Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Geologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai bumi, mencakup

semua proses yang terjadi pada zaman dahulu hingga menjadikan bumi seperti

sekarang ini, meliputi material pembentuk, struktur, dan lain-lain. Geologi

memiliki beberapa cabang ilmu lainnya, seperti Petrologi, Stratigrafi,

Paleontologi, Geologi Sejarah, Mineralogi, Geofisika, Geokimia, Geomorfologi,

Geologi Teknik, Geoteknik, Sedimentologi, Geologi Struktur, Vulkanologi,

Pengindraan jauh, dan lain-lain.

Pembelajaran mengenai studi Geologi dalam kehidupan sangatlah penting,

mengingat bahkan kita melakukan hampir semua aktifitas yang ada diatas

permukaan bumi, dan energy yang digunakan untuk melangsungkan kehidupan

berasal dari bumi, dengan demikian pentinglah bagi kita untuk memiliki

pemahaman mengenai Geologi demi kehidupan manusia. Pendekatan ilmu

geologi dalam suatu daerah diperlukan melalui beberapa cara, salah satunya

adalah melalui proses pemetaan geologi.

Dalam penelitian kali ini, saya akan membahas mengenai proses dan hasil

dari suatu pemetaan geologi tepatnya di daerah Tegalega. Dengan menggunakan

bantuan hasil penelitian terdahulu yaitu lembar geologi regional Karawang

1:100.000 dan lembar geologi regional Cianjur 1:100.000, penyusun berharap

dapat mengungkapkan dan menjelaskan mengenai aspek-aspek yang ada di daerah

1
2

tersebut dan dituangkan dalam sebuah peta geologi, dan mampu meningkatkan,

mengasah, serta menerapkan ilmu di bidang geologi yang telah didapatkan

didalam maupun diluar bangku perkuliahan, selama menjalani pendidikan di

Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjajaran.

Dengan demikian penyusun berniat melakukan suatu pemetaan Geologi

daerah Tegalega dan sekitarnya, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta,

Provinsi Jawa Barat yang mencakup pula, Geomorfologi, Stratigrafi, Geologi

Struktur, dan Geologi Sejarah, dengan hasil akhir berupa satu Peta Geologi

dengan skala yang lebih besar, yaitu 1:25.000, dan diharapkan dapat membantu

dalam informasi mengenai aspek-aspek geologi yang berada di daerah Tegalega

tersebut.

1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah

Untuk mengetahui serta mengenal kondisi Geologi ada daerah Tegalega

diterapkan prinsip dan metode penelitian Geologi yang telah dipelajari. Adapun

aspek-aspek Geologi yang akan dikaji dan diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana unsur Geomorfologi pada daerah penelitian?

2. Jenis-jenis batuan apa saja yang menyusun daerah penelitian?

3. Struktur Geologi apa saja yang berkembang pada daerah penelitian?

4. Bagaimana interpretasi mengenai Geologi Sejarah pada daerah penelitian?

5. Bagaimana potensi sumber daya alam yang ada pada daerah penelitian?
3

6. Potensi Bencana apa saja yang memungkinkan terjadi pada daerah

penelitian?

1.3 Maksud, Tujuan dan Manfaat Penelitian

Maksud dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami

kondisi Geologi yang ada pada daerah Tegalega, dengan menerapkan prinsip dan

metode pemetaan Geologi yang telah dipelajari. Adapun tujuan dilakukannya

pemetaan geologi ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui rona muka bumi, batuan penyusun, dan unsur pembentuk

pada daerah penelitian menjadi beberapa satuan Geomorfologi

2. Mengetahui varietas litologi , sifat fisik batuan, serta keterdapatan fosil

pada daerah penelitan menjadi beberapa satuan dengan sandi Stratigrafi

tidak resmi.

3. Mengetahui tatanan stratigrafi satuan batuan pada daerah penelitian

melalui pola jurus dan penampang.

4. Mengetahui Geologi Struktur yang berkembang pada daerah penelitian,

jenisnya, dan merekonstruksi sejarah tektoniknya

5. Mengetahui potensi sumber daya alam yang ada pada daerah penelitian,

guna membantu masyarakat sekitar.

6. Menegathui potensi bencana alam yang mungkin terjadi pada daerah

penelitian guna sebagai mitigasi bencana.


4

Manfaat dari hasil pemetaan Geologi ini diharapkan dapat menambah ilmu

dari penyusun guna persiapan untuk menghadapi dunia kerja, serta membantu

masyarakat sekitar dalam pengetahuan sumber daya alam dan juga potensi

bencana alam yang mungkin terjadi.

1.4 Metode Penelitian

1.4.1 Objek Penelitian

Objek penelitian pada pemetaan Geologi ini adalah sebagai berikut:

1. Aspek-aspek Geomorfologi, seperti morofmetri, morfografi, morfogenetik,

dan pola aliran sungai, dengan bantuan peta topografi.

