Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah Negara kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak


17.508 pulau. Luas Negara Indonesia 87.764 km2 dengan 2/3 luasnya
merupakan lautan. Potensi kekayaan alam perairan laut Indonesia melimpah,
sehingga untuk mengelolanya diperlukan sumber daya manusia yang handal.
Laut selain sebagai jalur transportasi, obyek wisata juga merupakan sumber
mata pencaharian bagi masyarakat terutama nelayan. Dalam mengelola
kekayaan alam tersebut masyarakat nelayan kita masih menggunakan cara-
cara tradisional, antara lain menyelam dengan menggunakan peralatan yang
sederhana dan tanpa pelatihan penyelaman yang benar (Linggayani, 2017).

Dewasa ini banyak kegiatan yang dilakukan masyarakat maupun para


kelompok profesional untuk memanfaatkan dan mengetahui keadaan dasar
laut serta yang ada didalamnya. Dari banyak kegiatan masyarakat yang
berhubungan dengan laut kegiatan penyelaman merupakan kegiatan yang
sering dilakukan, kegiatan penyelaman ini di kalangan masyarakat awam atau
nelayan sering mereka lakukan untuk mencari ikan, atau mencari hasil laut
lainnya. Kegiatan yang mereka lakukan ini kadang tidak mereka sadari sering
menimbulkan masalah pada kesehatannya, mereka kurang memperhatikan
akibat-akibat yang di timbulkan terutama yang menyangkut kesehatannya
(Noltkamper, 2012).

Banyak para nelayan atau penyelam mengeluh perasaan tidak enak,


keram-keram pada kaki bahkan sampai kelumpuhan dan kematian yang
mereka alami. Mereka tidak menyadari bahwa semua keluhan itu adalah
sebagai komplikasi penyelaman yang mereka lakukan yang di sebut Penyakit
Dekompresi atau Caisson Disease (CD). Penyakit Decompresi merupakan
suatu penyakit yang disebabkan oleh pelepasan dan pengembangan
gelembung-gelembung gas dari fase larut dalam darah/jaringan akibat
penurunan tekanan sekitar (Noltkamper, 2012).
Caisson disease (CD) atau decompression sickness adalah suatu
penyakit atau kelainan-kelainan yang diakibatkan oleh penurunan tekanan
dengan cepat disekitarnya sehingga memicu pelepasan dan pengembangan
gelembung-gelembung gas dari fase larut dalam darah atau jaringan.
Ekspansi gas dari paru-paru dapat mengakibatkan ruptur alveolus yang biasa
disebut dengan “Pulmonary Overinflation Syndrome”. Penurunan tekanan
yang tiba-tiba tadi dapat mengakibatkan adanya emboli udara di arteri
(Noltkamper, 2012).

Data dari berbagai sumber melaporkan kematian akibat penyelaman


pada wisata penyelam sebanyak 1 kematian per 6.250 penyelam tiap tahun,
olah raga menyelam 1 kematian per 5.000 penyelam tiap tahun. Sedangkan
yang mengalami penyakit dekompresi di Amerika untuk penyelam militer 1
kasus per 3.770 penyelam, wisata menyelam 1 kasus per 2.900 penyelam dan
penyelam komersial 1 kasus per 280 penyelam tiap tahunnya (Eric, 2012).

Di Indonesia, prevalensi terjadinya penyakit dekompresi belum


diketahui secara pasti. Di Eropa, diperkirakan terdapat 10-100 orang
penyelam per-tahun yang mengalami cedera dan membutuhkan penanganan
rekompresi akibat penyakit dekompresi yang dialami.1,2 Gejala penyakit
dekompresi ini bervariasi mulai dari kelelahan, pusing, nyeri sendi, sesak
nafas, kelumpuhan, hingga kematian (Linggayani, 2017).

Terapi oksigen hiperbarik atau hyperbaric oxygen therapy (HBOT)


adalah suatu terapi yang dilakukan dengan cara memberikan 100% oksigen
bertekanan kepada pasien. Sebagian besar gejala penyakit dekompresi akan
segera berkurang jika terapi dilaksanakan dengan segera. Oksigen bertekanan
tinggi mempercepat disolusi gas mulia di dalam pembuluh darah dan
memberikan perfusi yang baik untuk jaringan yang rusak pada penyakit
dekompresi. Selain itu oksigen bertekanan tinggi dapat mencegah penyerapan gas
mulia sehingga akan mempersingkat waktu pengobatan secara keseluruhan. Selain
memberikan oksigen bertekanan tinggi, penyakit dekompresi diatasi juga dengan
melakukan rekompresi (Linggayani, 2017).
1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui manfaat terapi oksigen hiperbarik pada kasus


penyakit dekompresi.

1.2.2 Tujuan Khusus

A. Untuk mengetahui definisi, mekanisme, dan indikasi


dilakukannya terapi oksigen hiperbarik.

B. Untuk mengetahui definisi penyakit dekompresi, gejala klinis


yang ditimbulkan dan penanganan awal penyakit dekompresi.

