Anda di halaman 1dari 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/238740859

Delimitasi Batas Maritim antara Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat

Article

CITATIONS READS

0 268

4 authors, including:

Andi Arsana
Gadjah Mada University
13 PUBLICATIONS   23 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

GPS Programming View project

All content following this page was uploaded by Andi Arsana on 28 January 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Delimitasi Batas Maritim antara Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat:
Sebuah Kajian Teknis

I Gede Pasek Sutrana Adnyana1


igedde@yahoo.co.id

I Made Andi Arsana1


madeandi@ugm.ac.id

Sumaryo1
sumaryo@ugm.ac.id

1
Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM
Jl. Grafika No 2 Yogyakarta
http://www.geodesi.ugm.ac.id

Abstrak

Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang “Pedoman
Penegasan Batas Daerah” yang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka pekerjaan delimitasi batas wilayah maritim antara provinsi di Indonesia harus
berpedoman pada Peraturan Menteri tersebut. Penetapan batas maritim penting dilakukan karena berkaitan
erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di laut. Ketentuan ini juga
berlaku untuk Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan batas-batas dan cakupan kewenangan wilayah laut Provinsi Bali
dan Provinsi NTB di Selat Lombok yang dilakukan secara kartometrik. Dalam penelitian ini terlebih dahulu
dilakukan penentuan jenis garis dasar yang digunakan sebagai awal penarikan klaim maritim, kemudian
dilakukan simulasi penarikan klaim sejauh 12 mil laut dari masing-masing provinsi. Dengan melakukan
simulasi ini, maka diketahui terjadinya pertampalan klaim, baru kemudian dilakukan penentuan batas
maritim kedua provinsi dengan prinsip garis tengah (median line).

Kajian ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah
masing-masing provinsi dalam menentukan batas kewenangan wilayah di laut. Batas-batas provinsi yang
telah jelas dan pasti serta berkekuatan hukum juga diharapkan dapat menghindari adanya konflik perebutan
sumberdaya alam pada lokasi pertampalan klaim maritim pada provinsi yang bersangkutan.

Kata kunci: batas maritim, delimitasi, permendagri No.1/2006

1. Pendahuluan
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka
daerah mempunyai wewenang yang relatif lebih luas dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian
lingkungan yang berada di wilayah lautnya. Dalam hal ini batas daerah di laut menjadi bernilai strategis
sehingga penentuan dan penegasan batas daerah di laut juga menjadi semakin penting (Abidin, 2001).
Namun pada kenyataannya, UU No. 22/1999 dianggap tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti dengan undang-
undang yang baru. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam UU No 22/1999 rawan terjadi salah interpretasi oleh daerah karena UU tersebut menyatakan bahwa
provinsi terdiri dari wilayah daratan dan wilayah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai (Pasal 3).
Ini adalah definisi membagi “teritori” bahwa ada laut provinsi dan laut kabupaten/kota sehingga dapat
memicu konflik perebutan sumber daya alam di laut. Padahal yang dimaksud adalah mengatur kewenangan
provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini kemudian disempurnakan dalam UU No. 32/2004 Pasal 18 dengan
menyebutkan istilah ”kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut”. Kewenangan ini
hanya berlaku untuk mengelola sumber daya laut, bukan untuk menguasai secara penuh wilayah laut seperti
kekuasaan daerah atas wilayah darat (Arsana, 2005).

UU No 32/2004 Pasal 18 ayat (4) menyebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut pada provinsi paling jauh 12 mil laut diukur dari garis dasar ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan dan sepertiganya untuk wilayah kewenangan laut kabupaten/kota. Ditegaskan di sini
bahwa tidak disebutkan 4 mil laut untuk kewenangan laut kabupaten/kota mengingat tidak mungkin bagi
kabupaten/kota mengklaim selebar 4 mil laut apabila provinsinya juga tidak bisa mengklaim wilayah laut
secara penuh hingga 12 mil laut (makna Pasal 18 ayat (5)).

Dengan memperhatikan hal tersebut, maka sangat penting bagi pemerintah daerah masing-masing provinsi
dan kabupaten/kota sebagai pelaksana utama otonomi untuk memahami, mengatur, dan menetapkan
wilayah kewenangannya di laut. Hal ini berkaitan erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumber
daya alam yang terdapat di laut agar dapat dikelola secara maksimal (Arsana, 2005).

Hal ini juga berlaku untuk Provinsi Bali dan Provinsi NTB yang berbatasan langsung di Selat Lombok.
Selat Lombok memiliki potensi bahari yang cukup melimpah dan perlu diperhatikan oleh kedua provinsi.
Selain itu Bali dan Lombok merupakan dua pulau sebagai tujuan pariwisata bahari yang sangat menarik
dan banyak menyedot perhatian baik bagi turis domestik maupun mancanegara (Rosalina, 2003).
Berdasarkan pengukuran awal yang dilakukan di atas peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) lokasi
penelitian, didapat bahwa lebar perairan Selat Lombok adalah kurang dari 24 mil laut. Ini berarti bahwa
masing-masing provinsi tidak dapat mengklaim 12 mil laut tanpa menggangu klaim provinsi lainnya,
sehingga perlu dilakukan delimitasi batas wilayah maritim antara Provinsi Bali dan Provinsi NTB.

Agar seluruh pekerjaan penentuan batas wilayah dilaksanakan secara optimal, maka Menteri Dalam Negeri
mengeluarkan petunjuk teknis yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 (Permendagri
No.1/2006) tentang “Pedoman Penegasan Batas Daerah” yang mengacu kepada UU No 32/2004. Pedoman
inilah yang akan dijadikan petunjuk teknis terbaru di dalam pekerjaan penetapan batas daerah di Indonesia.
Ini mengindikasikan bahwa sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri tersebut, maka setiap provinsi dan
kabupaten/kota yang belum dan akan menentukan batas kewenangan di wilayah laut, harus berpedoman
pada Permendagri No.1/2006. Mengingat provinsi Bali dan NTB belum menetapkan batas maritimnya
maka kajian delimitasi ini menjadi penting dilakukan.

