Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sectio Caesarea

Istilah sectio caesarea berasal dari perkataan Latin yaitu ”caedere”, yang

artinya memotong. Pengertian ini semula ditemukan dalam Roman Law (Lex Regia)

dan Emperor’s Law (Lex Caesarea), yaitu undang-undang yang meghendaki supaya

janin dalam kandungan ibu-ibu yang meninggal harus dikeluarkan dari dalam rahim

(Mochtar, 2000). Sectio caesarea adalah persalinan melalui pembedahan untuk

mengeluarkan bayi dari rahim lewat suatu irisan/sayatan pada perut bagian bawah dan

rahim (Whalley dkk, 2008). Menurut Mochtar (2000), pada masa dulu, sectio

caesarea dilakukan atas indikasi yang terbatas pada panggul sempit dan plasenta

previa. Meningkatnya angka kejadian sectio caesarea pada waktu sekarang ini,

disebabkan karena berkembangnya indikasi dan makin kecilnya resiko dan mortalitas

dengan cara ini karena kemajuan teknik operasi dan anastesi, serta ampuhnya

antibiotika dan kemoterapi.

Menurut Indiarti (2006), alasan untuk melakukan sectio caesarea pada ibu

hamil atau ibu dalam persalinan adalah plasenta menghalangi jalan lahir (placenta

previa), perdarahan dalam kehamilan lanilla, kelainan letak (seperti letak lintang,

letak sungsang), ketidaksesuaian antara jalan lahir ibu dengan besarnya janin atau

presentasi janin (panggul sempit, anak besar, letak dahi, letak muka, dan sebagainya),

ketuban pecah sebelum waktunya yang setelah diantisipasi tidak memberikan

kemajuan dalam persalinan, persalinan tidak maju, drip oksitosin yang gagal, ibu

Universitas Sumatera Utara


mengalami preeklamsi berat (keracunan kehamilan, hipertensi dalam kehamilan) atau

eklamsi (preeklamsi yang disertai kejang), serta kelainan bentuk rahim.

2.2. Jenis Sectio Caesarea

Menurut Sinaga (2009), ada dua jenis jenis sectio caesarea yang dikenal yaitu

sectio caesarea transperitonealis dan sectio caesarea ekstraperitonealis. Sectio

caesarea transperitonealis terdiri atas dua bagian yaitu sectio caesarea klasik dan

sectio caesarea profunda. Sectio caesarea klasik merupakan pembedahan dimana

pembedahan dilakukan dengan sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira

sepanjang 10 cm. Keuntungan tindakan ini adalah mengeluarkan janin lebih cepat,

tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik dan sayatan bias

diperpanjang proksimal dan distal. Kerugian yang dapat muncul adalah infeksi mudah

menyebar secara intraabdominal dan lebih sering terjadi ruptura uteri spontan pada

persalinan berikutnya.

Sectio caesarea profunda dikenal juga dengan sebutan low cervical yaitu

sayatan pada segmen bawah rahim. Keuntungannya adalah penjahitan luka lebih

mudah, kemungkinan rupture uteri spontan lebih kecil dibandingkan dengan sectio

caesarea dengan cara klasik, sedangkan kekurangannya yaitu perdarahan yang

banyak dan keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.

Sectio caesarea ekstraperitonealis, yaitu sectio caesarea berulang pada

seorang pasien yang pernah melakukan sectio caesarea sebelumnya. Biasanya

dilakukan di atas bekas luka yang lama. Tindakan ini dilakukan dengan insisi dinding

dan fasia abdomen sementara peritoneum dipotong ke arah kepala untuk memaparkan

Universitas Sumatera Utara


segmen bawah uterus sehingga uterus dapat dibuka secara ekstraperitoneum. Pada

saat ini pembedahan ini tidak banyak dilakukan lagi untuk mengurangi bahaya infeksi

puerperal.

2.3. Indikasi Sectio Caesarea

2.3.1. Indikasi Medis

Melahirkan dengan cara sectio caesarea sebaiknya dilakukan atas

pertimbangan medis dengan memperhatikan kesehatan ibu maupun bayinya. Artinya,

janin atau ibu dalam keadaan gawat dan hanya dapat diselamatkan jika persalinan

dilakukan dengan jalan sectio caesarea, dengan tujuan untuk memperkecil terjadinya

risiko yang membahayakan jiwa ibu dan bayinya.

2.3.1.1. Faktor Janin

Menurut Sinaga (2009), faktor janin turut menjadi indikasi medis dari sectio

caesarea. Faktor janin meliputi bayi terlalu besar, kelainan letak bayi, ancaman gawat

janin (fetal distress), bayi kembar, dan faktor plasenta. Berat bayi lahir sekitar 4000

gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir.

Umumnya, pertumbuhan janin yang berlebihan karena ibu menderita kencing manis

(diabetes mellitus), yang biasanya disebut bayi besar objektif. Bayi terlalu besar

mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk terjadinya komplikasi persalinan.

