Anda di halaman 1dari 27

BAB II : PEMBAHASAN

A. HAKIKAT SOSIOLOGI
Sosiologi ditelaah dari sudut hakikatny, maka akan dijumpai beberapa petunjuk yang dapat
membantu kita untuk menetapkan ilmu pengetahuan macam apakah sosiologi itu. Hakikat
sosiologi yaitu sebagai berikut:
 Sosiologi adalah ilmu sosial karena yang dipelajari adalah gejala-gejala kemasyarakatan.
 Sosiologi merupakan ilmu sosial, bukan ilmu alam atau kerohanian.
 Sosiologi temasuk disiplin ilmu normatif, bukan termasuk disiplin ilmu kategori yang
membatasi diri pada kejadian saat ini dan bukan apa yang terjadi atau yang seharusnya terjadi.
 Sosiologi termasuk ilmu pengetahuan abstrak dan bukan ilmu pengetahuan konret, artinya yang
menjadi perhatian adalah bentuk dari pola peristiwa dalam masyarakat secara menyeluruh, bukan
hanya peristiwa itu sendiri.
 Sosiologi termasuk ilmu pengetahuan (pure science) dan ilmu pengetahuan terapan (applied
science).
 Sosiologi bertujuan menghasilkan pengertian dan pola-pola umum serta mencari prinsip-prinsip
dan hukum-hukum umum dari interaksi manusia, sifat, hakikat, bentuk isi dan struktur
masyarakat manusia.
 Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional. Hal ini menyangkut metode
yang digunakan.
 Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan umum, artinya sosiologi mempunyai gejala umum yang
ada pada interaksi antar manusia.

B. OBJEK SOSIOLOGI
Sebagai bagian dari ilmu sosial, objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari
hubungan antarmanusiadan proses yang timbul akibat dari hubungan tersebut. Fokus utama
sosiologi dari objek masyarakat tersebut adalah gejala, proses pembentukan, serta
mempertahankan kehidupan masyarakat, juga proses runtuhnya sistem hubungan antarmanusia.
Dengan demikian, objek sosiologi terbagi atas 2 kategori, yaitu:
1. Objek Material
Objek material sosiologi adalah kehidupan sosial, gejala dan proses hubungan antara manusia
yang memengaruhi kesatuan manusia itu sendiri.
2. Objek Formal
Objek formal sosiologi adalah hubungan manusia dengan manusia lain serta proses yang timbul
dari hubungan manusia didalam masyarakat karena lebih ditekankan pada manusia sebagai
makhluk sosial atau masyarakat. Objek formal sosiologi meliputi:
 Pengertian tentang sikap dan tindakan manusia terhadap lingkungan hidup manusia dan kehidupan
sosial melalui penjelasan ilmiah.
 Meningkatkan keharmonisan dalam hidup bermasyrakat.
 Meningkatkan kerja sama antarmanusia.
Jadi, objek formal sosiologi berfungsi sebagai penuntun adaptasi di masyarakat.
Mengembangkan pengetahuan yang objektif mengenai gejala-gejala kemasyarakatan yang dapat
dimanfaatkan secara efektif untuk memecahkan masalah-masalah sosial (problem solving).
Untuk lebih jelasnya mengenai definisi masyarakat, pahamilah beberapa pendapat tokoh
berikut:
1) Selo Soemardjan
Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
2) Ralp Linton
Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama
sehingga mereka dapat mengatur diri dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial
dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.
3) Mac Iver dan Page
Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang kerja samaantara
berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan
manusia.
4) Gillin dan Gillin
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat
tertentu yang bersifat kontinudan yang terkait oleh suatu rasa identitas bersama.
5) Koentjaraningrat
Masyarakat adalah kesatuan keseluruhan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem,
adat istiadat yang bersifat kontinu, dan terikat oleh suatu rasa identitas tertentu.
6) Paul B. Horton
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama
cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan
melakukan sebagian besar kegiatan dalam kelompok itu.
7) Emile Durkheim
Masyarakat merupakan suatu kenyataan objektif individu-individu yang merupakan anggota-
anggotanya.
Dari beberapa pendapat para ahli, dapat diketahui bahwa masyarakat memiliki 5 unsur,
antaranya yaitu ada sejumlah orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu.
Meyer F. Nimkoff menyebutkan bahwa lapangan studi sosiologi ada 7 objek besar.
C. METODE-METODE SOSIOLOGI
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempunyai objek kajian mengenai perilaku
sosial yang ada dalam suatu masyarakat. Metode merupakan cara kerja yang digunakan untuk
memudahkan kita dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau kegiatan, agar tercapai tujuan yang
telah kita tentukan dan harapkan.
Metode sekurang-kurangnya memiliki beberapa ciri pokok, yaitu:
 Ada permasalahan yang akan dikaji atau diteliti.
 Ada hipotesis
 Ada usulan mengenai cara kerja atau cara penyelesaian permasalahan dari hipotesis yang ada.
Untuk mempelajari objek yang menjadi kajian, sosiologi memiliki metode yang terbagi atas 2
jenis, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif.
1. Metode Kualitatif
Metode kualitatif mengutamakan bahan atau hasil pengamatan yang sukar diukur dengan angka
atau ukuran yang matematis meskipun kejadian itu nyata dalam masyarakat. Ada beberapa
metode kualitatif, yaitu:
 Metode historis, yaitu metode pengamatan yang menganalisis peristiwa-peristiwa masa silam
untuk merumuskan prinsip-prinsip umum.
 Metode komparatif, yaitu metode pengamatan dengan membandingkan bermacam-macam
masyarakat serta bidang-bidangnya untuk memperoleh perbedaan dan persamaan sebagai
petunjuk tentang perilaku suatu masyarakat pada masa lalu dan masa mendatang.
 Metode studi kasus, yaitu suatu metode tentang suatu keadaan, kelompok, masyarakat setempat,
lembaga-lembaga ataupun individu-individu.
2. Metode Kuantitatif
Metode kuantitatif adalah metode statistik yang bertujuan untuk menggambarkan dan meneliti
hubungan antarmanusia dalam masyarakat secara kuantitatif.
Metode kuantitatif mengutamakan bahan-bahan keterangan dengan angka atau gejala-gejala
yang diteliti dan dapat diukur dengan skala, indeks, tabel dan formula. Termasuk dalam metode
ini adalah metode statistik dimana gejala-gejala dalam masyarakat sebelum dianalisis harus
dikuantifitasi terlebih dahulu.
Data kuantitatif adalah informasi hasil penelitian yang berupa angka-angka, gejala-gejala yang
diteliti diukur dengan skala, indeks (daftar), tabel, atau formula (rumus) dan kemudian diuji
dengan rumus-rumus hitung statistik.
3. Metode Lain
Disamping metode-metode tersebut, masih ada metode-metode lain, yaitu:
 Metode deduktif, yaitu metode yang dimulai dari kaidah-kaidahyang berlaku umum untuk
kemudian dipelajari dalam keadaan yang khusus.
 Metode induktif, yaitu metode yang mempelajari suatu gejala khusus untuk mendapatkan
kesimpulan yang lebih luas atau bersifat umum.
 Metode empiris, yaitu suatu metode yang mengutamakan keadaan-keadaan nyata di dalam
masyarakat.
 Metode rasional, yaitu suatu metode yang mengutamakan penalaran dan logika akal sehat untuk
mencapai pengertian tentang masalah kemasyarakatan.
 Metode fungsional, yaitu metode yang digunakan untuk menilai kegunaan lembaga-lembaga
sosial masyarakat masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Sosiologi
1.1. Definisi Sosiologi dan Sifat Hakikatnya
Merumuskan suatu definisi (batasan makna) yang dapat mengemukakan keseluruhan pengertian,
sifat, dan hakikatnya yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat merupakan hal yang
sangat sukar. Oleh sebab itu, suatu definisi hanya dapat dipakai sebagai suatu pegangan
sementara saja. Sungguhpun penyelidikan berjalan terus dan ilmu pengetahuan tumbuh kearah
pelbagai kemungkinan, masih juga diperlukan suatu pengertian yang pokok dan menyeluruh.
Untuk patokan sementara, akan diberikan beberapa definisi sosiologi sebagai berikut.

