanya pada Nabi SAW, “Perbuatan
apakah yang paling?” Rasulullah SAW menjawab, “Menyuguhkan makanan dan
mengucapkan salam, baik kepada orang yang kamu kenal atau tidak.” (HR. al-Bukhari [11]).

Lebih jelas lagi, menyuguhkan makanan kepada orang yang bertakziyah itu dijelaskan
dalam hadits Nabi SAW berikut ini:

“Diriwayatkan oleh Ashim bin Khulayd dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar,
ia berkata, “Saya pernah bersama Rasulullah SAW pulang, beliau diundang oleh seorang
perempuan (istri yang meninggal). Rasulullah SAW memenuhi undangannya, dan saya ikut
bersama beliau,. Ketika beliau datang, lalu makananpun dihidangkan. Rasulullah SAW mulai
makan dan diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan mengunyah makanan tersebut,
beliau bersabda, “Aku merasa daging kambing ini diambil dengan tanpa izin pemiliknya”.
Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Rasulullah SAW sembari berkata, “Wahai
Rasulullah SAW saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi”, (suatu tempat penjualan
kambing), untuk membeli kambing, namun tidak mendapatkannya. Kemudian saya
menyuruhnya menemui tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing itu dijual
kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya menyuruh
menemui isterinya dan ia pun mengirimkambingnya pada saya. Rasulullah SAW kemudian
bersabda, “Berikan makanan ini pada para tawanan.”

Berdasarkan hadits inilah, Syaikh Ibrahim al-Halabi berkata. “Hadits ini menunjukkan
kebolehan keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika
makanan itu disuguhkan kepada fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli warisnya
ada yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit.”

Mengenai keputusan Rasulullah SAW memberikan makanan kepada para tawanan itu tidak
dapat dijadikan alasan memgharamkan menyuguhkan makanan kepada orang yang berta’ziyah.
Rasulullah SAW menyuruh memberikan makanan kepada para tawanan karena orang yang
akan dimintai ridhanya atas daging itu belum ditemukan sedangkan makanan itu takut basi.
Maka sudah semestinya jika Rasulullah SAW memberikan makanan tersebut kepada para
tawanan. Dan isteri mayit pun telah mengganti harga kambing yang disuguhkan tersebut.

Tahlil Fida’ (Tebusan)

Ada tradisi di sebagian masyarakat kita, ketika ada keluarga yang meninggal dunia, maka
dibacakan tahlil (la ilaha illallah) sebanyak 70.000 kali dan pahalanya dihadiahkan kepada
mayit agar terbebas dari siksa neraka. Hal tersebut diistilahkan dengan tahlil fida’ atau tebusan.
Hal demikian itu boleh dilakukan, sebagaiamana ditegaskan oleh Syaikh Ibn Taimiyah,
panutan utama kaum wahabi, dalam Majmu’ al-Fatawa-nya berikut ini:

ٌ ‫ت ِم َن النَّ ِار" َح ِد ْي‬


‫ث‬ ِ ِّ‫ف َم َّر ٍة َوأَ ْهدَاهُ ِل ْل َم ِي‬
ِ ِّ‫ت يَك ُْونُ بَ َرا َءةً ِل ْل َم ِي‬ َ ‫س ْب ِع ْي َن أ َ ْل‬
َ ‫ع َّم ْن " َهلَّ َل‬
َ :‫سئِ َل‬
ُ ‫َو‬
َ ‫ت يَ ِص ُل إِلَ ْي ِه ث َ َوابُهُ ا َ ْم َْل؟ فَأ َ َج‬
‫ إِذَا َهلَّ َل‬:‫اب‬ َ ‫ص ِح ْيحٌ؟ أ َ ْم ْلَ؟ َواِذَا َهلَّ َل ْاْل ْن‬
ِ ِّ‫سا ُن َوا َ ْهدَاهُ إِلَى ا ْل َم ِي‬ َ
‫س َهذَا َح ِد ْيثًا‬
َ ‫ َوا ُ ْه ِد َيتْ اِلَ ْي ِه نَفَ َعهُ هللاُ ِبذَ ِلكَ َولَ ْي‬.‫س ْبعُ ْو َن ا َ ْلفًا ا َ ْو اَقَ َّل ا َ ْو ا َ ْكث َ َر‬
َ :‫سا ُن َه َكذَا‬
َ ‫اْل ْن‬
ِْ
)323/24 ,‫ (مجموع فتاوى ابن تيمية‬.‫ َوهللاُ أ َ ْع َل ُم‬.‫ض ِع ْيفًا‬ َ ‫ص ِح ْي ًحا َو َْل‬ َ .
“Syaikh Ibn Taimiyah ditanya, tentang orang yang membaca tahlil 70.000 kali dan
dihadiahkan kepada mayit, agar menjadi tebusan baginya dari neraka, apakah hal itu hadits
shahih atau tidak? Dan apabila seseorang membaca tahlil lalu dihadiahkan kepada mayit,
apakah pahalanya sampai atau tidak?” Beliau menjawab, “Apabila seseorang membaca tahlil
sekian, 70.000 atau kurang, dan atau lebih, lalu dihadiahkan kepada mayit, maka hadiah
tersebut bermanfaat baginya, dan ini bukan hadits shahih dan bukan hadits dha’if. Wallahu
a’lam.”

Membaca Al-Qur’an di Kuburan

Menjelang bulan suci Ramadhan maupun menjelang lebaran ada tradisi yang dilakukan
kaum Muslimin, yaitu ziarah kubur. Baik berziarah ke makan para wali atau tokoh terkenal
lainnya maupun makam orang tua atau sanak famili yang telah meninggal. Lalu mereka
membaca al-Qur’an di sisi makam tersebut. Hal itu diperbolehkan dan baik untuk dilakukan.
Membaca al-Qur’an di kuburan merupakan tradisi kaum salaf (sejak generasi sahabat). Al-
Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah murid terdekat Ibnu Taimiyah, berkata:

“telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan
al-Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan
dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di
antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal berkata,
“al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa al-Haddad
mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “aku bersama Ahmad
bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika mendengar jenazah. Setelah
mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di samping makam itu.
Lalu Ahmad berkata kepadanya, “ Hai laki-laki sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping
makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata
kepada Ahmad bin Hanbal, “wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang
Mubasysyir al-Halabi?” ia menjawab, “dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya).”
Muhammad bin Qudamah berkata, “anda menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “ya.”
Muhammad bin Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman
bin al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar
dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “aku
mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin
Qudamah, “kembalilah, dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca al-Qur’an di
samping makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah bin al-Za’farani berkata, “ aku bertanya kepada
al-Syafi’I tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.”
Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkata, “kaum Anshar apabila keluarga mereka
ada yang meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan al-
Qur’an di sampingnya.”