Kelainan letak bayi meliputi letak sungsang dan letak lintang. Saat ini lebih

banyak bayi letak sungsang yang lahir dengan sectio caesarea. Hal ini karena risiko

kematian dan cacat/kecelakaan lewat vagina (spontan) jauh lebih tinggi. Lebih dari

50% bayi pernah mengalami letak sungsang dalam kurun 9 bulan kehamilan.

Penyebab letak sungsang sering tidak diketahui pasti, secara teori dapat terjadi karena

Universitas Sumatera Utara


faktor ibu seperti kelainan bentuk rahim, tumor jinak rahim/mioma, dan letak plasenta

yang lebih rendah (Sinaga, 2009). Letak lintang merupakan kelainan letak janin di

dalam rahim pada kehamilan tua (hamil 8-9bulan) yaitu kepala ada di samping kanan

atau kiri dalam rahim ibu. Bayi letak lintang tidak dapat lahir melalui jalan lahir

biasa, karena sumbu tubuh janin melintang terhadap sumbu tubuh ibu. Bayi

membutuhkan pertolongan sectio caesarea.

Ancaman gawat janin (fetal distress), yaitu keadaan gawat janin pada tahap

persalinan, dimana pada keadaan tersebut memungkinkan dokter memutuskan untuk

melakukan operasi, apalagi ditunjang kondisi ibu yang kurang menguntungkan. Bila

ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang pada rahim, mengakibatkan gangguan

pada ari-ari dan tali pusat sehingga aliran oksigen kepada bayi menjadi berkurang.

Kondisi ini bisa menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan tidak jarang

meninggal dalam rahim.

Kehamilan kembar adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih. Kehamilan

kembar dapat memberi risiko yang lebih tinggi terhadap ibu dan bayi. Oleh karena itu

dalam menghadapi kehamilan kembar harus dilakukan pengawasan hamil yang lebih

intensif. Namun jika ibu mengandung 3 janin atau lebih maka sebaiknya menjalani

sectio caesarea. Hal ini akan menjamin bayi-bayi tersebut dilahirkan dalam kondisi

sebaik mungkin dengan trauma minimum.

Faktor plasenta meliputi plasenta previa dan solusio plasenta. Plasenta Previa

adalah plasenta yang ada di depan jalan lahir (prae=di depan; vias = jalan). Jadi yang

dimaksud dengan plasenta yang implantasinya tidak normal ialah rendah sekali

sehingga menutupi seluruh atau sebagian ostium internum. Implantasi plasenta yang

Universitas Sumatera Utara


normal ialah pada dinding depan atau dinding belakang rahim di daerah fundus uteri

(Sinaga, 2009). Plasenta previa dibagi menjadi tiga, yaitu plasenta previa totalis,

plasenta previa lateralis, dan plasenta previa marginalis. Plasenta previa

menyebabkan bagian terdepan janin sering sekali sulit untuk memasuki pintu atas

panggul, oleh karena itu dilakukan sectio caesarea. Sectio caesarea pada plasenta

previa selain untuk mengurangi kematian bayi, juga terutama dilakukan untuk

kepentingan ibu, maka sectio caesarea juga dilakukan pada plasenta previa walaupun

anak sudah mati.

Solusio plasenta merupakan kondisi dimana plasenta terlepas dari dinding

rahim baik sebagian maupun seluruhnya dari tempatnya berimplantasi sebelum anak

lahir. Solusio plasenta bisa terjadi setiap waktu setelah kehamilan 20 minggu,

kebanyakan terjadi dalam trimester ketiga. Pelepasan plasenta biasanya ditandai

dengan perdarahan yang bisa keluar dari vagina, tetapi bisa juga tersembunyi dalam

rahim, yang dapat membahayakan ibu dan janinnya. Persalinan dengan sectio

caesarea biasanya dilakukan untuk menolong agar janin segera lahir sebelum

mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban dan menghentikan

perdarahan yang mengancam nyawa ibu.

2.3.1.2. Faktor Ibu

Faktor ibu yang menjadi indikasi medis dari tindakan sectio caesarea adalah

disproporsi sefalo pelvik (ketidakseimbangan kepala dan panggul ibu), mencakup

panggul sempit, fetus yang tumbuh terlampau besar atau adanya ketidakseimbangan

relatif antara ukuran kepala bayi dan pelvis (panggul). Selain itu, ada faktor disfungsi

uterus yang mencakup kerja uterus yang tidak terkoordinasi, hal ini menyebabkan

Universitas Sumatera Utara


tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim, sehingga

menyebabkan kemajuannya terhenti sama sekali, dan perlu penanganan dengan sectio

caesarea.

