net/publication/238740859
Delimitasi Batas Maritim antara Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Article
CITATIONS READS
0 268
4 authors, including:
Andi Arsana
Gadjah Mada University
13 PUBLICATIONS 23 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Andi Arsana on 28 January 2017.
Sumaryo1
sumaryo@ugm.ac.id
1
Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM
Jl. Grafika No 2 Yogyakarta
http://www.geodesi.ugm.ac.id
Abstrak
Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang “Pedoman
Penegasan Batas Daerah” yang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka pekerjaan delimitasi batas wilayah maritim antara provinsi di Indonesia harus
berpedoman pada Peraturan Menteri tersebut. Penetapan batas maritim penting dilakukan karena berkaitan
erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di laut. Ketentuan ini juga
berlaku untuk Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan batas-batas dan cakupan kewenangan wilayah laut Provinsi Bali
dan Provinsi NTB di Selat Lombok yang dilakukan secara kartometrik. Dalam penelitian ini terlebih dahulu
dilakukan penentuan jenis garis dasar yang digunakan sebagai awal penarikan klaim maritim, kemudian
dilakukan simulasi penarikan klaim sejauh 12 mil laut dari masing-masing provinsi. Dengan melakukan
simulasi ini, maka diketahui terjadinya pertampalan klaim, baru kemudian dilakukan penentuan batas
maritim kedua provinsi dengan prinsip garis tengah (median line).
Kajian ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah
masing-masing provinsi dalam menentukan batas kewenangan wilayah di laut. Batas-batas provinsi yang
telah jelas dan pasti serta berkekuatan hukum juga diharapkan dapat menghindari adanya konflik perebutan
sumberdaya alam pada lokasi pertampalan klaim maritim pada provinsi yang bersangkutan.
1. Pendahuluan
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka
daerah mempunyai wewenang yang relatif lebih luas dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian
lingkungan yang berada di wilayah lautnya. Dalam hal ini batas daerah di laut menjadi bernilai strategis
sehingga penentuan dan penegasan batas daerah di laut juga menjadi semakin penting (Abidin, 2001).
Namun pada kenyataannya, UU No. 22/1999 dianggap tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti dengan undang-
undang yang baru. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam UU No 22/1999 rawan terjadi salah interpretasi oleh daerah karena UU tersebut menyatakan bahwa
provinsi terdiri dari wilayah daratan dan wilayah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai (Pasal 3).
Ini adalah definisi membagi “teritori” bahwa ada laut provinsi dan laut kabupaten/kota sehingga dapat
memicu konflik perebutan sumber daya alam di laut. Padahal yang dimaksud adalah mengatur kewenangan
provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini kemudian disempurnakan dalam UU No. 32/2004 Pasal 18 dengan
menyebutkan istilah ”kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut”. Kewenangan ini
hanya berlaku untuk mengelola sumber daya laut, bukan untuk menguasai secara penuh wilayah laut seperti
kekuasaan daerah atas wilayah darat (Arsana, 2005).
UU No 32/2004 Pasal 18 ayat (4) menyebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut pada provinsi paling jauh 12 mil laut diukur dari garis dasar ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan dan sepertiganya untuk wilayah kewenangan laut kabupaten/kota. Ditegaskan di sini
bahwa tidak disebutkan 4 mil laut untuk kewenangan laut kabupaten/kota mengingat tidak mungkin bagi
kabupaten/kota mengklaim selebar 4 mil laut apabila provinsinya juga tidak bisa mengklaim wilayah laut
secara penuh hingga 12 mil laut (makna Pasal 18 ayat (5)).
Dengan memperhatikan hal tersebut, maka sangat penting bagi pemerintah daerah masing-masing provinsi
dan kabupaten/kota sebagai pelaksana utama otonomi untuk memahami, mengatur, dan menetapkan
wilayah kewenangannya di laut. Hal ini berkaitan erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumber
daya alam yang terdapat di laut agar dapat dikelola secara maksimal (Arsana, 2005).
Hal ini juga berlaku untuk Provinsi Bali dan Provinsi NTB yang berbatasan langsung di Selat Lombok.
Selat Lombok memiliki potensi bahari yang cukup melimpah dan perlu diperhatikan oleh kedua provinsi.
Selain itu Bali dan Lombok merupakan dua pulau sebagai tujuan pariwisata bahari yang sangat menarik
dan banyak menyedot perhatian baik bagi turis domestik maupun mancanegara (Rosalina, 2003).
Berdasarkan pengukuran awal yang dilakukan di atas peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) lokasi
penelitian, didapat bahwa lebar perairan Selat Lombok adalah kurang dari 24 mil laut. Ini berarti bahwa
masing-masing provinsi tidak dapat mengklaim 12 mil laut tanpa menggangu klaim provinsi lainnya,
sehingga perlu dilakukan delimitasi batas wilayah maritim antara Provinsi Bali dan Provinsi NTB.
Agar seluruh pekerjaan penentuan batas wilayah dilaksanakan secara optimal, maka Menteri Dalam Negeri
mengeluarkan petunjuk teknis yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 (Permendagri
No.1/2006) tentang “Pedoman Penegasan Batas Daerah” yang mengacu kepada UU No 32/2004. Pedoman
inilah yang akan dijadikan petunjuk teknis terbaru di dalam pekerjaan penetapan batas daerah di Indonesia.
Ini mengindikasikan bahwa sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri tersebut, maka setiap provinsi dan
kabupaten/kota yang belum dan akan menentukan batas kewenangan di wilayah laut, harus berpedoman
pada Permendagri No.1/2006. Mengingat provinsi Bali dan NTB belum menetapkan batas maritimnya
maka kajian delimitasi ini menjadi penting dilakukan.
2. Tinjauan Pustaka
Adapun beberapa dasar teori dan landasan hukum yang berkaitan dengan penentuan batas daerah yaitu:
2.1. Penegasan batas daerah
Penegasan batas daerah adalah kegiatan penentuan batas secara pasti di lapangan. Permendagri No.1/2006
pasal 2 menjelaskan bahwa penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah
yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan dan dilakukan dalam rangka
menentukan letak dan posisi batas secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan titik koordinat batas
di atas peta. Batas daerah merupakan pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan
daerah lain. Batas daerah dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu batas daerah di darat dan batas daerah di laut.
2. Batas antara dua daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 24 mil laut seperti
pada Gambar 2, diukur berdasarkan prinsip garis tengah.
Gambar 2. Prinsip garis tengah (Permendagri No.1, 2006).
3. Batas antara dua daerah kabupaten dan daerah kota dalam satu daerah provinsi yang saling berhadapan
dengan jarak kurang dari 8 mil laut, diukur berdasarkan prinsip garis tengah.
4. Batas wilayah laut pulau kecil yang berada dalam satu daerah provinsi dan jaraknya lebih dari dua kali 12
mil laut seperti pada Gambar 3, diukur secara melingkar dengan lebar 12 mil laut. Hasil pengukuran dan
penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan daftar
koordinat titik batas daerah di wilayah laut.
Gambar 3. Pulau kecil berjarak lebih dari 24 mil (Permendagri No.1, 2006).
Karena skalanya yang kecil, maka garis pantai di peta dianggap sama dengan garis pantai pada surut
rendah, sehingga dapat dipilih titik-titik dasar pada peta yang berupa titik-titik yang menonjol (salient
points) pada kedua sisi masing-masing provinsi. Hasil peta batas secara kartometrik ini digunakan sebagai
peta kerja jika survei dan penegasan batas dilakukan di lapangan. Dalam istilah Bahasa Inggris disebut juga
“Survey and Delimitation” yaitu pengukuran batas di atas peta, sedangkan “Survey and Demarcation”
adalah pengukuran batas di lapangan dan menempatkan tanda batas (mark) di lapangan yang umumnya
berupa pilar beton yang kokoh (Rais, 2003).
Seandainya seluruh wilayah Indonesia harus dipetakan dengan akurat, misalnya lekukan pantai dengan
foto udara atau citra satelit, air surut terendah dengan data pasut dan batimetri, maka akan diperlukan
waktu yang sangat lama dan biaya yang sangat besar. Jadi langkah awal adalah pengukuran kartometrik
menggunakan peta-peta yang sudah ada (Amhar dkk., 2001).
Adapun tahap-tahap dalam melakukan pekerjaan penetapan batas daerah di laut secara kartometrik
berdasarkan Permendagri No.1/2006 yaitu :
1. Menyiapkan Peta-peta Laut, Peta Lingkungan Laut Nasional (Peta LLN) dan Peta Lingkungan Pantai
Indonesia (Peta LPI).
2. Menelusuri secara cermat cakupan daerah yang akan ditentukan batasnya dengan memperhatikan garis
pantai yang ada. Mempelajari kemungkinan penerapan garis dasar normal dan garis dasar lurus dengan
memperhatikan panjang maksimum yakni 12 mil laut.
3. Memberi tanda rencana titik awal yang akan digunakan untuk penarikan garis normal dan garis dasar
lurus.