2. Tinjauan Pustaka
Adapun beberapa dasar teori dan landasan hukum yang berkaitan dengan penentuan batas daerah yaitu:
2.1. Penegasan batas daerah
Penegasan batas daerah adalah kegiatan penentuan batas secara pasti di lapangan. Permendagri No.1/2006
pasal 2 menjelaskan bahwa penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah
yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan dan dilakukan dalam rangka
menentukan letak dan posisi batas secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan titik koordinat batas
di atas peta. Batas daerah merupakan pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan
daerah lain. Batas daerah dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu batas daerah di darat dan batas daerah di laut.

2.1.1. Batas daerah di darat


Dalam Permendagri No.1/2006 pasal 1 ayat (5), batas daerah di darat merupakan pemisah wilayah
administrasi pemerintahan antara daerah yang berbatasan berupa pilar batas ataupun bentuk-bentuk batas
alam (seperti danau, sungai, dan watershed) di lapangan dan daftar koordinat di peta. Secara garis besar,
penegasan daerah di darat terdiri dari 5 (lima) kegiatan yaitu:
a. Penelitian dokumen, bertujuan untuk mengetahui sumber-sumber hukum yang berkaitan dengan batas
daerah di darat.
b. Pelacakan batas, bertujuan untuk menentukan letak batas daerah secara nyata di lapangan berdasarkan
garis batas sementara pada peta melalui kesepakatan bersama.
c. Pemasangan pilar batas, bertujuan untuk menandai batas daerah yang berupa bangunan fisik pilar batas.
d. Pengukuran dan penentuan posisi pilar batas.
e. Pembuatan peta batas dan pengesahan batas daerah yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
2.1.2. Batas daerah di laut
Dalam Permendagri No.1/2006 pasal 1 ayat (6), batas daerah di laut adalah pemisah antara daerah yang
berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dan daftar koordinat di peta yang dalam implementasinya
merupakan batas kewenangan pengelolaan sumber daya di laut. Penentuan batas daerah di laut merupakan
kelanjutan dari pekerjaan penegasan batas daerah di darat di mana suatu daerah tersebut terdiri dari suatu
daratan dan lautannya yang berbatasan langsung dengan daerah lain ataupun yang berbatasan langsung
dengan laut perairan dalam NKRI.

2.2 Dasar hukum penegasan batas daerah


2.2.1. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah ini merupakan UU terbaru yang menggantikan UU No.
22/1999 yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Adapun pasal dalam
UU No. 32/2004 yang berkaitan tentang penegasan batas laut, yaitu :
a. Pasal 18 ayat (1). Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber
daya di wilayah laut.
b. Pasal 18 ayat (2). Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar
dan/atau di dasar laut sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
c. Pasal 18 ayat (3). Kewenangan mengelola yang dimaksud pada ayat (1) meliputi: Eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, pengelolaan kekayaan laut; Pengaturan administratif; Pengaturan tata ruang; Penegakan
hukum; Ikut serta memelihara keamanan; Ikut serta mempertahankan kedaulatan negara.
d. Pasal 18 ayat (4). Batas kewenangan paling jauh bagi provinsi adalah 12 mil, sementara untuk
kabupaten/kota adalah sepertiganya.
e. Pasal 18 ayat (5). Apabila jarak antar provinsi kurang dari 24 mil, maka kewenangan mengelola dibagi
sama jarak atau dengan prinsip garis tengah (median line) untuk kabupaten/kota adalah sepertiga
kewenangan provinsi.

2.2.2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006


Permendagri No.1/2006 tentang “Pedoman Penegasan Batas Daerah” ini merupakan petunjuk teknis untuk
penegasan batas yang mengacu pada UU No. 32/2004. Pasal-pasal pada Permendagri No.1/2006 yang
terkait tentang penegasan batas laut antara lain :
a. Pasal 1 ayat (6). Batas daerah di laut adalah pemisah antara daerah yang berbatasan berupa garis khayal
(imajiner) di laut dan daftar koordinat di peta yang dalam implementasinya merupakan batas kewenangan
pengelolaan sumber daya di laut.
b. Pasal 15 ayat (2). Pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
1. Batas antara dua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berdampingan seperti pada
Gambar 1, diukur mulai dari titik batas sekutu pada garis pantai antara kedua daerah provinsi, daerah
kabupaten dan daerah kota kearah laut yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak.

Gambar 1. Prinsip sama jarak (Permendagri No.1, 2006).

2. Batas antara dua daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 24 mil laut seperti
pada Gambar 2, diukur berdasarkan prinsip garis tengah.
Gambar 2. Prinsip garis tengah (Permendagri No.1, 2006).

3. Batas antara dua daerah kabupaten dan daerah kota dalam satu daerah provinsi yang saling berhadapan
dengan jarak kurang dari 8 mil laut, diukur berdasarkan prinsip garis tengah.
4. Batas wilayah laut pulau kecil yang berada dalam satu daerah provinsi dan jaraknya lebih dari dua kali 12
mil laut seperti pada Gambar 3, diukur secara melingkar dengan lebar 12 mil laut. Hasil pengukuran dan
penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan daftar
koordinat titik batas daerah di wilayah laut.

Gambar 3. Pulau kecil berjarak lebih dari 24 mil (Permendagri No.1, 2006).

2.4. Penentuan batas secara kartometrik


Penentuan batas secara kartometrik dilakukan di atas peta. Berdasarkan Permendagri No.1/2006, peta dasar
yang digunakan adalah peta laut dan peta LLN skala 1:500.000 untuk batas provinsi, dan peta laut dan peta
LPI skala 1:50.000 untuk batas daerah kabupaten dan kota.