Ruptura uteri (robekan rahim) juga menjadi salah satu indikasi medis sectio

caesarea yang berasal dari ibu. Ruptura uteri adalah keadaan robekan pada rahim

dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dengan rongga

peritoneum. Secara teori robekan rahim dapat dibagi menjadi dua, yaitu ruptura uteri

spontan (karena dinding rahim lemah) dan ruptura uteri violenta (karena trauma

pertolongan versi dan ekstraksi, ekstraksi forsep, kuretase, manual plasenta).

Partus tak maju juga merupakan indikasi medis yang lain dari sectio caesarea.

Partus tak maju berarti bahwa meskipun kontraksi uterus kuat, janin tidak dapat turun

karena faktor mekanis. Partus tak maju dapat disebabkan oleh karena disproporsi

sefalo pelvik, malpresentase dan neoplasma yang menyumbat jalan lahir. Partus tak

maju adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara, dan lebih

dari 18 jam pada multipara. Indikasi yang lain yaitu Pre-eklampsia dan eklampsia

(PE/E). Pre-eklampsia adalah suatu sindrom yang dijumpai pada ibu hamil di atas 20

minggu ditandai dengan hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa edema.

Eklampsia adalah pre-eklampsia disertai dengan gejala kejang umum yang terjadi

pada waktu hamil, waktu partus atau dalam 7 hari post partum bukan karena epilepsi.

2.3.2. Indikasi Sosial

Selain indikasi medis terdapat indikasi sosial untuk melakukan sectio

caesarea. Menurut penelitian yang dilakukan sebuah badan di Washington DC,

Amerika Serikat, pada tahun 1994 menunjukkan bahwa setengah dari jumlah

Universitas Sumatera Utara


persalinan sectio caesarea, yang secara medis sebenarnya tidak diperlukan. Artinya

tidak ada kedaruratan persalinan untuk menyelamatkan ibu dan janin yang

dikandungnya. Indikasi sosial timbul oleh karena permintaan pasien walaupun tidak

ada masalah atau kesulitan dalam persalinan normal. Hal ini didukung oleh adanya

mitos-mitos yang berkembang di masyarakat.

Persalinan yang dilakukan dengan sectio caesarea sering dikaitkan dengan

masalah kepercayaan yang masih berkembang di Indonesia. Masih banyak penduduk

di kota-kota besar mengaitkan waktu kelahiran dengan peruntungan nasib anak dilihat

dari faktor ekonomi. Tentunya tindakan sectio caesarea dilakukan dengan harapan

apabila anak dilahirkan pada tanggal dan jam tertentu, maka akan memperoleh rezeki

dan kehidupan yang baik. Adanya ketakutan ibu-ibu akan kerusakan jalan lahir

(vagina) sebagai akibat dari persalinan normal, menjadi alasan ibu memilih bersalin

dengan cara sectio caesarea. Padahal penelitian membuktikan bahwa mitos tersebut

tidak benar karena penyembuhan luka di daerah vagina hampir sempurna.

Pendapat lain yaitu, bayi yang dilahirkan dengan sectio caesarea menjadi

lebih pandai karena kepalanya tidak terjepit di jalan lahir. Padahal sebenarnya tidak

ada perbedaan antara kecerdasan bayi yang dilahirkan dengan cara sectio caesarea

ataupun pervagina. Di sisi lain, persalinan dengan sectio caesarea dipilih oleh ibu

bersalin karena tidak mau mengalami rasa sakit dalam waktu yang lama. Hal ini

terjadi karena kekhawatiran atau kecemasan menghadapi rasa sakit pada persalinan

normal.

Universitas Sumatera Utara


2.4. Diet pada Pasien Pascabedah Sectio Caesarea

Kebanyakan ahli gizi menyarankan agar wanita yang memberikan ASI dalam

periode setelah melahirkan mendapatkan paling sedikit 2500 kalori (10500 kJ) dalam

satu hari (Llewellyn, 2002). Sama halnya dengan wanita yang melahirkan secara

normal, wanita yang melahirkan secara sectio caesarea juga memerlukan asupan

makanan yang kaya energi dan protein. Pemberian diet pada pasien pascabedah sectio

caesarea pada dasarnya sama dengan diet yang diberikan pada pasien pascabedah

lainnya yaitu dengan memberikan diet yang mengandung tinggi kalori dan protein.

Pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan cara

invansif dengan cara membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan yang akan

ditangani melalui sayatan yang diakhiri dengan penutupan dan dan penjahitan luka,

dimana pada masa setelah operasi terjadi suatu fase metabolisme baik anabolisme

maupun katabolisme (Susetyowati, 2010).

Suatu survei populasi pasien bedah di Rumah Sakit Pendidikan Auckland

(New Zealand) menemukan bahwa 1 dari 5 pasien mengalami kurang energi protein,

pada pasien bedah umum dengan penyakit gastrointestinal mayor dijumpai bahwa 1

dari 2 atau 3 pasien mengalami kurang energi protein, sehingga dalam perawatannya

perlu diberikan diet TKTP untuk mengatasi kekurangan energi dan protein tersebut

(Susetyowati, dkk, 2010). Demikian halnya dengan pasien pascabedah sectio

caesarea, diberikan diet TKTP dalam perawatannya untuk mendukung kecepatan

pemulihan pasien.