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab juga menyampaikan beberapa riwayat membaca al-
Qur’an ketika di makam kaum Muslimin dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini:

“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara Marfu’: “barang siapa
mendatangi kuburan lalu membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlas, dan al-Takatsur, kemudian
mengatakan: “Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-
laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.”
Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal-, meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin
Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangani kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka
Allah akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak orang-
orang yang ada di kuburan itu.”

Dzikir Bersama dan Mengeraskan Suara

Sebuah tradisi yang ada di tengah-tengah masyarakat apabila berdzikir yaitu dilakukan
secara bersama-sama dan mengeraskan suara. Baik dzikir setelah shalat maupun dalam acara
tahlilan dan lain-lain. Hal tersebut tidak mengurangi pahala dzikir, bahkan dianjurkan dan terus
ditradisikan. Dalam kitab al-Ijtima’ala al-Dzikr wa al-Jahr bihi yang telah menyitir sekian
banyak ayat al-Qur’an tentang dzikir, al-Imam al-Syaukani berkata:

“ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an kekita melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat
tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan,
meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut
memberi pengertian anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.”
Bahkan berkaitan dengan dzikir yang mengeraskan suara setelah shalat fardhu, ada hadis
shahih berikut ini:

“Dari Abu Ma’bad, bahwa Ibn Abbas r.a mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan
suara dalam berdzikir ketika selesai shalat fardhu berjamaah terjadi pada zaman Nabi S.A.W.
Ibn Abbas berkata, “aku mengetahui selesainya shalat fardhu itu, ketika aku mendengar suara
keras mereka dalam berdzikir.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Berkaitan dengan dzikir secara berjamaah, ada sekian banyak hadits yang
menganjurkannya, antara lain hadits berikut ini:

“Syaddad bin Aus r.a berkata, “kami bersama Rasulullah SAW tiba-tiba beliau berkata,
“apakah di antara kalian ada orang asing (ahli kitab)?” kami menjawab, “tidak ada wahai
Rasulullah.” Lalu beliau memerintahkan agar mengunci pintu dan berkata, “angkatlah tangan
kalian, lalu katakan La ilaha illallah!” kami mengangkat tangan beberapa saat, kemudian
Rasulullah meletakkan tangannya. Lalu bersabda, “Alhamdulillah. Ya Allah sesungguhnya
Engkau mengutusku membawa kalimat tauhid ini, Engkau memerintahkannya kepadaku dan
menjanjikanku surga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi
janji.” Kemudain beliau bersabda, “bergembiralah, sesungguhnya Allah telah mengampuni
kalian.” (HR. Ahmad, al-Hakim, al-Tabarani dan al-Bazzar).

Tradisi Tahlilan

Tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat
Islam Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh Rasulullah
SAW, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena tidak ada unsur yang bertentangan dengan
ajaran Islam, misalnya pembacaan surat Yasin, Tahlil, Tahmid, Tasbih, dan semacamnya. Oleh
karena itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial merupakan perwujudan dari tuntutan
Rasulullah SAW.

Imam al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan


kebaikan, misalnya membaca al-Qur’an, dzikir, dan doa itu adalah perbuatan yang dibenarkan
meskipun tidak pernah dilaksanakan pada mas Rasulullah SAW. Begitu pula tidak ada larangan
untuk meghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah
meninggal. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti,
hadits “Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu.” Tidak ada perbedaan baik
dilakukan secara bersama-sama di dekat mayit atau di dekat kuburannya, dan membaca al-
Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di Masjid atau di rumah.

Kesimpulan al-Syaukani ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi SAW. Di antaranya
adalah:

‫ َّل يقعد قوم يذكرون هللا عزوج ّل‬:‫عن ابي سعيد الخدري قال ول هللا صلّى هللا عليه سلّم‬
‫اَّلّخفَّتهم المالئكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم هللا فيمن عنده (رواه‬
)4868‫مسلم‬
“Dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata, Rasulullah bersabda “Tidaklah berkumpul suatu
kaum sambil berdzikir kepada Allah, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah akan
memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di
hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.” (HR. Al-Muslim [4868]).

Imam al-Syafi’i memang pernah menyatakan : “Dan ku tidak senang pada “ma’tam” yakni
adanya perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban.”

Perkataaan Imam al-Syafi’i ini sering dijadikan dasar melarang acara tahlilan, karena
dianggap sebagai salah satu bentuk ma’tam yang dilarang tersebut. Padahal apa yang dimaksud
dengan ma’tam itu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah perkumpulan untuk meratapi
mayit yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan.

Ma’tam yang tidak disenangi oleh Imam al-Syafi’i adalah perkumpulan untuk meratapi
kepergian mayit, yang mencerminkan kesedihan mendalam karena ditinggal oleh orang yang
dicintai. Seolah-olah tidak diterima terhadap apa yang telah diputuskan oleh Allah. Dan itu
sama sekali tidak terjadi bagi orang yang melakukan tahlilan yang di dalamnya terdapat dzikir
dan doa untuk orang yang meninggal dunia. Sehingga tepat jika tahlilan itu disebut
sebagai majlis al-dzikir.

Bagi shahibul mushibah (orang yang terkena musibah), tahlilan itu merupakan pelipur lara
dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan penambah
kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah
semakin senang. Justru tuan rumah akan kecewa dan tambah bersedih jika yang datang untuk
tahlilan sangat sedikit.
Dari sisi sosial, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sangat besar untuk
menjalin ukhuwah antar anggota masyarakat. Dalam sebuah penelitan ilmiah yang dilakukan
oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo Sabardila MA dosen Universitas Muhammadiyyah
Surakarta didapat kesimpulan bahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dalam kehidupan keagamaan. Di samping itu tahlil juga merupakan salah satu alat mediasi
(perantara) yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai komunikasi keagamaan
dan pemersatu umat serta mendatangkan ketenangan jiwa.

Terkait susunan tahlil, sebagaimana maklum, terdiri darin beberapa ayat Al-Qur’an, tahlil,
tasbih, tahmid, shalawat dan lain-lain. Komposisi bacaan tahlilan yang terdiri dari beragam
dzikir ini telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani,
ulama panutan utama kaum Wahabi, pernah ditanya tentang riyual seperti tahlilan tersebut, dan
beliau membenarkan serta menganjurkannya. Dalam hal ini Ibn Taimiyah berkata :

“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan
berkata kepada mereka, “Dzikir kalian bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga
bid’ah.” Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum
Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara
tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat
kepada Nabi”. “Llu Ibn Taimiyah menjawab : “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan
al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama
dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi bersabda, “sesungguhnya Allah memiliki
banyak Malaikat yang selalu berpergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan
sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “silahkan
sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “kami menemukan mereka
bertasbih dan bertahmid kepada-Mu” … Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan
wirid) sepertishalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta
pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah dan hamba-
hamba Allah yang salih, zaman dulu dan sekarang”.(Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, Juz 22,
hal 520).