Karena skalanya yang kecil, maka garis pantai di peta dianggap sama dengan garis pantai pada surut
rendah, sehingga dapat dipilih titik-titik dasar pada peta yang berupa titik-titik yang menonjol (salient
points) pada kedua sisi masing-masing provinsi. Hasil peta batas secara kartometrik ini digunakan sebagai
peta kerja jika survei dan penegasan batas dilakukan di lapangan. Dalam istilah Bahasa Inggris disebut juga
“Survey and Delimitation” yaitu pengukuran batas di atas peta, sedangkan “Survey and Demarcation”
adalah pengukuran batas di lapangan dan menempatkan tanda batas (mark) di lapangan yang umumnya
berupa pilar beton yang kokoh (Rais, 2003).

Seandainya seluruh wilayah Indonesia harus dipetakan dengan akurat, misalnya lekukan pantai dengan
foto udara atau citra satelit, air surut terendah dengan data pasut dan batimetri, maka akan diperlukan
waktu yang sangat lama dan biaya yang sangat besar. Jadi langkah awal adalah pengukuran kartometrik
menggunakan peta-peta yang sudah ada (Amhar dkk., 2001).

Adapun tahap-tahap dalam melakukan pekerjaan penetapan batas daerah di laut secara kartometrik
berdasarkan Permendagri No.1/2006 yaitu :
1. Menyiapkan Peta-peta Laut, Peta Lingkungan Laut Nasional (Peta LLN) dan Peta Lingkungan Pantai
Indonesia (Peta LPI).
2. Menelusuri secara cermat cakupan daerah yang akan ditentukan batasnya dengan memperhatikan garis
pantai yang ada. Mempelajari kemungkinan penerapan garis dasar normal dan garis dasar lurus dengan
memperhatikan panjang maksimum yakni 12 mil laut.
3. Memberi tanda rencana titik awal yang akan digunakan untuk penarikan garis normal dan garis dasar
lurus.
4. Melihat peta laut dengan skala terbesar yang terdapat pada daerah tersebut, kemudian membaca dan
mencatat titik awal dengan melihat angka lintang dan bujur yang terdapat pada sisi kiri dan atas atau sisi
kanan dan bawah dari peta yang digunakan.
5. Mengeplot dalam peta titik-titik awal yang diperoleh dan menghubungkan titik-titik dimaksud untuk
mendapatkan garis dasar lurus yang tidak lebih dari 12 mil laut.
6. Menarik garis sejajar dengan garis dasar yang berjarak 12 mil laut atau sepertiganya.
7. Batas daerah di wilayah laut tergambar beserta daftar koordinatnya.
8. Membuat peta batas daerah di laut lengkap dengan daftar koordinatnya yang akan ditandatangani oleh
Menteri Dalam Negeri.

Rais (2003) dalam studi kasusnya mengenai batas wilayah laut antara Provinsi Sumatera Selatan dan
Provinsi Bangka-Belitung mengemukakan bahwa batas maritim perlu ditetapkan mengingat lebar Selat
Bangka kurang dari 24 mil laut. Karena posisi pantainya berhadapan (opposite), maka penentuan batas laut
menggunakan prinsip garis tengah (median line). Tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai jenis garis
dasar yang gunakan sebagai acuan penarikan batas, namun apabila dilihat dari peta batas yang dihasilkan,
maka jenis garis dasar dalam studi kasus ini adalah garis dasar lurus.

3. Kedudukan Geografis Wilayah penelitian


Penelitian dilakukan pada daerah Selat Lombok dengan lokasi geografis antara 08o08’ LS-09 o02’ LS dan
115o30’ BT-116o06’ BT yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Lokasi penelitian (Peta Ms. Encarta)

Provinsi Bali terletak antara 8°03’40”LS - 8°50’48”LS dan 114°25’53”BT - 115°42’40”BT membuatnya
beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Wilayahnya di utara berbatasan dengan Laut Jawa, di
selatan dengan Samudera Hindia, di timur dengan Selat Lombok, dan di barat dengan Selat Bali. Luas
keseluruhan kawasan daratan Bali adalah 5.632,86 km2. Pulau Bali merupakan bagian dari Kepulauan
Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Gunung Agung adalah
titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Tempat-tempat penting di Bali yaitu Ubud sebagai pusat seni
terletak di Kabupaten Gianyar; sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa
tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Bali).

Provinsi NTB terletak antara 8°5’LS-9°5’LS dan 115°45’BT-119°10’BT. Wilayahnya di utara berbatasan
dengan Laut Jawa, di selatan dengan Samudera Hindia, di timur dengan Selat Sepadan dan di barat dengan
Selat Lombok. Luas wilayah keseluruhan adalah 49.312,11 km2 yang terdiri atas daratan 20.153,07 km2
dan lautan 29.159,04 km2. Provinsi NTB memiliki dua buah pulau besar yaitu Pulau Lombok dengan luas
wilayah daratan 4.738,70 km2 (23,51%) dan Pulau Sumbawa 15.414,37 km2 (76,49%). Selong merupakan
kota yang mempunyai ketinggian paling tinggi, yaitu 148 m dari permukaan laut sementara Raba terendah
dengan 13 m dari permukaan laut. Provinsi NTB dikelilingi ratusan pulau kecil. Beberapa dari pulau-pulau
tersebut menjadi tujuan pariwisata yang telah terkenal seperti Gili Air, Gili Meno, Gili Trawangan dan
Pulau Moyo (http://www.ntb.go.id).