Pasien yang menjalani operasi atau tindakan bedah juga beresiko mengalami

malnutrisi akibat menjalani puasa, stress operasi, dan peningkatan metabolisme yang

Universitas Sumatera Utara


terjadi sehingga diberikan nutrisi perioperatif yaitu nutrisi yang diberikan pada pasien

prabedah/praoperatif, durante/intraoperatif, dan pascabedah/pascaoperatif, yang

bertujuan untuk mencapai hasil yang optimal dari operasi, dan mengurangi morbiditas

operasi diantaranya infeksi luka operasi, penyembuhan luka yang lambat, pneumonia,

dan sepsis (Pennington, et al, 2000).

Pemberian diet pada pasien bedah adalah menyediakan kalori, protein,

vitamin, mineral, dan trace element yang adekuat untuk mengkoreksi kehilangan

komposisi tubuh dan untuk mempertahankan keadaan normal dari zat-zat gizi

tersebut. Oleh karena itu pada pasien-pasien hipoalbumin khususnya dan pasien

bedah pada umumnya di RSUP Dr. Kariadi diberikan diet TKTP (Anonymous, 2011).

Survei menemukan bahwa 40-50% dari pasien dirawat rumah sakit beresiko

untuk malnutrisi dan sampai dengan 12% yang mengalami gizi buruk. Menurut

Nurhidayah (2009), pada kasus bedah kejadian kekurangan nutrisi lebih sering

ditemukan pada penderita pascaoperasi yang membutuhkan perawatan lama atau

memang sudah didasari oleh kondisi preoperatif yang dialami sebelumnya. Hal ini

menyebabkan penyembuhan menjadi terhambat, diikuti dengan meningkatnya resiko

infeksi pascabedah, lama rawat inap dan mortalitas. Keadaan ini dapat diatasi dengan

pemberian diet berupa makanan tinggi kalori dan protein.

Menurut Bobak (2000), makanan yang mengandung protein dan vitamin C

tinggi dan makanan berserat serta kalori dan cairan yang cukup direkomendasikan

kepada wanita yang baru melahirkan untuk mencegah sembelit dan mempercepat

penyembuhan. Protein berfungsi sebagai zat pembangun bagi pertumbuhan dan

pemeliharaan jaringan tubuh, sebagai pengatur kelangsungan proses di dalam tubuh,

Universitas Sumatera Utara


sebagai pemberi tenaga dalam keadaan energi kurang tercukupi oleh karbohidrat dan

lemak (Kartasapoetra, 2008).

Penatalaksanaan diet dalam asuhan keperawatan pada pasien pascabedah

kanker kolon adalah dengan pemberian diet tinggi kalori, protein, dan karbohidrat

apabila kondisi pasien memungkinkan setelah sebelumnya diberikan diet cair penuh

hingga tanda-tanda usus mulai bekerja (Sutrisno, 2010).

Intervensi pada pasien penderita hepatoma yang telah menjalani tindakan

bedah hati yaitu dengan mendorong pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya

protein dengan masukan cairan adekuat, serta penggunaan suplemen dan makanan

dengan porsi lebih sedikit dan pemberian lebih sering (Wantohape, 2010).

Lebih dari 1/3 pasien bedah gastrointestinal mengalami malnutrisi

“sedang”.(Heys SD, 1999). Malnutrisi dan berat badan yang kurang berhubungan

dengan perubahan fisiologi seluler dan fungsi organ yang penting pada pasien bedah.

Akibat dari berat badan kurang preoperatif akan meningkatkan morbiditas dan

mortalitas postoperatif. Komplikasi seperti bocornya anastomosis usus, dehisensi luka

dan sepsis sering ditemukan pada pasien-pasien dengan malnutrisi. Terapi nutrisi

yang adekuat pada pasien pascabedah berupa diet tinggi kalori tinggi protein, pada

saat yang tepat, dengan pemberian antibiotik dan terapi suportif lainnya akan menjaga

keseimbangan pasien (Labeda, 2011).

Pada penderita kanker kebutuhan gizi meningkat akibat proses keganasan di

lain pihak, pengobatan, dan pembedahan, penyinaran, kemoterapi, maupun

imunoterapi akan lebih berhasil dan berdaya guna jika penderita dalam keadaan status

gizi baik (Uripi, 2002).