2. Batuan, mencakup seluruh singkapan batuan yang akan mewakili suatu

tubuh batuan, mewakili suatu kontak struktur, kontak stratigrafi, ddengan

karakteristik litologi yang ditemukan di daerah penelitian, hingga nantinya

akan dibagi menjadi beberapa satuan batuan. Metode pengambilan sample

yang digunakan adalah spot sampling pada setiap singkapan batuan.

3. Struktur sedimen, guna mengetahui mekanisme pengendapan, dan

lingkungannya.

4. Petrografi, guna mengetahui sifat fisik batuan secara mikroskopis.

5. Fosil, guna mengetahui umur relative yang nantinya akan mewakili umur

dari satu satuan batuan.

6. Stratigrafi, guna mengetahui tatanan urutan satuan dari yang paling tua

hingga paling muda.


5

7. Struktur Geologi, guna mengetahui pengaruh tektonik yang ada pada

daerah penelitian.

1.4.2 Alat dan Perlengkapan

Peralatan yang diperlukan untuk kegiatan pengambilan data lapangan

yaitu :

1. Peta dasar, berupa peta rupabumi berskala 1 : 25.000 yang diterbitkan

bakosturnal.

2. Kompas geologi, untuk mengukur azimuth, kemiringan lereng, dan jurus /

kemiringan perlapisan batuan.

3. Palu geologi, terdiri dari palu batuan sedimen dan palu batuan beku yang

digunakan untuk mengambil sampel batuan.

4. Pita ukur, untuk mengukur ketebalan lapisan batuan.

5. Kantong sampel, diberi tanda untuk tiap batuan dan nomor stasiun

pengamatan, dengan menggunakan spidol tahan air sebagai tempat sampel.

6. Kaca pembesar, digunakan untuk memperbesar objek pengamatan sampel

batuan agar lebih mudah diamati dan diteliti.

7. HCl 0,1 M, untuk menguji ada tidaknya kandungan karbonat pada batuan.

8. Kamera, untuk mengambil data visual dari singkapan.

9. Alat tulis, meliputi buku catatan lapangan, clipboard, busur derajat, pensil,

protactor, dan lain-lain.

10. GPS, untuk menentukan posisi stasiun pengamatan.


6

1.4.3 Langkah-langkah Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, dari pengumpulan data,

pengolahan data hingga penyususnan laporan seperti pada gambar 1.1

Gambar 1.1 Diagram alir penelitian

1.4.3.1 Tahap Persiapan Lapangan

Tahap persiapan lapangan adalah tahap dalam melakukan penilitian,

seperti studi kepustakaan dan persiapan lapangan. Studi kepustakaan berupa

pengumpulan data sekunder yang bersangkutan dengan objek dan daerah

penelitian, data sukender yang digunakan seperti Peta Bakosturnal 1:25.000

lembar 1209-521 Kutanegara, 1209-522 Cikampek, 1209-243 Jatiluhur, 1209-244

Purwakarta dan Peta Geologi Regional Lembar Karawang (Achdan&Sudana

,1992) skala 1:100.000 dan Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972) skala 1:100.000.
7

Hal tersebut dilakukan guna mendapatkan referensi dan juga gambaran

mengenai medan lapangan yang akan diteliti dimulai dari aspek Geomorfologi,

Geologi, dan juga guna menentukan rute dari pengambilan data.

1.4.3.2 Tahap Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan ini dilakukan untuk mencocokkan hasil interpretasi

yang telah dilakukan dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Tahap penelitian

lapangan dilakukan beberapa pekerjaan dengan menggunakan metode Global

Positioning System (GPS) antara lain adalah melakukan perhitungan arah dan

jarak lintasan terhadap suatu titik patokan yang dapat ditentukan pada peta, seperti

jalan, jembatan, pembelokan, atau percabangan sungai.

Selanjutnya melakukan pengamatan terhadap singkapan batuan meliputi :

1. Pengamatan karakteristik fisik setiap litologi yang ditemukan di lapangan

2. Pengamatan terhadap indikasi yang menunjukan adanya perubahan litologi

dan struktur geologi

3. Pengambilan contoh batuan yang dianggap mewakili setiap satuan batuan

yang selanjutnya akan dilakukan analisis laboratorium

4. Penggambaran sketsa dan pengambilan foto

5. Pengamatan terhadap morfologi sekitar

6. Plotting data untuk penempatan setiap lokasi stasiun pengamatan pada

peta.
8

1.4.3.3 Tahap Analisis Laboratorium dan Tahapan Pekerjaan Studio

Analisi laboratorium disini berupa analisis mikropaleontologi dan juga

analisis petrografi. Analisis mikropaleontologi digunakan bertujuan untuk

mendapatkan umur relatif dari suatu satuan batuan, dan analisis petrografi

dilakukan untuk memastikan karakteristik suatu batuan hingga akhirnya nanti

dibagi menjadi suatu satuan batuan, dengan menggunakan system klasifikasi

Travis, Pettijohn, Schmid, dan Dunham. Tahapan pekerjaan studio merupakan

tahap pengolahan data lapangan yang meliputi analisis geomorfologi, analisis

stratigrafi, analisis struktur geologi, dan analisis sejarah geologi. Tahapan ini

dilakukan setelah tahap pengerjaan lapangan dan laboratorium sehingga hasil

analisis mikropalentologi dan petrografi dapat dijadikan sebagai data dalam

analisis stratigrafi, analisis struktur geologi, dan analisis sejarah geologi.

Pembuatan peta tematik berupa peta pola jurus dan kemiringan lapisan batuan

serta peta geologi juga termasuk kedalam pengerjaan studio. Keseluruhan dari

kegiatan ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penyusunan laporan.


9

1.4.3.4 Tahapan Penyusunan Laporan

Tahap akhir dari pelaksanaan pemetaan geologi lanjut adalah penyusunan

laporan yang dilakukan dalam dua proses penulisan, yaitu :

1. Pembuatan laporan yang meliputi bab satu dan dua, dilakukan sebelum

berangkat melakukan pekerjaan di lapangan.

2. Pembuatan laporan yang meliputi bab tiga dan empat, yang menguraikan

tentang hasil pemetaan, pembahasan, dan kesimpulan, lampiran berupa

analisis laboratorium, menyempurnakan Peta Kerangka yang sebelumnya

telah dibuat saat penelitian lapangan, Peta Pola Jurus Perlapisan Batuan, Peta

Geologi dan Peta Geomorfologi. Laporan ini dibuat sesudah melakukan

pekerjaan lapangan.

1.4.4 Analisis Data

1.4.4.1 Tahap Analisis Geomorfologi

Analisis geomorfologi dilakukan sebelum kegiatan lapangan. Thornbury

(1954), menyatakan bahwa proses geomorfik adalah seluruh perubahan, baik

secara fisik maupun secara kimia, yang mengakibatkan perubahan pada

permukaan bumi. Analisis data geomorfologi dalam penelitian ini mengacu pada

pendekatan yang dikembangkan oleh Van Zuidam (1985), tentang pembuatan atau

klasifikasi peta geomorfologi terapan, yang dalam hal ini bertujuan untuk

membantu kegiatan pemetaan geologi. Tiga aspek utama geomorfologi untuk

pendekatan pemetaan geomorfologi yaitu, aspek morfografi, morfogenetik, dan

morfometri.
10

 Morfografi

Aspek morfografi dilakukan dengan cara menganalisis kondisi topografi di

lapangan berupa pengenalan bentuk lahan, juga identifikasi pola yang tampak dari

tampilan kerapatan kontur pada peta, sehingga dapat menentukan perbukitan atau

pedataran, juga kemiringan lereng yang bisa mengindentifikasikan sesar atau

perbedaan litologi. Sedangkan perubahan pola punggungan dan pola pengaliran

sungai bisa mengidentifikasikan kegiatan tektonik yang ada di daerah pemetaan.

Pola pemukiman bisa mencirikan kondisi material Resen, khususnya yang

menyediakan mata air tanah dangkal. Aspek – aspek morfografi yang digunakan

adalah menurut van Zuidam (1985) pada tabel 1.1

1. Ketinggian absolute

Tabel 1.1 Hubungan Ketinggian Absolut dengan Morfografi (Van Zuidam, 1985)

Ketinggian Absolut (meter) Unsur Morfografi

< 50 Dataran rendah


50 - 100 Dataran rendah pedalaman
100 - 200 Perbukitan rendah
200 - 500 Perbukitan
500 - 1.500 Perbukitan tinggi
1.500 - 3.000 Pegunungan
> 3.000 Pegunungan tinggi

2. Lembah, terdiri atas lembah bentuk U, V tumpul, dan V tajam.

3. Bentuk lereng, terdiri atas bentuk lereng cembung, cekung dan lurus.

4. Pola Punggungan.

5. Pola pengaliran.
11

Sistem pengaliran yang berkembang pada permukaan bumi secara regional

dikontrol oleh kemiringan lereng, jenis dan ketebalan lapisan batuan, struktur

geologi, jenis dan kerapatan vegetasi serta kondisi alam. Howard (1967) membagi

pola pengaliran menjadi pola pengaliran dasar dan pola pengaliran modifikasi.

Pola pengaliran dasar merupakan pola pengaliran yang terbaca dan dapat

dipisahkan dengan pola pengaliran dasar lainnya, sedangkan pola pengaliran

modifikasi adalah pola pengaliran dengan perubahan yang masih memperlihatkan

ciri pola pengaliran dasar.

Berikut merupakan klasifikasi pola pengaliran sungai yang biasanya

dikontrol oleh kemiringan lereng, jenis dan ketebalan lapisan batuan, struktur

geologi, jenis dan kerapatan vegetasi serta kondisi alam. Howard (1965) membagi

Pola Pengaliran Dasar dan Pola Pengaliran Modifikasi, pada Gambar 1.2 menurut

Zenith (1932) dan Pola Pengaliran Modifikasi menurut Howard (1967).

Sedangkan klasifikasi Pola Pengaliran menurut Van Zuidam (1985) dijelaskan

pada Tabel 1.2

Gambar 1.2 Pola Pengaliran Dasar menurut Zenith, 1932 (A) dan Pola Pengaliran
Modifikasi menurut Howard, 1967 (B dan C)
12

Tabel 1.2 Pola pengaliran dasar dan karakteristiknya (Van Zuidam, 1985)

Pola Pengaliran
Karakteristik
Dasar

Dendritik Bentuk umum seperti daun, berkembang pada batuan dengan


kekerasan relatif sama, perlapisan batuan sedimen relatif datar
serta tahan akan pelapukan, kemiringan landai, kurang
dipengaruhi struktur geologi.
Paralel Bentuk umum cenderung sejajar, berlereng sedang-agak curam,
dipengaruhi struktur geologi, terdapat pada perbukitan
memanjang dipengaruhi perlipatan, merupakan transisi pola
dendritik dan trelis.
Trelis Bentuk memanjang sepanjang arah jurus perlapisan batuan
sedimen, induk sungainya seringkali membentuk lengkungan
menganan memotong kepanjangan dari alur jalur
punggungannya. Biasanya dikontrol oleh struktur lipatan.
Batuan sedimen dengan kemiringan atau terlipat, batuan
vulkanik serta batuan metasedimen berderajat rendah dengan
perbedaan pelapukan yang jelas.
Rektangular Induk sungai dengan anak sungai memperlihatkan arah
lengkungan menganan, pengontrol struktur atau sesar yang
memiliki sudut kemiringan, tidak memiliki perulangan
perlapisan batuan dan sering memperlihatkan pola pengaliran
yang tidak menerus.
Radial Bentuk menyebar dari satu pusat, biasanya terjadi pada kubah
intrusi, kerucut vulkanik dan bukit yang berbentuk kerucut serta
sisa-sisa erosi. Memiliki dua sistem, sentrifugal dengan arah
penyebaran keluar dari pusat (berbentuk kubah) dan sentripetal
dengan arah penyebaran menuju pusat (cekungan).

Anular Bentuk seperti cincin yang disusun oleh anak-anak sungai,


sedangkan induk sungai memotong anak sungai hampir tegak
lurus. Mencirikan kubah dewasa yang sudah terpotong atau
terkikis dimana disusun perselingan batuan keras dan lunak.
Juga berupa cekungan dan kemungkinan stocks.

Multibasinal Endapan permukaan berupa gumuk hasil longsoran dengan


perbedaan penggerusan atau perataan batuan dasar, merupakan
daerah gerakan tanah, vulkanisme, pelarutan gamping serta
lelehan salju atau permafrost.
13

 Morfogenetik

Kenampakan bentuk lahan pada muka bumi disebabkan dua proses yakni

endogenik yaitu merupakan proses yang dipengaruhi oleh kekuatan dari dalam

kerak bumi dan proses eksogenik yang merupakan proses yang dipengaruhi dari

luar seperti iklim, vegetasi, dan erosi. Bentuk lahan dapat dibedakan berdasarkan

proses genetiknya menjadi bentuk asal struktural, vulkanik, fluvial, marine, karst,

aeolean dan denudasi.

Simbol warna (tabel 1.3) digunakan untuk aspek geomorfologi yang jelas

dan memiliki arti penting di dalam peta tersebut, seperti aspek morfogenetik di

dalam pemetaan geomorfologi, sehingga aspek tersebut disimbolkan dengan

warna.

Tabel 1.3 Klasifikasi warna Satuan Geomorfologi berdasarkan Genetik Bentuk lahan
(Van Zuidam, 1975)

KELAS GENETIK SIMBOL WARNA

Bentuk lahan asal struktural Ungu / Violet

Bentuk lahan asal gunungapi Merah

Bentuk lahan asal denudasional Coklat

Bentuk lahan asal laut (marine) Hijau

Bentuk lahan asal sungai (fluvial) Biru tua

Bentuk lahan asal es (glasial) Biru muda

Bentuk lahan asal angin (aeolian) Kuning

Bentuk lahan asal gamping (karst) Jingga (orange)


14

Menurut Verstappen dan Van Zuidam (1968 dan 1975) bahwa proses

endogen dan eksogen masa lalu dan sekarang merupakan faktor-faktor

perkembangan yang paling menonjol dari suatu bentanglahan, sehingga harus

digambarkan dengan jelas dan digunakan simbol warna.

 Morfometri

Morfometri merupakan penilaian kuantitatif terhadap bentuk lahan,

sebagai aspek pendukung morfografi dan morfogenetik, sehingga klasifikasi

semakin tegas dengan angka – angka yang jelas (Tabel 1.4).