4. Data dan Perangkat Lunak


Data yang digunakan pada penelitian ini adalah peta LLN analog. Penggunaan peta LLN ini sesuai dengan
Permendagri No.1/2006 tentang “Pedoman Penegasan Batas Daerah”, yang menyatakan bahwa peta yang
digunakan dalam penentuan batas wilayah maritim untuk provinsi adalah peta LLN Skala 1:500.000. Peta
LLN ini diperoleh dari Pusat Pelayanan Informasi Kebumian (PPIK) yang merupakan salah satu outlet
resmi Bakosurtanal. Adapun spesifikasi dari peta LLN lokasi penelitian yaitu sebagai berikut :
1. Judul utama : Bali (termasuk Jawa Timur dan NTB)
2. Nomor peta : Peta LLN - 17
3. Skala : 1:500.000
4. Datum Horizontal : ID-1974
5. Datum Vertikal : Muka Laut di Tanjung Priok Jakarta
6. Sistem koordinat : Geografis dan UTM

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :


1. Geographic Calculator 2.06 untuk transformasi datum yang diperoleh dari jurusan Teknik Geodesi dan
Geomatika FT UGM.
2. CARIS LOTS Limits and Boundariesi 4.0 Service Pack 5 untuk analisis dan penentuan batas kewenangan
wilayah laut yang diperoleh dari UNSW, Australia.

Adapun fitur-fitur penting pada perangkat lunak CARIS LOTS yang banyak dimanfaatkan untuk tahapan
proses penarikan batas (Anonim, 2003), yaitu:
1. Fitur untuk melakukan impor berbagai macam jenis data masukan
2. Fitur untuk melakukan proses registrasi atau georeferensi peta
3. Fitur untuk melakukan simulasi klaim maritim sejauh 12 mil laut baik menggunakan jenis garis dasar
normal maupun garis dasar lurus
4. Fitur untuk melakukan penarikan garis tengah (median line) terhadap suatu kondisi garis pantai yang
berhadapan maupun berdampingan
5. fitur untuk menampilkan titik-titik koordinat suatu garis dengan interval tertentu
6. fitur untuk melakukan perhitungan luas suatu area
7. fitur untuk mengetahui jarak lurus antara dua titik

5. Metode dan Pelaksanaan Penelitian


Delimitasi batas maritim yang dilakukan pada penelitian ini hanyalah sebatas kajian melakukan penentuan
batas secara kartometrik di atas peta dengan perangkat lunak yang telah disebutkan di atas. Adapun tahap-
tahap pelaksanaan penelitian ini dijelaskan dalam sub bab sebagai berikut :

5.1 Konversi data analog ke digital (penyiaman)


Karena seluruh proses pengolahan data akan dilakukan secara digital dengan menggunakan perangkat
komputer, maka peta LLN analog (ukuran A0) tersebut harus dikonversi terlebih dahulu menjadi data
digital. Alat yang digunakan untuk mengkonversi adalah scanner A0 dengan resolusi penyiaman 300 dpi
(dot per inch). Hasil dari proses penyiaman ini disimpan dalam format data raster tiff.

5.2. Proses transformasi datum dan georeferensi


Gambar raster berformat tiff hasil penyiaman tersebut masih dalam koordinat monitor atau piksel. Dalam
hal ini diperlukan proses georeferensi untuk membawa gambar raster ini kembali ke sistem koordinatnya
semula yaitu sistem koordinat tanah. Pada proses georeferensi ini, dibutuhkan titik-titik kontrol tanah
(Ground Control Points) sebagai titik-titik sekutu antara gambar raster hasil penyiaman dengan peta LLN
analog untuk mewakilkan titik-titik di lapangan. Untuk memudahkan identifikasi pembacaan koordinat
tanah pada peta LLN, maka titik-titik kontrol tanah yang digunakan sebagai titik-titik sekutu adalah titik-
titik yang terletak pada perpotongan grid peta. Semakin banyak titik-titik kontrol tanah, maka hasil
transformasi akan semakin baik.
Mengingat titik-titik kontrol tanah tersebut masih berada pada sistem Indonesia Datum 1974 (ID-74),
sementara hasil akhir yang akan diperoleh nantinya adalah koordinat batas dalam sistem DGN-95 (elipsoid
referensi WGS-84, sesuai dengan spesifikasi teknis Permendagri No.1/2006), maka sebelum proses
georeferensi terlebih dahulu dilakukan pekerjaan transformasi datum ke dalam sistem DGN-95 untuk titik-
titik kontrol yang dipilih.
Perangkat lunak yang digunakan untuk transformasi datum ini adalah Geographic Calculator versi 2.06.
Titik-titik kontrol tanah yang telah dipilih kemudian ditransformasikan satu persatu kedalam sistem DGN-
95. Setelah proses transformasi datum, dilanjutkan dengan melakukan proses georeferensi dengan
menggunakan titik-titik kontrol tanah dalam sistem DGN-95 yang baru tersebut dengan perangkat lunak
CARIS LOTS. Hasil akhir dari proses georeferensi ini adalah gambar raster peta LLN yang telah memiliki
koordinat tanah (data geoTIFF).

5.3. Vektorisasi lokasi penelitian


Proses vektorisasi ini adalah pekerjaan membuat format data vektor dari lokasi penelitian. Pekerjaan ini
bertujuan agar data geoTIFF yang berformat raster di atas mempunyai format data vektor yang nanti
dipakai untuk proses selanjutnya. Proses vektorisasi ini dilakukan dengan cara digitasi garis pantai Provinsi
Bali dan NTB secara on-screen (pada layar monitor). Format data vektor dipilih karena memiliki kelebihan
selain ruang penyimpanannya yang relatif kecil, berbagai macam pekerjaan baik editing, manipulasi,
maupun simulasi untuk penentuan batas daerah dapat dilakukan dengan lebih cepat.

5.4. Penentuan titik dasar (Basepoint)


Pemberian titik-titik dasar pada peta dilakukan di sepanjang garis pantai pada Provinsi Bali dan Provinsi
NTB (Pulau Lombok) pada lokasi penelitian di mana titik-titik dasar tersebut dapat dikatakan mewakili
batas paling terluar dari provinsi yang bersangkutan. Titik-titik dasar tersebut digunakan sebagai rencana
awal untuk penarikan garis dasar.