Universitas Sumatera Utara


Umumnya, penderita kanker membutuhkan diet tinggi kalori dan protein

(TKTP). Zeeman (1991), mengestimasi energi yang dibutuhkan itu sebesar 2000

kalori dan protein 90 – 100 g/hari kepada penderita dengan status gizi baik. Jumlah

ini diperlukan untuk mempertahankan status gizinya. Pada keadaan gizi kurang untuk

pemulihan dibutuhkan 4000 kalori dan protein 100 – 200 g/hari.

Oleh karena kemajuan yang pesat dalam bidang anastesi, keluhan mual dan

muntah pascabedah sekarang ini sudah sangat berkurang bahkan jarang

ditemukan,kecuali bila peristaltik usus kurang baik (paralisis) dan perut menjadi

kembung.

Pemberian cairan per infus biasanya dihentikan setelah pasien mengalami

platus (usus mulai bekerja yang ditandai dengan buang angin), lalu dimulailah dengan

pemberian minuman dan makanan per oral. Sebenarnya pemberian sedikit minuman

sudah dapat diberikan 6-10 jam pascabedah berupa air putih atau air teh atau air es

hisap (ijs chip) yang jumlahnya dapat dinaikkan pada hari pertama dan kedua

pascabedah (Mochtar, 2000). Pemberian minuman secara bertahap dapat disebut

sebagai diet pascabedah.

Diet pascabedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah

menjalani pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada

macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta (Almatsier, 2006). Menurut

Almatsier (2006), adapun tujuan dari pemberian diet pascabedah adalah untuk

mengupayakan agar status gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat

proses penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara

memberikan kebutuhan dasar (cairan, energi, protein), mengganti kehilangan protein,

Universitas Sumatera Utara


glikogen, zat besi, dan zat gizi lain, serta memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit

dan cairan

Syarat pemberian diet pascabedah adalah memberikan makanan secara

bertahap mulai dari bentuk cair, saring, lunak, dan biasa. Pemberian makanan dari

tahap ke tahap tergantung pada macam pembedahan dan keadaan pasien yaitu pada

pascabedah kecil, makanan diusahakan secepat mungkin kembali seperti biasa atau

normal. Pada pascabedah besar , makanan diberikan secara berhati-hati disesuaikan

dengan kemampuan pasien untuk menerimanya. Adapun pemberian diet pascabedah

secara bertahap mulai dari diet pascabedah I, II, III, dan IV.

2.4.1. Diet Pascabedah I (DPB I)

Diet ini diberikan kepada pasien pascabedah sectio caesarea setelah pasien

sadar dan tidak mual serta ada tanda-tanda usus mulai bekerja. Diet ini diberikan

selama 6 jam setelah proses bedah sectio caesarea. Diet diberikan dalam bentuk

makanan cair jernih. Menurut Almatsier (2006), makanan cair jernih adalah makanan

yang disajikan dalam bentuk cairan jernih pada suhu ruang dengan kandungan sisa

(residu) minimal dan tembus pandang bila diletakkan dalam wadah bening.

Pemberian makanan dalam waktu yang singkat yaitu 1-2 hari, karena nilai gizinya

sangat rendah dengan syarat pemberian yaitu porsi kecil dan diberikan sering.

Adapun menu makanan sehari diet pascabedah I yang merupakan makanan cair jernih

dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1. Contoh Menu Sehari Diet Pascabedah I

Waktu Makan Menu


Pagi Teh

Pukul 10.00 Air bubur kacang hijau

Siang Kaldu jernih


Air jeruk

Pukul 16.00 Teh

Malam Kaldu jernih


Air jeruk

Sumber: Almatsier, 2006

2.4.2. Diet Pascabedah II (DPB II)

Diberikan sebagai perpindahan dari diet pascabedah I, dimana makanan

diberikan dalam bentuk cair kental, berupa kaldu jernih, sirup, sari buah, sop, susu,

dan puding rata-rata 8-10 kali sehari selama pasien tidak tidur. Diet pascabedah II

diberikan secara berangsur dimulai 50 ml/jam. Air jeruk dan minuman yang

mengandung karbondioksida tidak boleh diberikan pada DPB II ini. Bahan makanan

sehari dan nilai gizi DPB II dapat dilihat pada Tabel berikut.

Menurut Almatsier (2006), makanan cair kental adalah makanan yang

mempunyai konsistensi kental atau semipadat pada suhu kamar, yang tidak

membutuhkan proses mengunyah dan mudah ditelan. Makanan yang diberikan harus

cukup energi dan protein, tidak merangsang saluran cerna, dan diberikan secara

bertahap dalam porsi kecil dan sering (tiap 2-3 jam). Pemberian makanan cair kental

sebagai peralihan DPB I menuju DPB II kepada pasien pascabedah sectio caesarea

bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh dan mencegah aspirasi

Universitas Sumatera Utara


(cairan masuk ke dalam saluran napas). Pembagian bahan makanan sehari DPB II

dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2. Bahan Makanan Sehari Diet Pascabedah II

Bahan Makanan Berat (g) URT


Beras 200 1 bh bsr
Maizena 15 3 sdm
Telur ayam 100 2 btr
Sayuran 100 1 gls
Jagung muda 85 2 bh sdg
Pepaya 200 2 ptg sdg
Gula pasir 90 9 sdm
Margarin 10 1 sdm
Susu 800 4 gls
Sumber: Almatsier, 2006

Nilai gizi bahan makanan sehari diet pascabedah II yang diberikan kepada

pasien pascabedah sectio caesarea dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Nilai Gizi Diet Pascabedah II (DPB II)

Zat Gizi Jumlah Satuan


Energi 1385 kkal
Protein 49 g
Lemak 50 g
Karbohidrat 199 g
Kalsium 386 mg
Besi 21,8 mg
Vitamin A 2628,6 RE
Tiamin 0,8 mg
Vitamin C 190 mg
Sumber: Almatsier, 2006

2.4.3. Diet Pascabedah III (DPB III)

Diet pascabedah II diberikan kepada pasien pascabedah sectio caesarea

sebagai peralihan diet pascabedah II. Makanan diberikan dalam bentuk makanan

saring ditambah susu dan biskuit. Pemberian cairan hendaknya tidak melebihi 2000

ml sehari. Pemberian diet ini bertujan untuk memberikan makanan dalam bentuk

Universitas Sumatera Utara


semipadat dengan jumlah mendekati kebutuhan gizi pasien untuk jangka waktu

pendek sebagai proses adaptasi terhadap bentuk makanan yang lebih padat. Makanan

yang tidak dianjurkan dalam diet pascabedah III ini adalah makanan dengan bumbu

tajam dan minuman yang mengandung karbondioksida. Bahan makanan sehari DPB

III dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Bahan Makanan Sehari Diet Pascabedah III

Bahan Makanan Berat (g) URT


Tepung beras 90 15 sdm
Maizena 15 3 sdm
Telur ayam 50 1 btr
Daging sapi 100 2 ptg sdg
Tahu 100 1 bh bsr
Kacang hijau 25 2½ sdm
Pepaya 300 3 ptg sdg
Margarin 10 1 sdm
Santan 100 ½ gls
Gula pasir 60 6 sdm
Gula merah 50 5 sdm
Susu 500 2 ½ sdm
Sumber: Almatsier, 2006

Bahan makanan sehari seperti pada Tabel 2.4. ditambah dengan pemberian

susu 1 gls dan gula pasir 20 g pada pukul 16.00 WIB dan pemberian biskuit pada

pukul 22.00 WIB. DPB III diberikan dalam waktu yang singkat selama 1-3 hari

karena kurang memenuhi kebutuhan gizi terutama energi dan tiamin. Pemberian

makanan dalam porsi kecil dan sering yaitu 6-8 kali sehari dalam bentuk rendah serat.

Nilai gizi diet pascabedah III yang diberikan kepada pasien pascabedah sectio

caesarea dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.5. Nilai Gizi Diet Pascabedah III (DPB III)

Zat Gizi Jumlah Satuan


Energi 2192 kkal
Protein 73 g
Lemak 72 g
Karbohidrat 319 g
Kalsium 1286 mg
Besi 24,4 mg
Vitamin A 2856 RE
Tiamin 0,8 mg
Vitamin C 243,5 mg
Sumber: Almatsier, 2006

2.4.4. Diet Pascabedah IV (DPB IV)

Diet pascabedah IV diberikan kepada pasien pascabedah sectio caesarea

sesuai dengan kemampuan pasien, dimana makanan diberikan dalam bentuk makanan

lunak dengan pembagian waktu makan yaitu 3 kali makanan lengkap dan 1 kali

makanan selingan. Menurut Almatsier (2006), makanan lunak adalah makanan yang

memiliki tekstur yang mudah dikunyah, ditelan, dan dicerna dibanding makanan

biasa. Makanan lunak harus merupakan makanan rendah serat dan tidak mengandung

bumbu yang tajam. Bahan makanan sehari DPB IV dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6. Bahan Makanan Sehari Diet Pascabedah IV

Bahan Makanan Berat (g) URT


Beras 250 5 gls nasi tim
Daging 100 2 ptg sdg
Telur ayam 50 1 btr
Tempe 100 4 ptg sdg
Kacang hijau 25 2 ½ sdm
Sayuran 200 2 gls
Buah pepaya 200 2 ptg sdg
Gula pasir 50 5 sdm
Minyak 25 2 ½ sdm
Susu 200 1 gls
Sumber: Almatsier, 2006

Universitas Sumatera Utara


Pemberian diet pascabedah IV didasarkan pada bahan makanan sehari seperti

pada Tabel di 2.6, dan apabila makanan pokok dalam bentuk bubur atau nasi tim yang

diberikan tidak habis, sebagai pengganti dapat diberikan makanan selingan pukul

16.00 dan pukul 22.00 WIB berupa 2 buah biskuit atau 1 porsi puding dan 1 gelas

susu. Makanan yang tidak dianjurkan dalam DPB IV adalah makanan dengan bumbu

tajam dan yang mengandung karbondioksida (CO2).

