TINJAUAN PUSTAKA
Istilah sectio caesarea berasal dari perkataan Latin yaitu ”caedere”, yang
artinya memotong. Pengertian ini semula ditemukan dalam Roman Law (Lex Regia)
dan Emperor’s Law (Lex Caesarea), yaitu undang-undang yang meghendaki supaya
janin dalam kandungan ibu-ibu yang meninggal harus dikeluarkan dari dalam rahim
mengeluarkan bayi dari rahim lewat suatu irisan/sayatan pada perut bagian bawah dan
rahim (Whalley dkk, 2008). Menurut Mochtar (2000), pada masa dulu, sectio
caesarea dilakukan atas indikasi yang terbatas pada panggul sempit dan plasenta
previa. Meningkatnya angka kejadian sectio caesarea pada waktu sekarang ini,
disebabkan karena berkembangnya indikasi dan makin kecilnya resiko dan mortalitas
dengan cara ini karena kemajuan teknik operasi dan anastesi, serta ampuhnya
Menurut Indiarti (2006), alasan untuk melakukan sectio caesarea pada ibu
hamil atau ibu dalam persalinan adalah plasenta menghalangi jalan lahir (placenta
previa), perdarahan dalam kehamilan lanilla, kelainan letak (seperti letak lintang,
letak sungsang), ketidaksesuaian antara jalan lahir ibu dengan besarnya janin atau
presentasi janin (panggul sempit, anak besar, letak dahi, letak muka, dan sebagainya),
kemajuan dalam persalinan, persalinan tidak maju, drip oksitosin yang gagal, ibu
Menurut Sinaga (2009), ada dua jenis jenis sectio caesarea yang dikenal yaitu
caesarea transperitonealis terdiri atas dua bagian yaitu sectio caesarea klasik dan
sepanjang 10 cm. Keuntungan tindakan ini adalah mengeluarkan janin lebih cepat,
diperpanjang proksimal dan distal. Kerugian yang dapat muncul adalah infeksi mudah
menyebar secara intraabdominal dan lebih sering terjadi ruptura uteri spontan pada
persalinan berikutnya.
Sectio caesarea profunda dikenal juga dengan sebutan low cervical yaitu
sayatan pada segmen bawah rahim. Keuntungannya adalah penjahitan luka lebih
mudah, kemungkinan rupture uteri spontan lebih kecil dibandingkan dengan sectio
dilakukan di atas bekas luka yang lama. Tindakan ini dilakukan dengan insisi dinding
dan fasia abdomen sementara peritoneum dipotong ke arah kepala untuk memaparkan
saat ini pembedahan ini tidak banyak dilakukan lagi untuk mengurangi bahaya infeksi
puerperal.
janin atau ibu dalam keadaan gawat dan hanya dapat diselamatkan jika persalinan
dilakukan dengan jalan sectio caesarea, dengan tujuan untuk memperkecil terjadinya
Menurut Sinaga (2009), faktor janin turut menjadi indikasi medis dari sectio
caesarea. Faktor janin meliputi bayi terlalu besar, kelainan letak bayi, ancaman gawat
janin (fetal distress), bayi kembar, dan faktor plasenta. Berat bayi lahir sekitar 4000
gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir.
Umumnya, pertumbuhan janin yang berlebihan karena ibu menderita kencing manis
(diabetes mellitus), yang biasanya disebut bayi besar objektif. Bayi terlalu besar
Kelainan letak bayi meliputi letak sungsang dan letak lintang. Saat ini lebih
banyak bayi letak sungsang yang lahir dengan sectio caesarea. Hal ini karena risiko
kematian dan cacat/kecelakaan lewat vagina (spontan) jauh lebih tinggi. Lebih dari
50% bayi pernah mengalami letak sungsang dalam kurun 9 bulan kehamilan.
Penyebab letak sungsang sering tidak diketahui pasti, secara teori dapat terjadi karena
yang lebih rendah (Sinaga, 2009). Letak lintang merupakan kelainan letak janin di
dalam rahim pada kehamilan tua (hamil 8-9bulan) yaitu kepala ada di samping kanan
atau kiri dalam rahim ibu. Bayi letak lintang tidak dapat lahir melalui jalan lahir
biasa, karena sumbu tubuh janin melintang terhadap sumbu tubuh ibu. Bayi
Ancaman gawat janin (fetal distress), yaitu keadaan gawat janin pada tahap
melakukan operasi, apalagi ditunjang kondisi ibu yang kurang menguntungkan. Bila
ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang pada rahim, mengakibatkan gangguan
pada ari-ari dan tali pusat sehingga aliran oksigen kepada bayi menjadi berkurang.
Kondisi ini bisa menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan tidak jarang
Kehamilan kembar adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih. Kehamilan
kembar dapat memberi risiko yang lebih tinggi terhadap ibu dan bayi. Oleh karena itu
dalam menghadapi kehamilan kembar harus dilakukan pengawasan hamil yang lebih
intensif. Namun jika ibu mengandung 3 janin atau lebih maka sebaiknya menjalani
sectio caesarea. Hal ini akan menjamin bayi-bayi tersebut dilahirkan dalam kondisi
Faktor plasenta meliputi plasenta previa dan solusio plasenta. Plasenta Previa
adalah plasenta yang ada di depan jalan lahir (prae=di depan; vias = jalan). Jadi yang
dimaksud dengan plasenta yang implantasinya tidak normal ialah rendah sekali
sehingga menutupi seluruh atau sebagian ostium internum. Implantasi plasenta yang
(Sinaga, 2009). Plasenta previa dibagi menjadi tiga, yaitu plasenta previa totalis,
menyebabkan bagian terdepan janin sering sekali sulit untuk memasuki pintu atas
panggul, oleh karena itu dilakukan sectio caesarea. Sectio caesarea pada plasenta
previa selain untuk mengurangi kematian bayi, juga terutama dilakukan untuk
kepentingan ibu, maka sectio caesarea juga dilakukan pada plasenta previa walaupun
rahim baik sebagian maupun seluruhnya dari tempatnya berimplantasi sebelum anak
lahir. Solusio plasenta bisa terjadi setiap waktu setelah kehamilan 20 minggu,
dengan perdarahan yang bisa keluar dari vagina, tetapi bisa juga tersembunyi dalam
rahim, yang dapat membahayakan ibu dan janinnya. Persalinan dengan sectio
caesarea biasanya dilakukan untuk menolong agar janin segera lahir sebelum
Faktor ibu yang menjadi indikasi medis dari tindakan sectio caesarea adalah
panggul sempit, fetus yang tumbuh terlampau besar atau adanya ketidakseimbangan
relatif antara ukuran kepala bayi dan pelvis (panggul). Selain itu, ada faktor disfungsi
uterus yang mencakup kerja uterus yang tidak terkoordinasi, hal ini menyebabkan
menyebabkan kemajuannya terhenti sama sekali, dan perlu penanganan dengan sectio
caesarea.
Ruptura uteri (robekan rahim) juga menjadi salah satu indikasi medis sectio
caesarea yang berasal dari ibu. Ruptura uteri adalah keadaan robekan pada rahim
dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dengan rongga
peritoneum. Secara teori robekan rahim dapat dibagi menjadi dua, yaitu ruptura uteri
spontan (karena dinding rahim lemah) dan ruptura uteri violenta (karena trauma
Partus tak maju juga merupakan indikasi medis yang lain dari sectio caesarea.
Partus tak maju berarti bahwa meskipun kontraksi uterus kuat, janin tidak dapat turun
karena faktor mekanis. Partus tak maju dapat disebabkan oleh karena disproporsi
sefalo pelvik, malpresentase dan neoplasma yang menyumbat jalan lahir. Partus tak
maju adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara, dan lebih
dari 18 jam pada multipara. Indikasi yang lain yaitu Pre-eklampsia dan eklampsia
(PE/E). Pre-eklampsia adalah suatu sindrom yang dijumpai pada ibu hamil di atas 20
minggu ditandai dengan hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa edema.
Eklampsia adalah pre-eklampsia disertai dengan gejala kejang umum yang terjadi
pada waktu hamil, waktu partus atau dalam 7 hari post partum bukan karena epilepsi.
Amerika Serikat, pada tahun 1994 menunjukkan bahwa setengah dari jumlah
tidak ada kedaruratan persalinan untuk menyelamatkan ibu dan janin yang
dikandungnya. Indikasi sosial timbul oleh karena permintaan pasien walaupun tidak
ada masalah atau kesulitan dalam persalinan normal. Hal ini didukung oleh adanya
di kota-kota besar mengaitkan waktu kelahiran dengan peruntungan nasib anak dilihat
dari faktor ekonomi. Tentunya tindakan sectio caesarea dilakukan dengan harapan
apabila anak dilahirkan pada tanggal dan jam tertentu, maka akan memperoleh rezeki
dan kehidupan yang baik. Adanya ketakutan ibu-ibu akan kerusakan jalan lahir
(vagina) sebagai akibat dari persalinan normal, menjadi alasan ibu memilih bersalin
dengan cara sectio caesarea. Padahal penelitian membuktikan bahwa mitos tersebut
Pendapat lain yaitu, bayi yang dilahirkan dengan sectio caesarea menjadi
lebih pandai karena kepalanya tidak terjepit di jalan lahir. Padahal sebenarnya tidak
ada perbedaan antara kecerdasan bayi yang dilahirkan dengan cara sectio caesarea
ataupun pervagina. Di sisi lain, persalinan dengan sectio caesarea dipilih oleh ibu
bersalin karena tidak mau mengalami rasa sakit dalam waktu yang lama. Hal ini
terjadi karena kekhawatiran atau kecemasan menghadapi rasa sakit pada persalinan
normal.
Kebanyakan ahli gizi menyarankan agar wanita yang memberikan ASI dalam
periode setelah melahirkan mendapatkan paling sedikit 2500 kalori (10500 kJ) dalam
satu hari (Llewellyn, 2002). Sama halnya dengan wanita yang melahirkan secara
normal, wanita yang melahirkan secara sectio caesarea juga memerlukan asupan
makanan yang kaya energi dan protein. Pemberian diet pada pasien pascabedah sectio
caesarea pada dasarnya sama dengan diet yang diberikan pada pasien pascabedah
lainnya yaitu dengan memberikan diet yang mengandung tinggi kalori dan protein.
invansif dengan cara membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan yang akan
ditangani melalui sayatan yang diakhiri dengan penutupan dan dan penjahitan luka,
dimana pada masa setelah operasi terjadi suatu fase metabolisme baik anabolisme
(New Zealand) menemukan bahwa 1 dari 5 pasien mengalami kurang energi protein,
pada pasien bedah umum dengan penyakit gastrointestinal mayor dijumpai bahwa 1
dari 2 atau 3 pasien mengalami kurang energi protein, sehingga dalam perawatannya
perlu diberikan diet TKTP untuk mengatasi kekurangan energi dan protein tersebut
pemulihan pasien.
Pasien yang menjalani operasi atau tindakan bedah juga beresiko mengalami
malnutrisi akibat menjalani puasa, stress operasi, dan peningkatan metabolisme yang
bertujuan untuk mencapai hasil yang optimal dari operasi, dan mengurangi morbiditas
operasi diantaranya infeksi luka operasi, penyembuhan luka yang lambat, pneumonia,
vitamin, mineral, dan trace element yang adekuat untuk mengkoreksi kehilangan
komposisi tubuh dan untuk mempertahankan keadaan normal dari zat-zat gizi
tersebut. Oleh karena itu pada pasien-pasien hipoalbumin khususnya dan pasien
bedah pada umumnya di RSUP Dr. Kariadi diberikan diet TKTP (Anonymous, 2011).
Survei menemukan bahwa 40-50% dari pasien dirawat rumah sakit beresiko
untuk malnutrisi dan sampai dengan 12% yang mengalami gizi buruk. Menurut
Nurhidayah (2009), pada kasus bedah kejadian kekurangan nutrisi lebih sering
memang sudah didasari oleh kondisi preoperatif yang dialami sebelumnya. Hal ini
infeksi pascabedah, lama rawat inap dan mortalitas. Keadaan ini dapat diatasi dengan
tinggi dan makanan berserat serta kalori dan cairan yang cukup direkomendasikan
kepada wanita yang baru melahirkan untuk mencegah sembelit dan mempercepat
kanker kolon adalah dengan pemberian diet tinggi kalori, protein, dan karbohidrat
apabila kondisi pasien memungkinkan setelah sebelumnya diberikan diet cair penuh
bedah hati yaitu dengan mendorong pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya
protein dengan masukan cairan adekuat, serta penggunaan suplemen dan makanan
dengan porsi lebih sedikit dan pemberian lebih sering (Wantohape, 2010).
“sedang”.(Heys SD, 1999). Malnutrisi dan berat badan yang kurang berhubungan
dengan perubahan fisiologi seluler dan fungsi organ yang penting pada pasien bedah.
Akibat dari berat badan kurang preoperatif akan meningkatkan morbiditas dan
dan sepsis sering ditemukan pada pasien-pasien dengan malnutrisi. Terapi nutrisi
yang adekuat pada pasien pascabedah berupa diet tinggi kalori tinggi protein, pada
saat yang tepat, dengan pemberian antibiotik dan terapi suportif lainnya akan menjaga
imunoterapi akan lebih berhasil dan berdaya guna jika penderita dalam keadaan status
(TKTP). Zeeman (1991), mengestimasi energi yang dibutuhkan itu sebesar 2000
kalori dan protein 90 – 100 g/hari kepada penderita dengan status gizi baik. Jumlah
ini diperlukan untuk mempertahankan status gizinya. Pada keadaan gizi kurang untuk
Oleh karena kemajuan yang pesat dalam bidang anastesi, keluhan mual dan
ditemukan,kecuali bila peristaltik usus kurang baik (paralisis) dan perut menjadi
kembung.
platus (usus mulai bekerja yang ditandai dengan buang angin), lalu dimulailah dengan
pemberian minuman dan makanan per oral. Sebenarnya pemberian sedikit minuman
sudah dapat diberikan 6-10 jam pascabedah berupa air putih atau air teh atau air es
hisap (ijs chip) yang jumlahnya dapat dinaikkan pada hari pertama dan kedua
Almatsier (2006), adapun tujuan dari pemberian diet pascabedah adalah untuk
mengupayakan agar status gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat
proses penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara
dan cairan
bertahap mulai dari bentuk cair, saring, lunak, dan biasa. Pemberian makanan dari
tahap ke tahap tergantung pada macam pembedahan dan keadaan pasien yaitu pada
pascabedah kecil, makanan diusahakan secepat mungkin kembali seperti biasa atau
secara bertahap mulai dari diet pascabedah I, II, III, dan IV.
Diet ini diberikan kepada pasien pascabedah sectio caesarea setelah pasien
sadar dan tidak mual serta ada tanda-tanda usus mulai bekerja. Diet ini diberikan
selama 6 jam setelah proses bedah sectio caesarea. Diet diberikan dalam bentuk
makanan cair jernih. Menurut Almatsier (2006), makanan cair jernih adalah makanan
yang disajikan dalam bentuk cairan jernih pada suhu ruang dengan kandungan sisa
(residu) minimal dan tembus pandang bila diletakkan dalam wadah bening.
Pemberian makanan dalam waktu yang singkat yaitu 1-2 hari, karena nilai gizinya
sangat rendah dengan syarat pemberian yaitu porsi kecil dan diberikan sering.
Adapun menu makanan sehari diet pascabedah I yang merupakan makanan cair jernih
diberikan dalam bentuk cair kental, berupa kaldu jernih, sirup, sari buah, sop, susu,
dan puding rata-rata 8-10 kali sehari selama pasien tidak tidur. Diet pascabedah II
diberikan secara berangsur dimulai 50 ml/jam. Air jeruk dan minuman yang
mengandung karbondioksida tidak boleh diberikan pada DPB II ini. Bahan makanan
sehari dan nilai gizi DPB II dapat dilihat pada Tabel berikut.
mempunyai konsistensi kental atau semipadat pada suhu kamar, yang tidak
membutuhkan proses mengunyah dan mudah ditelan. Makanan yang diberikan harus
cukup energi dan protein, tidak merangsang saluran cerna, dan diberikan secara
bertahap dalam porsi kecil dan sering (tiap 2-3 jam). Pemberian makanan cair kental
sebagai peralihan DPB I menuju DPB II kepada pasien pascabedah sectio caesarea
Nilai gizi bahan makanan sehari diet pascabedah II yang diberikan kepada
sebagai peralihan diet pascabedah II. Makanan diberikan dalam bentuk makanan
saring ditambah susu dan biskuit. Pemberian cairan hendaknya tidak melebihi 2000
ml sehari. Pemberian diet ini bertujan untuk memberikan makanan dalam bentuk
pendek sebagai proses adaptasi terhadap bentuk makanan yang lebih padat. Makanan
yang tidak dianjurkan dalam diet pascabedah III ini adalah makanan dengan bumbu
tajam dan minuman yang mengandung karbondioksida. Bahan makanan sehari DPB
Bahan makanan sehari seperti pada Tabel 2.4. ditambah dengan pemberian
susu 1 gls dan gula pasir 20 g pada pukul 16.00 WIB dan pemberian biskuit pada
pukul 22.00 WIB. DPB III diberikan dalam waktu yang singkat selama 1-3 hari
karena kurang memenuhi kebutuhan gizi terutama energi dan tiamin. Pemberian
makanan dalam porsi kecil dan sering yaitu 6-8 kali sehari dalam bentuk rendah serat.
Nilai gizi diet pascabedah III yang diberikan kepada pasien pascabedah sectio
sesuai dengan kemampuan pasien, dimana makanan diberikan dalam bentuk makanan
lunak dengan pembagian waktu makan yaitu 3 kali makanan lengkap dan 1 kali
makanan selingan. Menurut Almatsier (2006), makanan lunak adalah makanan yang
memiliki tekstur yang mudah dikunyah, ditelan, dan dicerna dibanding makanan
biasa. Makanan lunak harus merupakan makanan rendah serat dan tidak mengandung
bumbu yang tajam. Bahan makanan sehari DPB IV dapat dilihat pada Tabel 2.6.
pada Tabel di 2.6, dan apabila makanan pokok dalam bentuk bubur atau nasi tim yang
diberikan tidak habis, sebagai pengganti dapat diberikan makanan selingan pukul
16.00 dan pukul 22.00 WIB berupa 2 buah biskuit atau 1 porsi puding dan 1 gelas
susu. Makanan yang tidak dianjurkan dalam DPB IV adalah makanan dengan bumbu
Nilai gizi diet pascabedah IV yang diberikan kepada pasien pascabedah sectio
caesarea dapat dilihat pada Tabel berikut. Nilai gizi diet pascabedah IV ini sudah
cukup baik dalam hal energi, protein, maupun zat gizi lain.
Setelah cairan infus dihentikan, diberikan berupa bubur saring (MI), minuman
air buah dan susu, selanjutnya secara bertahap diberikan makanan berupa bubur
(MII), dan akhirnya diberikan makanan biasa (MB). Makanan dengan konsistensi
makanan biasa (MB) diberikan dalam bentuk diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
(TKTP). Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP), yang sering juga disebut dengan
diet Energi Tinggi Protein Tinggi (ETPT) yaitu diet yang mengandung energi dan
makanan biasa ditambah dengan makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur,
dan daging. Diet ini diberikan bila pasien telah mempunyai nafsu makan dan dapat
Pemberian diet TKTP ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi dan
protein yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh,
dan untuk menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal (Almatsier,
2006). Adapun syarat-syarat diet TKTP ini adalah energi tinggi, yaitu 40-45 kkal/kg
BB; protein tinggi, yaitu 2,0-2,5 g/kg BB; lemak cukup, yaitu 10-25 % dari
kebutuhan energi total; karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total;
vitamin dan mineral cukup sesuai kebutuhan normal; dan makanan diberikan dalam
Pemberian diet TKTP disesuaikan dengan jenis diet TKTP yang harus
diberikan. Adapun jenis diet TKTP adalah berupa diet TKTP I dan diet TKTP II. Diet
TKTP I dengan energi 2600 kkal dan protein 100 g (2 g/kg BB). Diet TKTP II
dengan energi 3000 kkal dan protein sebesar 125 g (2,5 g/kg BB). Indikasi pemberian
diet TKTP ini adalah pada penderita Kurang Energi Protein (KEP); sebelum dan
setelah operasi tertentu multitrauma, serta selama radioterapi dan kemoterapi; pada
pasien luka bakar berat dan baru sembuh dari penyakit dengan panas tinggi; pasien
penderita hipertiroid, hamil, dan post-partum dimana kebutuhan energi dan protein
bahan makanan yang ditambahkan yaitu berupa susu, telur ayam, daging, formula
Tabel 2.8.
seperti yang terdapat pada Tabel 2.8. ditambahkan dengan bahan makanan seperti
pada Tabel 2.10. dan nilai gizi berdasarkan jenis diet TKTP nya dapat dilihat pada
Tabel 2.11.
Tabel 2.11. Nilai Gizi Bahan Makanan untuk Diet TKTP berdasarkan Jenis Dietnya
Menurut Almatsier (2006), ada beberapa bahan makanan yang dianjurkan dan
tidak dianjurkan berdasarkan golongan bahan makanan dalam diet Tinggi Kalori
Tinggi Protein (TKTP). Adapun bahan makanan tersebut dapat dilihat pada Tabel
2.12.
Sumber Protein Hewani Daging sapi, ayam, ikan, Dimasak dengan banyak
telur, susu, dan hasil olah minyak atau kelapa/
seperti keju dan yoghurt santan kental
custard dan es krim
Protein (TKTP) pada pasien pascabedah sectio caesarea di RSUD Sidikalang yaitu:
Lama waktu
pemulihan pasien
pascabedah sectio
caesarea
Keterangan:
mencakup variabel diet pascabedah dan TKTP pada pasien pascabedah sectio
caesarea di RSUD Sidikalang meliputi Diet Pascabedah I, II, III, dan IV, serta diet
yaitu untuk mengetahui apakah ketersediaan energi, protein, lemak, dan karbohidrat
dalam diet pascabedah dan diet TKTP pada pasien pascabedah sectio caesarea yaitu
TKTP I dengan energi 2600 kkal dan protein sebesar 100 g (2 g/kg BB), diet TKTP II
dengan energi 3000 kkal dan protein sebesar 125 g (2,5 g/kg BB). Hal ini dapat
diketahui dengan menghitung ketersediaan zat gizi makanan TKTP yang diberikan
oleh pihak rumah sakit. Diet pascabedah mulai dari diet pascabedah I hingga diet
berdasarkan nilai gizi dalam bahan makanan sehari masing-masing diet pascabedah.