C. Untuk mengetahui manfaat terapi oksigen hiperbarik untuk


penyakit dekompresi khususnya yang terjadi pada pasien yang
datang ke Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Mataram.
BAB II

IDENTIFIKASI KASUS DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi Kasus

2.1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. VP

Usia : 44 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Gili Terawangan Ocean 5

Agama : Kristen

Pekerjaan : Instruktur Diving

2.1.2 Anamnesis

Keluhan utama : kesemutan

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke kantor kesehatan pelabuhan dengan keluhan


kesemutan. Keluhan kesemutan dirasakan pada lengan atas sampai
tangan sebelah kanan dan lutut sampai tungkai bawah sebelah kanan.
Awalnya pasien menyelam 1 hari yang lalu pada pukul 10.00 WITA
hingga pukul 15.00 WITA. Pasien menyelam sampai kedalaman 12
meter sampai dengan 17 meter selama 41 menit dalam 1 kali menyelam.
Kemudian pada malam hari pasien merasa kesemutan pada lengan atas
sampai tangan sebelah kanan dan lutut sampai tungkai bawah sebelah
kanan. Oleh karena itu keesokan harinya pasien memutuskan untuk
berobat ke kantor kesehatan pelabuhan.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien sebelumnya tidak pernah menderita keluhan seperti ini.
Riwayat hipertensi (-), keganasan (-), asma (-), sinustits (-),
tuberkulosis (-), kejang (-), neuritis (-), riwayat operasi (-).

Riwayat penyakit keluarga: penyakit jantung (-), darah tinggi (-), asma
(-), kejang (-), keganasan (-).

Riwayat sosial

Pasien merupakan instruktur diving di Gili Terawangan. Pasien


tidak merokok dan pasien sedang tidak hamil.

2.1.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : baik

GCS : E4 V5 M6 (compos mentis)

Vital Sign :

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Nadi : 78 x/menit

Pernapasan : 18 x/menit

Suhu : 36° C axilla

Saturasi O2 : 98%

Kepala : normocepali

Mata : anemis (-), ikterus (-), reflek pupil +/+

THT : T1/T1 tenang, bibir sianosis (-)

Leher : JVP R + 2cm H2O, deviasi trakea (-),


Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Pulmo :

Inspeksi : dada simetris (+), massa (-), tanda peradangan (-)

Palpasi : vocal fremitus sama ka/ki, nyeri tekan (-)


Perkusi : sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Cor :

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas atas ICS 2 linea sternalis sinistra, Batas


kanan ICS 4 linea para sternalis dextra, Batas Kiri
ICS 5 linea midclavicula sinistra

Auskultasi : S1/S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Abdomen :

Inspeksi : simetris, massa (-), peradangan (-)

Auskultasi: bising usus (+) normal, 10x/menit

Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen

Palpasi : massa (-) nyeri tekan (-) hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas :

+ |+
Akral Hangat + |+

5555 | 5555
Tenaga 5555 | 5555

Capilary refill time < 2 detik


2.1.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah lengkap Normal

WBC 5,1 3,5-10 x 10^9

RBC 3,82 3,5-5,5 x 10^12

HGB 12,9 11,5-16,5 mg/dL

HCT 36,6 35,0-55,0 %

PLT` 280 100-400 x 10^9

2.1.5 Diagnosis

Decompression Sickness Type 1


2.1.6 Penatalaksanaan

Tabel 6 US Navy (4.5 jam)

Neurobion 1 x 5000 mcg tab


2.1.7 Terapi lanjutan

Diperlukan tabel 5 untuk hari ke 2

2.2 Terapi Oksigen Hiperbarik

2.2.1 Definisi

Hiperbarik berasal dari kata hyper berarti tinggi, bar berarti


tekanan. Dengan kata lain terapi hiperbarik adalah terapi dengan
menggunakan tekanan yang tinggi. Pada awalnya, terapi hiperbarik
hanya digunakan untuk mengobati decompression sickness, yaitu suatu
penyakit yang disebabkan oleh penurunan tekanan lingkungan secara
mendadak sehingga menimbulkan sejumlah gelembung nitrogen dalam
cairan tubuh baik didalam sel maupun diuar sel, dan hal ini dapat
menimbulkan kerusakan disetiap organ di dalam tubuh, dari derajat
ringan sampai berat bergantung pada jumlah dan ukuran gelembung
yang terbentuk. Seiring dengan berjalannya waktu, terapi hiperbarik
berkembang fungsinya untuk terapi macam-macam penyakit, beberapa
diantaranya seperti stroke, multipel sklerosis, cerebral edema,
keracunan karbon monoksida dan sianida, trauma kepala tertututp, gas
gangren, peripheral neuropathy, osteomielitis, sindrom kompartemen,
diabetik neuropati, migran, infark miokard dan lain-lain (Djauw, 2015)

Hiperbarik oksigen adalah suatu cara terapi dimana penderita


harus berada dalam suatu ruangan bertekanan, dan bernapas dengan
oksigen 100% pada suasana tekanan ruangan yang lebih besar dari 1
ATA (atmosfer absolute). Tidak terdapat definisi yang pasti akan
tekanan dan durasi yang digunakan untuk sesi terapi oksigen hiperbarik.
Umumnya tekanan minimal yang digunakan adalah sebesar 2,4 atm
selama 90 menit. Banyaknya sesi terapi bergantung pada kondisi pasien
dengan rentang 1 sesi untuk keracunan ringan karbon monoksida
hingga 60 sesi atau lebih untuk lesi diabetik pada kaki (Djauw, 2015).

2.2.2 Fisika Penyelaman

Tekanan udara pada permukaan laut pada suhu 0o C, pada


dasarnya adalah tekanan yang disebabkan oleh berat asmofir diatasnya.
Tekanan ini konstan yaitu sekitar 760 mmHg (14,7 psi) dan dijadikan
dasar hukum atmosfir (1 ATA). Berdasarkan hukum Pascal yang
menyatakan bahwa tekanan yang terdapat pada permukaan cairan akan
menyebar ke seluruh arah secara merata dan tidak berkurang. Pada
setiap tempat di bawah permukaan air tekanan akan meningkat sebesar
760 mmHg (1 Atmosfir) untuk setiap kedalaman 10 meter. Dengan
demikian penambahan tekanan air permukaan dengan tekanan
kedalaman air disebut tekanan Atmosfir Absolut (ATA).