4. Melihat peta laut dengan skala terbesar yang terdapat pada daerah tersebut, kemudian membaca dan
mencatat titik awal dengan melihat angka lintang dan bujur yang terdapat pada sisi kiri dan atas atau sisi
kanan dan bawah dari peta yang digunakan.
5. Mengeplot dalam peta titik-titik awal yang diperoleh dan menghubungkan titik-titik dimaksud untuk
mendapatkan garis dasar lurus yang tidak lebih dari 12 mil laut.
6. Menarik garis sejajar dengan garis dasar yang berjarak 12 mil laut atau sepertiganya.
7. Batas daerah di wilayah laut tergambar beserta daftar koordinatnya.
8. Membuat peta batas daerah di laut lengkap dengan daftar koordinatnya yang akan ditandatangani oleh
Menteri Dalam Negeri.
Rais (2003) dalam studi kasusnya mengenai batas wilayah laut antara Provinsi Sumatera Selatan dan
Provinsi Bangka-Belitung mengemukakan bahwa batas maritim perlu ditetapkan mengingat lebar Selat
Bangka kurang dari 24 mil laut. Karena posisi pantainya berhadapan (opposite), maka penentuan batas laut
menggunakan prinsip garis tengah (median line). Tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai jenis garis
dasar yang gunakan sebagai acuan penarikan batas, namun apabila dilihat dari peta batas yang dihasilkan,
maka jenis garis dasar dalam studi kasus ini adalah garis dasar lurus.
Provinsi Bali terletak antara 8°03’40”LS - 8°50’48”LS dan 114°25’53”BT - 115°42’40”BT membuatnya
beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Wilayahnya di utara berbatasan dengan Laut Jawa, di
selatan dengan Samudera Hindia, di timur dengan Selat Lombok, dan di barat dengan Selat Bali. Luas
keseluruhan kawasan daratan Bali adalah 5.632,86 km2. Pulau Bali merupakan bagian dari Kepulauan
Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Gunung Agung adalah
titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Tempat-tempat penting di Bali yaitu Ubud sebagai pusat seni
terletak di Kabupaten Gianyar; sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa
tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Bali).
Provinsi NTB terletak antara 8°5’LS-9°5’LS dan 115°45’BT-119°10’BT. Wilayahnya di utara berbatasan
dengan Laut Jawa, di selatan dengan Samudera Hindia, di timur dengan Selat Sepadan dan di barat dengan
Selat Lombok. Luas wilayah keseluruhan adalah 49.312,11 km2 yang terdiri atas daratan 20.153,07 km2
dan lautan 29.159,04 km2. Provinsi NTB memiliki dua buah pulau besar yaitu Pulau Lombok dengan luas
wilayah daratan 4.738,70 km2 (23,51%) dan Pulau Sumbawa 15.414,37 km2 (76,49%). Selong merupakan
kota yang mempunyai ketinggian paling tinggi, yaitu 148 m dari permukaan laut sementara Raba terendah
dengan 13 m dari permukaan laut. Provinsi NTB dikelilingi ratusan pulau kecil. Beberapa dari pulau-pulau
tersebut menjadi tujuan pariwisata yang telah terkenal seperti Gili Air, Gili Meno, Gili Trawangan dan
Pulau Moyo (http://www.ntb.go.id).
Adapun fitur-fitur penting pada perangkat lunak CARIS LOTS yang banyak dimanfaatkan untuk tahapan
proses penarikan batas (Anonim, 2003), yaitu:
1. Fitur untuk melakukan impor berbagai macam jenis data masukan
2. Fitur untuk melakukan proses registrasi atau georeferensi peta
3. Fitur untuk melakukan simulasi klaim maritim sejauh 12 mil laut baik menggunakan jenis garis dasar
normal maupun garis dasar lurus
4. Fitur untuk melakukan penarikan garis tengah (median line) terhadap suatu kondisi garis pantai yang
berhadapan maupun berdampingan
5. fitur untuk menampilkan titik-titik koordinat suatu garis dengan interval tertentu
6. fitur untuk melakukan perhitungan luas suatu area
7. fitur untuk mengetahui jarak lurus antara dua titik
Untuk penentuan garis dasar pada penelitian ini, diambil dua alternatif kemungkinan pemilihan garis dasar
yang dapat diterapkan untuk kedua provinsi yaitu :
6.1. Penyiaman
Proses penyiaman pada peta LLN analog untuk menjadikannya sebagai data digital dilakukan dengan alat
scanner Xerox A0 dengan resolusi 300 dpi dimana resolusi piksel dapat dicari dengan perhitungan
sederhana sebagai berikut (Anonim, 2001):
Jadi dapat dikatakan bahwa dalam bentuk digital, setiap piksel peta memiliki resolusi 42 m. Nilai resolusi
piksel ini akan dikaitkan hubungannya dengan nilai residu hasil proses georeferensi. Setelah menjadi data
digital dalam format data raster berekstensi tif, kemudian dilakukan proses pemilihan (cropping) pada
liputan area penelitian agar format data raster memiliki ruang penyimpanan yang relatif lebih kecil
(menghemat memori) pada komputer. Selain itu ukuran file yang lebih kecil juga dapat mempercepat
proses pengolahan data pada tahap-tahap selanjutnya dengan perangkat lunak yang sesuai.
Tabel 2. Nilai residu titik kontrol antara koordinat yang belum teregistrasi
dan yang telah teregistrasi
Unregistered CPs Registered CPs Residuals
No
x y Latitude longitude xr yr mean
1 0.013067 0.022820 9-29-59.96S 113-40-0.93E 0.8476961702108 -4.568923351588 2.708309760899
2 0.145864 0.023787 9-29-59.96S 115-00-0.94E -6.151251466945 12.86076533166 9.506008399301
3 0.327763 0.025706 9-29-59.95S 116-50-0.95E 5.321156229824 -8.339586274233 6.830371252028
4 0.328483 0.126144 8-29-59.94S 116-50-0.95E -6.873251561075 7.653146463679 7.263199012377
5 0.146200 0.124197 8-29-59.95S 115-00-0.93E 3.39388798736 -4.352294847718 3.873091417539
6 0.013141 0.123174 8-29-59.95S 113-40-0.92E 3.446444639936 -3.209488307475 3.327966473706
7 0.013145 0.223488 7-29-59.94S 113-40-0.92E -4.270552232862 7.726054570172 5.998303401517
8 0.146467 0.224564 7-29-59.94S 115-00-0.93E 2.715800195932 -8.416745925322 5.566273060627
9 0.329108 0.226571 7-29-59.94S 116-50-0.95E 1.570070039481 0.647072340944 1.108571190212
Dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa nilai rata-rata (mean) residu yang terjadi antara 1,108 sampai 9,506
meter. Nilai residu ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan yaitu akibat salah pengeplotan posisi
pada titik-titik belum teregistrasi atau bisa diakibatkan karena proses penyiaman yang kurang tegak lurus
pada peta analog sebelumnya sehingga gambar raster yang dihasilkan sedikit miring walaupun tidak dapat
dilihat oleh mata.
Jika dikaitkan dengan nilai resolusi piksel = 42 m, maka nilai residu antara 1,108 m sampai 9,506 m adalah
sangat kecil (kurang dari 1 piksel) sehingga tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Jika dicetak pada
peta analog dengan skala kecil yaitu 1:500.000 dimana 0,1 mm di peta sama dengan 50 m di lapangan
maka perubahan yang tampak juga tidak terlalu signifikan sehingga nilai residu yang terjadi masih masuk
dalam toleransi. Hasil akhir dari proses georeferensi ini adalah gambar raster peta LLN yang telah memiliki
koordinat geodetik (data geoTIFF).
Penentuan titik-titik dasar dilakukan pada garis pantai Provinsi Bali bagian timur dan Provinsi NTB bagian
barat. Hasil dari penentuan titik-titik dasar ini yaitu untuk Provinsi Bali menggunakan 41 titik-titik dasar
sedangkan untuk Provinsi NTB menggunakan 25 titik-titik dasar sebagai langkah awal penarikan garis
dasar lurus.
6.5. Simulasi klaim maritim dan perhitungan luas pertampalan klaim maritim
Simulasi klaim maritim pada penelitian ini berasumsi bahwa kedua provinsi dapat mengklaim wilayah
maritimnya secara penuh yaitu sejauh 12 mil laut (berdasarkan Permendagri No.1/2006) ke arah Selat
Lombok tanpa mempertimbangkan garis klaim tersebut melewati daratan provinsi di sekitarnya. Namun
karena terjadi pertampalan klaim antara kedua provinsi, maka dilakukan delimitasi batas maritim yaitu
dengan prinsip garis tengah. Simulasi klaim maritim secara penuh 12 mil laut yang dilakukan pada masing-
masing provinsi bertujuan untuk mengetahui adanya pertampalan klaim wilayah maritim yang terjadi. Hasil
dari simulasi klaim ini berupa dua alternative yang berbeda dari dua penerapan jenis penarikan garis dasar
yang digunakan yaitu garis dasar normal dan garis dasar lurus.
Gambar 5. Daerah pertampalan (diarsir) yang terjadi untuk penerapan garis dasar normal
Dengan melihat perbandingan antara Gambar 5 dan Gambar 6, maka tidak mudah mengidentifikasi
perbedaan luas diantara keduanya. Perbedaan akan diketahui dengan melakukan perhitungan luas terhadap
masing-masimg kawasan pertampalan
A B
Keterangan :
Garis A = Garis tengah menggunakan garis dasar normal
Garis B = Garis tengah menggunakan garis dasar lurus
Dengan melihat Gambar 10, maka untuk untuk penerapan garis dasar lurus, Provinsi Bali dapat mengklaim
wilayah maritim yang lebih luas pada daerah timur laut dari Pulau Nusa Penida yaitu dengan cakupan
koordinat 8o34’14.22”LS sampai 8o40’03.90”LS dan 115o46’35.01”BT sampai 115o43’35.71”BT. Hal ini
disebabkan karena adanya garis dasar lurus yang menghubungkan pulau Bali dan pulau Nusa Penida yang
jaraknya kurang dari 12 mil laut yang merupakan pangkal dari penarikan batas wilayah maritim Provinsi
Bali. Sebagai imbasnya, maka klaim wilayah maritim dari Provinsi NTB pada daerah tersebut berkurang
bila dibandingkan dengan penerapan garis dasar normal.
Untuk Provinsi NTB, penerapan jenis garis dasar lurus membuat provinsi ini dapat mengklaim wilayah
maritimnya lebih luas pada daerah barat daya dari Gili Trawangan dengan cakupan koordinat
8o23’24.43”LS sampai 8o27’45.98”LS dan 115o51’24.97”BT sampai 115o51’35.68”BT (walaupun tidak
seluas keuntungan klaim dari Provinsi Bali sebelumnya) dan sebaliknya bagi Provinsi Bali, klaim wilayah
maritim pada daerah tersebut berkurang bila dibandingkan dengan penerapan garis dasar normal. Meski
demikian, adil tidaknya hasil dari suatu penentuan batas secara kartometrik ini tergantung pada persetujuan
dan kesepakatan dari kedua provinsi yang bersangkutan. Pada akhirnya, kesepakatan batas maritim akan
dicapai melalui negosiasi oleh kedua pemerintah provinsinya tersebut.
7.2. Saran
1. Penentuan batas secara kartometrik di atas peta, seyogyanya dilanjutkan dengan pekerjaan penegasan
batas secara pasti di lapangan terutama untuk pengukuran titik-titik dasar.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai perbandingan hasil penentuan batas antara perangkat lunak CARIS
LOTS dengan perangkat lunak yang lainnya.
3. Perlu dilakukan kajian mengenai implementasi penetapan dan penegasan batas maritim terkait dengan
pemberlakuan otonomi daerah, misalnya dikaitkan dengan penentuan luas daerah dalam rangka
perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU).
9. Daftar Pustaka
-----------, 2001, PCI Geomatics Manuals, Richmond Hill, Ontario, Kanada.
-----------, 2003, Advanced CARIS LOTS Limits and Boundaries, Caris Training Manual, Kanada.
-----------, 2004, Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
-----------, 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penegasan Batas
Daerah.
Abidin, 2001, “Beberapan Pemikiran Tentang Penetapan dan Penegasan Batas di Laut”, Geo-Informatika,
Vol. 8 No. 2-3, November 2001.
Amhar, Patmasari, dan Kencana, 2001, “Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Sebuah Tinjauan
Komprehensif”, Geo-Informatika, Vol. 8 No. 1, Agustus 2001.
Arsana, 2005, “Menetapkan Wilayah Laut Daerah”, Suara Pembaruan-Opini, 6 Juli 2005,
http://www.suarapembaruan.co.id/News/2005/07/06/Editor/edit03.htm, diakses 14 September 2006.
Handoko dan Abidin, 2002 “Analisis Transformasi Datum dari Datum Indonesia 1974 ke Datum Geodesi
Nasional 1995”, Jurnal Surveying dan Geodesi, Vol.XII No.3, September 2002.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bali, diakses 20 September 2006.
http://www.ntb.go.id , diakses 20 September 2006.
Rais, J., 2003, “Studi Kasus Batas Wilayah Laut antara Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bangka-
Belitung”, Seri Reformasi Hukum, Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003.
Rosalina, 2003, Kabupaten Lombok Barat, Kompas, 03 April 2003, http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0304/03/otonomi/235374.htm, diakses 27 September 2006.