Nilai gizi diet pascabedah IV yang diberikan kepada pasien pascabedah sectio

caesarea dapat dilihat pada Tabel berikut. Nilai gizi diet pascabedah IV ini sudah

cukup baik dalam hal energi, protein, maupun zat gizi lain.

Tabel 2.7. Nilai Gizi Diet Pascabedah IV (DPB IV)

Zat Gizi Jumlah Satuan


Energi 2434 kkal
Protein 86 g
Lemak 73 g
Karbohidrat 361 g
Kalsium 1117 mg
Besi 22,8 mg
Vitamin A 4052 RE
Tiamin 1,1 mg
Vitamin C 163,5 mg
Sumber: Almatsier, 2006

2.4.5. Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP)

Setelah cairan infus dihentikan, diberikan berupa bubur saring (MI), minuman

air buah dan susu, selanjutnya secara bertahap diberikan makanan berupa bubur

(MII), dan akhirnya diberikan makanan biasa (MB). Makanan dengan konsistensi

makanan biasa (MB) diberikan dalam bentuk diet Tinggi Kalori Tinggi Protein

(TKTP). Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP), yang sering juga disebut dengan

diet Energi Tinggi Protein Tinggi (ETPT) yaitu diet yang mengandung energi dan

Universitas Sumatera Utara


protein di atas kebutuhan normal (Almatsier, 2006). Diet ini diberikan dalam bentuk

makanan biasa ditambah dengan makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur,

dan daging. Diet ini diberikan bila pasien telah mempunyai nafsu makan dan dapat

menerima makanan lengkap.

Pemberian diet TKTP ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi dan

protein yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh,

dan untuk menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal (Almatsier,

2006). Adapun syarat-syarat diet TKTP ini adalah energi tinggi, yaitu 40-45 kkal/kg

BB; protein tinggi, yaitu 2,0-2,5 g/kg BB; lemak cukup, yaitu 10-25 % dari

kebutuhan energi total; karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total;

vitamin dan mineral cukup sesuai kebutuhan normal; dan makanan diberikan dalam

bentuk mudah cerna (Almatsier, 2006).

Pemberian diet TKTP disesuaikan dengan jenis diet TKTP yang harus

diberikan. Adapun jenis diet TKTP adalah berupa diet TKTP I dan diet TKTP II. Diet

TKTP I dengan energi 2600 kkal dan protein 100 g (2 g/kg BB). Diet TKTP II

dengan energi 3000 kkal dan protein sebesar 125 g (2,5 g/kg BB). Indikasi pemberian

diet TKTP ini adalah pada penderita Kurang Energi Protein (KEP); sebelum dan

setelah operasi tertentu multitrauma, serta selama radioterapi dan kemoterapi; pada

pasien luka bakar berat dan baru sembuh dari penyakit dengan panas tinggi; pasien

penderita hipertiroid, hamil, dan post-partum dimana kebutuhan energi dan protein

meningkat (Almatsier, 2006).

Bahan makanan sehari adalah berupa makanan biasa ditambahkan dengan

bahan makanan yang ditambahkan yaitu berupa susu, telur ayam, daging, formula

Universitas Sumatera Utara


komersial, dan gula pasir. Adapun pembagian makanan tersebut dapat dilihat pada

Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Bahan Makanan untuk Makanan Biasa dalam Sehari

Bahan Makanan Berat (g) URT


Beras 300 4 ½ gls nasi
Daging 100 2 ptg sdg
Telur ayam 50 1 btr
Tempe 100 4 ptg sdg
Kacang hijau 25 2 ½ sdm
Sayuran 200 2 gls
Buah pepaya 200 2 ptg sdg
Gula pasir 25 2 ½ sdm
Minyak 30 3 sdm
Sumber: Almatsier, 2006

Tabel 2.9. Nilai Gizi Diet Makanan Biasa

Zat Gizi Jumlah Satuan


Energi 2146 kkal
Protein 76 g
Lemak 59 g
Karbohidrat 331 g
Kalsium 622 mg
Besi 20,8 mg
Vitamin A 3761 RE
Tiamin 1,0 mg
Vitamin C 237 mg
Sumber: Almatsier, 2006

Selanjutnya, untuk bahan makanan TKTP adalah bahan makanan biasa

seperti yang terdapat pada Tabel 2.8. ditambahkan dengan bahan makanan seperti

pada Tabel 2.10. dan nilai gizi berdasarkan jenis diet TKTP nya dapat dilihat pada

Tabel 2.11.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.10. Bahan Makanan untuk Diet TKTP yang ditambahkan pada Makanan
Biasa

Bahan Makanan TKTP I TKTP II


Berat (g) URT Berat (g) URT
Susu 200 1 gls 400 2 gls
Telur ayam 50 1 btr 100 2 btr
Daging 50 1 ptg sdg 100 2 ptg sdg
Formula komersial 200 1 gls 200 1 gls
Gula pasir 30 3 sdm 30 3 sdm
Sumber: Almatsier, 2006

Tabel 2.11. Nilai Gizi Bahan Makanan untuk Diet TKTP berdasarkan Jenis Dietnya

Kandungan Gizi TKTP I TKTP II


Energi (kkal) 2690 3040
Protein (g) 103 120
Lemak (g) 73 98
Karbohidrat (g) 420 420
Kalsium (mg) 700 1400
Besi (mg) 30,2 36
Vitamin A (RE) 2746 2965
Tiamin (mg) 1,5 1,7
Vitamin C (mg) 114 116
Sumber: Almatsier, 2006

Menurut Almatsier (2006), ada beberapa bahan makanan yang dianjurkan dan

tidak dianjurkan berdasarkan golongan bahan makanan dalam diet Tinggi Kalori

Tinggi Protein (TKTP). Adapun bahan makanan tersebut dapat dilihat pada Tabel

2.12.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.12. Bahan Makanan yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan dalam Diet
Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP)

Golongan Bahan Makanan Dianjurkan Tidak Dianjurkan


Sumber Karbohidrat Nasi, roti, mi, makaroni,
dan hasil olah tepung-
tepungan lain, seperti
cake, tarcis, puding, dan
pastry; dodol; ubi;
karbohidrat sederhana
seperti gula pasir.

Sumber Protein Hewani Daging sapi, ayam, ikan, Dimasak dengan banyak
telur, susu, dan hasil olah minyak atau kelapa/
seperti keju dan yoghurt santan kental
custard dan es krim

Sumber Protein Nabati Semua jenis kacang- Dimasak dengan banyak


kacangan dan hasil minyak atau kelapa/
olahnya, seperti tahu, santan kental
tempe, dan pindakas

Sayuran Semua jenis sayuran, Dimasak dengan banyak


terutama jenis B, seperti minyak atau kelapa/
bayam, buncis, daun santan kental
singkong, kacang
panjang, labu siam, dan
wortel direbus, dikukus,
dan ditumis

Buah-buahan Semua jenis buah segar,


buah kaleng, buah kering,
dan jus buah

Lemak dan Minyak Minyak goreng, mentega, Santan kental


margarin, santan encer

Soft drink, madu, sirup,


Minuman teh, kopi encer Minuman rendah energi

Bumbu tidak tajam


Bumbu seperti bawang merah, Bumbu yang tajam
bawang putih, laos, seperti cabe dan merica
salam, dan kecap
Sumber: Almatsier, 2006

Universitas Sumatera Utara


2.5. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam analisis penyelenggaraan diet Tinggi Kalori Tinggi

Protein (TKTP) pada pasien pascabedah sectio caesarea di RSUD Sidikalang yaitu:

Standar Diet pada pasien


Pemberian Diet pada pasien Pascabedah Sectio Caesarea:
Pascabedah Sectio Caesarea: - Diet Pascabedah I
- Jenis diet - Diet Pascabedah II
- Ketersediaan zat gizi - Diet Pascabedah III
(energi, protein, lemak, dan - Diet Pascabedah IV
karbohidrat) - Diet TKTP I
- Diet TKTP II

Lama waktu
pemulihan pasien
pascabedah sectio
caesarea

Keterangan:

: variabel yang diteliti

: variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian menggambarkan bahwasanya yang akan diteliti

mencakup variabel diet pascabedah dan TKTP pada pasien pascabedah sectio

caesarea di RSUD Sidikalang meliputi Diet Pascabedah I, II, III, dan IV, serta diet

TKTP I dan diet TKTP II.

Masing-masing variabel penelitian dilihat secara deskriptif. Analisis zat gizi

yaitu untuk mengetahui apakah ketersediaan energi, protein, lemak, dan karbohidrat

dalam diet pascabedah dan diet TKTP pada pasien pascabedah sectio caesarea yaitu

Universitas Sumatera Utara


Diet TKTP I dan Diet TKTP II sesuai dengan standar yang seharusnya dimana diet

TKTP I dengan energi 2600 kkal dan protein sebesar 100 g (2 g/kg BB), diet TKTP II

dengan energi 3000 kkal dan protein sebesar 125 g (2,5 g/kg BB). Hal ini dapat

diketahui dengan menghitung ketersediaan zat gizi makanan TKTP yang diberikan

oleh pihak rumah sakit. Diet pascabedah mulai dari diet pascabedah I hingga diet

pascabedah IV dianalisis dan dibandingkan dengan standar yang seharusnya

berdasarkan nilai gizi dalam bahan makanan sehari masing-masing diet pascabedah.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai