Sejarah Kebo-Keboan
Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro
(penanggalan Jawa). Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini
muncul sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat
yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan
Rogojampi.
Persiapan Upacara
Ritual yang meminta berkah keselamatan sebelum memulai musim tanam padi itu
dimulai berbagai persiapan seperti memasang pintu gerbang terbuat dari hasil bumi,
hingga menanam segala jenis pohon di tengah jalan. Tanaman inilah yang akan
dilewati kerbau jadi-jadian. Pohon ditanam di sepanjang jalan menuju empat arah
mata angin yang mengelilingi desa.
Bermacam tanaman hasil bumi menghiasai di tiap jalan kampung, sebagai simbol
ungkapan syukur kepada penguasa alam Untuk mendapat kesan suasana persawahan,
jalan desa pun dialiri air yang berasal dari sungai setempat. 12 tumpeng, simbol
waktu perputaran kehidupan manusia yang disajikan dinikmati bersama-sama.
Warga menyambut ritual ini mirip perayaan hari raya. Hari pelaksanaan upacara
dihitung menggunakan kalender Jawa kuno. Biasanya kepastian itu diputuskan para
sesepuh adat. Pada hari pelaksanaan, seluruh warga membuat tumpeng ayam.
Sesajen ini dimasak secara tradisional khas suku Using, yakni pecel ayam, daging
ayam dibakar dan dicampur urap kelapa muda.
Menjelang siang hari, warga berkumpul di depan rumah masing-masing. Beberapa
orang bergerombol di pusat desa bersama para pejabat dan undangan. Dipimpin
sesepuh adat, warga berdoa menggunakan bahasa Using kuno. Usai berdoa, warga
berebut menyantap tumpeng yang diyakini mampu memberikan berkah keselamatan.
Usai pesta tumpeng, ritual Kebo-Keboan ini diawali dengan visualisasi Dewi Sri (
Dewi Padi ) yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-
laki bertubuh kekar dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau ( sekujur
tubuh mereka dilumuri arang plus rambut palsu warna hitam beserta tanduk, tidak
lupa lonceng kayu berwarna hitam tergantung di leher layaknya kerbau ) dan dihalau
oleh para petani yang membawa hasil panennya. Prosesi ini disebut sebagai ider
bumi ( prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu kampung ). Namun
sebelumnya, pawang kerbau memberikan tapung tawar agar tidak terjadi hal yang
tidak diinginkan pada sikerbau jadi-jadian itu. Puluhan manusia kerbau diarak
keliling kampung. Layaknya kerbau, mereka berlari dikendalikan seorang petani. Bau
kemenyan dan bunga merebak. Sebelum keliling kampung, seluruh manusia kerbau
dikumpulkan dan diberi ritual khusus ( seluruh "kerbau" dimandikan di sumber air
tak jauh dari desa setempat. Biasanya, usai dimandikan mereka itu akan tidak
sadarkan diri karena kemasukan makhluk gaib penunggu desa ). Puluhan kerbau jadi-
jadian berjalan bergerombol. Jalan yang dilalui arak-arakan sengaja dibanjiri air.
Tujuannya, kerbau yang lewat bisa berkubang. Polah tingkah mereka pun berubah
layaknya kerbau. Menyeruduk siapa saja yang ada di depannya. Penonton pun
berlarian menghindari serudukan "kerbau". Penonton yang tertangkap harus rela
dilumuri arang hitam yang ada di sekujur tubuh "kerbau". Dalam kondisi tak sadar,
mereka diarak diiringi gamelan angklung.
Selain iring-iringan kerbau dan kereta Dewi Sri, acara ritual ini juga melibatkan
seluruh elemen di kampung, mulai dari laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak
sampai sanak famili yang berada di luar kampung. Bahkan hampir seluruh kesenian
adat suku Using yang ada di Banyuwangi juga terlibat. Ada gandrung, barong, janger,
patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, dan wayang kulit,ada juga
reog Ponorogo. Upacara ini tidak melulu seni pertunjukan terpadu tapi juga sebagai
seni instalasi komunal yang memperlihatkan energi kualitas dan spiritual bersama.
Perjalanan arak-arakan berakhir di pusat kampung. Di tempat ini, Dewi Sri turun
dari kereta dan memberikan berkah kepada petani. Sosok Dewi keberuntungan ini
membagikan benih padi. Lagu pujian berkumandang mengagungkan kebesaran dewi
kemakmuran ini. Selama ritual ini kerbau yang kesurupan berubah jinak. Mereka
mendekat dan tunduk pada sosok Dewi Sri yang tersenyum ramah.
Setelah berebut benih, warga, termasuk anak-anak, saling bergumul dengan manusia
kerbau dalam lumpur. Mereka menikmati suasana sawah yang siap ditanami. Uniknya,
saat penonton mengambil bibit padi itu, para "kerbau" mengamuk dan terus
menyeruduk.
Kegiatan ini yang paling dinanti warga. Mereka akan puas setelah mendapat benih
dan ikut berkubang dalam lumpur, papar Indra Gunawan yang mengaku keturunan ke-
6 sesepuh Desa Alasmalang.
Nama Alasmalang berasal dari kata alas (hutan) dan malang (melintang). Alasmalang
berarti hutan yang melintang di atas bukit panjang. Di tempat ini terdapat makam
keluarga Mbah Karti dan keturunannya. Di sini terdapat batu mirip tempat tidur
yang dikenal dengan nama watukloso. Batu ini dahulu tempat istirahat Mbah Karti.
Hingga kini, sebagian besar warga Alasmalang adalah keturunan Mbah Karti.