“Wahai pensil, tugasmu yang pertama dan utama adalah
membantu orang sehingga memudahkan mereka menulis.
Kamu boleh melakukan fungsi apapun, tapi tugas utamamu adalah sebagai alat penulis. Kalau kamu gagal berfungsi sebagai alat tulis. Macet, rusak, maka tugas utamamu gagal” “Kedua, agar dirimu bisa berfungsi dengan sempurna. Kamu akan mengalami proses penajaman. Memang meyakitkan, tapi itulah yang akan membuat dirimu menjadi berguna dan berfungsi optimal” “Ketiga, yang penting bukanlah yang ada di luar dirimu. Yang penting, yang utama dan yang paling berguna adalah yang ada di dalam dirimu. Itulah yang membuat dirimu berharga dan berguna bagi manusia” “Keempat, kamu tidak bisa berfungsi sendirian. Agar bisa berguna dan bermanfaat, maka kamu harus membiarkan dirimu bekerjasama dengan manusia yang menggunakanmu” “Kelima. Di saat-saat terakhir, apa yang telah engkau hasilkan itulah yang menunjukkan seberapa hebatnya dirimu yang sesungguhnya. Bukanlah pensil utuh yang dianggap berhasil. Tetapi, pensil-pensil yang telah membantu menghasilkan karya terbaik, yang berfungsi hingga sampai potongan terpendek. Itulah yang sebenarnya paling mencapai tujuanmu dibuat” Pertama, hidup harus punya tujuan yang pasti. Apapun kerja, profesi maupun peran yang kita mainkan di dunia ini, kita harus berdayaguna. Jika tidak, maka sia-sialah tujuan diri kita diciptakan. Celakanya, kita lahir tanpa sebuah instruksi maupun buku manual yang menjelaskan untuk apakah kita hadir di dunia ini. Pencarian akan tujuan dan panggilan kita, menjadi tema penting selama kita hidup di dunia. Yang jelas, kehidupan kita dimaknakan untuk menjadi berguna dan bermanfaat serta positif bagi orang-orang disekitar kita, minimal untuk orang-orang terdekat. Jika tidak demikian, maka kita useless. Tidak ada gunanya. Sama seperti sebatang pensil yang tidak bisa dipakai menulis, maka ia tidaklah berguna sama sekali.
Kedua, akan terjadi proses penajaman sehingga kita bisa
berguna optimal. Karena itulah, seringkali terjadi kesulitan, hambatan maupun tantangan. Semuanya berguna dan bermanfaat sehingga kita selalu belajar darinya untuk menjadi lebih baik. Ingat kembali soal Lee Iacocca, salah satu eksekutif yang justru menjadi besar dan terkenal, setelah ia didepak keluar dari mobil Ford. Pengalaman itu justru menjadi pemacu semangat baginya untuk berhasil di Chrysler. Ingat pula, Donald Trump yang sempat digoncang masalah financial dan nyaris bangkrut. Namun kebangkrutannya itulah yang justru menjadi pelajaran dan motivasi baginya untuk sukses lebih langgeng. Kadang penajaman itu ‘sakit’. Tetapi, itulah yang justru akan memberikan kesempatan kita mengeluarkan yang terbaik.
Ketiga, bagian internal diri kitalah yang akan berperan. Saya
seringkali menyaksikan pada banyak artis, maupun bintang film yang terkenal. Seringkali, justru yang hebat bukanlah karena mereka paling cantik ataupun paling tampan. Tetapi, kemampuan dalam diri mereka, filosofi serta semangat merekalah yang membuat mereka menjadi luar biasa. Demikian pula pada diri kita. Pada akhirnya, apa yang ada di dalam diri kita seperti karakter, kemampuan, bakat, motivasi, semangat, pola pikir itulah yang akan lebih berdampak daripada tampilan luar diri kita.
Keempat, pensilpun mengajarkan agar bisa berfungsi
sempurna kita harus belajar bekerjasama dengan orang lain. Bayangkanlah seorang aktor atau artis yang tidak mau diatur sutradaranya. Bayangkan seorang anak buah yang tidak mau diatur atasannya. Ataupun seorang service provider yang tidak mau diatur oleh pelanggannya. Mereka semua tidak akan berfungsi sempurna. Agar berhasil, kadang kita harus belajar dari pensil untuk ‘tunduk’ dan membiarkan diri kita berubah menjadi alat yang sempurna dengan belajar dan mendengar dari ahlinya. Itulah sebabnya, kemampuan untuk belajar bekerjasama dengan orang lain, mendengarkan orang lain, belajar dari ‘guru’ yang lebih tahu adalah sesuatu yang membuat kita menjadi lebih baik.
Dan terakhir, pensilpun mengajarkan kita meninggalkan
warisan yang berharga melalui karya-karya yang kita tinggalkan. Tugas kita bukan kembali dalam kondisi utuh dan sempurna, tetapi menjadikan diri kita berarti dan berharga. Itulah filosofi ‘memberi dan melayani’ yang diajarkan oleh Tuhan kita. Itulah sebabnya Ibu Teresa dari Calcutta maupun Albert Schweitzer yang melayani di Afrika lebih mengumpamakan diri mereka seperti sebatang pensil yang dipakai oleh Tuhan. Yang penting, hingga di akhir kehidupan kita ada karya maupun hasil berharga yang mampu kita tinggalkan. Tentu saja tidak perlu yang heboh dan spektakuler. Seorangtua bisa meninggalkan goresannya pada anak-anaknya. Begitupun seorang professional bisa meninggalkan melalui karya-karyanya. Sebagaimana seorang karyawan meninggalkan pada pekerjaan yang dilakukannya. Begitu luar biasa filosofi yang bisa kita dapatkan dari sebatang pensil!