Terlihat diatas pembagian kemiringan lereng dan bentuk lahan secara

kuantitatif, melalui perhitungan dikelompokkan berdasarkan jumlah persen dan

besar sudut lereng, untuk mengetahui jumlah tersebut melalui perhitungan dari

perbandingan perbedaan ketinggian dengan jarak datar yang terbentuk.

Perhitungan ini dapat dilihat pada rumus di bawah ini :

Tabel 1.4 Pembagian Kemiringan Lereng Van Zuidam (1985)

Kemiringan Lereng (°) Kemiringan Lereng(%) Keterangan

0–2 0–2 Datar – Hampir Datar

2-4 2–7 Sangat landai

4–8 7 – 15 Landai

8 – 16 15 – 30 Agak curam

16 - 35 30 – 70 Curam

35 – 55 70 –140 Sangat Curam

> 55 < 140 Terjal


15

Rumus kemiringan lereng dari peta topografi dan foto udara (Van Zuidam, 1985):

S = ( h / D ) X 100 %

Keterangan:

S = Kemiringan lereng ( % )

h = Perbedaan ketinggian ( m )

D = Jarak titik tertinggi dengan terendah ( m )

1.4.4.2 Tahap Analisis Statigrafi

Pembagian satuan batuan didasarkan pada satuan litostratigrafi, adapun

sistem penamaannya mengacu pada penamaan tidak resmi, yaitu satuan batuan.

Sedangkan penentuan batas penyebarannya harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut (Sandi Stratigrafi Indonesia, pasal 15) :

1. Batas satuan litostratigrafi adalah bidang sentuh antara dua satuan yang

berlainan ciri litologinya.

2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya atau

bila perubahan tersebut tidak nyata, maka batasnya merupakan bidang yang

diperkirakan kedudukannya.

3. Satuan – satuan yang berangsur berubah atau menjari peralihannya dapat

dipisahkan sebagai satuan tesendiri apabila memenuhi persyaratan sandi.

4. Penyebaran satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh kelanjutan

gejala – gejala litologi yang menjadi cirinya.

5. Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasai oleh

batasan cekungan pengendapan atau aspek geologi lainnya.


16

Penamaan satuan litostratigrafi didasarkan atas jenis litologi yang paling

dominan dalam satuan tersebut. Pengamatan terhadap litologi di lapangan

dilakukan secara megaskopis, misalnya untuk batuan sedimen meliputi warna

batuan, ukuran butir, kebundaran, kemas, pemilahan, kekerasan, struktur sedimen,

dan lain-lain sedangkan untuk batuanvolkaniklastik meliputi ukuran butir,

persentase material volkanik dan lain-lain.

Batas satuan stratigrafi ditentukan sesuai dengan batas penyebaran ciri

satuan dan keseragaman secara lateral / suatu lapisan tergantung dari jenis litologi

dan media pengendapan. Jadi kontak antar satuan batuan atau sentuh stratigrafi

dapat bersifat tajam ataupun berangsur. Ada dua macam hubungan stratigrafi

(Boggs, Jr., 2006) yaitu:

1. Selaras : sedimentasi berlangsung menerus tanpa interupsi dari satuan

stratigrafi di bawah lapisan yang diatasnya.

2. Tidak selaras : terdapat empat jenis ketidakselarasan, yaitu :

a. Paraconformity, dimana siklus sedimentasi tidak menerus atau

terdapat gap umur, sedangkan pola arah jurus dan kemiringan batuan

relatif sama.

b. Disconformity, dimana terjadi kontak erosional yang cukup berarti

antara satuan batuan.

c. Nonconformity, dimana terdapar kontak antara dua satuan batuan yang

berbeda genetik, seperti kontak antara batuan sedimen dengan batuan

beku, atau antara batuan sedimen dengan batuan metamorf, atau

antara batuan metamorf dengan batuan beku.


17

d. Angular Unconformity, dimana terdapat perbedaan pola arah jurus dan

kemiringan yang cukup signifikan antara dua satuan batuan.

Penentuan umur masing-masing satuan batuan didasarkan atas kandungan

fosil foraminifera planktonik dan posisi stratigrafinya. Kisaran umur fosil

foraminifera planktonik merujuk pada Bolli et. al. (1985).

1.4.4.3 Tahap Analisis Struktur Geologi

Dalam melakukan rekontruksi struktur geologi diperlukan data lapangan

yang meliputi pengukuran arah jurus dan kemiringan lapisan batuan, pengamatan

terhadap kriteria yang ditemukan dilapangan seperti pergeseran lapisan, bidang

gores garis dan indikasi struktur lainnya.

Selain dari data lapangan juga perlu dilakukan pengamatan terhadap peta

topografi. Hal–hal yang diamati adalah adanya kelurusan, seperti kelurusan

punggungan dan kelurusan sungai dan anomali sungai. Anomali sungai adalah

keanehan yang terlihat pada pola kelurusan dan kelokannya.