Udara yang dihirup manusia adalah udara biasa yang terdiri dari
komponen-komponen sebagai berikut:

- 78 % Nitrogen (N2)

- 21 % Oksigen (O2)

- 0,93 % Argon (Ar)

- 0,04 % Karbondioksida (CO2)


- Sisanya gas-gas mulia (He, Ne,dll)

Dalam penyelaman maka hukum-hukum gas berlaku karena


tekanan dan volume gas yang keluar masuk tubuh manusia berubah
sesuai keadaan.Dalam menyelam harus mengetahui terlebih dahulu
dasar-dasar penyelaman yang harus diketahui seorang penyelam agar
tidak terjadi hal yang tidak diinginkan saat menyelam.Salah satu dasar
penyelaman tersebut adalah fisika penyelaman. Fisika penyelaman
adalah ilmu yang mempelajari tentang penyelaman dengan
menggunakan hukum-hukum fisika. Hukum-hukum tersebut dapat di
jelaskan sebagai berikut:

a. Hukum Boyle

Hukum Boyle menegaskan hubungan antara tekanan dan


volume. Volume dari suatu kumpulan gas akan berbanding
terbalik dengan absolut yaitu:

1
𝑉=
𝑃
𝑃
=𝐾
𝑉
Atau P1.V2 = P1.V2

Keterangan:

P = Tekanan Absolut

V = Volume

K = Konstanta

Ini berarti bahwa, jika tekanan meningkat maka volume


dari suatu kumpulan gas akan berkurang begitu juga sebaliknya.
Selama tekanan sebanding dengan kedalaman maka volume juga
tergantung dengan kedalaman. Bila tekanan 2 kali menjadi besar
maka volume akan menjadi setengah dari volume semula.
Hubungan ini berlaku terhadap semua gas yang ada di dalam
ruangan tubuh sewaktu menyelam, menyelam kedalam air
maupun saat naik ke permukaan.

Seorang penyelam yang menghirup nafas penuh di


permukaan akan merasakan paru-parunya semakin lama semakin
tertekan oleh air di sekelilingnya saat dia turun. Semua rongga
yang ada dalam tubuh akan terpengaruh hubungan volume dan
tekanan ini. Mengenai telinga bagian tengah, tekanan air yang ada
di dalam tubuh akan dihantarkan oleh cairan-cairan tubuh
kerongga udara didalam telinga tengah. Selama tekanan
meningkat maka volume akan berkurang karena telinga bagian
tengah didalam rongga tulang kaku, rongga yang sebelumnya
terisi udara akan diisi lagi oleh jaringan-jaringan yang
membengkak, berdarah dan menonjol kedalam gendang telinga.
Rangkaian yang menjurus pada perusakan jaringan dapat dicegah
dengan menyeimbangkan tekanan (equalizing). Udara ditiupkan
kedalam saluran Eustachius dari tenggorokan agar volume gas
yang ada didalam telingan bagian tengah tetap konstan, sehingga
tekananya dapat menyamai atau seimbang dengan tekanan yang
ada di air.

b. Hukum Dalton
Hukum ini menyatakan bahwa jumlah tekanan dari suatu
campuran gas-gas adalah jumlah tekanan partial dari tiap gas
yang membentuk campuran tersebut.Jika gas itu secara sendiri
menempati seluruh ruang volume. Selama tekanan secara
menyeluruh meningkat, tekanan partial dari tiap-tiap gas pun
akan meningkat. Pada kedalaman 40 meter (tekanan 5 ATA)
penyelam yang bernafas dengan udara biasa akan menghirup
oksigen dengan tekanan partial yang sama ( 1 ATA ) seperti bila
ia sedang menghirup 100% O2 di permukaan air. Pemahaman
hukum ini penting untuk mengetahui efek toksin gas pernafasan
pada kedalaman, penyakit dekompresi dan penggunaan oksigen
maupun campuran gas untuk tujuan pengobatan.
c. Hukum Henry
Dinyatakan bahwa pada suhu tertentu jumlah gas yang
terlarut di dalam suatu cairan berbanding lurus dengan tekanan
partial dari gas tersebut diatas cairan. Bila seorang penyelam
turun sampai kedalaman 10 meter, tekanan partial nitrogen yang
dihirup menjadi 2 kali lipat dibandingkan dengan dipermukaan
dan akhirnya nitrogen yang terlarut dalam jaringan juga akan dua
kali lipat.
Waktu terjadi keseimbangan tergantung pada daya larut gas
di dalam jaringan dan kecepatan suplai gas ke jaringan oleh
darah.Pengaruh fisiologi dari hukum terhadap seorang penyelam
berlaku untuk penyakit dekompresi, keracunan gas dan
pembiusan gas lembam (inert gas narcosis).
Bilamana tekanan yang terdapat dalam larutan terlalu cepat
berkurang, gas keluar dari larutan dalam bentuk gelembung-
gelembung gas. Pada penyelam, pelepasan gelembung ini dapat
menyumbat pembuluh darah atau merusak jaringan tubuh dan
meyebabkan berbagai pengaruh dari penyakit dekompresi atau
bends.
d. Hukum Charles
Hukum ini menyangkut hubungan antara suhu, volume, dan
tekanan.Dinyatakan bahwa bila tekanan tetap konstan, volume
dari sejumlah gas tertentu adalah berbanding lurus dengan suhu
absolut. Hukum inji sangat erat hubungannya dengan sifat
kompresi dan dekompresi dari gas-gas yang juga berkaitan
dengan gas-gas dalam aliran darah berwujud cair di tubuh
manusia yang dapat menjadi lewat jenuh saat menyelam dengan
tekanan (tabung).
e. Hukum Archimedes
Hukum Archimedes menyatakan bahwa: “Setiap benda
yang dibenamkan sebagian atau seluruhnya kedalam cairan, maka
ia akan mendapat gaya tekanan ke atas sebesar berat cairan yang
dipindahkan” Jadi semakin padat cairan itu, maka semakin besar
daya apungnya. Dengan demikian, penyelam dan kapal
mengapung lebih tinggi di laut dari pada di air tawar.
Dengan paru-paru mengembang sepenuhnya, biasanya
orang akan mengambang diatas permukaan air laut yaitu dia
mempunyai daya apung positif. Daya apung positif yaitu bila
seseorang cenderung untuk mengambang, sedangkan gaya apung
negative yaitu apabila seseorang yang cenderung tenggelam dan
daya apung netral seseorang cenderung melayang.

Dari hukum-hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa, fisika


penyelaman sangat penting sebagai dasar penyelaman karena jika tidak
mengetahui hukum-hukum maupun dasar fisika penyelaman dapat
berdampak buruk bahkan dapat menyebabkan kematian. Banyak resiko
saat melakukan penyelaman, jika penyelaman tidak didasarkan pada
fisika penyelaman maka penyelam akan mengalami kerusakan jaringan
dalam tubuhnya karena perbedaan volume dan tekanan yang tidak
sembang.

2.2.3 Mekanisme Terapi Oksigen Hiperbarik

Mekanisme TOHB melalui dua mekanisme yang berbeda.


Pertama, bernapas dengan oksigen murni dalam ruang udara bertekanan
tinggi (hyperbaric chamber) yang tekanannya lebih tinggi
dibandingkan tekanan atmosfer, tekanan tersebut dapat menekan
saturasi hemoglobin, yang merupakan bagian dari sel darah merah yang
berfungsi mentransport oksigen yang secara kimiawi dilepaskan dari
paru ke jaringan. Bernapas dengan oksigen 100% pada atmosfer yang
normal tidak efek pada saturasi hemoglobin (Huda, 2010).

Kedua, di bawah tekanan atmosfer, lebih banyak oksigen gas


terlarut dalam plasma. Meskipun dalam kondisi normal transport
oksigen terlarut dalam plasma jauh lebih signifikan daripada transport
oleh hemoglobin, dengan TOHB kontribusi transportasi plasma untuk
jaringan oksigenasi sangat meningkat. Sebenarnya, menghirup oksigen
murni pada tiga kali yang normal atmosfer. Hasil tekanan dalam
peningkatan 15 kali lipat dalam konsentrasi oksigen terlarut dalam
plasma. Itu adalah konsentrasi yang cukup untuk memasok kebutuhan
tubuh saat istirahat bahkan dalam total tidak adanya hemoglobin (Huda,
2010).

Sistem kerja TOHB, pasien dimasukkan dalam ruangan dengan


tekanan lebih dari 1 atm, setelah mencapai kedalaman tertentu
disalurkan oksigen murni (100%) kedalam ruang tersebut. Ketika kita
bernapas dalam keadaan normal, udara yang kita hirup komposisinya
terdiri dari hanya sekitar 20% adalah oksigen dan 80% nya adalah
nitrogen. Pada TOBH, tekanan udara meningkat sampai dengan 2 kali
keadaan nomal dan pasien bernapas dengan oksigen 100%. Pemberian
oksigen 100% dalam tekanan tinggi, menyebabkan tekanan yang akan
melarutkan oksigen ke dalam darah serta jaringan dan cairan tubuh
lainnya hingga mencapai peningkatan konsentrasi 20 kali lebih tinggi
dari normal. Oksigenasi ini dapat memobilisasi penyembuhan alami
jaringan, hal ini merupakan anti inflamasi kuat yang merangsang
perkembangan pembuluh darah baru, dapat membunuh bakteri dan
mengurangi pembengkakan (Huda, 2010).

2.2.4 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik

Hiperbarik dapat memiliki beberapa manfaat untuk mengobati


penyakit-penyakit akibat penyelaman dan kegiatan kelautan (Djauw,
2015) :

 Penyakit Dekompresi

 Emboli Udara

 Luka Bakar

 Crush Injury

 Keracunan gas karbon monoksida (CO)

Terdapat beberapa pengobatan tambahan, yaitu :


 Komplikasi diabetes mellitus (gangrene diabetikum)

 Eritema nodusum

 Osteomyelitis

 Buerger’s Diseases

 Morbus Hansen

 Psoriasis vulgaris

 Edema serebral

 Scleroderma

 Lupus Eritematosus (SLE)

 Rheumotoid Artritis

Terdapat pula pengobatan pilihan, yaitu:

 Pelayanan kesehatan dan kebugaran

 Pelayanan kesehatan olahraga

 Pasien lanjut usia (geriartri)

 Dermatologi dan kecantikan

2.2.5 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik

Kontraindikasi TOHB terdiri dari kontraindikasi absolut dan


relatif. Kontraindikasi absolut yaitu penyakit pneumothorax yang
belum ditangani, kecuali bila sebelum pemberian oksigen hiperbarik
dapat dikerjakan tindakan bedah untuk mengatasi pneumothorax
tersebut. Keganasan yang belum diobati atau keganasan metastatik
akan menjadi lebih buruk pada pemakaian oksigen hiperbarik untuk
pengobatan dan termasuk kontraindikasi absolut, itulah anggapan
orang-orang selama bertahun-tahun. Namun penelitian-penelitian yang
dikerjakan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sel-sel ganas tidak
tumbuh lebih cepat dalam suasana oksigen hiperbarik. Penderita
keganasan yang diobati dengan oksigen hiperbarik biasanya secara
bersama-sama juga menerima terapi radiasi atau kemoterapi.
Kehamilan juga merupakan kontraindikasi absolut karena tekanan
parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan penutupan patent
ductus arteriosus, sehingga secara teoritis pada bayi prematur dapat
terjadi fibroplasia retrolental. Namun pada penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa komplikasi ini nampaknya tidak terjadi (Djauw,
2015).

Kontraindikasi relatif meliputi keadaan umum lemah, tekanan


darah sistolik lebih dari 170 mmHg atau kurang dari 90 mmHg, diastole
lebih dari 110 mmHg atau kurang dari 60 mmHg, demam tinggi lebih
dari 38°C, ISPA, sinusitis, Claustropobhia (takut pada ruangan
tertutup), penyakit asma, emfisema dan retensi CO2, infeksi virus,
infeksi kuman aerob seperti TB, lepra, riwayat kejang, riwayat neuritis
optik, riwayat operasi thoraks dan telinga, riwayat pneumothoraks
spontan, penderita sedang kemoterapi seperti terapi adriamycin,
bleomycin (Djauw, 2015).

2.2.6 Persiapan Terapi Oksigen Hiperbarik

Persiapan terapi oksigen hiperbarik antara lain (Huda, 2010):

 Pasien diminta untuk menghentikan kebiasaan merokoknya 2


minggu sebelum proses terapi dimulai. Tobacco mempunyai efek
vasokonstriksi sehingga mengurangi penghantaran oksigen ke
jaringan.

 Beberapa medikasi dihentikan 8 jam sebelum memulai terapi


oksigen hiperbarik antara lain vitamin C, morfin dan alkohol.

 Pasien diberikan pakaian yang terbuat dari 100% bahan katun dan
tidak memakai perhiasan, alat bantu dengar, lotion yang terbuat
dari bahan dasar petroleum, kosmetik, bahan yang mengandung
plastik, dan alat elektronik.
 Pasien tidak boleh menggunakan semua zat yang mengandung
minyak atau alkohol (yaitu, kosmetik, hairspray, cat kuku,
deodoran, lotion, cologne, parfum, salep) dilarang karena
berpotensi memicu bahaya kebakaran dalam ruang oksigen
hiperbarik.

 Pasien harus melepaskan semua perhiasan, cincin, jam tangan,


kalung, sisir rambut, dan lain-lain sebelum memasuki ruang
untuk mencegah goresan akrilik silinder di ruang hiperbarik.

 Lensa kontak harus dilepas sebelum masuk ke ruangan karena


pembentukan potensi gelembung antara lensa dan kornea.

 Pasien juga tidak boleh membawa koran, majalah, atau buku


untuk menghindari percikan api karena tekanan oksigen yang
tinggi berisiko menimbulkan kebakaran.

 Sebelum pasien mendapatkan terapi oksigen hiperbarik, pasien


dievaluasi terlebih dahulu oleh seorang dokter yang menguasai
bidang hiperbarik. E valuasi mencakup penyakit yang diderita
oleh pasien, apakah ada kontraindikasi terhadap terapi oksigen
hiperbarik pada kondisi pasien.

 Sesi perawatan hiperbarik tergantung pada kondisi penyakit


pasien.

 Pasien umumnya berada pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit.


Tiap 30 menit terapi pasien diberikan waktu istirahat selama 5
menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari keracunan oksigen
pada pasien.

 Terapi oksigen hiperbarik memerlukan kerjasama multidisiplin


sehingga satu pasien dapat ditangani oleh berbagai bidang ilmu
kedokteran.
 Pasien dievaluasi setiap akhir sesi untuk perkembangan hasil
terapi dan melihat apakah terjadi komplikasi hiperbarik pada
pasien.

 Untuk mencegah barotruma GI, ajarkan pasien benapas secara


normal (jangan menelan udara) dan menghindari makan besar
atau makanan yang memproduksi gas atau minum sebelum
perawatan.

2.3 Penyakit Dekompresi

2.3.1 Definisi

Penyakit Dekompresi (DCS) atau Caisson Disease adalah suatu


penyakit yang disebabkan oleh pelepasan dan mengembangnya
gelembung gas dari fase larut dalam darah atau jaringan akibat
penurunan tekanan disekitarnya (Guyton, 2011). Caisson disease
(sinonim: Bends, Compressed Air Sickness, Divers’s Paralysis,
Dysbarism) adalah bila seorang penyelam telah lama berada di dalam
laut sehingga sejumlah besar nitrogen terlarut dalam tubuhnya, dan
kemudian tiba-tiba naik ke permukaan laut, sejumlah gelembung
nitrogen dapat timbul dalam cairan tubuhnya baik dalam sel maupun
diluar sel, dan hal ini dapat menimbulkan kerusakan di setiap tempat
dalam tubuh, dari derajad ringan sampai berat bergantung pada
sejumlah dan ukuran gelembung yang terbentuk (Noltkamper, 2012).

2.3.2 Patogenesis

Sesuai dengan Hukum Henry yang menyatakan bahwa pada suhu


tertentu, jumlah gas terlarut dalam suatu cairan berbanding lurus
dengan tekanan parsial gas tersebut diatas cairan, maka pada saat
seseorang menyelam, tekanan parsial nitrogen yang dihirupnya akan
bertambah dan akan lebih banyak gas yang terlarut dalam darah
maupun jaringan (Guyton, 2011).
Oleh karena darah yang kelebihan nitrogen ini akan di
distribusikan kejaringan-jaringan sesuai dengan kecepatan aliran darah
ke jaringan tersebut dan daya gabung jaringan terhadap nitrogen. Dalam
hal ini lemak mempunyai daya gabung nitrogen yang tinggi dan
melarutkannya lima kali lebih banyak daripada air. Tingkat saturasi
nitrogen dalam berbagai jaringan berbeda-beda tergantung percepatan
pertukaran nitrogen. Sebagai contoh darah supersaturasinya cepat
(jaringan cepat), sedangkan sumsum tulang dan sendi supersaturasinya
lambat (jaringan lambat) (Djauw, 2015).

Adapun faktor yang menentukan pengambilan dan pembuangan


gas adalah kecepatan difusi gas darah ke jaringan, fungsi ambilan gas
jaringan secara perfusi, waktu penuh jaringan dan keadaan saturasi. Hal
ini perlu untuk mengetahui bentuk klinis dan penyakit dekompresi yang
mungkin timbul. Kondisi supersaturasi gas dalam darah dan jaringan
sampai batas tertentu masih memungkinkan gas untuk berdifusi keluar
dari jaringan dan larut dalam darah, kemudian menuju ke alveoli keluar
melalui pernafasan (Guyton, 2011).

Setelah melewati suatu batas kritis tertentu, kondisi supersaturasi


akan menyebabkan gas terlepas lebih cepat dari jaringan atau darah
dalam bentuk tidak larut, yaitu berupa gelembung gas. Pada saat
penyelam mulai naik, tekanan gas mulai turun, terjadi proses desaturasi
yang merupakan kebalikan proses saturasi. Saat itu terjadi juga
pelepasan gas inert dari darah kembali kedalam paru, karena tekanan
parsial gas inert dalam paru-paru lebih rendah daripada darah. Proses
ini berlangsung beberapa menit sampai 24 jam atau lebih tergantung
tingkat supersaturasi masing-masing jaringan. Jika tekanan parsial gas
dalam jaringan tubuh yang mengalami dekompresi dibiarkan melebihi
tekanan sekitarnya akan timbul gelembung gas inert dalam jaringan.
Pembentukan gelembung ini dipercepat dengan adanya exercise. Sekali
gelembung terbentuk akan makin membesar karena bertambah
banyaknya gas inert yang masuk dari jaringan sekitarnya. Hal ini sesuai
dengan Hukum Boyle yang menyatakan hubungan antara tekanan dan
volume dari kumpulan gas akan berbanding terbalik dengan tekanan
absolut (Guyton, 2011).

Teori inti gelembung menyatakan bahwa penurunan tekanan akan


diikuti pembesaran jari-jari lingkaran gelembung. Gelembung gas yang
besar mempunyai tegangan permukaan yang kecil karena makin besar
jari-jari gelembung gas makin kecil tegangan permukaannya (Guyton,
2011).

Cara menyelam mempengaruhi tempat pembentukan gelembung


gas inert dan timbulnya penyakit dekompresi. Menyelam dalam waktu
singkat dan dalam akan menghasilkan beban gas inert yang tinggi pada
jaringan cepat, tetapi tidak cukup waktu untuk jaringan lambat.
Sedangkan menyelam dalam dan waktu lama ditempat yang dangkal
akan memberikan beban gas inert pada jaringan lambat. Jumlah yang
sama akan terjadi pada jaringan cepat, namun karena perbedaan tekanan
antara kedalaman dan permukaan air tidak begitu besar, darah mungkin
akan mentolerir kelebihan nitrogen tersebut sampai dapat dikeluarkan
melalui paru-paru (Linggayani, 2017).

2.3.3 Gambaran Klinis

Gejala yang muncul pada penyakit dekompresi bervariasi dari


gejala ringan hingga fatal. Gejala yang muncul terjadi akibat iskemia
jaringan yang disebabkan oleh emboli udara yang menghambat aliran
darah pada arteri dan vena.Selama atau setelah menyelam gelembung
udara akan dilepaskan melalui ekspansi terus menerus gas mulia di
dalam jaringan perifer. Gejala yang ringan dapat berupa nyeri akibat
gangguan mekanik yang ditimbulkan oleh gelembung udara
ekstravaskular (Linggayani, 2017).

Gejala berat dapat bermanifestasi dalam beberapa menit dari


permukaan, tetapi pada kebanyakan pasien, gejala dimulai secara
bertahap, kadang-kadang dengan prodrome dari malaise, kelelahan,
anoreksia, dan sakit kepala. Gejala terjadi dalam 1 jam dari permukaan
di sekitar 50% dari pasien dan oleh 6 jam dalam 90%. Gejala klnis
timbul saat dekompresi atau dipermukaan (paling lama 24 jam setelah
menyelam). Mula-mula rasa kaku kemudian rasa nyeri, kekuatan otot
menurun, bengkak kemerahan Peau d’orange, banyak pada penyelam
ulung dan singkat, anggota atas 2-3x lebih banyak dari bawah, ⅓ kasus
pada bahu kemudian siku, pergelangan tangan, tangan, sendi paha, lutut
dan kaki, asimetri, kasus ringan, tidak rekompresi, nyeri hilang 3-7 hari
(Kusuma,2012).

Penyakit ini dibagi berdasarkan waktu timbulnya gejala dan tipe


gejalanya. Berdasarkan waktu timbulnya, DCS dapat timbul secara (US
Navy, 2015):

a. Akut: Adanya kelainan neurologis (68 %), Adanya


kelainan osteoartikuler (29 %), Adanya kelainan
pernapasan (3 %)

b. Kronis yaitu Dysbaric Osteonecrosis (Aseptic


osteonecrosis)

Berdasarkan Tipe gejala, DCS dibagi dalam 2 tipe yaitu :

a. Tipe I (Pain Only Bends)

Gejala utamanya adalah nyeri, terutama di daerah


persendian dan otot disekitarnya, dapat timbul mendadak
setelah penyelaman atau perlahan-lahan. Selain itu dapat
timbul kemerahan di kulit, gatal serta pembengkakan di
sekitar sendi. Paling sering terkena adalah sendi bahu,
kemudian sebagian pada persendian siku, pergelangan
tangan, sendi lutut dan pergelangan kaki. Nyeri biasanya
menyerang dua sendi atau lebih tetapi jarang simetris.

b. Tipe II (Serious Decompression Sickness)


Merupakan penyakit dekompresi yang serius
menyerang sistem saraf pusat dan kardiopulmoner.
Gejala-gejala klinis antara lain :

- Gejala-gejala neurologis : Gejala ini muncul


sangat tergantung pada bagian otak mana yang
tekena. Gejalanya dapat berupa :, Kesulitan
bicara, tremor, vertigo, tinnitus, dan lain-lain.

- Gejala paru dan jantung : sesak nafas, nyeri dada,


batuk- batuk non produktif

- Gejala Gastrointestinal : Mual, muntah, kejang


usus dan diare

- Gejala di kulit : bercak kebiruan, gatal-gatal pada


Tipe I.

- Bends Shock

2.3.4 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan penyakit dekompresi adalah melawan efek


hipoksia pada jaringan. Walaupun kasus-kasus yang ringan dapat
diobati dengan menghirup oksigen 100% pada tekanan permukaan,
namun pengobatan terpenting ialah rekompresi dan oksigen (Guyton,
2011)

a. Tindakan Dini

Untuk penatalaksanaan pada pasien Caisson Disease,


pertama-tama yang harus dilakukan adalah mempertahankan
jalan napas dengan menjamin ventilasi dan mencapai sirkulasi.
Pasien harus ditempatkan dalam posisi terlentang. Langkah-
langkah penatalaksanaan lainnya meliputi (Djauw, 2015):

1. Pemberian oksigen 100% 15 liter / menit dengan


menggunakan masker reservoir. Namun perlu diperhatikan
pemberian oksigen 100% hanya dapat ditoleransi hingga 12
jam karena dapat menyebabkan toksisitas oksigen paru.

2. Pemberian cairan untuk mempertahankan output urin yang


baik. Cairan yang diberikan lebih dari 0.5ml/kg/hari.
Hemokonsentrasi yang terkait dengan Caisson Disease
adalah hasil dari peningkatan permeabilitas pembuluh
darah yang dimediasi oleh kerusakan endotel. Cairan dapat
diberikan secara oral atau diberikan secara intravena berupa
NaCl 0.9% atau kristaloid / koloid untuk mengatasi
dehidrasi yang mungkin timbul setelah penyelaman
(diuresis perendaman menyebabkan penyelam kehilangan
250-500 cc cairan per jam) atau pergeseran cairan yang
dihasilkan dari DCS.

3. Pemberian steroid deksametason 10 sampai 20 mg secara


intravena, kemudian dilanjutkan 4 mg setiap 6 jam.

4. Diazepam (5-10 mg) jika pasien mengalami pusing,


ketidakstabilan dan gangguan visual terkait dengan
kerusakan labirin (vestibular) pada telinga bagian dalam.

5. Dilantin (Fenitoin) diberikan IV 50 mg / menit selama 10


menit untuk 500 mg pertama dan kemudian 100 mg setiap
30 menit setelahnya untuk memantau konsentrasi darah
yang dipertahankan 10 sampai 20 mcg / mL. Jika lebih dari
25 mcg / mL beracun. Beberapa orang memberikan aspirin
600 mg sebagai anti-platelet.

6. DCS dapat meningkatkan kemungkinan perdarahan dalam


jaringan sehingga antikoagulan tidak boleh digunakan
secara rutin dalam pengobatan DCS. Satu pengecualian
untuk aturan ini adalah kasus kelemahan ekstremitas
bawah. Heparin molekul berat rendah (LMWH) harus
digunakan untuk semua pasien dengan ketidakmampuan
berjalan pada setiap tingkat kelumpuhan ekstremitas bawah
yang disebabkan oleh DCS neurologis. Enoxaparin 30 mg
atau setara diberikan secara subkutan setiap 12 jam, dimana
harus dimulai sesegera mungkin setelah cedera untuk
mengurangi risiko trombosis vena dalam (DVT) dan emboli
paru pada pasien lumpuh.

7. Terapi in-air recompression dalam ruang hiperbarik.

b. Rekompresi

Tujuan rekompresi : Memperkecil gelembung-gelembung


gas, gejala menghilang saat dekompresi sampai ke permukaan
dan gelembung-gelembung gas larut dengan rekompresi yang
diikuti dekompresi secara perlahan-lahan (Djauw, 2015).

Tujuan oksigenasi : Memperbaiki hipoksia jaringan dan


mengurangi tekanan nitrogen yang terlarut dalam darah dan
jaringan.