Pertanyaan Syaikh Ibn Taimiyah di atas memberikan kesimpulan bahwa dzikir berjamaah
dengan komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat,
dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan
termasuk qurbahdan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.
Dalam tradisi tahlilan, tuan rumah biasanya menyuguhkan makanan setelah doa
dipanjatkan. Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun, hal ini merupakan sesuatu
yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat
terpuji. Sabda Nabi :

“Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah kemudian saya bertanya,
“Wahai Rasul, apakah Islam itu ?” Rasul menjawab, “ Bertutur kata yang baik dan
menyuguhkan makanan.” (HR. Ahmad [18617]).

Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah, jangankan makanan, kebun
pun (harta yang sangat berharga) disediakan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam
sebuah hadits shahih disebutkan :

“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah
untuknya ?” Rasulullah menjawab, “Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang
kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan mempersedekahkan kebun
tersebut atas nama ibuku”. (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal 142).

Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baiknya amal yang
dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istighfar, doa, dan haji.
Adapun pahala membaca al-Qur’an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit,
juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji. (Ibnu al-Qayyim,
al-Ruh, hal. 142).

Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan
kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda
Rasulullah :

“Dari Abi Hurairah, ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak
bisa), diam.” (HR. Muslim [5559]).
Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur
harus diterima dan dijamu dengan baik, apabila tamu yang datang untuk mendoakan keluarga
kita di akhirat, sudah seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan.

Hanya saja, kemampuan ekonomi harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh
memaksakan diri untuk melakukan acara tahlilan dengan berhutang ke sana sini atau sampai
mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan.
Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya.

Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Selama
tidak israf (berlebih-lebihan dan menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan
istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan sebagai suatau bentuk penghormatan serta
kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia.

Dan yang tak klaah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat
di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah. Dan jika ada bagian
dari ucapan tahlil itu yang menyimpang dari ketentuan syara’ maka tugas para ulama untuk
meluruskannya dengan penuh bijaksana.

Tradisi yasinan

Tradisi yasinan adalah membaca surat yasin secara bersama-sama. Baik membacanya
secara sendiri-sendiri ditempat yang sama, atau membacanya dipimpin oleh seorang pemandu.
Biasanya tradisi yasinan dilakukan setiap malam jumat. Ada juga yang melakukn setiap malam
ahad, tergantung kesepakatan anggota kelompok yasinan masing-masing.

Bacaan yasin tersebut biasanya dihadiahkan kepada orang-orang yang sudah meninggal
dunia. Ada pula yang membacanya disamping orang yang menghadapi detik-detik akhir dari
kehidupannya di dunia. Dan adapula yang melakukannya dimakam para ulama, orang tua atau
kerabat.

Ada banyak hadits shahih yang menerangkan keutamaan surat yasin, antara lain hadist-
hadist yang disebutkan oleh al-Imam Ibn Katsir, salah satu murid terbaik Syaikh Ibn Taimiyah
al-Harrani, dalam tafsirnya:
“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membaca surat yasin
pada malam harinya, maka ia diampuni pada pagi harinya,” Sanad hadist ini jayyid (shahih).
(HR. Al-Hafizh Abu Ya’la).

Demikian hadist yang disebut oleh al-Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya. Setelah menyitir
hadist shahih tersebut, al-Hafizh Ibn Katsir kemudian berkata begini:

“Karena ini sebagian ulama berkata, di antara khasiat surat yasin ini adalah, bahwa apabila
surat yasin dibaca ketika menghadapi persoalan yang sulit, maka Allah akan memudahkannya.
Membaca surat Yasin disamping orang yang akan meninggal seakan-akan bertujuan turunnya
rahmat dan berkah serta memudahkan keluarnya ruh orang tersebut. Wallahu a’lam. Imam
Ahmad bn Hanbal berkata, “Abu al-Mughirah mengabarkan kepada kami, Shafwan
mengabarkan kepada kami, ia (Shafwan) berkata, “Para guru selalu berkata, “apabila surat
Yasin dibaca disamping orang yang meninggal, maka akan meringankan bebannya.” (Al-
Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz 11, hal. 342-343).

Berkaitan degan keutamaan surat Yasin ketika dibaca disamping makam kaum muslimin,
Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid terdekat Syaikh Ibn Taimiyah, juga berkata:

“Dari al-Husain bin al-Haitsam berkata, “Aku mendengar Abu Bakar bin al-Athrusy berkata,
“Ada seorang laki-laki yang rutin mendatangi makam ibunya dan membaca surat Yasin. Pada
suatu hari ia membaca surat Yasin dimakam ibunya, kemudian berkata, “Ya Allah, apabila
Engkau berikan pahala bagi surat ini, maka jadikanlah pahalanya bagi semua penghuni
kuburan ini. “Pada hari Jumat berikutnya, seorang wanita datang dan berkata pada laki-laki
itu, “kamu fulan bin fulanah?” Ia menjawab, “Ya.” Wanita itu berkata, “aku punya anak
perempuan yang telah meninggal. Lalu aku bermimpi melihatnya duduk-duduk di pinggir
makamnya. Aku bertanya “kamu kok bisa duduk-duduk disini?” Putriku menjawab,
“Sesungguhnya fulan bin fulanah datang ke makam ibnya. Ia membaca surat Yasin dan
pahalanya dihadiahkan kepada semua penghuni makan ini. Kami dapat bagian rahmatnya.
Atau kami diampuni dan semacamnya.” (Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Ruh, hal 18)

Tradisi Maulid Nabi

Setiap bulan rabiul awal tiba, mayoritas kaum muslimin di berbagai belahan dunia
mengadakan upacara perayaan maulid Nabi SAW. Dalam acara tersebut biasanya
dibacakan sirah dan biografi kehidupan Nabi SAW, mulai kelahiran hingga wafatnya. Tidak
jarang acara maulid diadakan dengan mendatangkan pembicara dari luar. Setelah acara maulid
dilakukan dengan penuh khidmat, maka dilanjutkan dengan suguhan makanan yang
dihidangkan kepada para peserta. Tradisi maulid ini sangat baik untuk dilestarikan, karena
dapat menjadi sarana dakwah dalam menyampaikan sirah dan biografi Nabi SAW kepada
umatnya. Pengetahuan sirah dan biografi Nabi SAW, akan menambah cinta kepada Nabi SAW
serta memperkuat keimanan kita kepada Nabi SAW. Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani
menanggapi tradisi maulid ini dengan sangat positif. Dalam hal ini beliau berkata dalam
kitabnya, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqi:

“Jadi, mengagungkan Maulid dan menjadikannya sebagai tradisi tidak jarang dilakukan oleh
sebagian orang, dan ia memperoleh pahala yang sangat besar karna tujuannya yang baik serta
sikapnya yang mengagungkan Rasulullah SAW sebagaiman telah aku jelaskan sebelumnya.”
(Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al_shirath al-Mustaqim, hal 297).