a. Pitirim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
1) Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala social (misalnya
antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral, hokum dengan ekonomi, gerak
masyarakat dengan politik dan lain sebagainya);
2) Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala social dengan gejala-gejala nonsosial
(misalnya gejala geografis, biologis, biologis, dan sebagainya);
3) Cirri-ciri umum semua jenis gejala-gejala social
b. Roucek dan Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
c. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian
secara ilmiah terhadap interaksi social dan hasilnya yaitu organisasi social.
d. J.A.A van Doorn dan C.J. Lammers berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan
tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang stabil.
e. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu
masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur social dan proses-proses social, temasuk
perubahan-perubahan social.
Apabila sosiologi ditelaah dari sudut sifat hakikatnya, maka akan dijumpai beberapa petunjuk
yang akan dapat membantu untuk menetapkan ilmu pengetahuan macam apakah sosiologi itu.
Sifat-sifat hakikatnya adalah sebagai berikut:

a. Sosiologi merupakan suatu ilmu social dan bukan merupakan ilmu pengetahuan alam
ataupun ilmu pengetahuan kerohanian. Pembedaan tersebut bukanlah pembedaan mengenai
metode, tetapi menyangkut pembedaan isi, yang gunanya untuk membedakan ilmu-ilmu
pengetahuan yang bersangkut-paut dengan gejala-gejala alam dengan ilmu-ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan gejala-gejala kemasyarakatan. Khususnya, pembedaan tersebut di atas
membedakan sosiologi dari astronomi, fisika, geologi, biologi dan ilmu pengetahuan alam lain
yang dikenal.
b. Sosiologi bukan merupakan disiplin yang normatif tetapi merupakan suatu disiplin yang
kategoris, artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan mengenai
apa yang terjadi atau seharusnya terjadi. Sebagai suatu ilmu pengetahuan, sosiologi membatasi
diri terhadap persoalan penilaian. Artinya sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu
seharusnya berkembang dalam arti memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut
kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut.
c. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang murni (pure science) dan bukan merupakan
ilmu pengetahuan terapan atau terpakai (applied science). Perlu dicatat bahwa dari sudut
penerapannya, ilmu pengetahuan dipecah menjadi dua bagian, yaitu ilmu pengetahuan murni.
Ilmu pengetahuan murni adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk membentuk dan
mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak hanya untuk mempertinggi mutunya, tanpa
mengguanakannya dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan terapan adalah ilmu pengetahuan yang
bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan terseut dalam masyarakat
dengan maksud membantu kehidupan masyarakat. Tujuan sosiologi adalah untuk mendapatkan
pengetahuan yang sedalam-dalamnya tentang masyarakat, dan bukan untuk mempergunakan
pengetahuan tersebut terhadap masyarakat.
d. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak dan bukan merupakan ilmu
pengetahuan yang kongret. Artinya, bahwa yang diperhatikannya adalah bentuk dan pola-pola
peristiwa dalam masyarakat, tetapi bukan wujudnya yang kongret.
e. Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum.
Sosiologi meneliti dan mencari apa apa yang menjadi prinsip atau hokum-hukum umum dari
interaksi antar manusia dan juga perihal sifat hakikat, bentuk, isi, dan struktur masyarakat
manusia.
f. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional. Ciri tersebut
menyangkut soal metode yang dipergunakannya yang selanjutnya akan diterangkan pada bab
mengenai metode-metode sosiologi.
g. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang umum dan bukan merupakan ilmu
pengetahuan yang khusus. Artinya, sosiologi mempelajari gejala yang ada pada setiap interaksi
antar manusia. Didalam semua bidang atau gejala kehidupan, apakah bidang ekonomi, politik,
agama dan lain-lainnya, unsur-unsur a,b,c, ada. Unsur-unsur tersebut merupakan factor-faktor
yang dipunyai bidang-bidang kehidupan tadi secara umum. Factor-faktor social tadi itu yang
diselidiki oleh sosiologi. Hal ini bukan berarti bahwa sosiologi merupakan dasar ilmu social atau
bahwa sosiologi merupakan ilmu social yang umum, tetapi sosiologi menyelidiki factor-faktor
social dalam bidang kehidupan apa pun juga. Pusat perhatian sosiologi mungkin bersifat khusus,
sebagaimana halnya setiap ilmu pengetahuan, tetapi lapangan penyelidikannya bersifat umum
yakni kehidupan bersama manusia
Sebagai kesimpulan, sosiologi adalah ilmu social yang kategoris, murni, abstrak, berusaha
mencari pengertian-pengertian umum, rasional dan empiris, serta bersifat umum.

1.2. Objek Sosiologi


Sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu social lainnya, objek sosiologi adalah masyarakat yang
dilihat dari sudut hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di
dalam masyarakat. Agak sukar untuk memberikan suatu batasan tentang masyarakat karena
istilah masyarakat telalu banyak mencakup pelbagai factor sehingga kalaupun diberikan suatu
definisi yang berusaha mencakup keseluruhannya, masih ada juga yang tidak memenuhi unsur-
unsurnya.
Beberapa orang sarjana telah mencoba untuk memberikan definisi masyarakat seperti berikut :
a. Maclver dan Page mengatakan bahwa : Masyarakat ialah suatu system dari kebiasaan dan
tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan
pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah
ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan social. Dan masyarakat
selalu berubah.
b. Ralph Linton. Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan
bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri
mereka sebagai suatu kesatuan social dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.
c. Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama,
yang menghasilkan kebudayaan.

1.3. Metode-metode dalam Sosiologi


1. Metode Kualitatif
Metode kualitatif mengutamakan bahan yang sukar dapat diukur dengan angka-angka atau
dengan ukuran-ukuran lain yang bersifat eksak, walaupun bahan-bahan tersebut terdapat dengan
nyata di dalam masyarakat. Di dalam metode kualitatif termasuk metode historis dan metode
komparatif, keduanya dikombinasikan menjadi historis-komparatif. Metode historis
menggunakan analisis atas peristiwa-peristiwa dalam masa silam untuk merumuskan prinsip-
prinsip umum.
2. Metode komparatif
Metode komparatif mementingkan perbandingan antara bermacam-macam masyarakat beserta
bidang-bidangnya untuk memperoleh perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan serta
sebab-sebabnya. Perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan tersebut bertujuan untuk
mendapatkan petunjuk-petunjuk mengenai perilaku masyarakat pada masa silam dan masa
sekarang, dan juga mengenai masyarakat-masyarakat yang mempunyai tingkat peradaban yang
berbeda atau yang sama.
3. Metode study kasus (case study)
Metode study kasus (case study) bertujuan untuk mempelajari sedalam-dalamnya salah satu
gejala nyata salam kehidupan masyarakat. Study kasus dapat digunakan menelaah suatu keadaan,
kelompok, masyarakat setempat (community) lembaga-lemaga maupun individu-individu. Alat-
alat yang dipergunakan oleh metode study kasus adalah misalnya wawancara (interview),
pertanyaan-pertanyaan (questionnaires), dari daftar pertanyaan-pertanyaan (schedules),
participant observer technique, dan lain-lain.
4. Metode kuantitatif
Metode kuantitatif mengutamakan bahan-bahan keterangan dengan angka-angka, sehingga
gejala-gejala yang diteliti dapat diukur dengan mempergunakan skala-skala, indeks, tabel, dan
formula-formula yang semuanya mempergunakan ilmu pasti atau metematika. Metode yang
termasuk jenis metode kuantitatif adalah metode statistik yang bertujuan menelaah gejala-gejala
social secara matematis. Akhir-akhir ini dihasilkan suatu teknik yang dinamakan sociometry
yang berusaha meneliti masyarakat secara kuantitatif. Sociometry mempergunakan skala-skala
dan angka-angka unuk mempelajari hubungan-hubungan antarmanusia dalam masyarakat.

2. Hukum
2.1. Definisi Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan
masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial
antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan
cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi
penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara
perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau
kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara
berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan
militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari
pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."

2.2. Tatanan Hukum


Bilamana kita berbicara tentang hokum dalam arti luas, maka kita dapat mengartikan hal ini
paling baik dengan istilah Tatanan Hukum (Schuts,1981: 12). Tatanan Hukum ini meliputi tiga
unsure yang akan diuraikan di bawah ini.
a. Tatanan pengertian (Definisi) ini meliputi himpunan norma-norma dan aturan-aturan yang
berkaitan dengan hokum.
b. Semua keputusan dan tindakan yang diambil dan terlaksana dalam Tatanan Hukum itu.
c. Organisasi-oganisasi dan institusi-institusi yang memainkan peranan di dalam organisasi-
organisasi itu, seperti, hakim-hakim, anggota-anggota parlemen, advokat-advokat, anggota-
anggota kepolisian dan pejabat-pejabat Negara lainnya.

Sebagaimana dalam suatu agama dikenal adanya Tatanan Pengertian, Tatanan Hukum pun
demikian dan yang di dalamnya ditetapkan semua norma dan aturan. Aturan-aturan dan asas-asas
dalam hokum ini tidak lahir begitu saja atau hasil serta merta pemikiran manusia.Namun, aturan-
aturan hokum ini berkaitan erat dengan norma-norma dan nilai-nilai (non hokum) serta pendapat-
pendapat, yang berlaku dalam masyarakat mengenai persoalan-persoalan tentang baik dan buruk.

2.3. Maksud dan Tujuan Tatanan Hukum


Tidak jarang pula kita lihat di dalam literature, maksud dan tujuan tersebut dirumuskan
sedemikian rupa, sehingga pengetian hukum muncul kembali dalam uraian maksud dan tujuan
tersebut.
- Misalnya : tujuan hukum ialah memberikan perlindungan terhadap kepentingan-
kepentingan hukum orang-orang dalam masyarakat.
- Atau : tujuan hukum adalah mempertahankan ketertiban hokum. Dengan formulasi-
formulasi seperti ini nampaknya tidak banyak yang kita capai, satu dan lain kita bakal terjebak
dalam cara berfikir bolak-balik (Schuyt, 1981: 18).
Nah apa yang dapat kita lakukan ialah merumuskan tujuan hokum ini dalam istilah-istilah
non yuridis. Menurut Schuyt (1981) kita dapat membedakan tujuan-tujuan hokum sebagai
berikut :
a. Penyelenggaraan ketertiban social dalam masyarakat;
b. Mendorong penyelesaian sengketa tanpa kekerasan;
c. Menjamin adanya pengembangan individu dan otonomi warganegara-warganegara;
d. Penyelenggaraan pembagian seadil-adilnya barang-barang langka dalam pergaulan;
e. Membuka jalan bagi perubahan social.
Di dalam tujuan-tujuan ini kita mengenal kembali problema-problema, yang sejak dulu juga
dipelajari dan diulas oleh sosiologi.
a. Hukum berikhtiar meningkatkan ketertiban social pergaulan hidup. Problematic ini telah
kita lihat terutama dalam Bab III, yang didalamnya telah kita kaji permasalahannya yang
dituturkan Durkheim perihal Kohesi Sosial dan Integrasi Kemasyarakatan.
b. Tujuan Kedua dari hukum, yakni menstimulasi penyelesaian sengketa tanpa kekerasan, kita
jumpai kembali dalam Sosiologi terutama dalam teori Hobbes dan Weber, yang berkaitan dengan
penyerahan monopoli kekerasan kepada Negara.
c. Tujuan ketiga dari hukum, yakni menjamin adanya pengembangan individu dan otonomi
warganegara, juga merupakan problema yang mendapatkan perhatian semua sosiolog. Untuk ini
ingat akan cita-cita Marx dan Weber.
d. Tujuan keempat dari hukum dan tujuan kelima hukum, yakni :
1. Penyelenggaraan pemagian seadil-adilnya barang-barang langka dalam pergaulan hidup;
dan
2. Membuka jalan bagi perubahan social adalah pula masalah-masalah yang terutama diteliti
oleh Weber dan Marx.
Jadi, di sini kita lihat bahwa baik sosiologi mau pun hukum menyibukkan diri dengan inti,
bahkan pokok permasalahan yang sama. Yang berbeda disini adalah cara pendekatan dan
penyelesaian permasalahan-permasalahannya saja. Malahan bersamaan dengan itu jelas disini,
bahwa pendekatan-pendekatan yang beraneka ragam tersebut dapat saling mengisi dengan baik.
Dirumuskan lain: kebanyakan maksud dan tujuan ini terkadang tidak tercapai dan jika hal-hal ini
dicapai maka hasilnya pada umumnya mengandung karakter sebuah kompromis antara berbagai
partai politik yang ada.

2.4 Fungsi Hukum


1) Hukum sebagai Sarana Pengendalian Sosial
Selain hukum sebagai pedoman tingkah laku, hukum juga dianggap berfungsi sebagai salah satu
sarana pengendalian social (social control). Pengendalian social ini menurut E.A. Ross,
mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan social. Dalam
hal ini hukum adalah suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-
ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri serta harta bendanya. Hukum
sebagai sarana control social berguna untuk mempertahankan ketertiban yang sudah ada. Dalam
hal ini pengendalian social (control social) tersebut, maka hukum juga berfungsi sebagai
pegangan dalam pengendalian social.

2) Hukum sebagai Sarana Rekayasa Sosial


Seidman (dalam Rahardjo, 1977:65) mengatakan bahwa “To promote economic development,
governments must rely upon the law, for the legal order is the filter through which policy
becomes practice”. Di sini hukum dilihat sebagai suatu alat atau sarana untuk mewujudkan
tujuan-tujuan politik Negara, tujuan-tujuan praktis (social engineering by law). Dalam “social
engineering” (rekayasa social) yang menjadi pokok persoalan adalah: bagaimana kita
menggerakkan tingkah laku anggota masyarakat atau mencapai keadaan yang diinginkan melalui
hukum. “social engineering” hanya merupakan bagian dari pada usaha pembangunan. Selain
hukum dinamakan “a tool of social engineering”, hukum disebut pula sebagai “social planning”.
Namun perlu disadari bahwa hukum juga dapat mengakibatkan situasi sebaliknya. Robert K.
Merton (Ritzer, 1985) misalnya, menyatakan bahwa suatu pranata atau institusi tertentu dapat
fungsional bagi suatu unit social tertentu dan sebaliknya disfungsional bagi unit social yang lain.
Misalnya pranata perbudakan itu fungsional bagi unit social kulit puti dan dis-fungsional bagi
unit orang negro. Pranata perbudakan untuk meningkatkan produktivitas di amerika serikat again
selatan. Ini artinya bahwa pranata perbudakan mempunyai fungsi manifest (fungsi yang
diharapakan), yakni untuk meningkatkan produktivitas. Sebaliknya bagi orang negro itu
merupakan pranata perbudakan merupakan fungsi laten (fungsi yang tidak diharapkan), yakni
memberikan menyediakan kelas rendah untuk meningkatkan status social orang kulit putih.
Jadi, hukum sebagai pranata social mempunyai fungsi manifest (yang diharapkan), yakni bahwa
akibat yang timbul oleh bekerjanya peraturan hukum memang dikehendaki. Dengan demikian,
sebenarnya hukum dapat pula dikatakan sebagai alat atau sarana untuk mengubah masyarakat.

3) Hukum sebagai Sarana Pengintegrasian


Hukum dapat pula untuk mengintegrasikan anggota-anggota masyarakat yang berbeda latar
belakangnya. Masyarakat Indonesia yang pluralistis, yang meliputi sejumlah masyarakat yang
telah lama ada sebelum kemerdekaan, yang masing-masing memiliki pranata-pranata social yang
berbeda, terintegrasi antara lain karena masyarakat Indonesia menerima UUD 1945 sebagai suatu
peraturan untuk hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam proses integrasi bangsa, pembentukan dan pembinaan hukum nasional memerlukan
kesadaran mengenai adanya dua kutub (Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Depdikbud,
1986): (1) satu pihak undang-undang yang menjadi bagian dari hukum nasional itu harus
memberi perasaan bukan asing bagi golongan-golongan dalam masyarakat dan mereka harus
dapat merasakan bahwa nilai-nilai yang mereka anut tetap dilindungi atau tidak terancam dalam
hukum nasional tersebut; dipihak lain (2) undang-undang itu harus mempunyai dampak yang
menyuburkan iklim bagi pembinaan integrasi bangsa. Ini berarti bahwa berbagai golongan dalam
masyarakat tetap mempunyai perasaan bahwa mereka memiliki perasaan “terintegrasi” dalam
masyarakat bangsa, dan dengan demikian undang-undang itu mampu memperkuat perasaan
“terikat” pada satuan nasional di kalangan berbagai golongan tersebut.
Undang-undang yang sudah baik, masih memerlukan penerapan yang mampu meningkatkan
perasaan-perasaan semakin terikatnya warga masyarakat kepada semangat kebangsaan, dan
semakin bangganya warga masyarakat atas system hukum dn penerapannya. Dalam hal ini,
petugas-petugas yang diserahi tanggungjawab penegak hukum dan pemegang jabatan pada
badan-badan peradilan merupakan tokoh-tokoh yang berada digaris depan yang langsung
berhubungan dengan para warga masyarakat, sehingga sangat perlu untuk terus-menerus
menjadikan mereka mampu berfungsi sebagai lambang dari suatu system hukum yang
menghendaki keikutsertaan yang semakin positif yang pada akhirnya akan meningkatkan
integrasi bangsa.

3. Sosiologi Hukum
3.1. Definisi Sosiologi Hukum
Istilah sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Anzilotti (orang Italia) pada
tahun 1882” (Soekanto, 1993:13). Sosiologi hukum mengkaji pengaruh timbal balik antara
hukum dengan gejala social lainnya (Salman, 1985; Soekanto, 1993:11). Sosiologi hukum
mengkaji hukum mengkaji hukum dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat : law as it is
observed in the daily life in society (wignjosoebroto,1994). Dalam hubungannya dengan sesama,
anggota masyarakat berpedoman pada kaidah-kaidah yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat. Kaidah tersebut dapat sesuai dengan aturan tertulis (hukum positif) dan dapat
pula tidak. Karena itu, sosiologi hukum mempunyai fungsi untuk mengkaji apakah hukum dan
peraturan perundang-undangan berfungsi dalam masyarakat (Soekanto, 1993:18). Dengan kata
lain, sosiologi hukum merupakan studi terhadap hukum yang tertuju pada masalah efektivitas
hukum maupun akibat-akibat yang tidak diperhitungkan dalam proses legislasi (lihat Soekanto,
1993:24).
Berikut adalah beberapa pengertian sosiologi hukum yang dikutip oleh Soekanto (1993):
1) Sosiologi hukum merupakan suatu disiplin teoritis dan umum, yang mempelajari
keteraturan dan berfungsinya hukum. Tujuan utama dari sosiologi hukum adalah untuk
menyajikan sebanyak mungkin kondisi-kondisi yang diperlukan agar hukum dapat berlaku
secara efisien (Adam Podgorecki);
2) Sosiologi hukum merupakan kegiatan-kegiatan ilmiah untuk menemukan kondisi-kondisi
social yang sesuai atau pun tidak sesuai dengan hukum, serta cara-cara untuk menyesuaikannya
(Selznick);
3) Pusat perhatian sosiologi hukum adalah pengembangan suatu teori umum tentang hukum,
yang membahas semua jenis pengendalian social yang dilakukan oleh pemerintah. Teori harus
membahas hubungan antara hukum dengan lain-lain aspek kehidupan social, seperti misalnya,
stratifikasi, lain-lain bentuk pengendalian social, pembagian kerja, integrasi social, dan
seterusnya (Black).
Soekanto (1993:24) mengatakan bahwa study terhadap hukum haruslah tertuju pada masalah
efektivitas hukum maupun akibat-akibat yang tidak diperhitungkan dalam proses legislasi.
Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi hukum berkembang atas dasar suatu anggapan bahwa
proses hukum berlangsung didalam suatu jaringan atau system social yang dinamakan
masyarakat. Artinya, hukum hanya dapat dipahami dengan jalan memahami system social
terlebih dahulu dan hukum merupakan suatu proses.

3.2. Kegunaan Sosiologi Hukum


Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemapuan bagi pemahaman
terhadap hukum dalam konteks social
Penggunaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan untuk
mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat.
Sosiologi hukum memberikan kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas
hukum di dalam masyarakat.

3.3. Masalah-masalah yang disoroti Sosiologi Hukum


Hukum dan system social masyarakat
System hukum merupakan pencerminan dari system social di mana system hukum tadi
merupakan bagiannya. Sejauhmanakah proses pengaruh mempengaruhi antara system social
dengan system hukum sebagai subsistemnya bersifat timbale balik.
Persamaan dan perbedaan sistem-sistem hukum
Agar dapat diketahui adanya konsep-konsep hukum yang universal, dengan mencari
persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan dari system hukum yang berlaku di
berbagai masyarakat yang berbeda-beda.
Sifat System hukum yang dualistis
Hukum merupakan suatu kaidah yang berisi ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban
manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Namun disisi lain hukum juga merupakan alat yang
ampuh untuk mempertahankan kedudukan social ekonomi dari sebagian kecil anggota
masyarakat (penguasa).
Hukum dan Kekuasaan
Ditinjau dari sudut ilmu politik, maka hukum merupakan sarana dari elit yang memegang
kekuasaan dan sedikit banyaknya dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan,
atau untuk menambah serta mengembangkannya.
Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya
Hukum sebagai kaidah atau norma social tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam
suatu masyarakat. Hukum merupakan suatu pencerminan dan konkritisasi dari nilai-nilai yang
pada suatu saat berlaku dalam masyarakat.
Kepastian Hukum dan Kesebandingan
Kepastian hukum dan kesebandingan merupakan dua tugas pokok dari hukum. Sering kedua
tugas tersebut tidak dapat ditetapkan secara merata. Max Weber membedakan substantive
rationality dengan formal rationality untuk kepastian hukum dengan kesebandingan.
Peranan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, peranan pengadilan, efek suatu
peraturan perundang-undangan dalam masyarakat, tertinggalnya hukum di belakang perubahan
social masyarakat, difusi hukum dan pelembagaannya, hubungan antara para penegak hukum,
masalah keadilan.

4. Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum


4.1. Tiga Pilihan cara dalam Hukum
1) Kajian Normatif (analitis-dogmatis)
Kajian ini memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang menentukan apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian ini sifatnya preskriptif, menentukan apa yang
salah dan apa yang benar. Kajian normatif terhadap hukum dilakukan antara lain pada ilmu
hukum pidana positif, hukum tata negara positif, dan hukum perdata positif. Dengan kata lain,
kajian ini lebih mencerminkan law in books.Dunianya adalah das sollen, apa yang seharusnya.
Kajian hukum normatif ini lebih ditekankan pada norma-norma yang berlaku pada saat itu
atau norma yang dinyatakan dalam undang-undang. Metode yang digunakan untuk penelitian
terhadap kajian ini adalah metode yuridis-normatif. Kajian normatif ini merupakan kajian yang
sangat menentukan puncak perkembangan hukum sejak abad ke-19. Pada waktu itu, sebagai
akibat kemajuan teknologi, industri, perdagangan dan transportasi, terjadilah kekosongan besar
dalam perdagangan. Berdasarkan kekosongan tersebut, hukum memberikan respon yang sangat
masif dan melahirkan suatu orde baru dalam tatanan yang tidak ada tandingannya. Hal inilah
yang membuat metode-metode kajian hukum menjadi sangat normatif, positivistik, dan
legalistik.
Menurut Satjipto Rahardjo, metode normatif ini didasarkan pada hal di bawah ini.
1) Ada penerimaan hukum positif sebagai suatu yang harus dijalankan
2) Hukum dipakai sebagai sarana penyelesaian persoalan(problem solving device)
3) Partisipasi sebagai subjek yang memihak hukum positif
4) Sikap menilai atau menghakimi anggota masyarakat, berdasarkan hukum positif.

Kajian normatif terhadap hukum ini dapat dilihat dari hal-hal berikut, yaitu adanya
infentarisasi hukum positif, penelitian asas hukum, menemukan hukum konkrit, adanya
sistematika hukum, adanya sinkronisasi dan harmonisasi, perbandingan hukum serta sejarah
hukum.

2) Kajian filosofis (Metode Transendental)


Kajian ini lebih menitikberatkan pada seperangkat nilai-nilai ideal,yang seyoganya senantiasa
menjadi rujukan dalam setaip pembentukan, pengaturan, dan pelaksanaan kaidah hukum. Kajian
ini lebih diperankan oleh kajian filsafat hukum, atau law in ideas. Kajian filosofis ada dalam
kajian hukum, karena studi hukum dimulai tidak sebagai disiplin yang sifatnya otonom,
melainkan sebagai bagian dari studi filsafat. Studi filsafat hukum ini telah berumur lebih dari
ribuan tahun. Kehadiran yang amat dini tersebut disebabkan oleh eksistensi dari tatanan itu
sendiri. Tatanan merupakan isi lain dari kehidupan bersama manusia, sebab manusia adalah
makhluk tatanan.
Filsafat hukum memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan-pertanyaan filosofis dari
hukum. Mempersoalkan hukum dan keadilan, hukum dan kebebasan, hukum dan kekuasaan.
(mengenai teori hukum). Pengembangan filsafat hukum mencakup seperti di bawah ini.
1) Ontologi hukum merefleksikan hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental terkait,
yaitu demokrasi, hubungan hukum dengan orang.
2) Akseologi hukum merefleksikan isi dan nilai yang termuat dalam hukum, yaitu kelayakan,
persamaan, keadilan, kebebasab dan kebenaran.
3) Ideologi hukum, yang merefleksikan wawasan manusia dan masyarakat yang melegimitasi
hukum.
4) Epistemologi hukum, yang merefleksikan sejauh mana pengetahuan tentang hukum dapat
dijalankan.
5) Teleologi hukum, yang merefleksikan makna serta tujuan dari hukum.
6) Ajaran ilmu, yang merefleksikan kriteria keilmuaan ilmu hukum.
7) Logika hukum, yang merefleksikan aturan berfikir dalam hukum.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah bagian dari filsafat umum.
Oleh karena itu, setiap uraian tentang arti (definisi) dari filsafat sudah tidak mengandaikan suatu
titik tolak kefilsafatan, maka untuk mengetahui filsafat hukum, kita harus mengetahui terlebih
dahulu filsafat secara umum.
Tujuan utama kajian filosofis ini adalah ingin memahami secara mendalam hakikat dari hukum.
Ini bararti, filsafat hukum ingin memahami hukum sebagai tampilan atau menifestasi dari suatu
asas yang melandasinya. Karna itu, filsafat hukum, mengadaikan teori
pengetahuan(epistemology) dan etika.

3) Kajian Empiris
Kajian ini memandang hukum sebagai kenyataan yang mencakup kenyataan social, kultur.
Kajian ini bersifat deskriptif. Jika dilihat dari peralihan zaman dari abad ke-19 ke abad ke-20,
metode empiris ini lahir disebabkan karena metode atau kajian hukum secara normative, tidak
lagi mendapat tempat. Pendekatan hukum melalui kajian empiris yang lahir di awal abad ke-20
ini bersamaan lahirnya dengan ilmu baru yang oleh A. Comte (1798-1857) diberi nama
sosiologi. Olehnya, sosiologi disebut sebagai ilmu tentang tatanan social dan kemajuan social.
Ketiga pendekatan terhadap hukum itu, merupakan langkah awal bagi kita (hamba hukum)
untuk memahami apakah hukum itu? Berlainan dengan tiga pendekatan itu, namun masih
memiliki karakteristik yang sama, Achmad Ali dalam pidatonya ketika menerima jabatan guru
besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, memberikan suatu pencerahan
terhadap pendekatan hukum sebagai berikut.
Pertama, beggriffenwissenchaft adalah ilmu tentang asas-asas yang fundamental di bidang
hukum, termasuk di dalamnya mata kuliah pengantar ilmu hukum, filsafat hukum, logika hukum,
dan teori hukum.Kedua, Normwissenchaft adalah ilmu tentang norma, termasuk didalamnya
adalah sebagian besar mata kuliah yang diajarkan fakultas-fakultas hukum di Indonesia, seperti
Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Hukum Tata Negara. Ketiga, Tatsachenwissenchaft adalah
tentang kenyataan hukum, termasuk di dalamnya Sosiologi Hukum, Hukum & Masyarakat,
Antropologi Hukum dan Psikologi Hukum.
Dari berbagai macam pendekatan terhadap hukum tersebut di atas, hukum dapat dapat
ditafsirkan sebagai sebuah konsep. Soetandyo Wigjosoebroto, mengatakan tak ada konsep yang
tunggal mengenai apa yang disebut dengan hukum itu. Menurut pendapatnya, dalam sejarah
pengkajian hukum, tercatat sekurang-kurangnya ada tiga konsep. Pertama, hukum dikonsepkan
sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian inheren
system hukum alam. Kedua, hukum dikonsepkan sebagai kaidah-kaidah positif yang berlaku
pada suatu waktu dan tempat tertentu, sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasan politik
tertentu yang berlegitimasi. Ketiga, hukum dikonsepkan sebagai institusi social yang riil dan
fungsional dalam system kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini hukum berperan dalam proses
pemulihan ketertiban, penyelesaian sengketa, maupun dalam proses pengarahan dan
pembentukan pola-pola perilaku yang baru.

4.2. Menuju Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum


Abad ke-19 ditandai dengan munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Abad tersebut
menerima warisan pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealitis. Perkembangan
dan perubahan yang terjadi pada abad ke-19 tersebut, telah menimbulkan semangat serta sikap
kritis terhadap masalah-masalah yang tengah dihadapi. Kita mengetahui bahwa pada abad ini
suatu tradisi ilmu baru telah berkembang. Ilmu ini nantinya akan mampu membuka cakrawala
baru dalam sejarah umat manusia, yang semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman
tradisional.
Pengaruh-pengaruh dari perubahan abad ke-19 menurut Satjipto Rahardjo, telah memberikan
pengaruh terhadap cara-cara pendekatan terhadap hukum yang selama itu dipakai. Aliran sejarah
telah mulai menarik perhatian orang dari analisis hukum yang abstrak dan ideology kepada
lingkungan social yang membentuk hukumnya. Pendekatan hukum pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20 telah mulai mendekatkan diri pada hukum dengan masyarakat.
Perubahan abad ke-19 tersebut, memiliki pengaruh yang sangat penting bagi munculnya
sosiologi hukum. Misalnya, industrialisasi yang berkelanjutan melontarkan persoalan
sosiologisnya sendiri, seperti urbanisasi dan gerakan demokrasi juga menata kembali masyarakat
sesuai dengan prinsip kehidupan demokrasi. Kemapanan kehidupan pada abad ke-19 yang penuh
dengan kemajuan di banyak bidang bukanlah akhir atau puncak peradaban manusia. Pada abad
ini kodifikasi bukanlah akhir dari perkembangan kehidupan hukum.
Sosiologi hukum, merupakan suatu disiplin ilmu yang sangat muda dan merupakan cabang
sosiologi terpenting, yang sampai sekarang masih dicari perumusannya. Hingga saat ini,
sosiologi hukum masih mempunyai batasan-batasan yang belum jelas, ahli-ahlinya belum
mempunyai kesepakatan mengenai pokok persoalan tentang apa itu sosiologi hukum. Apa yang
menyebabkan ilmu baru ini terhambat perkembangannya. Menurut penulis, karena ilmu baru ini,
dalam mempertahankan hidupnya, harus bertempur di dua front. Sosiologi hukum menghadapi
dua kekuatan, yakni dari kalangan para ahli hukum dan ahli sosiologi, yang terkadang keduanya
bersatu untuk menggugat keabsahan sosiologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Perselisihan
ini timbul, seperti yang telah dijelaskan oleh David N. Schiif, yang mengutip dari Aubert.

4.3. Pemikiran Hukum secara Sosiologis


Bertolak dari titik pandang praktisi hukum, telah terjadi perubahan-perubahan yang cepat
semenjak perang dunia II. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh hal dibawah ini.
1. Profesi hukum, terutama para pengacara, ruang lingkup kerjanya kini semakin luas. Hal itu
disebabkan karena pihak-pihak yang memerlukan pelayanan hukum semakin membesar
jumlahnya, meliputi semua lapisan masyarakat (misalnya dengan bidang-bidang bentuan
hukum).
2. Hukum, yang bagi kebanyakan orang, tidak lebih daripada sekumpulan undang-undang
atau peraturan-peraturan, kini telah berkembang menjadi suatu ilmu yang dirasakan baru karena
ilmu hukum kini telah dikembangkan menjadi lebih sistematis serta memiliki teknik penelitian,
penelaahan dan pemahaman yang luas dan lebih rumit.
Sebagai akibat dari perkembangan tersebut, para ahli hukum akan bertemu dengan sejumlah
permasalahan yang menuntut suatu cara analisis yang jauh berbeda dengan cara-cara pendekatan
tradisional. Dengan terciptanya beberapa hak tertentu dari beberapa kelompok, khusunya dalam
masyarakat, hukum akan berkaitan erat dengan masalah-masalah hubungan antar bangsa, dengan
konsumen, dengan keluarga, bersama-sama dengan meningkatkan intervensi (ikut campurnya)
pemerintah di dalam pengaturan tata kehidupan. Semuanya itu akan mendorong timbulnya suatu
kesadaran diantara para ahli hukum ( kesadaran ini kenyataannya muncul dari berbagai variasi
dan tingkatan) terhadap kelemahan-kelemahan atau kekurangan yang ada dalam pelayanan-
pelayanan, atau kekurangan yang diberikan oleh ilmu hukum tradisional.
Hal tersebut di atas sudah lama dirasakan melalui pembentukan hukum, peradilan,
penyelenggaraan keamanan, dan ketertiban serta peraturannya, yang sangat mudah dipisahkan
dari realitas social dan dari prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan itu muncul dari refleksi di
kalangan akademik, yang mengatakan bahwa prespektif dan metosa studi ilmu social berlaku
juga untuk menganalisis institusi hukum.
Dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan yang sangat cepat, terkesan kuat
bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembagannya.
Tak ayal lagi, berbagai cabang ilmu-ilmu social, khususnya sosiologi, yang akhir-akhir ini mulai
banyak mengkaji dan meneliti sebab perubahan-perubahan social, dipanggil untuk ikut
menyelesaikan berbagai masalah dan perubahan social yang amat relevan dengan permasalahan
hukum.
Hukum yang dikonsepkan secara sosiologis ini dapat dijadikan objek penelitian saintikfik (non-
doktrinal). Hukum tidak lagi dijadikan penggarap untuk menyususn system normatif yang
koheren belaka, dengan premis-premis yang diperoleh dari bahan-bahan, atau dari sumber-
sumber yang ranahnya normatif.
Ciri metode yang sangat jelas dalam penelitian non-doktrinal adalah menggunakan peran logika
induksi untuk menemukan asas-asas umum dan teori-teori , melalui silogisme. Dalam silogisme
induksi ini, premis-premis, selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi. Di sinilah letak
perbedaan model penelitian ini dengan model penelitian doktrinal yang dikerjakan oleh para
filsuf-moralis ataupun teoritis-positivis untuk menemukan asas-asas umum hukum positif.
Panelitian-penelitian doctrinal semacam ini selalu bertolak secara deduktif dari norma-norma
yang kebenarannya bernilai formal dan tidak berasal dari hasil pengamatan yang kebenaran
materialnya selalu dipersoalkan dan diverifikasi. Silogisme induksi digunakan untuk
memperoleh simpulan-simpulan deskriptif atau eksplanatif tentang ada atau tidaknya hubungan
antara berbagai variable social-hukum. Inilah pemikiran secara sosiologis.
Lain halnya apabila kita melihat cara berfikir seorang filosofis. Dalam berpikir, ia akan selalu
mempertanyakan yang berkaitan dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Cara berfikir
sosiologis akan memiliki cara pemahaman yang berbeda dengan cara berfikir orang awam dan
seorang filosofis.
Fakta social yang ditangkap oleh seorang sosiolog akan dipertanyakan eksistensinya dalam
masyarakat dan diamati kecenderungannya. Sosiolog tidak akan mempertanyakan nilai-nilai
kebaikan tetapi melihatnya sebagai objek studi. Sosiolog akan mempertanyakan bagaimanakah
mekanisme sosialnya sehingga nilai-nilai kebaikan dapat dipelihara dan kemudian
mempertanyakan bagaimana persepsi masyarakat tentang nilai-nilai tersebut?

4.4. Hukum dan Basis Sosialnya


Para ahli hukum yang membicarakan tentang basis social hukum adalah para sosiolog hukum,
yang mengembangkan sosiologi hukumnya antara tahun 80-90-an hingga sekarang. Dalam
perkembangannya tersebut, mereka dipengaruhi oleh talcoot parson dengan pemikiran
postmodernismenya.
Yang menjadi perhatian para ahli sosiologi hukum dalam membicarakan basis social hukum
adalah pertautan secara sistematis antara hukum dengan struktur social yang mendukung.
Mereka menganalisis bagaimana hukum yang berlaku dalam masyarakat itu cocok atau terjalin
ke dalam jaringan interaksi social.
Apabila hukum tidak ingin dikatakan tertinggal dari perkembangan masyarakat, hukum dituntut
untuk merespon segala seluk-beluk kehidupan social yang melingkupinya. Itu berarti peranan
hukum menjadi semakin penting dalam menghadapi problema-problema social yang timbul.
Tidak cukup bila hukum hanya dipahami secara yuridis-nprmatif, yakni sebagai tertib logis dari
tatanan peraturan yang berlaku. Hukum juga perlu diberi ruang untuk maksud studi-studi
deskriptif dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu social

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sosiologi hukum merupakan disiplin ilmu yang sudah sangat berkembang dewasa ini.
Bahkan kebanyakan penelitian hukum saat ini di Indonesia dilakukan dengan menggunakan
metode yang berkaitan dengan sosiologi hukum. Pada prinsipnya, sosiologi hukum (Sosiology of
Law) merupakan derivatif atau cabang dari ilmu sosiologi, bukan cabang dari ilmu hukum.
Memang, ada studi tentang hukum yang berkenaan dengan masyarakat yang merupakan cabang
dari ilmu hukum, tetapi tidak disebut sebagai sosiologi hukum, melainkan disebut sebagai
sociological jurispudence.
Disamping itu, ada kekhawatiran dari ahli sosiologi terhadap perkembangan sosiologi hukum
mengingat sosiologi bertugas hanya untuk mendeskrisipkan fakta-fakta. Sedangkan ilmu hukum
berbicara tentang nilai-nilai dimana nilai-nilai ini memang ingin dihindari oleh ilmu sosiologi
sejak semula. Kekhawatiran tersebut adalah berkenaan dengan kemungkinan dijerumuskannya
ilmu sosiologi oleh sosiologi hukum untuk membahas nilai-nilai.
Sebagaimana diketahui, bahwa pembahasan tentang nilai-nilai sama sekali bukan urusan
ilmu sosiologi. Meskipun begitu, terdapat juga aliran dalam sosiologi hukum, seperti
aliran Berkeley, yang menyatakan bahwa mau tiak mau, suka tidak suka, sosiologi
hukum meruapakan juga derifatif dari ilmu hukum sehingga harus juga menelaah masalah-
masalah normatif yang sarat dengan nilai-nilai.
Fungsi hukum dalam masyarakat sangat beraneka ragam, bergantung dari berbagai faktor dan
keadaan masyarakat.Disamping itu.fungsi hukum dalam masyarakat yang belum maju juga akan
berbeda dengan yang terdapat dalam masyarakat maju. Dalam setiap masyarakat, hukum lebih
berfungsi untuk menjamin keamanan dalam masyarakat dan jaminan pencapaian struktur sosial
yang diharapkan oleh masyarakat. Namun dalam masyarakat yang sudah maju, hukum menjadi
lebih umum, abstrak dan lebih berjarak dengan konteksnya.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dirumuskan beberapa masalah :
1. Apakah definisi Sosiologi Hukum secara umum dan menurut para ahli?
2. Bagaimana latar belakang terbentuknya Sosiologi Hukum?
3. Apa sajakah ruang lingkup Sosiologi Hukum?
4. Bagaimana karakteristik Sosiologi Hukum dalam masyarakat?
3. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui Sosiologi Hukum secara umum dalam masyarakat mulai pada awal
perkembangannya hingga saat ini.
2. Bagaimana pendapat para ahli mengenai Sosiologi Hukum dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Sosiologi Hukum

Dari sudut sejarah sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang Itali
yang bernama Anzilotti, pada tahun 1882. Sosiologi hukum pada hakekatnya lahir dari hasil-
hasil pemikiran para ahli baik di bidang filsafat hukum, ilmu hukum maupun sosiologi1[1].
Sosiologi hukum saat ini sedang berkembang pesat. Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan
hukum positif yang berlaku, dimana isi dan bentuknya berubah-ubah menurut waktu dan tempat,
dengan bantuan faktor kemasyarakatan. Adapun pengertian dari sosiologi hukum itu sendiri
antara lain:
a. Soerjono Soekanto
Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris
menganalisa atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala
lainnya.
b. Satjipto Raharjo
Sosiologi Hukum (sosiologi of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku
masyarakat dalam konteks sosial.
c. R. Otje Salman
Sosiologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan
gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis.
d. H.L.A. Hart
H.L.A. Hart tidak mengemukakan definisi tentang sosiologi hukum. Namun, definisi yang
dikemukakannya mempunyai aspek sosiologi hukum. Hart mengungkapkan bahwa suatu konsep
tentang hukum mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu
di dalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasyarakat. Menurut Hart, inti dari suatu
sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama (primary rules) dan aturan tambahan
(secondary rules).2[2] Aturan utama merupakan ketentuan informal tentang kewajiban-
kewajiban warga masyarakat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup
sedangkan aturan tambahan terdiri atas :
i. Rules of recognition, yaitu aturan yang menjelaskan aturan utama yang diperlukan
berdasarkan hierarki urutannya;
ii. Rules of change, yaitu aturan yang men-sahkan adanya aturan utama yang baru;
iii. Rules of adjudication, yaitu aturan yang memberikan hak-hak kepada orang perorangan
untuk menentukan sanksi hukum dari suatu peristiwa tertentu apabila suatu aturan utama
dilanggar oleh warga masyarakat.
e. Piritim Sorokin3[3]
Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari :
i. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya
antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi, gerak
masyarakat dengan politik, dsb)
ii. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial
(misalnya gejala geografis, biologis, dsb)
iii. Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.

2. Latar Belakang Sosiologi Hukum

Dalam beberapa literatur hukum dan sosiologi sebagai sebuah disiplin intelektual dan bentuk
praktik professional memiliki kesamaan ruang lingkup. Namun, sama sekali berbeda dalam
tujuan dan metodenya. Hukum sebagai sebuah disiplin ilmu memfokuskan pada studi ilmiah
terhadap fenomena sosial. Perhatian utamanya adalah masalah preskiptif dan teknis. Sedangkan
sosiologi memfokuskan pada studi ilmiah terhadap fenomena sosial.4[4] Meskipun demikian,
kedua disiplin ini memfokuskan pada seluruh cakupan bentuk-bentuk signifikan dari hubungan-
hubungan sosial. Dan dalam praktiknya kriteria yang menentukan hubungan mana yang
signifikan seringkali sama, yang berasal dari asumsi-asumsi budaya atau konsepsi-konsepsi
relevansi kebijakan yang sama.
Sosiologi hukum, mempunyai objek kajian fenomena hukum, bahwa Roscue Pound
menunjukan studi sosiologi hukum sebagai studi yang didasarkan pada konsep hukum sebagai
alat pengendalian sosial. Sementara Llyod, memandang sosiologi hukum sebagai suatu ilmu
deskriptif, yang memanfaatkan teknis-teknis empiris. Hal ini berkaitan dengan perangkat hukum
dengan tugas-tugasnya. Ia memandang hukum sebagai suatu produk sistem sosial dan alat untuk
mengendalikan serat mengubah sistem itu.
Kita dapat membedakan sosiologi hukum dengan ilmu normatif, yaitu terletak pada
kegiatannya. Ilmu hukum normatif lebih mengarahkan kepada kajian law in books, sementara
sosiologi hukum lebih mengkaji kepada law in action5[5]. Sosiologi hukum lebih menggunakan
pendekatan empiris yang bersifat deskriptif, sementara ilmu hukum normatif lebih bersifat
preskriptif. Dalam jurisprudentie model, kajian hukum lebih memfokuskan kepada produk
kebijakan atau produk aturan, sedangkan dalam sociological model lebih mengarah kepada
struktur sosial. Sosiologi hukum merupakan cabang khusus sosiologi, yang menggunakan
metode kajian yang lazim dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosiologi. Sementara yang menjadi
objek sosiologi hukum adalah :
a. Sosiologi hukum mengkaji hukum dalam wujudnya atau Government Social Control. Dalam
hal ini, sosiologi mengkaji seperangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan, guna
menegakkan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Sosiologi hukum mengkaji suatu proses yang berusaha membentuk warga masyarakat sebagai
mahluk sosial. Sosiologi hukum menyadari eksistensinya sebagai kaidah sosial yang ada dalam
masyarakat.
A. Sosiologi Hukum Sebagai Ilmu
Pada lahirnya sosiologi hukum dipengaruhi oleh 3 (tiga) disiplin ilmu, yaitu filsafat hukum,
ilmu hukum dan sosiologi yang berorientasi dibidang hukum.
a. Filsafat hukum
Konsep yang dilahirkan oleh aliran positivisme (Hans Kelsen) yaitu “stufenbau des recht”
atau hukum bersifat hirarkis artinya hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang
lebih atas derajatnya. Dimana urutannya yaitu :
1. Grundnorm (dasar social daripada hukum)
2. Konstitusi
3. Undang-undang dan kebiasaan
4. Putusan badan pengadilan

Dalam filsafat hukum terdapat beberapa aliran yang mendorong tumbuh dan berkembangnya
sosilogi hukum, diantaranya:
1. Mazhab sejarah
Tokohnya Carl Von Savigny, menurut beliau hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan
berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Hal tersebut merupakan perwujudan dari
kesadaran hukum masyarakat, perkembangan hukum sejalan dengan perkembangan masyarakat
sederhana ke masyarakat modern.\
2. Mazhab utility
Tokohnya Jeremy Bentham (hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat guna mencapai
hidup bahagia). Dimana manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi
penderitaan dan pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga-
warga masyarakat secara individual). Rudolph von Ihering (social utilitarianism yaitu hukum
merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuan)
3. Aliran sociological jurisprudence
Tokohnya Eugen Ehrlich (hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup di
dalam masyarakat atau living law).
4. Aliran pragmatical legal realism
Tokohnya Roscoe Pound (law as a tool of social engineering), Karl Llewellyn, Jerome Frank,
Justice Oliver (hakim-hakim tidak hanya menemukan huhum akan tetapi bahkan membentuk
hukum)
B. Ilmu hukum
Yang mendukung ilmu soiologi hukum adalah ilmu hukum yang menganggap bahwa hukum
itu adalah gejala sosial.

C. Sosiologi yang berorientasi dibidang hukum


Menurut Emile Durkhain mengungkapkan bahwa dalam masyarakat selalu ada solideritas
social yang meliputi :
a. Solideritas social mekanis yaitu terdapat dalam masyarakat sederhana dimana kaidah hukumnya
bersifat represif (yang diasosiasikan dalam hukum pidana);
b. Solideritas social organis yaitu terdapat dalam masyarakat modern dimana kaidah hukumnya
bersifat restitutif (yang diasosiasikan dalam hukum perdata).

Max Weber dengan teori ideal type, mengungkapkan bahwa hukum meliputi :
a. Irasionil materil (pembentuk undang-undang mendasarkan keputusan-keputusannya semata-
mata pada nilai-nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidahpun)
b. Irasionil formal (pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-kaidah diluar
akan, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan)
c. Rasional materil (keputusan-keputusan para pembentuk undang-undnag dan hakim menunjuk
pada suatu kitab suci, kebijaksanaan-kebijaksanaan penguasa atau ideologi)
d. Rasional formal (hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep abstrak dari ilmu
hukum)

Filsafat hukum dan ilmu hukum adalah dua hal besar yang mempengaruhi sosiologi
hukum. Akan tetapi, hukum alamlah yang merupakan basis intelektual dari sosiologi hukum.
Seorang tokoh yang terkemuka dari mazhab sejarah yaitu Carl Von Savigny (1779-1861)
berpendapat bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (Volgeist).
Ia berpendapat bahwa semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan, bukan dari
pembentuk undang-undang6[6]. Ia menantang kodifikasi hukum Jerman. Keputusan-keputusan
badan legislatif, menurutnya membahayakan masyarakat karena tidak sesuai dengan dengan
kesadaran hukum masyarakat.
Di abad ke-18 analisis rasional terhadap hukum tampil dengan sangat kuat, demikian pula
dengan pengikatan kepada asas-asas dalam hukum. gabungan antara keduanya melahirkan cara
berfikir dedukatif yang mengabaikan kenyataan sejarah dengan kekhususan yang ada pada
bangsa-bangsa. Analisis hukum yang sedemikian itu mengabaikan lingkungan sosial
hukum.7[7] Beberapa prinsip yang mencerminkan keterkaitan antara hukum dan basis sosialnya
adalah sebagai berikut :
a. Hukum itu tidak dibuat, melainkan ditemukan. Pertumbuhan hukum itu pada hakikatnya
merupakan proses yang tidak disadari dan organik. Hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu
institusi yang berdiri sendiri, melainkan semata-mata suatu proses dan perilaku masyarakat
sendiri. Hanya kitalah yang melihat hukum itu sebagai suatu institusi yang terpisah dengan
semua atribut dan konsep otonominya. Apa yang sekarang disebut sebagai hukum adalah
putusan arbiter yang dibuat oleh badan legislatif.
b. Hukum itu tumbuh dari hubungan-hubungan hukum yang sederhana pada masyarakat primitif
sampai menjadi hukum yang besar dan kompleks dalam peradaban modern. Kendati demikian,
perundang-undangan dan para ahli hukum hanya merumuskan hukum secara tekhnis dan tetap
merupakan alat dari kesadaran masyarakat (poular consciousness).
c. Hukum tidak mempunyai keberlakuan dan penerapan yang universal. Setiap bangsa memiliki
habitat hukumnya, seperti mereka memiliki bahasa adatnya. Volksgeist (jiwa dari rakyat) itu akan
tampil sendiri dalam hukum suatu bangsa.

Aliran sejarah memiliki kelemahan yang terletak pada konsepnya mengenai kesadaran
hukum yang sangat abstrak. Pengkajian yang menolak untuk melihat hukum berdasarkan
peraturan, tetapi lebih melihatnya berdasarkan masyarakat sebagaimana dianut oleh aliran
sajarah, tetap tenggelam dibawah arus normatif-positivistis yang kuat diabad ke-19. Lain halnya
dengan fisafat hukum yang memiliki fahamnya sendiri bagi kelahiran sosiologi hukum.
Pemikiran filsafat selalu berusaha untuk menembus hal-hal yang dekat dan secara terus-menerus
mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tuntas (ultimate). Oleh karena itu, filsafat
hukum jauh mendahului sosiologi hukum apabila ia mempertanyakan keabsahan dari hukum
positif. Pikiran-pikiran filsafat menjadi pembuka jalan bagi kelahiran sosiologi hukum, oleh
karena scara tuntas dan kritis, seperti lazimnya watak filsafat, menggugat sistem hukum
perundang-undangan. Pikiran filsafat tersebut juga dapat dimulai dari titik yang jauh yang tidak
secara langsung menggugat hukum positif.8[8] Seperti yang dilakukan oleh Gutav Radbruch
dengan tesis “tiga nilai dasar hukum” yaitu keadilan, kegunaan dan kepastian hukum.
Pengaruh yang khas dari filsafat hukum terlihat jelas pada kegiatan untuk menetralkan atau
merelatifkan dogmatika hukum, tekanannya lebih diletakan bereaksinya atau berprosesnya
hukum (law in action).9[9] Roscou Pound berpendapat bahwa hukum merupakan suatu proses
yang mendapatkan bentuknya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan keputusan
hakim atau pengadilan. Ia mengedepankan idenya tentang hukum sebagai sarana untuk
mengarahkan dan membina masyarakat. Untuk memenuhi fungsinya tersebut, sorotan yang
terlalu besar pada aspek statis dari hukum yang harus ditinggalkan. selain Pound, Cardozo
berpendapat, bahwa hukum bukanlah penerapan murni dari peraturan perundang-undangan. Pad
hukum berpengaruh pula kepentingan-kepentingan sosial yang hidup dalam masyarakat. Secara
filosofis, fungsi dari sosiologi hukum adalah menguji apakah benar peraturan perundang-
undangan yang dibuat dan berfungsi dalam masyarakat.

3. Ruang Lingkup Sosiologi Hukum


Seperti yang dikatakan oleh Soerjono Soekanto, untuk mengetahui hukum yang berlaku,
sebaiknya seseorang menganalisis gejala-gejala hukum dalam masyarakat secara langsung.
Meneliti proses-proses peradilan, konsepsi-konsepsi hukum yang berlaku dalam masyarakat
(semisal tentang keadilan), efektivitas hukum sebagai sarana pengendalian sosial, serta hubungan
antara hukum dan perubahan-perubahan sosial. Perkembangan masyarakat yang susunannya
sudah semakin kompleks serta pembidangan kehidupan yang semakin maju dan berkembang
menghendaki pengaturan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu.10[10]

Sosiologi hukum berkembang atas suatu anggapan dasar bahwa proses hukum berlangsung di
dalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. O.W. Holmes, seorang
hakim di Amerika Serikat, mengatakan bahwa kehidupan hukum tidak berdasarkan logika,
melainkan pengalaman.11[11]

Ruang lingkup sosiologi hukum juga dibagi menjadi 2 hal, yaitu:12[12]

a. Dasar-dasar sosial dari hukum atau basis sosial dari hukum. Sebagai contoh dapat disebut
misalnya: Hukum nasional di Indonesia dasar sosialnya adalah pancasila dengan ciri-ciri: gotong
royong, musyawarah, dan kekeluargaan.

b. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya. Sebagai contoh dapat disebut misalnya:

i. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap gejala kehidupan


rumah tangga.

ii. Undang-undang No 22 Tahun 1997 dan undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Narkotika dan Narkoba terhadap gejala konsumsi obat-obat terlarang dan semacamnya.

iii. Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta terhadap gejala budaya.

iv. Undang-undang mengenai pemilihan presiden secara langsung mempengaruhi gejala


politik.

v. Dan sebagainya.

Adapun ruang lingkup sosiologi hukum secara umum, yaitu hubungan antara hukum dengan
gejala-gejala sosial sehingga membentuk kedalam suatu lembaga sosial ( social institution) yang
merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia yang hidup dimasyarakat dan atau dalam lingkup proses
hukumnya ( law in action) bukanlah terletak pada peristiwa hukumnya ( law in the books).
Sedangkan menurut Purbacaraka dalam bukunya Sosiologi Hukum Negara, bahwa ruang
lingkup sosiologi hukum adalah “Hubungan timbal balik atau pengaruh timbal balik antara
hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya (yang dilakukan secara analitis dan empiris)”. Yang
diartikan sebagai hukum dalam ruang lingkup tersebut adalah suatu kompkles daripada sikap
tindak manusia yang mana bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan hidup. Namun
Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup sosiologi hukum meliputi:

a. Sampai sejauh manakah hukum yang terbentuk dari pola-pola perikelakuan atau apakah hokum
yang terbentuk dari pola-pola perikelakuan tersebut.

b. Hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan dan wujud dari kelompok-kelompok sosial.

c. Hubungan timbal-balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dan perubahan-perubahan


sosial dan budaya.

Dengan berpedoman pada persoalan-persoalan yang disoroti sosiologi hukum, maka dapat
dikatakan bahwa sosiologi hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara teoritis
analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum, dan
sebaliknya.13[13] Perihal perspektif daripada sosiologi hukum, maka secara umum ada dua
pendapat utama sebagai berikut (J van Houtte 1970:57).

a. Pendapat-pendapat yang menyatakan, bahwa kepada sosiologi hukum harus diberikan suatu
fungsi yang global. Artinya, sosiologi hokum harus menghasilkan suatu suntesa antara hukum
sebagai sarana organisasi sosial dan sebagai sarana dari keadilan. Didalam fungsinya itu, maka
hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak kecil dari sosiologi hukum, di dalam
mengidentifikasikan konteks sosial dimana hukum tadi diharapkan berfungsi.
b. Pendapat-pendapat lain menyatakan, bahwa kegunaan sosiologi hukum adalah justru dalam
bidang pengkaedahan ( J van Houtte 1970:59)14[14]
Perihal proses pengkaedahan, maka sosiologi hukum dapat mengungkapkan data tentang
keajegan-keajegan mana didalam masyarakat yang menuju pada pembentukan hukum (baik
melalui keputusan penguasa maupun melalui ketetapan bersama dari para warga masyarakat).
Dari batasan ruang lingkup maupun perspektif sosiologi hukum sebagaimana dijelaskan
diatas, maka dapatlah dikatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum didalam kenyataannya adalah
sebagai berikut:15[15]
a. Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman
terhadap hukum didalam konteks sosial.
b. Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk
mengadakan analisa terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana
pengendalian sosial, sarana untuk merubah masyarakat dan sarana mengatur interaksi social,
agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu.
c. Sosiologi hokum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan
evaluasi terhadap efektivitas hukum didalam masyarakat. (Soerjono Soekanto)

4. Karakteristik Sosiologi Hukum


Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan
analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan
gejala gejala sosial lain. Studi yang demikian memiliki beberapa karakteristik, yaitu:16[16]
a. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasaan terhadap praktek-praktek hukum.
Apabila praktek itu dibeda-bedakan kedalam pembuatan undang-undang, penerapan dan
pengadilan, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi pada masing-masing
bidang kegiatan hukum tersebut. Sosiologi hukum berusaha untuk menjelaskan mengapa praktek
yang demikian itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor apa saja yang mempengaruhi, latar belakang
dan sebagainya. Dengan demikian maka mempelajari hukum secara sosiologi adalah menyelidiki
tingkah laku orang dalam bidang hukum. Menurut Weber, tingkah laku ini memiliki dua segi,
yaitu “luar” dan “dalam”. Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku
yang tampak dari luar saja, tetapi juga meperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu
meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. Apabila di sini di sebut tingkah laku hukum maka
sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai denagn hukum atau yang
menyimpang dari kaidah hukum, keduanya merupakan obyek pengamatan dari ilmu ini.
b. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan
hukum. Pertanyaan yang bersifat khas disini adalah “Bagaimanakah dalam kenyataannya
peraturan itu?”, “Apakah kenyataan sesuai dengan dengan yang tertera dalam peraturan?”.
Perbedaaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normative dan pendekatan sosiologis
adalah bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada peratuan hokum. Seang yang
kedua senantiasa mengujinya dengan data (empiris).
c. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang menaati hukum
dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Ia
tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatiannya yang utama hanyalah pada
memberikan penjelasan terhadap objek yang dipelajarinya. Pendekatan yang demikian itu sering
menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi ingin membenarkan praktek-praktek yang
menyimpang atu melanggar hokum. Sekali lagi bahwa sosiologi hokum tidak memberikan
penilaian tapi mendekati hokum dari segi objektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan
penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.
Ketiga karakteristik studi hukum secara sosiologis tersebut diatas sekaligus juga merupakan
kunci bagi orang yang berminat untuk melakukan penyelidikan dalam bidang sosiologi hukum.
Dengan cara-cara menyelidiki hukum yang demikian itu orang langsung berada di tengah-tengah
studi sosiologi hukum. Apapun juga objek yang dipelajarinya, apabila ia menggunakan
pendekatan seperti disebutkan pada butir-butir di muka, maka ia sedang melakukan kegiatan
dibidang sosiologi hukum. Berikut ini dikemukakan berbagai objek yang menjadi sasaran studi
sosiologi hokum.
Sosiologi hokum juga mempelajari “pengorganisasian sosial hukum”. Objek yang menjadi
sasaran disini adalah badan-badan yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan penyelenggaran hokum.
Sebagai contoh dapat disebut misalnya: “Pembuatan undang-undang pengadilan, polisi, advokat,
dan sebagainya. Pada waktu mengkaji pembuatan undang-undang, seperti usia para anggotanya,
pendidikannya, latar belakang sosialnya, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut memperoleh
perhatian, oleh karena pembuat undang-undang itu dilihat sebagai manifestasi dari kelakuan
manusia. Oleh karena itu, factor-faktor diatas dianggap penting untuk dapat menjelaskan
mengapa hasil kerja pembuat undang-undang itu adalah seperti adanya sekarang. Dalam kajian
Sosiologi hokum ada anggapan bahwa undang-undang itu tidak dapat sepenuhnya netral, apalagi
yang dibuat dalam masyarakat modern yang kompleks, dan menjadi tugas sosiologi hokum
untuk menelusuri dan menjelaskan duduk pesoalannya serta factor-faktor apa yang menyebabkan
keadaannya menjadi demikian itu.17[17]
Bila sosiologi hokum perundang-undangan atau pengkajian yuridis empiris akan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang berbeda dengan pegkajian yuridis normative. Karakteristik
pertanyaan sosiologi hokum seperti: “Apakah sebabnya orang taat keapda hukum? Seberapa
besarkah efektivitas dari peraturan-peraturan hukum tertentu? Faktor-faktor apakah yang
mempengaruhi efektivitas peraturan-peraturan hukum tertentu dipengadilan?” Sosiologi hukum,
misalnya tidak menerima begitu saja, bahwa hukum itu bertujuan untuk menyelesaikan konflik.
Pertanyaan kritis darinya adalah, ‘Apakah hukum itu sendiri tidak mungkin menyimpan dan
menimbulkan konflik?” Studi-studi sosiologi hukum pada suatu ketika dapat menyikapi bahwa
suatu peraturan yang bersifat semu, dibelakang hari malah dapat meledakan suatu konflik baru.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kemasyarakatan, baik itu proses sosial,
interaksi sosial masyarakat, lembaga sosial masyarakat, perubahan gaya hidup, struktur sosial
masyarakat, mobilitas sosial, gender, perubahan sosial, perlawanan sosial, konflik, integrasi
sosial, keluarga dan sebagainya.
Hukum adalah keseluruhan norma yang oleh penguasa masyarakat yang berwenang
menetapkan hukum, dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi
sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan untuk mengadakan
suatu tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.
Sosiologi hukum merupakan cabang ilmu pengetahuan yang memahami, mempelajari,
menjelaskan secara analiti sempiris tentang persoalan hukum dihadapkan dengan fenomena-
fenomena lain dimasyarakat. Hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial
lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mempelajari sosiologi hukum. Jadi, titik
tekan Sosiologi hukum ini lebih mengarah kepada pola perilaku masyarakat dalam memandang
hukum yang terjadi disekitar mereka. Bagaimana suatu masyarakat mentaati hukum, dan
melanggar hukum, dan menjalani hukum tersebut. Sosiologi hukumpun sangat dibutuhkan oleh
masyarakat karena sosiologi hukum ini akan memberi penjelasan dari setiap objek yang
dipelajarinya,

2. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis yakin bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan,
sehingga mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun agar penulis mendapatkan membelajaran baru. Dan semoga makalah ini dapat
menjadi tempat mendapatkan ilmu pengetahuan baru.

http://nandoxodnan.blogspot.com/2013/09/makalah-sosiologi-hukum-pendahuluan.html
http://indahandblog.blogspot.com/2014/03/makalah-hakikat-objek-dan-metode-metode.html
http://cacaha.blogspot.com/2013/10/makalah-sosiologi-tentang-obyek-obyek.html
http://pendidikansrg.blogspot.com/2018/04/contoh-makalah-sosiologi-hukum.html
http://bloghukums.blogspot.com/2014/05/teori-dan-metode-dalam-sosiologi-hukum_31.html

Anda mungkin juga menyukai