Setelah diagnosis ditegakkan pengobatan harus


dilaksanakan secepatnya, paling lambat 6 jam pertama. Kizer
1982, menganjurkan pengobatan rekompresi paling lama 12 jam
setelah gejala-gejala timbul. Menurut “ The Diver Network” di
USA memberi batas waktu 24 jam untuk penanganan kecelakaan-
kecelakaan penyelam. Namun dari beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa lebih cepat diobati, hasilnya akan lebih
baik. Untuk menghindari keterlambatan dalam penanganan
penderita maka pengobatan dapat dimulai dari tempat kejadian
(untuk sementara), transportasi ke fasilitas RUBT (Ruang Udara
Bertekanan Tinggi) atau RUBT sendiri (Djauw, 2015).

Rekompresi di tempat kejadian, menurunkan kembali


penderita melalui tali ke air dan memakai oksigen sampai
kedalaman 9 meter. Bersama pendamping memakai “full face
mask” dan bernafas dengan oksigen 100% selama 30 menit untuk
kasus ringan dan 60 menit untuk kasus berat. Bila ada perbaikan,
naik kepermukaan dengan kecepatan 1 meter dalam 12 menit.
Bila belum, dapat diperpanjang menjadi 60 menit. Jika dalam
perjalanan kepermukaan timbul gejala maka berhenti selama 30
menit. Setelah tiba dipermukaan penderita harus menghirup 02
l00% dan udara selama 90 menit, jika gagal maka penderita harus
diangkut ke fasilitas RUBT (Djauw, 2015).

Pengangkutan penderita ke fasilitas RUBT dapat dilakukan


dengan kapal laut, kendaraan darat, pesawat terbang dengan
kabin bertekanan 1 atm, bila tidak ada maka ketinggian
maksimum 1000 feet (300 meter). Selama perjalanan penderita
mengisap oksigen 100% 30 menit, udara 5 menit secara berganti
(Djauw, 2015).

2.3.5 Prognosis

Prognosis yang baik jika para petugas kesehatan bisa mengenali


gejala yang timbul sejak awal, diagnosis yang tepat, dan pengobatan
yang adekuat. Tingkat keberhasilan dari terapi dan pengobatan lebih
dari 75-85% dapat dicapai. Pengobatan langsung dengan oksigen 100%,
diikuti oleh recompressi dalam ruang hiperbarik, dalam kebanyakan
kasus menunjukan tidak ada efek jangka panjang. Namun, cedera
permanen dari DCS atau efek jangka panjang masih mungkin terjadi
(Alvred, 2009).
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian

Pada penelitian yang dilakukan Amir Hadanny et al, di Pusat


Kesehatan Assaf Harofeh Israel mulai Januari tahun 2000 sampai Februari
tahun 2014 didapatkan sebanyak 204 penyelam yang mengalami penyakit
dekompresi dan menjalani perawatan dengan terapi hiperbarik. Para
penyelam tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
yang mendapatkan terapi rekompresi lebih awal (<48 jam) dan yang
mendapatkan terapi rekompresi lambat (>48 jam).

3.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian yang


dilakukan oleh Amir Hadanny et al, adalah deskriptif analisis. Dimana
pengumpulan data dilakukan secara retrospektif menggunakan rekam
medis, termasuk umur, jenis kelamin, pengelaman menyelam, kedalaman
maksimal, kemungkinan penyebab DCS, tipe DCS, gejala yang dialami,
waktu muncul kepermukaan sampai timbul onset, waktu muncul
kepermukaan sampai dilakukan tindakan rekompresi, table rekompresi yang
digunakan, tambahan terapi setelah rekompresi pertama, dan hasil terapi.

3.3 Cara Analisis Data

Dalam jurnal ini data analisis data dilakukan menggunakan program


software SPSS versi 22. Analisis univariat dilakukan menggunakan Chi-
square/Fisher’s exact test, dengan nilai signifikansi variable p<0,05.
Variabel numeric diuji mengunakan Independent student t-test.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.2 Pembahasan

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Alfred A. Bove. 2009. Decompression Sickness(Caisson Disease; The Bends). The


Merk Manual.

Amir, Hadanny, et al. 2015. Delayed Recompression for Decompression Sickness :


Retrospective Analysis.

Djauw, Lukman. Terapi Oksigen Hiperbarik (TOHB) Di Lembaga Kesehatan


Kelautan Angkatan Laut (Lakesla). Surabaya. 2015.

Eric, Mowat. The Bends-Decompression syndromes. 2012. (Available from :


http://www.emedicinehealth.com/decompression_syndromes_the_bends/
article_em.html

Guyton AC, Hall JE, 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Penterjemah:
Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Huda N. 2010 Tesis Pengaruh Hiperbarik Oksigen (HBO) terhadap perfusi perifer
luka gangrene pada penderita DM DI RSAL Dr. Ramelan Surabaya. FK
UI.

Kusuma, Ratih. 2012. Caisson Disease. sumber :


http://www.scribd.com/doc/92963588/Caisson-Disease

Linggayani, Made Ayu, Rhamadian, Rizky. (2017), Penyakit Caisson pada


Penyelam. Diunduh di
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/download/1813/
pdf

Noltkamper, Daniel. Scuba Diving : Barotrauma and Decompression Sickness.


2012. (Available from:
http://www.emedicinehealth.com/barotraumadecompression_sickness/art
icle_em.html.
U.S. Navy Diving Manual 2015. Diagnosis and treatment of Decompression
Sickness and Arterial Gas Embolism. Chapter 20. Diunduh dari :
https://emres.uic.edu>uploads>2015/07.pdf

Anda mungkin juga menyukai