5.5. Penentuan garis dasar (Baseline)


Penentuan garis dasar dilakukan untuk menentukan jenis garis dasar yang digunakan sebagai acuan
penarikan batas maritim antara ke dua provinsi. Seperti dalam Permendagri No.1/2006, definisi garis dasar
adalah garis yang menghubungkan dua titik awal dan terdiri dari garis dasar lurus dan garis dasar normal.
Garis dasar lurus adalah garis lurus yang menghubungkan dua titik awal berdekatan dan berjarak tidak
lebih dari 12 mil laut sedangkan garis dasar normal adalah garis antara dua titik awal yang berhimpit
dengan garis pantai

Untuk penentuan garis dasar pada penelitian ini, diambil dua alternatif kemungkinan pemilihan garis dasar
yang dapat diterapkan untuk kedua provinsi yaitu :

a. Garis dasar normal


Pemilihan jenis garis dasar ini didasari pertimbangan bahwa kedua provinsi belum pernah
mendeklarasikan secara umum jenis garis dasarnya, sehingga dapat diasumsikan bahwa penentuan batas
maritim antara kedua provinsi menggunakan garis dasar normal sebagai acuan penarikan batasnya. Garis
dasar normal yang diplot adalah berhimpit dengan garis pantai di peta maka titik dasar ada di sepanjang
garis pantai.

b. Garis dasar lurus


Pemilihan jenis garis dasar ini didasari pada kenyataan bahwa kedua provinsi ini memiliki beberapa
pulau-pulau kecil sebagai batas terluar provinsinya. Karena jarak pulau-pulau terkecil tersebut adalah
kurang dari 12 mil laut, maka dapat diterapkan jenis garis dasar lurus yaitu dengan memperhatikan
panjang maksimal 12 mil laut tersebut. Untuk garis dasar lurus, dibutuhkan titik dasar-titik dasar yang
terletak di setiap ujung dan pangkal tiap segmen garis dasar lurus tersebut. Maka untuk alternatif ini
dibutuhkan banyak plotting titik-titik dasar sebagai langkah awal sebelum menarik garis dasar lurus.

5.6. Simulasi klaim maritim


Setelah menentukan garis dasar yang digunakan maka proses selanjutnya adalah melakukan simulasi untuk
mengklaim wilayah maritim sejauh 12 mil laut ke arah Selat Lombok pada masing-masing provinsi.
Dengan melakukan simulasi klaim maritim sejauh 12 mil laut, maka akan diketahui sejauh mana tumpang
tindih yang terjadi. Langkah berikutnya adalah melakukan perhitungan luas pertampalan klaim wilayah
maritim yang terjadi secara numeris.
5.7. Penentuan batas provinsi
Penentuan (delimitasi) batas provinsi dilakukan karena terjadi overlapping atau tumpang tindih atas
wilayah maritim yang mungkin diklaim masing-masing provinsi di Selat Lombok. Dengan melakukan
simulasi wilayah maritim sejauh 12 mil laut, maka akan diketahui sejauh mana tumpang tindih yang terjadi
untuk selanjutnya melakukan delimitasi batas maritim antara kedua provinsi ini. Penentuan batas dilakukan
sesuai dengan Permendagri No.1/2006 yaitu dengan prinsip garis tengah atau median line karena kondisi
garis pantai yang saling berhadapan (opposite) dengan jarak kurang dari 24 mil laut. Penentuan batas ini
dilakukan dengan dua kondisi garis dasar yang berbeda yaitu penerapan untuk garis dasar normal dan garis
dasar lurus.

6. Hasil dan Pembahasan


Pada bab ini disajikan hasil-hasil yang telah dicapai dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap
pelaksanaan berikut dengan pembahasan dan analisa pada hasil yang diperoleh.

6.1. Penyiaman
Proses penyiaman pada peta LLN analog untuk menjadikannya sebagai data digital dilakukan dengan alat
scanner Xerox A0 dengan resolusi 300 dpi dimana resolusi piksel dapat dicari dengan perhitungan
sederhana sebagai berikut (Anonim, 2001):

Resolusi piksel = angka skala peta


resolusi penyiaman
Jika diketahui skala peta LLN adalah 1:500000, resolusi penyiaman yaitu 300 dpi, dan 1 inci sama dengan
2.54 cm, maka :
500000
Nilai resolusi piksel adalah =
300
= 1666,67 inci
= 42,333418 m
≈ 42 m

Jadi dapat dikatakan bahwa dalam bentuk digital, setiap piksel peta memiliki resolusi 42 m. Nilai resolusi
piksel ini akan dikaitkan hubungannya dengan nilai residu hasil proses georeferensi. Setelah menjadi data
digital dalam format data raster berekstensi tif, kemudian dilakukan proses pemilihan (cropping) pada
liputan area penelitian agar format data raster memiliki ruang penyimpanan yang relatif lebih kecil
(menghemat memori) pada komputer. Selain itu ukuran file yang lebih kecil juga dapat mempercepat
proses pengolahan data pada tahap-tahap selanjutnya dengan perangkat lunak yang sesuai.

6.2. Transformasi Datum dan Georeferensi


Untuk proses georeferensi, pemberian titik-titik kontrol sebagai titik-titik sekutu antara gambar raster hasil
pnyiaman dengan peta LLN analog adalah sebanyak 9 (sembilan) buah titik kontrol yang terletak pada
perpotongan grid peta. Karena titik-titik kontrol tersebut masih dalam sisterm ID-74, maka terlebih dahulu
dilakukan transformasi datum ke dalam sistem yang baru yaitu sistem DGN-95 (elipsoid referensi WGS-
84). Berikut disajikan koordinat titik-titik kontrol dalam sistem ID-74 dan sistem DGN-95.