Dewasa ini, dalam rangka memantapkan keyakinan kaum wahabi terhadap kebenaran
dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri aliran wahabi, kaum Wahabi
di Saudi Arabia mengadakan acara semacam maulid ataumanaqiban, yang mereka sebut
dengan Usbu’ al-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (Pekan Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab). Selama satu pekan, para ulama wahabi bergantian menguraikan keutamaan dan
biofgrafi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam bentuk makalah. Kemudian makalah
tersebut mereka himpun dan mereka terbitkan. Hal tersebut persis dengan tradisi maulid,
haulmanaqiban dikalangan kaum Sunni.

Tradisi Manqiban dan Haul

Manaqiban dan haul adalah upacara pembaca biografi dan keutamaan para wali Allah
SWT yang menjadi panutan umat. Dalam acara terserbut juga delingi dengan pembacaan al-
Fatihah, ayat ayat al-Qur’an dan aneka dzikir lainnya, lalu pahalanya dihadiahkan kepada wali
yang bersangkutan. Di sebagian daerah dipulau jawa banyak yang mengadakan manaqiban
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, pendiri tereqat Qadiriyah, di daerah Kalimantan Selatan, banyak
pula yang merayakan manqib Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani al-
Syafi’i, pendiri tereqat al-Sammaniyah. Tradisi manaqiban ini sangat baik untuk dilakukan,
agar kita dapat menghayati dan meneladani perjalanan kehidupan mereka yang sangat
produktif dalam beribadah, berdakwah dan berbakti kepada agama.
Disisi lain, para ulama’ juga menjelaskan, bahwa dalam mengenang orang-orang salih,
dapat menurunkan rahmat Allah swt. Dalam konteks tersebut al-iman al-mujtahid sufyan bin
uyainah, salah seorang ulama salaf dan guru al-imam ahmad bin hanbal, berkata;

“muhammad bin hasan berkata,” aku mendengar sufyan bin uyainah berkata, “ketika orang-
orang salih dikenang, maka rahmat Allah akan turun” (Al-Imam al-Hafizh Abu Nu’aim, Hilyah
al-Auliya’, juz 7 hal 285).

Bahkan ketika tegas lagi, syaikh bin taimiyah mengakui bahwa tradidu kaum beriman,
pasti merasa senang dan nyaman apabila mengenang dan menyebut para nabi dan orang-orang
salih. Dalam konteks ini syaikh ibn taimiyah berkata dalam khitbahnya, al shafadiyah, sebagai
berikut:

“kesempurnaan diri tidak akan tercapai tanpa pengetahuan, kemampuan dan kemauan yang
sumbernya adalah cinta. Ketika seseorang merasa nikmat dengan pengetahuan, maka sudah
barang tentu disana ada rasa cinta terhadap apa yang dinikmatinya. Adakalanya apa yang ia
ketahui, ia cinta, serta merasa nikmat dengan mengetahui dan menyebutnya. Sebagaimana
orang-orang yang beriman merasa nikmat dengan ma’rifat kepada Allah dan berdzikir
kepada-Nya. Bahkan orang-orang yang beriman merasa nikmat dengan mennyebut
(mengenang) para nabi dan orang-orang salih. Oleh karena itu ada pameo, “ketika orang-
orang salih dikenang, maka rahmat Allah akan turun”, dengan bangkitnya jiwa dan hati
seseorang untuk mencintai kebaikan dan merasa senang dan nyaman melakukannya.” (syaikh
ibn taimiyah,kitab al-shafadiyah, juz 2, hal 269).

Tradisi Bulan Syuro

Pada sepuluh hari pertama bulan muharram, kaum muslimin di berbagai belahan dunia
banyak menunaikan ibadah puasa sunat. Terutama tanggal 9 dan 10. Di tanah air, sebagian
besar kaum muslimin mengadakan aneka ragam tradisi berkaitan dengan hari Asyura’ (tanggal
10 bulan muharram) atau yang dikenal dengan nama bulan syuro (bulan sorah). Al-imam
hafizh ibn al-jauzi al-hanbali menjelaskan 15 macam kebaikan yang dianjurkan dilakukan pada
hari asyura.

1) Bersedekah kepada fakir miskin

2) Mengusap kepala anak yatim


3) Memberi buka orangyang berpuasa

4) Menyiramkan air

5) Mengunjungi saudara seagama

6) Mandi

7) Menjenguk orang sakit

8) Memuliakan dan berbakti kepada kedua orang tua

9) Menahan amarah dan emosi

10) Memaafkan orang yang melakukan aniyaya pada bulan asyura

11) Memperbanyak ibadah shalat, do’a, istigfar.

12) Memperbanyak dzikir kepada Allah

13) Menyingkirkan apa sja yang mengganggu orang dijalan

14) Berjabatan tangan dengan orang yang dijumpainya dimana saja

15) Memperbanyak membaca surah al-ikhlas sampai seribu kali

Demikian 15 anjuran pda bulan asyura yang disebutkan oleh al-imam al-hafizh ibn al-
jauzi al-hambali dalam kitabnya, al-majalis hal 73-74. Dalam rangka menerapkan anjuran para
ulama tentamg hari asyura, umat islam Nusantara merayakan upacara asyura dengan tradisi
membuat bubur syurp (tajin sorah) yang disuguhkan kepada keluarga dan tetangga. Berkaitan
dengan tradisi membuat makanan bubur syuro pada hari asyuro ini, ada dalam hadits shahih
yang mendasarinya.

“Abu sa’id al-khudri berkata, “Rosulullah saw bersabda “barang siapa yang menjadikan kaya
keluarganya (dalam hal belanja dan makanan) pada hari asyura, maka Allah akan menjadikan
kaya selama satu tahun tersebut.” Hadits shahih. (HR. Al-thabarani dan al-baihaqi).

Berkaitan dengan hadits tersebut, al-imam al-hafizh ahmad al-ghumari menulis kitab
khusus tentang keshahihannya berjudul, hidayah al-shaghra bi tashhih hadits al-tausi’ah ah ‘ala
al-iyal yaumab ‘asyura’. Bahkan al-imam al-hafiz ibn rajab al-hanbali, mrid syaikh ibn qayyim
al-jauziyah , berkata dalam kitabnya lathaif al-ma’arif sebagai berikut: “Ibn Manshur
berkata, “Aku berkata kepada Imam Ahmad, “Apakah Anda mendengar hadist, “Barangsiapa
yang menjadikan kaya keluarganya pada hari asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya
selama setahun?” Ahmad menjawab, “Ya, Hadist tersebut diriwayatkan oleh Sufyan bin
Uyainahdari Ja’far al-Ahmar, dari Ibrahim bin Muhammad, dari al-Muntasyir – orang terbaik
pada masanya-, bahwa ia menerima hadist, “barangsiapa yang menjadikan kaya
keluargannya pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama satu tahun
penuh.” Sufyan bin Uyainah berkata, “ Aku telah melakukannya sejak 50 atau 60 tahun, dan
selalu terbukti baik.” (al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 137-138).

Tradisi Bulan Sya’ban, Ruwahan dan Nyadran

Bulan Sya’ban adalah bulan istimewa. Pada bulan Sya’ban semua amal manusia
dilaporkan kepada Allah SWT. Nabi SAW sendiri memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban,
melebihi puasa beliau pada bulan-bulan yang lain. Berkaitan dengan keutamaan bulan Sya’ban
ini, al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali, murid terkemuka Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata
dalam kitab Latahif al-Ma’arif sebagai berikut:

“Al-Imam Ahmad dan al-Nasa’i meriwayatkan dari hadist Usamah bin Zaid, yang berkata:
“Rasulullah SAW terkadang berpuasa selama beberapa hari berturut-turut sehingga kami
berkata, beliau tidak sarapan pagi. Beliau juga sarapan pagi selama beberapa hari sehingga
hampir saja beliau tidak berpuasa kecuali dua hari dari Jum’at, apabila dua hari itu menjadi
bagian dari puasanya. Kalau tidak, beliau berpuasa pada dua hari itu. Nabi SAW tidak
berpuasa pada bulam-bulan yang ada seperti puasa beliau pada bulan Sya’ban. Akau berkata
kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah SAW, aku tidak pernah melihatmu berpuasa pada
bulan-bulan sebelumnya seperti puasa Anda pada bulan Sya’ban?” Nabi SAW menjawab ,
“Bulan Sya’ban itu, Bulan yang dilupakan manusia antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan
Sya’ban itu, bulan dimana amal manusia diangkat kepada Allah SWT Tuhan semesta alam.
Aku ingin, amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa,” (Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali,
Lathaif al-Ma’arif, hal. 236).

Dalam menghadapi bulan istimewa, dimana amal manusia dilaporkan kepada Allah
SWT, umat Islam ditanah air melakukan tradisi ruwahan(memperbanyak sedekah), sehingga
bulan ini disebut dengan bulan ruwah (Bulan Rabble). Para ulama juga menganjurkan agar kita
memperbanyak sedekah pada momen-momen yang dianggap penting yang sedang dihadapi.
Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi berkata:
“Para ulama kami berkata, “Disunahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-
urusan yang penting.” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 6, hal.
233).

Bahkan, berkaitan dengan anjuran peningkatan amal kebaikan pada bulan Sya’ban, al-
Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali berkata:

“Oleh karna Sya’ban itu merupakan pengantar lagi bulan Ramadhan, maka pada bulan
Sya’ban di anjurkan hal-hal yang dianjurkan pada bulan ramadhan seperti berpuasa dan
membaca al-Qur’an, sebagai persiapan menghadapi Ramadhan dan jiwa menjadi terlatih
untuk taat kepada Allah. Kami telah meriwayatkan dengat sanad yang lemah dari Anas, yang
berkata, “Ketika blan Sya’ban tiba, kaum Muslimin biasanya menekuni Mushhaf dengan
membaca al-Qur’an. Mereka juga mengeluarkan zakat harta benda mereka agar membantu
orang yang lemah dan miskin dalam menjalani puasa Ramadhan.” (Ibn Rajab al-Hanbali,
Lathaif al-Ma’arif, hal. 258)

Pada bulan Sya’ban, dikalangan masyarakat kita ada pula tradisi ziarah kubur, yang
sebagian daerah dikenal dengan tradisi nyadran. Rasulullah SAW juga berziarah ke makam
para sahabat di Baqi’ pada malam Nifsu Sya’ban. Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, murid
terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauhiyah, berkata dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, berikut ini:

“Mengenai keutamaan malam nifsu Sya’ban, ada sejumlah hadist-hadist lain yang
diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama menilainya dha’if. Sebagian hadist-hadist
iti dishahihkan oleh Ibn Hibban dan diriwayatkan dalam Shahih-nya. Hadist terbaik diantara
hadist-hadist tersebut adalah, hadist ‘Aisyah yang berkata, “Aku kehilangan Nabi SAW lalu
aku keluar mencarinya, ternyata beliau ada dimakam Baqi’, sedang mengangkat kepalanya ke
langit. Beliau berkata, “Apakah kamu khawatir Allah dan Rasul-Nya berbuat sewenang-
wenang kepadamu?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku mengira englau mendatangi
sebagai istri-istrimu.” Lalu Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT turun pada
malam nifsu Sya’ban ke langit dunia, lalu mengampuni orang-orang yang jumlahnya melebihi
bulu-bulu kambing suku Kalb.” Hadist ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, al-Tarmidzi dan
Ibn Majah.” (Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 261).

Tradisi lain juga berlangsung di tengah-tengah masyarakat pada malam nifsu Sya’ban
adalah shalat sunnat secara berjamaah dan dilanjutkan dengan doa bersama. Tradisi ini
berkembang sejak generasi salaf, kalangan tabi’in. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibn Rajab al-
Hanbali berkata:
“Al-Syafi’i ra berkata, “Kami mendapat informasi bahwa doa dikabulkan pada lima malam,
yaitu malam jum’at, malam hari raya, malam 1 rajab dan malam nifsu Sya’ban.” Al-Syafi’i
berkata, “Aku menganjurkan semua yang diceritakan pada kelima malam ini.” Sementara
tidak ditemukan pertanyaan dari Imam Ahmad mengenai malam nifsu Sya’ban. Tetapi
kesunatan ibadah(shalat dan semacamnya) pada malam itu dapat di analogikan terhadap dua
riwayat dari Imam Ahmad mengenai ibadah pada malam hari raya. Dalam satu riwayat,
Ahmad tidak menganjurkan ibadah (shalat) berjamaah pada malam hari rayakarena tidak
pernah dikutip oleh Nabi SAW dan para sahabat.dalam riwayat lain, Ahmad menganjurkan
shalat sunnat berjamaah pada malam hari raya karena Abdurrahman bin Yazid bi al-Aswad –
Ulama generasi tabi’in telah melakukannya. Demikian pula, shalat sunnat berjamaah pada
malam nishfsu Sya’ban, tidak ada riwayat dari Nabi SAW dan para sahabat. Tetapi ada
riwayat dari sekelompok Tabi’in dari tokoh-tokoh fuqaha penduduk Syam yang melakukan
shalat sunnat secara berjamaah.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 264).

Istighatsah Dan Tawassul

Istighatsah dan tawassul memiliki arti yang sama. Yaitu, memohon datangnya
manfaat atau terhindarnya bahaya kepada Allah SWT, dengan menyebut nama seorang nabi
atau wali karena memuliakan (ikram) terhadap keduanya.

Al-Syaikh Jamil Afandi Shidqi al-Zahawi menjelaskan bahwa yang


dimaksudIstighatsah dan tawassul dengan para nabi dan orang-orang yang saleh ialah
menjadikan mereka sebagai sebab dan perantara dalam memohon kepada Allah SWT untuk
mencapai tujuan. Pada hakikatnya Allah SWT adalah pelaku sebenarnya (yang mengabulkan
do’a ).

Ada banyak dalil yang menjelaskan keutamaan tawassul. Diantaranya adalah firman
Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT Dan carilah sebuah
perantara untuk sampai kepada Allah SWT Berjanjilah kamu dijalan-Nya mudah-mudahan
kamu meendapat keuntungan”. ( QS. Al-Ma’idah:35 ).

Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman:


“Jika mereka berbuat aniaya pada dirinya (berbuat dosa), lalu mereka dating kepadamu (hai
Muhammad) dan memiinta ampunan kepada Allah SWT kemudian Rasul memohonkan
ampunan untuk mereka, tentulah Allah SWT yang Maha Menerima taubat dan Yang
Maha Penyayang akan menerima taubat mereka.” (QS. Al-Nisa’: 64).

Sahabat Umar ketika melakukan shalat istiqa’ juga melakukan tawassul.

“Dari Anas bin Malik beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau sahabat Ummar bin al-
Khaththab bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdo’a “ Ya Allah,
kami pernah berdo’a dan bertawassul kepada-Mu dengan nabi SAW maka engkau turunkan
hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan”.
Anas berkata, “ Maka turunlah hujan kepada kami.” (HR. al-Bukhari [954]).

Menikapi tawassul Sayyidina Umar tersebut, Sayyidina Abbas kemudian berdo’a:

“Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa tidak akan sirna
melainkan dengan taubat. Kini kaum muslimin bertawassul kepadaku untuk memohon kepada-
Mu karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu. …..diriwayatkn oleh al-Zubair bin Bakkar. “ (al-
Tahdzir minal-Ightirar, hal. 125). Pada hakekatnya tawassul yang dilakukan sayyidina Umar
dengan Sayyidina Abbas merupakan tawassul dengan Nabi SAW (yang pada waktu itu telah
wafat), disebabkan posisi abbas sebagai paman Nabi SAW dan karena kedududkannya di sisi
Nabi SAW. (Al-tahdzir min al-Ightirar, hal. 125).

Memang dihadapan Allah SWT , semua manusia mempunyai kedudukan yang sama,
semasa hidup atau stelah meninggal dunia. Al-Qur’an menegskan bahwa orang yanag saleh
atau para syuhada itu tetap hidup di sisis Tuhan walaupun jasad mereka telah terkubur di
dalama tanah. Sebagaiman firman Allah SWT:

“Dan janganlah kamu menyangka orang-orang yang gugur di jalan Allah SWT itu mati.
Bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. “ (QS. Ali Imran:169).

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalanAllah, (bahwa
mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya,
“ (QS. Al-Baqarah: 154).

Syaikh Yusuf bin isma’il al-Nabhani menyatakan “Dalam hal beratawassul itu, tidak
ada perbedaan antara tawassul kepada Nabi Muhammad SAW atau para nabi yang lainnya,
juga kepada para wali Allah serta orang-orang saleh. Dan tidak ada perbedaan pula antara
bertawassul kepda orang yang hidup ataupunorang yang telah meninggal dunia. Sebab pada
hakekatnya mereka tidk dapat mewujudkan serta tidak dapat memmberi pengaruh apapun.
Mereka di harapkan barokahnya karena mereka adalah para kekasih Allah SWT yan
menciptakan dan yang mewujudkan (Apa yang diminta orang yang bertawassul) hanyalah
Allah SWT semata.

Menurut hemat kami orang-orang yang memperbolehkan tawassul kepada orang mati
tersebut, sebenarnya telah terjebkak pada kesyirikan , sebab mereka meyakini bahwa orang
yang hidup dapat memberikan sesuatu (pengaruh) kepada seseorang, dan orang yang mati
tidak dapat memberikan manfaat apapun. Jadi pada hakekatnya mereka adaah orang-orng yang
meyakini bahwa ada mahluk selain Allah SWT yang dapat memberi pengaruh dan
mewujudkan sesuatu. Maka bagaiman mungkin mereka mengklaim dirinya ebagai orang-orng
yang menjaga tauhid (akidah), dan menuduh kelompok lain berbuat kesyirikan?

Memang kalau direnungkan dengan seksam, manusi itu hanya berusaha, yang
menentukan segalanya adalah Allah SWT. Dalam seehari-hari kita sering mendengar kata-kata
bertobatlah agar sembuh, berolaragalah agar sehat, belajarlah agar pandai. Namun pada
hakekatnya yang menyembuhkan, yang meyehatkan , yang menjadikan pandai, hanyalah Allah
SWT semata.

Maka begitu pula dalam hal tawasul ini. Pada hakekatnya bertawassul itu menjadikan
sesuatu sebagai perantara agar doa yang dipanjatkan dapat segera diterima. Orang yang
bertawassul tidak bermaksud untuk memohon atau menyembah kepada orang atau suatu benda.
Karena itu mereka bukanlah termasuk orang yang mendapat peringatan Allah SWT dalam al-
Qur’an:

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): “kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. “ (QS. Al-Zumar:
23).

Setelah memperhatikan ayat tersebut dengan cermat, Syaikh Abdul Hayyi al-Amrawi
dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan “ Perkataan para penyembah berhala “Kami
menyembah mereka (berhala-berhala itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan seedekat-dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk
tujuan tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para rasul itu tidak
menyembah mereka.

Maka jelas bedanya antara orang yang menyembah berhala yang memang benar-
benar menyembah berhala, yakni dalam ungkapan mereka. Sementara orang yang bertawassul
hanya meminta dan menyembah Allah SWT semata. Tidak terbesit di dalam hatinya seujung
rambutpun keyakinan adaya kekuatan dan kekuasaan lain di luar kekuatan dan kekuasaan Allah
SWT.

Selain itu, untuk makin memantapkan keyakinan, perlu memaparkan di sini pendapat
kelompok yang sering membid’ahkan amaliah tawassul dan istighatsah. Dalam hal ini, Syaikh
Ibn Taimiyah al Hararani (wahabi), berkata dalam al-Kalim al-Thayyib:

“Bab tentang kaki terkena mati rasa. Dari al-Haitsam bin Hanasyy, berkata, “Kami bersama
Ibn Umar. Tiba-tiba kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan
kepada beliau: “Sebutkan orang yang palin engkau cintai!” Lalu Ibn Umar berkata: “Ya
Muhammad .” Maka seketika itu kaki beliau sembuh.” (Ibn Timiyah, al-Kalim al-Thayyib,
hal.173).

Syaikh Ibn Taimiyah juga mennganggap tawassul dan istighatsah dengan orang saleh
yang sudah wafat bukan sebagai kemungkaran dan kesalahan, apalagi sebagai kesyirikan.

Khasiat Ayat Al-Qur’an, HizibdanDo’a

Mengamalkan do’a-do’a, hizib dan memakai azimat pada dasarnya tidak lepas dari
ikhtiar seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk do’a kepada Allah SWT melalui amalan
itu. Jadi sebenarnya, membaca hizib dan memakai azimat tidak lebih sebagai salah satu bentuk
do’a kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdo’a
kepada-Nya. Allah SWT berfirman:

“Berdo’alah kamu, niscaya aku akan mengabulkannya untukmu.” (QS. Al-Mu’min:60)

Ada beberapa dalil dari hadist Nabi SAW yang menjelaskan kebolehan ini. Di
antaranya adalah:

“Dari Awf bin Malik al-Asyja’I, ia meriwayatkan bahwa kepada zaman jahiliyah, kita selalu
membuat ruqyah (seperti azimat dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah
SAW bagaimana pendapat Engkau (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, “Coba
tunjukkan ruqyahmu itu kepadaku. Membuat ruqyah tidak apa-apa selama didalamnya tidak
terkandung kesyirikan.” (HR. Muslim [4079]).

“Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah satu
diantara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) “Aku berlindung dengan
kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaannya, dari perbuatan
jelek yang dilakukan hambanya, dari godaan setan serta dari kedatangannya padaku”.
Makasetanitutidakakandapatmembahayakan orang tersebut. Abdullah Bin Umar mengajarkan
bacaan tersebut kepada anak-anaknya yang bhalig. Sedangkan yang belum bhalig, ia
menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan dilehernya.” (Al-Kalim Al-Thayyib,
hal.33).

Mengenai khasiat ayat-ayat Al-Qur’an dan hizib yang disusun oleh para wali Allah
SWT, Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah berkata:

“Dan telah diyakini bahwa sebagian perkataan manusia memiliki sekian banyak khasiat dan
aneka kemanfaatan yang dapat dibuktikan. Apalagi ayat-ayat Al-Qur’an selaku firman Allah,
Tuhan semesta alam, yang keutamaannya atas semua perkataan sama dengan keutamaan
Allah atas semua makhluk-Nya. Tentu saja ayat-ayat Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai
penyembah yang sempurna, pelindung yang bermanfaat dari segala marabahaya, cahaya yang
memberi hidayah dan rahmat yang merata. Dan seandainya Al-Qur’an itu diturunkan kepada
gunung, tentu ia akan pecah karena keagungannya. Allah telah befirman: “Dan kami turunkan
dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beiman.”
(QS.Al-Isra’:82). Kata-kata “dari Al-Qur’an”, dalam ayat ini untuk menjelaskan jenis, bukan
bermakana sebagian menurut pendapat yang paling benar.”(Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah,
Zad al-Ma’ad fi HadyKhair al-‘Ibad, juz 4, hal.177).

Shalat Sunnat Qabliyah Jum’at

Sebelum khutbah dikumandangkan oleh khatib dalam itu al shalat Jum’at, kaum
muslimin ditanah air biasanya melakukan shalat sunnat qabliyah Jum’at. Sebagian besar
masyarakat melakukannya dua raka’at. Tetapi banyak pula yang melakukannya 4 raka’at
seperti di daerah Kalimantan Selatan. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan pendapat yang
ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.
Berkaitan dengan shalat qabliyah Jum’atini, Syaikh Muhammad bin Ali al-Syaukani,
ulama Syaikh Zaidiyah yang menjadi rujukan utama kaumWahabi di tanah air sejak zaman
dulu, telah membeberkan dalil-dalilnya dalam kitab Nail al-Authar, berikut ini:

“Bab shalat sunnat sebelum Jum’at selama imam belum keluar. Habisnya waktu shalat sunnat
adalah dengan keluarnya imam, kecuali shalat tahiyatal-masjid. Dari Nubaisyah al-
Hudzalir.a, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Apabila seorang muslim mandi pada hari
Jum’at, lalu berangkat ke masjid tanpa mengganggu atau menyakiti orang lain. Apabila ia
mendapati imam telah keluar, maka ia shalat sunnat sesuai yang telah ditetapkan. Apabila
imam telah keluar, maka ia duduk mendengarkan khutbahnya sampai imam menyelesaikan
jum’at dan khutbhahnya. Maka apabila semua dosa orang tersebut tidak diampuni pada
Jum’at itu, maka Jum’atnya menjadi penebus dosanya sampai Jum’at
berikutnya.”(HR.Ahmad).

“Dari Abdullah bin Mughaffalr.a, dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Antara adzan dan
iqamat pasti ada shalat sunnat,(3 kali), bagi orang yang hendak melakukannya.” (HR.al-
Bukhari dan Muslim).

“Dari Abdullah bin al-Zubairr.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap ada shalat
fardhu, maka sebelumnya ada shalat sunnat dua raka’at.” (HR. Ibn Hibban dalam Shahih-nya,
al-Daraquthni dan al-Thabarani).

“Dari Ibn Umar r.a bahwa ia melakukan shalat sebelum Jum’at lam sekali dan melakukan
shalat sesudahnya dua raka’at. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah SAW melakukannya.”
Hadists hahih.(HR. Abu Dawud).

Ziarah Kubur

Apabila kita berkunjung ke makam para wali, misalnya Wali songo, kita temukan kaum
muslimin berbondong-bondong dating melakukan wisata religi dengan tujuan mencari berkah.
Di samping makam para kekasih allah itu, kita saksikan kaum muslimin membaca al-Qur’an,
tahlilan dan aneka dzikir lainnya dengan khusyu’ dan penuh khidmat. Kemudian diiringi
dengan tawassul dan tabarruk, dengan harapan semua hajat mereka di kabulkan oleh allah swt.
Ziarah makam para wali merupakan tradisi kaum muslimin sejak generasi salaf yang
shalih. Al-Imam al-Hafizh Ibn Hibban, pengarang kitab shahih Ibn Hibban, menulis dalam al-
Tsiqat yang artinya:

“Ali bin Musa al-Ridha meninggal di Thus oleh racun yang diminumkan oleh khalifah al-
Makmun. Makamnya sangat populer, selalu diziarahi orang, terletak di Sanabadz, di luar
Nuqan, di sebelah makam al-Rasyid. Aku berulang kali ziarah kesana. Setiap aku mengalami
kesulitan, selama tinggal di Thus, lalu aku berziarah ke makam Ali bin Musa al-Ridha, dan
aku berdo’a kepada allah agar menghilangkan kesulitan itu dariku, aku pasti dikabulkan. Hal
itu berulang kali aku lakukan, dan selalu terbukti.” (Al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Hibban
al-Busti, Kitab al-Tsiqat, juz 8, hal. 457).

Al-Imam al-Hafizh Ibn Khuzaimah, penulis kitab shahih Ibn Khuzaimah,yang


menyandang gelar imam al-aimmah (pemimpin para imam), juga dikenal sebagai ulama’ yang
ahli ziarah kubur. Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani berkata:

“Al-Hakim pengarang al-Mustadrak berkata dalam Tarikh Naisabur, “Aku mendengar Abu
Bakar Muhammad bin al-Muammal bin al-Hasan bin Isa berkata, “Kami keluar bersama
pemimpin ahli hadist al-Imam Abu Bakar bin Khuzaimah dan rekannya Abu Ali al-Tsaqafi
bersama beberapa orang guru kami, pada waktu itu rombongan yang menyertai banyak sekali,
dengan tujuan ziara kemakam Ali bin Ibn Khuzaimah terhadap makam itu, serta ke
khusyu’annya didepan makam itu sangat luar biasa, membuat kami merasa heran.” (Al-Imam
al-Hafizh Ibn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz 7, hal. 339).

Al-Imam al-Hakim al-Naisaburi, juga bercerita perihal kisah gurunya, al-Imam al-
hafizh Abu Ali al-Naisaburi yang berziarah ke makam al-imam yahya bin yahya al-Naisaburi,
ketika menghadapi kesulitan, sebagai berikut yang artinya :

“Al-Imam al-Hakim berkata, “ Aku mendengar al-Imam abu Ali al-Naisaburi berkata, “ Aku
mengalami kesusahan yanga berat, lalu aku bermimpi rasulullah seakan-akan berkata
kepadaku, “ Datanglah ke makam Yahya bin yahya (seorang ulama’ ahli hadist), mohonlah
ampunan kepada allah dan berdo’alah, hajatmu pasti terkabul.” Pagi harinya aku melakukan
hal tersebut, dan hajatku pun terkabul.” (Al-Hafizh Ibn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz 11, hal.
261).

Tradisi ziarah wali, yang dewasa ini populer dengan wisata religi, dengan membaca al-
Qur’an dan aneka ragam dzikir lainnya di samping para wali, lalu erdo’a dan bertawassul
dengan para wali, merupakan tradisi umat islam yang berlangsung sejak generasi sahabat dan
diamalkan oleh para ulama’ ahli hadits. Berkaitan engan tawassul dengan rang yang sudah
meninggal dunia, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri aliran Wahabi,
menyampaikan sebuah riwayat dalam Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini yang artinya:

“ Sa’ad al-zanjani meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah secara marfu’ : “ Barangsiapa
mendatangi makam lalu membaca al-Fatihah, Qul huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur,
kemudian mengatakan, “ Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum
beriman laki-laki dan perempuan di makam ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya
kepada allah.” (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al- Najdi, Ahkam Tamanni al-Maut, hal.
75).

Tradisi Bulan Shafar

Pada bulan shafar, banyak sekali kaum muslimin di tanah air yang melakukan tradisi
bersedekah dengan membuat bubur shafar (tajin shafar). Bubur tersebut dibuat secara khas dan
dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangga sekitar dengan tujuan menolak malapetaka. Hal
tersebut dialakukan karena ada sebuah hadits shahih yang artinya :

“ Dari abu Hurairah r.a., rasulullah saw. Bersabda : “ Tidak ada kepercayaan datangnya sial
dari bulan shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang
terbang.” (H.R. al- Bukhari dan Muslim).

Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh Ibn
Rajab al-Hanbali, ulama’ salafi dan murid Syaikh Ibn Qayyimal-Jauziyah, berkata yang
artinya:

“ Maksud hadits diatas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan shafar.
Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi saw. Membatalkan hal tersebut.
Pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada
bulan shafar, dan terkadang melarang berpergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial
dengan bulan shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang
dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Di sisi lain, agama kita juga melarang menelitiwaktu-waktu yang disangka


mendatangkan kesialan dan ketidak beruntungan. Bahkan sebagai gantinya, pada saat orang
lain meyakini datangnya kesialan dengan waktu-waktu waktu-waktu tertentu, agamakita
menganjurkan kita agar melakukan amal kebaikan yang dapat menolak balak (sial dan ketidak
beruntungan) seperti berdo’a, berdzikir, bersedekah dan lain-lain. Dalam konteks ini al-Imam
al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama’ salafi dan murid terbaik Syaikh
Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif yang artinya :

“ Meneliti sebab-sebab keburukan seperti melihat perbintangan dan semacamnya termasuk


thiyarah yang dilarang. Orang-orang yang meneliti hal tersebut biasanya tidak menyibukkan
diri dengan amal-amal baik yang dapat menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar
tidak meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya keputusan
dan ketentuan allah. Diantara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan perbuatan
maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka. Ajaran yang dibawa oleh syri’at
adalah tidak meneliti hal tersebut, berpaling darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal
yang dapat menolak balak seperti berdo’a, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal
kepada allah swt. Dan beriman kepada keputusan dan ketentuan allah swt. “ (Ibn Rajab,
Lathaif al-Ma’arif, hal. 143).

Nah, berdasarkan hal inilah para ulama’ kita di nusantara sejak dulu menganjurkan
memperbanyak bersedekah di bulan shafar untuk menolak balak. Sedekah tersebut oleh
masyarakat kita ditradisikan dalam bentuk bubur shafar. Bahkan pada hari rabu terakhir bulan
shafar, tidak sedikit ulama’ kita yang melakukan tradisi shalat sunah mutlak di hari Rabu
Wekasan dan membuat minuman yang diberi tulisan ruqyah agar terhindar dari malapetaka.
Lebih-lebih Rabu terakhir dalam setiap bulan dianggap sebagai hari terjadinya sial berdasarkan
hadits yang artinya :

“ Dari Ibn Abbas r.a. Nabi saw. Bersabda: “ Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari
terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-
Khatib al-Baghdadi. (al-Hafizh Jalaluddin al-suyuthi, al-Jami’ al-Shagir, juz 1, hal. 4, dan al-
Hafizh Ahmad bin al-Siddiq al-Ghumari al-Hasani, al-Mudawi li’llal al-Jami’ al-Shagir wa
Syarhai al-Munawi, Juz 1, hal. 23).

Demikian beberapa tradisi umat islam nusantara dalam pandangan ahli hadits dan para
ulama’ salafi, rujukan utama kaum wahabi, seperti al-Imam ahmad bin Hanbal, pendiri
madzhab imam al-Hanbali, serta para pengikutnya, dan syaikh Ibn Taimiyah serta murid-murid
dan para pengagumnya.

Anda mungkin juga menyukai