1.4.4.3..1 Lipatan

Lipatan merupakan hasil deformasi atau perubahan bentuk dari suatu

batuan yang ditunjukan sebagai suatu lengkungan pada bidang perlapisan batuan.

Berdasarkan bentuknya lipatan dibagi menjadi :

1. Antiklin, adalah lipatan dimana bagian cembungnya mengarah keatas, dalam

hal ini batuan yang lebih tua akan lebih dalam letaknya.
18

2. Sinklin adalah lipatan dimana bagian cekungnya mengarah keatas, dalam hal

ini batuan yang lebih muda akan lebih dalam letaknya.

Untuk mengetahui struktur lipatan yaitu dengan melihat perubahan

berangsur pada kemiringan (dip) lapisan batuan, perulangan variasi litologi, dan

dengan ditemukannya sumbu dari lipatan tersebut.

Fleuty (1964), dalam Davis et. al. (1996) mengklasifikasikan lipatan

berdasarkan nilai plunge (penunjaman) dan nilai dip axial surface yang tertuang

dalam diagram dibawah ini (gambar 1.3).

Gambar 1.3 Klasifikasi Lipatan (Fleuty, 1964) dalam Davis et. al. (1996)
19

1.4.4.3..2 Kekar

Kekar adalah jenis struktur yang umum dijumpai pada batuan. Struktur

kekar didefinisikan sebagai bidang rekahan atau pecahan pada batuan yang sedikit

atau tidak sama sekali mengalami pergeseran. Kekar merupakan salah satu

struktur yang sulit untuk diamati, namun didalam analisis kekar dapat dipakai

untuk membantu menentukan pola tegasan. Struktur kekar menurut genetiknya

atau proses pembentukannya dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu :

1. Kekar gerus (shear joint) adalah rekahan yang terbentuk adanya geseran dan

gesekan pada batuan (shearing), memiliki ciri fisik antara lain lurus, bentuk

bidang permukaannya relatif datar, rapat dan kadang dijumpai jejak

pergeseran berupa cermin sesar.

2. Kekar tarikan (extensional joint) terbentuk akibat adanya peregangan

(tarikan), mempunyai ciri fisik antara lain relatif tidak lurus, bentuk

permukaannya bergelombang, berongga, dan sering diisi oleh mineral. Kekar

tarikan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tension joint dan release joint.

Tension joint adalah kekar tarik yang bidang rekahannya sejajar dengan arah

tegasan utama, sedangkan release joint adalah kekar tarik yang terjadi akibat

dari hilangnya gaya yang bekerja dan posisi rekahannya tegak lurus terhadap

gaya utama.

1.4.4.3.3 Sesar

Untuk mengamati keberadaan arah dan jenis sesar di lapangan dapat

diperkirakan dengan melihat indikasi yang ada seperti lipatan seret (dragfold),
20

offset litologi, kekar, slicken side, breksi sesar, zona hancuran, kelurusan,

keberadaan air terjun, dan keberadaan mata air panas.

Pengolahan data ini ditampilkan dalam bentuk proyeksi stereografis sistem

tegasan. Sistem tegasan pembentuk sesar diketahui dari proyeksi stereografis,

yang didalamnya menggambarkan posisi tegasan utama (σ1), tegasan menengah

(σ2), dan tegasan minimum (σ3); arah tegasan, sifat tegasan, dan gambaran

masing–masingcermin sesarnya. Pengolahan data ini dilakukan dengan

mempergunakan program Dips.

Dari data cermin sesar yang ditemukan, dapat ditentukan jenis sesar

dengan menggunakan klasifikasi Rickard (1972) (Gambar 1.4). Data dip, pitch,

dan pergerakan sesar diplot kedalam segitiga dip-pitch (B), kemudian diagram B

tersebut diplot ke segitiga dip-pitch (A), sehingga nama sesar dapat di tentukan

seperti pada gambar dibawah ini (gambar 1.4).

Gambar 1.4 Diagram Klasifikasi Sesar (Rickard 1972)

1. Sesar naik dengan dip < 45 ( Thrust slip fault ).

2. Sesar naik dengan dip > 45( Reverse slip fault ).


21

3. Sesar naik dekstral dengan dip < 45 ( Right thrust slip fault ).

4. Sesar dekstral naik dengan dip < 45 ( Thrust right slip fault ).

5. Sesar naik dekstral dengan dip > 45 ( Right reverse slip fault ).

6. Sesar dekstral naik dengan dip > 45 ( Reverse right slip fault ).

7. Sesar dekstral ( Right slip fault ).

8. Sesar dekstral normal dengan dip < 45 ( Lag right slip fault ).

9. Sesar normal dekstral dengan dip < 45 ( Right lag slip fault ).

10. Sesar normal dekstral dengan dip < 45 ( Right normal slip fault ).

11. Sesar dekstral normal dengan dip > 45 ( Normal right slip fault ).

12. Sesar normal dengan dip < 45 ( Lag slip fault ).

13. Sesar normal dengan dip > 45 ( Normal slip fault ).

14. Sesar normal sinistral dengan dip < 45 ( Left lag slip fault ).

15. Sesar sinistral normal dengan dip < 45 ( Lag left slip fault ).

16. Sesar sinistral normal dengan dip > 45 ( Normal left slip fault ).

17. Sesar normal sinistral dengan dip < 45 ( Left normal slip fault ).

18. Sesar sinistral ( Left slip fault ).

19. Sesar sinistral naik dengan dip < 45 ( Thrust left slip fault ).

20. Sesar naik sinistral dengan dip < 45 ( Left thrust slip fault ).

21. Sesar naik sinistral dengan dip > 45 ( Left reverse slip fault ).

22. Sesar sinistral naik dengan dip > 45 ( Reverse left slip fault ).
22

Dalam merekonstruksi struktur geologi dapat juga menggunakan

pemodelan struktur berdasarkan Moody dan Hill (1956).Berdasarkan percobaan

yang dilakukan oleh Moody dan Hill (1956) yang meneliti hubungan tegasan

utama terhadap unsur-unsur struktur yang terbentuk, maka muncul teori

pemodelan sistem patahan mendatar Moody dan Hill (1956) (gambar 1.5) sebagai

berikut:

1. Jika suatu materi isotrofik yang homogen dikenai suatu gaya kompresi

yang menggerus akan membentuk lipatan, kemudian seiring

bertambahnya kompresi akan membentuk patahan naik. Selanjutnya

pada sudut 30° terhadap arah tegasan maksimum yang mengenainya,

bidang shear maksimum sejajar terhadap sumbu tegasan menengah dan

berada 45° terhadap tegasan kompresi maksimum. Rentang sudut 15°

antara 45° bidang shear maksimum dan 30° bidang shear yang terbentuk

dipercaya akibat adanya sudut geser dalam (internal friction).

2. Suatu kompresi stress yang mengenai materi isotropik yang seragam,

pada umumnya dapat dipecahkan kedalam tiga arah tegasan (maksimum,

menengah, dan minimum). Kenampakan bumi dari udara adalah suatu

permukaan yang tegasan gerusnya nol dan sering kali berada tegak lurus

atau normal terhadap salah satu arah tegasan. Akibatnya salah satu dari

arah tegasan akan berarah vertikal.

3. Orde kedua dalam sistem tegasan ini muncul dari tegasan yang berarah

300-450 dari tegasan orde pertama atau tegak lurus terhadap bidang gerus
23

maksimum orde pertama. Bidang gerus orde kedua ini akan berpola

sama dengan pola bidang gerus yang terbentuk pada orde pertama.

4. Orde ketiga dalam sistem ini arahnya akan mulai menyerupai arah orde

pertama, sehingga tidak mungkin untuk membedakan orde keempat dan

seterusnya dari orde pertama, kedua dan orde ketiga. Akibatnya tak akan

muncul jumlah tak terhingga dari arah tegasan. Sistem ini dipecahkan

kedalam delapan arah shear utama empat antiklinal utama, dan arah

patahan naik untuk segala province tektonik. Dalam kenyataan di

lapangan kenampakan orde pertama dan orde kedua dapat kita bedakan

dengan mudah, namun kenampakan orde ketiga dan orde-orde

selanjutnya pada umumnya sulit sekali untuk ditemukan.

Gambar 1.5 Pemodelan Patahan berdasarkan Moody& Hill (1956)


24

Dari data cermin sesar yang ditemukan, dapat dikelompokkan sesar yang

termasuk “strike slip” dan “dip slip”. Pengelompokkan sesar tersebut, yaitu :

1. Pitch 00 – 100 : mendatar murni.

2. Pitch 100 – 450 : mendatar dominan.

3. Pitch 450 – 800 : dip slip dominan.

4. Pitch 800 – 900 : dip slip murni.

Indikasi sesar di lapangan tidak mudah untuk ditemukan, untuk itu, dapat

dilakukan pengolahan data kekar untuk mengetahui tegasan utamanya (Anderson,

1951 dalam Mc Clay, (1987). Anderson mengklasifikasikan sesar menjadi tiga

jenis berdasarkan orientasi tegasan utama (Gambar 1.6) dan dinyatakan dalam  1

(tegasan terbesar),  2 (tegasan menengah), dan  3 (tegasan terkecil) yang saling

tegak lurus satu sama lain secara triaksial.

Gambar 1.6 Hubungan antara pola tegasan dengan jenis sesar yang terbentuk

(Anderson, 1951)

Sesar tersebut secara dinamik diklasifikasikan menjadi :

1. Sesar normal, dimana  1vertikal dan  2 serta  3 horizontal. Besarnya

sudut kemiringan (dip) bidang sesar mendekati 60º.


25

2. Sesar mendatar, dimana  2vertikal dan  1 serta  3 horizontal.

3. Sesar naik, dimana  3 vertikal dan  1 dan  2 horizontal. Kemiringan

bidang sesar mendekati 30º. Dalam hal ini, bidang sesar vertikal dan bergerak

secara horizontal.

1.4.4.4 Analisis Sejarah Geologi

Analisis geologi sejarah merupakan penerapan penafsiran dari aspek

geologi berupa geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi. Hasil dari

pembahasan dari aspek tersebut disusun berdasarkan urutan kejadian dan waktu,

sehingga dapat diperkirakan proses sedimentasi, pengendapan, tektonik, dan erosi

dalam kurun waktu tersebut.

1.4.5 Tahap Analisis Laboratorium

1.4.5.1 Analisis Mikropaleontologi

Analisis kandungan fosil dilakukan di laboratorium dengan dibantu

mikroskop binokuler yang melalui beberapa tahapan, mulai dari pencucian contoh

batuan, pemerian nama fosil, sampai pada penarikan kisaran umur dan interpretasi

lingkungan pengendapan atau zona batimetri.

Fosil foraminifera planktonik dideterminasi untuk menentukan umur

berdasarkan zonasi Blow (1969) dalam Postuma (1971).


26

1.4.5.2 Analisis Petrografi Batuan

Analisis petrografi dilakukan dengan menyayat sampel batuan menjadi

sayatan tipis lalu mendeskripsi komposisi mineral yang dikandung batuan di

dalam sayatan tipis tersebut. Seluruh mineral yang terdapat di dalam sayatan tipis

tersebut dideskripsi sifat–sifat optiknya dan dihitung persentasenya. Sifat-sifat

optik yang dimaksud antara lain bentuk kristal, belahan, inklusi, warna,

pleokroisme, indeks bias, relief, kembar, tekstur, zoning, orientasi, sudut

pemadaman, warna interferensi dan sumbu optik serta tanda optik.

Setelah diketahui persentase tiap-tiap mineral yang ada kemudian batuan

tersebut diklasifikasikan berdasarkan suatu klasifikasi tertentu. Untuk penamaan

batuan menggunakan klasifikasi penemunya, untuk batuan beku menggunakan

klasifikasi menurut Travis (1955) (Gambar 1.7). Untuk penamaan batuan sedimen

digunakan klasifikasi Pettijohn (1975) (Gambar 1.8 b), klasifikasi ini didasarkan

atas kandungan feldsfar, kuarsa, fragmen batuan dan jumlah matriks dan

semennya, untuk batugamping menggunakan klasifikasi berdasarkan Dunhamm

(1962) (Gambar 1.8 a) yang menggunakan komposisi matriks, fragmen, dan fosil

dalam penamaannya. Batuan piroklastik atau vulkanik berdasarkan klasifikasi

Schmid (1981) dalam Gillepsic & Styles (1999) (Gambar 1.9 & Tabel 1.5),

didasarkan atas kandungan gelas, kristal dan fragmen batuan.


27

Gambar 1.7 Klasifikasi batuan beku menurut Travis (1955).

Gambar 1.8 a Klasifikasi batugamping menurut Dunham (1962)


28

Gambar 1.8 b Klasifikasi batupasir menurut Pettijohn (1975)

Tabel 1.5 Klasifikasi batuan volkaniklastik (Schmidt, 1981) dalam Gillepsic & Styles
(1999)
29

Gambar 1.9 Klasifikasi tuff berdasarkan komposisi fragmennya menurut Schmidt


(1981) dalam Gillepsic & Styles (1999)

1.5 Geografi Umum Daerah Penelitian

Daerah penelitian Pemetaan Geologi Lanjut secara administratif termasuk

ke dalam Kecataman Purwakarta, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat,

Indonesia (gambar 1.10). Secara geografis daerah penelitian terletak pada

koordinat 107°21'30”BT sampai 107° 26' 30” BT dan 6° 27' 00” LS sampai 6° 32'

00” LS. Daerah penelitian termasuk kedalam sebagian lembar peta rupabumi

Digital Bakosurtanal Lembar Kutanegara (1209-521), Lembar Cikampek (1209-

522), Lembar Jatiluhur (1209-243) dan Lembar Purwakarta (1209-244) dengan

skala 1:25.000. Luas daerah penelitian ±100 km2.


30

Lokasi Penelitian

Gambar 1.10 Lokasi daerah penelitian

1.6 Waktu Penelitian

Waktu penelitian berlangsung antara bulan Desember 2015 – November

2016, yang meliputi :

1. Studi literatur, Desember 2015

2. Pengerjaan lapangan, Desember 2015 - Januari 2016

3. Analisis laboratorium, Oktober - November 2016

4. Pembuatan laporan, November 2016

Anda mungkin juga menyukai