Tabel 1. Titik kontrol dalam sistem ID-74 dan sistem DGN-95


No. Titik Sistem ID-74 Sistem DGN-95
Kontrol Lintang (ϕ) Bujur (λ) Lintang (ϕ) Bujur (λ)
1 9o30’00”S 113 o40’00”E 9o29’59.96”S 113o40’0.93”E
2 9 o30’00”S 115 o00’00”E 9o29’59.96”S 115o00’0.94”E
o o o
3 9 30’00”S 116 50’00”E 9 29’59.95”S 116o50’0.95”E
o o o
4 8 30’00”S 116 50’00”E 8 29’59.94”S 116o50’0.95”E
o o o
5 8 30’00”S 115 00’00”E 8 29’59.95”S 115o00’0.93”E
o o o
6 8 30’00”S 113 40’00”E 8 29’59.95”S 113o40’0.92”E
o o o
7 7 30’00”S 113 40’00”E 7 29’59.94”S 113o40’0.92”E
o o o
8 7 30’00”S 115 00’00”E 7 29’59.94”S 115o00’0.93”E
o o o
9 7 30’00”S 116 50’00”E 7 29’59.94”S 116o50’0.95”E
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa titik-titik tersebut tidak mengalami perubahan posisi yang signifikan
karena perubahan koordinat yang terjadi hanya bergesar < 1” (kurang dari satu detik). Hal ini disebabkan
karena pusat koordinat atau origin kedua datum (ID-74 dan DGN-95) relatif dekat sehingga faktor translasi
relatif kecil dengan ∆X = -19,743 m, ∆Y = -9,860 m dan ∆Z = -13,589 m (Handoko dan Abidin, 2002)
sedangkan faktor rotasi dan skala dapat diabaikan. Setelah titik-titik kontrol tersebut berada dalam sistem
DGN-95, maka proses selanjutnya adalah melakukan georeferensi menggunakan perangkat lunak CARIS
LOTS. Adapun tabel nilai residu yang terjadi pada hasil proses georeferensi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai residu titik kontrol antara koordinat yang belum teregistrasi
dan yang telah teregistrasi
Unregistered CPs Registered CPs Residuals
No
x y Latitude longitude xr yr mean
1 0.013067 0.022820 9-29-59.96S 113-40-0.93E 0.8476961702108 -4.568923351588 2.708309760899
2 0.145864 0.023787 9-29-59.96S 115-00-0.94E -6.151251466945 12.86076533166 9.506008399301
3 0.327763 0.025706 9-29-59.95S 116-50-0.95E 5.321156229824 -8.339586274233 6.830371252028
4 0.328483 0.126144 8-29-59.94S 116-50-0.95E -6.873251561075 7.653146463679 7.263199012377
5 0.146200 0.124197 8-29-59.95S 115-00-0.93E 3.39388798736 -4.352294847718 3.873091417539
6 0.013141 0.123174 8-29-59.95S 113-40-0.92E 3.446444639936 -3.209488307475 3.327966473706
7 0.013145 0.223488 7-29-59.94S 113-40-0.92E -4.270552232862 7.726054570172 5.998303401517
8 0.146467 0.224564 7-29-59.94S 115-00-0.93E 2.715800195932 -8.416745925322 5.566273060627
9 0.329108 0.226571 7-29-59.94S 116-50-0.95E 1.570070039481 0.647072340944 1.108571190212

Dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa nilai rata-rata (mean) residu yang terjadi antara 1,108 sampai 9,506
meter. Nilai residu ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan yaitu akibat salah pengeplotan posisi
pada titik-titik belum teregistrasi atau bisa diakibatkan karena proses penyiaman yang kurang tegak lurus
pada peta analog sebelumnya sehingga gambar raster yang dihasilkan sedikit miring walaupun tidak dapat
dilihat oleh mata.

Jika dikaitkan dengan nilai resolusi piksel = 42 m, maka nilai residu antara 1,108 m sampai 9,506 m adalah
sangat kecil (kurang dari 1 piksel) sehingga tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Jika dicetak pada
peta analog dengan skala kecil yaitu 1:500.000 dimana 0,1 mm di peta sama dengan 50 m di lapangan
maka perubahan yang tampak juga tidak terlalu signifikan sehingga nilai residu yang terjadi masih masuk
dalam toleransi. Hasil akhir dari proses georeferensi ini adalah gambar raster peta LLN yang telah memiliki
koordinat geodetik (data geoTIFF).

6.3. Penentuan titik dasar


Setelah proses vektorisasi lokasi penelitian, maka dilanjutkan dengan pemberian titik-titik dasar pada peta
di sepanjang garis pantai Provinsi Bali dan Provinsi NTB (Pulau Lombok) pada lokasi penelitian di mana
titik-titik dasar tersebut dapat mewakili batas terluar dari kedua provinsi yang bersangkutan. Pemberian
titik-titik dasar dilakukan terhadap penerapan jenis garis dasar lurus dengan titik dasar yang terletak di
setiap ujung dan pangkal pada tiap segmen garis dasar lurus. Sementara untuk penerapan jenis garis dasar
normal tidak diperlukan pemberian titik-titik dasar karena garis dasar normal mewakili garis pantai yang
didigitasi.

Penentuan titik-titik dasar dilakukan pada garis pantai Provinsi Bali bagian timur dan Provinsi NTB bagian
barat. Hasil dari penentuan titik-titik dasar ini yaitu untuk Provinsi Bali menggunakan 41 titik-titik dasar
sedangkan untuk Provinsi NTB menggunakan 25 titik-titik dasar sebagai langkah awal penarikan garis
dasar lurus.

6.4. Penarikan garis dasar (Baseline)


Hasil dari penarikan garis dasar ini dapat dilihat dari dua garis dasar yang digunakan yaitu:
a. Penarikan garis dasar normal (Normal baseline)
Karena garis dasar normal adalah garis yang berhimpit dengan garis pantai maka penarikan garis dasar
normal ini telah dilakukan seiring dengan pendigitasian garis pantai pada tahap vektorisasi sebelumnya
sehingga tinggal melakukan simulasi klaim maritim masing-masing provinsi.
b. Penarikan garis dasar lurus (Straight baseline)
Penarikan jenis garis dasar ini dilakukan setelah pemberian titik-titik dasar pada sepanjang garis pantai
lokasi penelitian yaitu dengan memperhatikan panjang maksimal garis dasar lurus adalah 12 mil laut
(definisi garis dasar lurus dalam Permendagri No.1/2006). Karena garis dasar lurus membutuhkan titik
dasar yang terletak di setiap ujung dan pangkal pada tiap segmen garis dasar lurus tersebut, maka
penarikan garis dasar lurus ini dilakukan dengan cara menghubungkan secara berurutan titik-titik dasar
yang berdekatan.

6.5. Simulasi klaim maritim dan perhitungan luas pertampalan klaim maritim
Simulasi klaim maritim pada penelitian ini berasumsi bahwa kedua provinsi dapat mengklaim wilayah
maritimnya secara penuh yaitu sejauh 12 mil laut (berdasarkan Permendagri No.1/2006) ke arah Selat
Lombok tanpa mempertimbangkan garis klaim tersebut melewati daratan provinsi di sekitarnya. Namun
karena terjadi pertampalan klaim antara kedua provinsi, maka dilakukan delimitasi batas maritim yaitu
dengan prinsip garis tengah. Simulasi klaim maritim secara penuh 12 mil laut yang dilakukan pada masing-
masing provinsi bertujuan untuk mengetahui adanya pertampalan klaim wilayah maritim yang terjadi. Hasil
dari simulasi klaim ini berupa dua alternative yang berbeda dari dua penerapan jenis penarikan garis dasar
yang digunakan yaitu garis dasar normal dan garis dasar lurus.

a. Simulasi klaim untuk penerapan garis dasar normal


Simulasi klaim dengan garis dasar normal adalah klaim wilayah maritim dimulai atau berpangkal dari
garis dasar normal tersebut. Penarikan klaim maritim dilakukan pada pulau-pulau terluar yang mewakili
batas paling luar sebuah provinsi. Pertampalan daerah maritim yang terjadi dari hasil penarikan klaim
wilayah maritim pada kedua provinsi disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Daerah pertampalan (diarsir) yang terjadi untuk penerapan garis dasar normal

b. Simulasi klaim untuk penerapan garis dasar lurus


Simulasi klaim dengan garis dasar normal adalah penarikan klaim wilayah maritim dimulai atau
berpangkal dari garis dasar lurus tersebut. Garis dasar lurus menghubungkan titik-titik terluar suatu
provinsi dengan panjang maksimal 12 mil laut. Penarikan klaim wilayah maritim adalah sejauh 12 mil
laut dari garis dasar lurus kedua provinsi. Pertampalan daerah maritim yang terjadi dari hasil penarikan
klaim wilayah maritim pada ke dua provinsi disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Daerah pertampalan (diarsir) yang terjadi untuk penerapan garis dasar lurus

Dengan melihat perbandingan antara Gambar 5 dan Gambar 6, maka tidak mudah mengidentifikasi
perbedaan luas diantara keduanya. Perbedaan akan diketahui dengan melakukan perhitungan luas terhadap
masing-masimg kawasan pertampalan

c. Perhitungan luas pertampalan klaim maritim


Secara numeris dapat diidentifikasi bahwa kawasan pertampalan klaim maritim yang terjadi antara
Provinsi Bali dan Provinsi NTB berbantuk memanjang dari 8o14’34,09”LS sampai 8o58’50,25”LS
dengan lebar maksimal pertampalan adalah dari 115o38’24,41”BT sampai 115o48’50,18”BT. Karena
koordinat titik-titik batas kawasan pertampalan telah diketahui, maka perhitungan luas pertampalan klaim
maritim dapat dilakukan dengan metode numeris yaitu dengan koordinat. Dapat dibandingkan hasil luas
pertampalan klaim yang terjadi yaitu 1021,36 km2 atau 297,78 ml2 (mil laut persegi) untuk penerapan
garis dasar normal dan 1035,45 km2 atau 301,88 ml2 untuk penerapan garis dasar lurus. Perbedaan luasan
sebesar 14,09 km2 atau 4,1 ml2 disebabkan karena klaim wilayah maritim menggunakan garis dasar lurus
maka batas klaim maritim akan lebih jauh dari daratan ke arah laut bila dibandingkan dengan
menggunakan garis dasar normal. Bisa dikatakan bahwa adanya pulau-pulau kecil di sekitar pulau utama
yang berjarak kurang dari 12 mil laut akan menguntungkan bagi sebuah provinsi dalam hal penarikan
klaim wilayah maritim karena dapat menerapkan jenis garis dasar lurus. Adapun selisih luasan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 7 yang ditunjukkan dengan tanda panah.

Gambar 7. Selisih luas pertampalan klaim maritim (diarsir)


6.6. Penentuan batas provinsi
Penentuan batas provinsi dilakukan dengan prinsip garis tengah atau median line karena kondisi garis
pantai yang saling berhadapan (opposite) dengan jarak kurang dari 24 mil laut (Permendagri No.1/2006
pasal 15 ayat (2)). Hasil dari penentuan batas antara Provinsi Bali dan NTB dapat dilihat dari dua
penerapan jenis garis dasar yang digunakan yaitu pada Gambar 8 dan Gambar 9. Adapun perbandingan
garis tengah yang terjadi dengan menggunakan garis dasar normal dan garis dasar lurus disajikan pada
Gambar 10.

Gambar 8. Penentuan batas untuk penerapan garis dasar normal

Gambar 9. Penentuan batas untuk penerapan garis dasar lurus


Prov.
Bali A
B
Prov.
NTB

A B

Keterangan :
Garis A = Garis tengah menggunakan garis dasar normal
Garis B = Garis tengah menggunakan garis dasar lurus

Gambar 10. Perbandingan garis tengah

Dengan melihat Gambar 10, maka untuk untuk penerapan garis dasar lurus, Provinsi Bali dapat mengklaim
wilayah maritim yang lebih luas pada daerah timur laut dari Pulau Nusa Penida yaitu dengan cakupan
koordinat 8o34’14.22”LS sampai 8o40’03.90”LS dan 115o46’35.01”BT sampai 115o43’35.71”BT. Hal ini
disebabkan karena adanya garis dasar lurus yang menghubungkan pulau Bali dan pulau Nusa Penida yang
jaraknya kurang dari 12 mil laut yang merupakan pangkal dari penarikan batas wilayah maritim Provinsi
Bali. Sebagai imbasnya, maka klaim wilayah maritim dari Provinsi NTB pada daerah tersebut berkurang
bila dibandingkan dengan penerapan garis dasar normal.

Untuk Provinsi NTB, penerapan jenis garis dasar lurus membuat provinsi ini dapat mengklaim wilayah
maritimnya lebih luas pada daerah barat daya dari Gili Trawangan dengan cakupan koordinat
8o23’24.43”LS sampai 8o27’45.98”LS dan 115o51’24.97”BT sampai 115o51’35.68”BT (walaupun tidak
seluas keuntungan klaim dari Provinsi Bali sebelumnya) dan sebaliknya bagi Provinsi Bali, klaim wilayah
maritim pada daerah tersebut berkurang bila dibandingkan dengan penerapan garis dasar normal. Meski
demikian, adil tidaknya hasil dari suatu penentuan batas secara kartometrik ini tergantung pada persetujuan
dan kesepakatan dari kedua provinsi yang bersangkutan. Pada akhirnya, kesepakatan batas maritim akan
dicapai melalui negosiasi oleh kedua pemerintah provinsinya tersebut.

7. Kesimpulan dan Saran


7.1. Kesimpulan
1. Penentuan batas maritim antara Provinsi Bali dan Propinsi NTB adalah dengan prinsip garis tengah
(median line) karena kondisi garis pantainya yang saling berhadapan (opposite) dengan jarak kurang dari
24 mil laut sesuai Permendagri No.1/2006.
2. Penerapan jenis garis dasar cukup berpengaruh terhadap luasan pertampalan klaim wilayah maritim yang
didapat sehingga akan berpengaruh juga terhadap garis batas yang dihasilkan. Untuk provinsi yang
berbentuk kepulauan, penggunaan jenis garis dasar lurus cenderung akan menambah luas klaim wilayah
maritim.
3. Cakupan areal pertampalan klaim maritim antara Provinsi Bali dan NTB adalah memanjang dari
8o14’34,09”LS sampai 8o58’50,25”LS dengan lebar maksimal 115o38’24,41”BT sampai 115o48’50,18”
BT.
4. Luas daerah pertampalan klaim maritim antara Provinsi Bali dan Propinsi NTB untuk penerapan garis
dasar normal adalah 1021,36 km2 atau 297,78 ml2 (mil laut persegi) sedangkan untuk penerapan garis
dasar lurus adalah 1035,45 km2 atau 301,88 ml2.
5. Penerapan garis dasar lurus pada Provinsi Bali adalah menguntungkan karena dapat mengklaim wilayah
maritimnya lebih luas pada daerah timur laut dari Pulau Nusa Penida yaitu dengan cakupan koordinat
antara 8o34’14.22”LS sampai 8o40’03.90”LS dan 115o43’35.71”BT sampai 115o46’35.01”BT.
6. Penerapan garis dasar lurus pada Provinsi NTB adalah menguntungkan karena provinsi ini dapat
mengklaim wilayah maritimnya lebih luas pada daerah barat daya dari Gili Trawangan dengan cakupan
koordinat 8o23’24.43”LS sampai 8o27’45.98”LS dan 115o51’24.97”BT sampai 115o51’35.68”BT.

7.2. Saran
1. Penentuan batas secara kartometrik di atas peta, seyogyanya dilanjutkan dengan pekerjaan penegasan
batas secara pasti di lapangan terutama untuk pengukuran titik-titik dasar.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai perbandingan hasil penentuan batas antara perangkat lunak CARIS
LOTS dengan perangkat lunak yang lainnya.
3. Perlu dilakukan kajian mengenai implementasi penetapan dan penegasan batas maritim terkait dengan
pemberlakuan otonomi daerah, misalnya dikaitkan dengan penentuan luas daerah dalam rangka
perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU).

8. Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Kepala Laboratorium Hidrografi
Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM atas izin pemakaian lab dan segala prasarana yang
mendukung penelitian ini dan juga kepada UNSW Australia atas perangkat lunaknya.

9. Daftar Pustaka
-----------, 2001, PCI Geomatics Manuals, Richmond Hill, Ontario, Kanada.
-----------, 2003, Advanced CARIS LOTS Limits and Boundaries, Caris Training Manual, Kanada.
-----------, 2004, Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
-----------, 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penegasan Batas
Daerah.
Abidin, 2001, “Beberapan Pemikiran Tentang Penetapan dan Penegasan Batas di Laut”, Geo-Informatika,
Vol. 8 No. 2-3, November 2001.
Amhar, Patmasari, dan Kencana, 2001, “Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Sebuah Tinjauan
Komprehensif”, Geo-Informatika, Vol. 8 No. 1, Agustus 2001.
Arsana, 2005, “Menetapkan Wilayah Laut Daerah”, Suara Pembaruan-Opini, 6 Juli 2005,
http://www.suarapembaruan.co.id/News/2005/07/06/Editor/edit03.htm, diakses 14 September 2006.
Handoko dan Abidin, 2002 “Analisis Transformasi Datum dari Datum Indonesia 1974 ke Datum Geodesi
Nasional 1995”, Jurnal Surveying dan Geodesi, Vol.XII No.3, September 2002.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bali, diakses 20 September 2006.
http://www.ntb.go.id , diakses 20 September 2006.
Rais, J., 2003, “Studi Kasus Batas Wilayah Laut antara Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bangka-
Belitung”, Seri Reformasi Hukum, Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003.
Rosalina, 2003, Kabupaten Lombok Barat, Kompas, 03 April 2003, http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0304/03/otonomi/235374.htm, diakses 27 September 2006.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai