Anda di halaman 1dari 13

Referat Ilmu Kesehatan Anak

Hiperbilirubinemia pada Neonatus

Disusun oleh:

Novita Sari

112016314

Pembimbing:

dr. Etty Christiati, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA, JAKARTA
RSUD TARAKAN, JAKARTA
PERIODE 8 Januari – 17 Maret 2018
Pendahuluan
Hiperbilirubinemia neonatorum merupakan salah satu fenomena klinis yang paling
sering ditemukan pada bayi baru lahir.1 Hiperbilirubinemia neonatorum terjadi pada kurang
lebih 75% bayi cukup bulan dan 80% pada bayi prematur dan lebih dari 85% bayi cukup
bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan
ini.2,1 Hiperbilirubinemia neonatorum menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan
ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan kulit.1

Biliruin dibagi menjadi 2 bentuk yang bermakna secara klinis pada bayi baru lahir
adalah fraksi tak terkonjugasi dan fraksi terkonjugasi.3 Bilirubin terutama dihasilkan dari
pemecahan produk heme sel darah merah.4 Pada masa transisi setelah lahir, hepar pada bayi
belum dapat berfungsi secara optimal, sehingga proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi
secara maksimal dan menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah.1 Pada
kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemiaemia tak terkonjugasi merupakan fenomena
transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi terjadi peningkatan bilirubin secara
berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian
pada bayi tersebut dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan
menimbulkan sekuele neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning
harus dibedakan apakah hiperbilirubinemia yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis
atau patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi
hiperbilirubinemiaemia yang berat.1

Hiperbilirubinemia Neonatorum
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin total
dalam darah yang melebihi nilai normal atau secara umum yang dapat menyebabkan
ikterus.5,6 Hiperbilirubinemia juga dikarakterisasi dari fraksi bilirubin yang meningkat,
bilirubin direk atau indirek. Peningkatan salah satu dari fraksi ini akan menyebabkan ikterus.7

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebihan.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5 – 7
mg/dL.1

Hiperbilirubinemia neonatorum terjadi pada kurang lebih 75% bayi cukup bulan dan
80% bayi prematur selama minggu pertama kehidupan. Ini disebabkan oleh naiknya kadar
bilirubin, produk pemecah dari sel darah merah.2,4
Ikterus Fisiologi
Umumnya ikterus fisiologi terjadi pada bayi baru lahir yang kadar bilirubin tak
terkonjugasi melebihi 2 mg/dl yang terjadi setelah 24 jam post-natal dan dapat bertahan
hingga seminggu pertama.1,8

Ikterus fisiologik tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi kombinasi dari berbagai
faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologik bayi baru lahir. Peningkatan kadar
bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi
peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan klirens bilirubin.14 Peningkatan produksi
dari bilirubin disebabkan meningkatnya hematokrit dan volume sel darah merah dibanding
berat badan dan umur hidup sel darah merah yang lebih pendek yaitu 70 hingga 90 hari
berbanding dewasa 120 hari.8,9

Umumnya Hiperbilirubinemia neonatorum fisiologi terjadi pada bayi baru lahir, kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang
mendapatkan susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada
hari ke – 3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2 – 3 hari diikuti dengan
penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan
yang mendapatkan ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7 – 14
mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam 2 – 4 minggu, bahkan
mencapai 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang mendapatkan susu formula juga akan
mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan
penurunan jika tidak diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan hingga 10 – 12 mg/dL
masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme
bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat kurang dari 2 mg/dL dan berkisar dari 1,4 sampai
1,9 mg/dL.1

Ikterus Patologis
Hiperbilirubinemia non fisiologi sulit jika dibedakan dengan hiperbilirubinemia
fisiologis. Keadaan berikut ini merupakan petunjuk agar bayi segera ditindak lanjut, yaitu:
hiperbilirubinemia terjadi sebelum umur 24 jam; setiap peningkatan kadar bilirubin serum
memerlukan fototerapi; peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dL/jam; adanya
tanda – tanda penyakit yang mendasari pada bayi seperti muntah, letargis, malas menetek,
penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil;
hiperbilirubinemia bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan.1
Etiologi
Penyebab tersering hiperbilirubinemia neonatorum jika dikategorikan berdasarkan
usia antara lain: (Tabel 1)

Tabel 1. Penyebab hiperbilirubinemia neonatorum berdasarkan usia2

< 24 jam 24 jam – 2 minggu Hiperbilirubinemia


berkepanjangan
Hemolisis Hiperbilirubinemia karena ASI Tidak terkonjugasi
Penyakit Rhesus Hemolitik Hiperbilirubinemia karena
Inkompatibilitas ABO Infeksi ASI
Inkompatibilitas antigen Memar/sefalhematoma Hipotiroidisme
minor Obstruksi gastrointestinal Obstruksi gastrointestinal
Defisiensi G6PD Kelainan metabolik Infeksi
Spherositosis herediter Defek enzim hati
Infeksi Kongenital Kekurangan enzim hati Terkonjugasi
Sindrom hepatitis pada
neonatus
Atresia bilier

Patofisiologi
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga hiperbilirubinemia yang merupakan
bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi.
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan
enzim heme oksigenase, yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati dan
organ lain. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase.1

Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan
terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengekskresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.1

Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8 – 10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang


dewasa sekitar 3 – 4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70 – 90 hari) dibandingkan dengan orang
dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga
reabsorbsi bilirubin dari usus yang yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).1

Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya


dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke sel
hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan
bersifat non toksik.1

Pada bayi kurang bulan ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya merupakan
komplikasi dari hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemi, asidosis, hipotermia, hemolisis, dan
septikemia. Hal tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan jumlah bilirubin bebas
dan berisiko pula untuk keadaan neurotoksisitas oleh bilirubin.1

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut


dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucuronosyl
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.1

Bilirubin ini kemudian dieksresikan ke dalam kanalikuli empedu. Sedangkan satu


molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi
berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke hati akan terjadi
resistensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan hemolisis kronik yang berat
pigmen yang tertahan adalah bilirubin monoglukuronida.1

Penelitian in vitro tentang enzim UDPG-T pada bayi baru lahir didapatkan defisiensi
aktivitas enzim, tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktivitas enzim ini meningkat melebihi
bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin serum akan menurun. Kapasitas
total konjugasi akan sama dengan orang dewasa pada hari ke – 4 kehidupan. Pada periode
bayi baru lahir, konjugasi monoglukuronida merupakan konjugat pigmen empedu yang lebih
dominan.1

Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam


kandungan empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan dieksresikan melalui feses.
Proses eksresinya sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada dalam
usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta – glukuronidase
yang terdapat di dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke
hati untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.1

Melihatkan kepada metabolisme bilirubin di atas, patofisiologi hiperbilirubinemia


terjadi apabila adanya gangguan dalam proses penghasilan dan ekskresi bilirubin sehingga
dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar bilirubin, tergantung pada etiologi yang
mendasari dan terbagi kepada 3 yaitu pre-hepatik, hepatik dan post-hepatik. Contoh pre
hepatik adalah adanya hemolisis dari sel darah merah, sehingga kadar bilirubin meningkat
dalam darah seperti pada inkompatibilitas ABO/Rh. Seterusnya contoh hepatik seperti ada
kelainan dari enzim hepar; enzim glukoronil transferase sehingga akan terjadinya gangguan
konjugasi dari bilirubin indirek. Contoh post-hepatik adalah adanya obstruksi bilier atau
kolestasis sehingga menyebabkan ekskresi bilirubin direk terganggu dan dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia bilirubin terkonjugasi atau direk.5,10

Diagnosis
Anamnesis

Anamnesis umumnya ditanyakan bagaimana warna urine, karena urin pada


peningkatan bilirubin direk dalam darah yang kita kenal sebagai kolestasis umumnya kuning
tua atau sedikit lebih tua dari biasanya. Pada bayi mungkin saja tidak ditemukan warna
kuning tua karena volume urin bayi umumnya cukup besar sehingga mungkin ada efek dilusi
bilirubin dalam urin. Selain itu tanyakan warna feses, karena pada kolestasis dapat dijumpai
warna feses pucat seperti dempul, dapat terus menerus atau berfluktuasi. Untuk feses ini
sebaiknya anda lihat sendiri dengan cara meminta orangtua mengumpulkan tinja 3 periode
tiap 8 jam diambul 1 contoh feses.11

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik perlu difokuskan pada penampilan umum pasien, berat badan,
panjang badan, dan lingkar kepala. Pasien dengan kelainan metabolik atau neonatal hepatitis
umumnya terlihat kecil, sedangkan atresia bilier umumnya besar seperti anak normal saja.
Hal yang terakhir ini sering mengecoh klinis untuk cenderung mengatakan kuning pada bayi
dengan atresia bilier hanya memerlukan penyinaran pagi hari saja.11

Mata perlu diperiksa apakah selain ikterik, terlihat katarak yang mengarah ke
diagnosis galaktosemia. Kelainan jantung kadang – kadang menyertai kelainan kolestasis
tertentu. Hati perlu diperiksa ukurannya yang dapat membesar tetapi dapat pula masih normal
saja. Kadang – kadang ditemukan splenomegali.11

Hiperbilirubinemia secara klinis terdeteksi dari warna kulit saat menekan kulit dengan
jari atau pewarnaan kuning sklera saat bilirubin melewati 5 mg/dL (85 mikromol/L).2,12

Hiperbilirubinemia mulai muncul di kepala, menyebar ke abdomen dan kemudian


kaki. Pemeriksaan hiperbilirubinemia lebih sulit pada bayi prematur dan bayi dengan kulit
gelap. Beratnya hiperbilirubinemia tidak bisa dinilai dengan baik dengan pemeriksaan klinis.
Tetapi, bayi tidak kuning secara klinis tidak akan memiliki hiperbilirubinemiaemia yang
signifikan.2,12

Secara evidence based, pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun


bila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining. Bayi dengan
skrining positif harus segera dirujuk untuk diagnosis dan tata laksana lebih lanjut. Panduan
WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut: 6

1. Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan
buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di bawah kulit
dan jaringan subkutan.
3. Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning seperti pada gambar 1.

Gambar 1. Kramer’s scorei


Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul, maka perlu diketahui daerah
letak kadar bilirubin total (Gambar 2) beserta faktor resiko terjadinya hiperbilirubinemia yang
berat.1

Gambar 2. Nomogram penentu risiko hiperbilirubinemia pada bayi sehat usia 36 minggu atau
lebih dengan berat badan 2000 gram atau lebih atau usia kehamilan 35 minggu atau lebih dan
berat badan 2500 gram atau lebih berdasarkan jam observasi kadar bilirubin serum
Pemeriksaan lanjutan selain pemeriksaan bilirubin total yang dapat diperiksa, yaitu:
bilirubin direk; hitung darah lengkap, hitung retikulosit, dan hapusan bagi morfologi sel
darah; volume sel darah atau hematokrit; golongan darah (ibu dan bayi); tes antibodi direk
(DAT – direct antibody test); uji Coombs. 2,4,12

Dan juga pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan G6PD dan tes kultur
mikrobiologi darah, urin, dan cairan serebrospinal untuk infeksi. Tetapi, pada sebagian besar
bayi tidak ada sebab yang teridentifikasi.2

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kasus hiperbilirubinemia ditujukan untuk menurunkan kadar
bilirubin tak terkonjugasi sebelum terjadi kerusakan organ dan bila mungkin untuk
menghilangkan penyebabnya. Acuan kadar bilirubin total maksimal yang ditoleransi sekitar
10-20 mg/dl tergantung pada berat lahir, usia gestasional, faktor resiko terkait, dan penyebab
hiperbilirubinemiaemia. Ada tanggapan bahwa hiperbilirubinemia karena air susu ibu lebih
dapat ditoleransi dan kadar yang lebih tinggi berbahaya.4

Hiperbilirubinemia mungkin membutuhkan penanganan dengan fototerapi atau


transfusi tukar.12 Untuk menentukan perlu atau tidak pengobatan dapat dipastikan dengan
memetakan kadar bilirubin total pada grafik bilirubin terhadap usia dalam jam (Tabel 2 dan
3). Hal ini dapat menentukan: tidak perlu dilakukan pengobatan; perlu mengurangi
pemeriksaan bilirubin dalam 6-12 jam; indikasi fototerapi atau transfusi akut2.

Tabel 2. Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi sehat cukup bulan


berdasarkan American Academy Pediatrics1

Tabel 3. Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berdasarkan berat badan dan bayi baru
lahir yang relatif sehat1
Terapi akan berubah tergantung kadar absolut bilirubin yang dicapai dan tingkat
kenaikan pada pengukuran serial (bila bilirubin naik > 0,5mg/dL/jam, 8,5
2
mikromol/L/jam).

Bila transfusi tukar dipertimbangkan, serum albumin yang rendah dapat menjadi
faktor resiko tambahan untuk Kernikterus.2

Fototerapi

Cahaya biru – hijau (panjang gelombang 425-427 nm) yang dapat merubah bilirubin
tidak terkonjugasi menjadi isomer tak berbahaya. Cahaya disaring untuk menghilangkan sinar
ultraviolet.2Pemberian fototerapi akan merangsang pembentukan protein dan produksi enzim
hati dan dapat menurunkan kadar bilirubin kadar bilirubin direk maupun bilirubin indirek
dalam waktu 24-48 jam serta dapat berguna ketika transfusi tukar tidak dianjurkan.4
Fototerapi kurang efektif pada bayi dengan penyakit hemolitik, tetapi mungkin bermanfaat
untuk mengurang laju reakumulasi pigmen setelah transfusi tukar darah.3

Fototerapi harus dilakukan sebelum bilirubin mencapai konsentrasi ‘kritis’ dan


penurunan konsentrasi serum mungkin belum tampak selama 12-24 jam. Fototerapi harus
dilakukan sampai konsentrasi bilirubin serum tetap di bawah 10 g/dL.3

Transfusi tukar harus dilakukan apabila fototerapi saja terbukti tidak efektif dalam
mengendalikan kadar bilirubin serum. Karena pemakaian fototerapi bukannya tanpa resiko,
modalitas ini harus digunakan secara konservatif, disertai ketaatan terhadap petunjuknya.3

Fototerapi konvensional adalah dengan sumber cahaya fototerapi di atas bayi.


Fototerapi multipel terus menerus digunakan bila bilirubin serum naik dengan cepat atau
berada pada kadar yang tinggi atau tidak berkurang dalam 6 jam sejak awal mula
menggunakan fototerapi konvensional.2

Penyulit yang dihadapi dalam fototerapi diare, panas berlebihan, dan dehidrasi. Dapat
terjadi diskolorasi gelap di kulit akibat penimbunan fotoderivatif bilirubin yang kecoklatan
dalam darah, apabila juga terjadi hiperbilirubinemiaemia terkonjugasi. Mata bayi harus
dilindungi selama penyinaran untuk mencegah kerusakan retina.3

Transfusi tukar
Transfusi tukar digunakan untuk menurunkan secara bermakna kadar bilirubin tidak
terkojugasi yang meningkat tidak reponsif terhadap terapi standar, namun masih banyak
silang pendapat antara para dokter mengenai kapan saatnya menerapkan strategi ini.
Rekomendasi sebelumnya untuk transfusi tukar adalah jika kadar serum >20 g/dL dengan
adanya hemolisis dengan ambang yang lebih rendah untuk bayi dengan berat lahir
rendah/prematur dengan penyakit lain.3

Transfusi tukar dapat mengendalikan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dengan


membuang bilirubin dan sel terelubung-antibodi Rh-positif sebelum mereka terhemolisis.
Transfusi tukar terindiasi jika biirubin indirek mendekati batas atas keamanan atau jika
bilirubin naik pada kecepatan yang demikian cepat sehingga dapat mendekati batas tersebut
dalam beberapa jam. Kecepatan yang lebih besar dari 1mg/dL/jam biasanya menunjukkan
kenaikan cepat yang berbahaya yang memerlukan transfusi tukar dini.3

Pada transfusi ukar, darah bayi dikeluarkan sebagian secara bertahap (biasanya dua
kali volume darah, ‘volume tukar ganda’ – 2x80/kg) dan menggantinya dengan darah
transfusi . Mengangkat bilirubin dan antibodi dan mengkoreksi anemia. Komplikasi termasuk
thrombosis, embolus, kelebihan atau kekurangan cairan, abnormalitas metabolik, infeksi,
gangguan koagulasi. Kematian mungkin berkisar antara 0,1 – 5% dan prosedur ini memakan
waktu.2

Dalam melakukan transfusi tukar perlu pengawasan terhadap: tanda – tanda vital
secara prosedur; cairan yang dimasukkan dan yang ditarik; glukosa, elektrolit, kalsium, asam
– basa, pada saat sebelum, selama, dan sesudah prosedur; berikan waktu untuk keseimbangan
– lakukan lebih dari 1 jam untuk tukar dobel; tidak perlu diberi makan selama prosedur.2

Komplikasi dari transfusi tukar antara lain: masalah teknis; embolisasi udara atau
thrombosis ;kelebihan atau kekurangan cairan; ketidakseimbangan elektrolit – hiperkalemia,
hipokalsemia, hipomagnesia, asidosis atau alkalosis; perforasi pembuluh darah; hipoglikemia;
infeksi; hipotermia; infark; trombositopenia; defisiensi faktor pembekuan; hemolisis; aritmia;
kematian (mungkin mencapai 1%). 1,2,4

Immunoglobulin Intravena

Immunoglobulin intravena dapat digunakan pada penyakit rhesus atau


inkompatibilitas ABO saat kadar bilirubin total meningkat meskipun sudah melakukan
fototerapi multipel terus menerus atau kadarnya mendekati kadar yang membutuhkan
transfusi tukar.2

Kepulangan dan tindak lanjut

Menilik dari munculnya ulang Kernikterus pada bayi yang sehat, terutama pada usia
kehamilan 35 – 37 minggu, American Academy of Pediatric (2004) menyarankan pengukuran
bilirubin sebelum pulang dan / atau penilaian faktor resiko klinis bagi perkembangan
hiperbilirubinemia untuk semua bayi.2
Penilaian awal dapat diperlukan bila ada faktor resiko, orangtua harus diberikan
informasi tertulis dan verbal tentang hiperbilirubinemia (tabel 4).2

Tabel 4. Faktor resiko hiperbilirubinemia berat pada bayi usia kehamilan > 35 minggu1

Komplikasi
Kernikterus

Kernikterus merupakan ensefalopati yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tak


terkonjugasi. Bilirubin menumpuk pada ganglia basal dan nukleus batang otak. Konsekuensi
jangka panjang mencakup displasia dental dengan pewarnaan kuning pada gigi, kehilangan
pendengaran neurosensorik frekuensi-tinggi, paralisis pada gerakan bola mata ke arah atas,
palsi serebral athetoid, dan kesulitan belajar.1,12,13

Kernicterus adalah sindrom neurologik akibat dari akumulasi bilirubin indirek di


ganglia basalis dan nuklei batang otak. Hal ini dapat mengakibatkan iritabilitas, letargi, sulit
makan, demam, dan hipertonisitas otot yang bersifat akut, yang menyebabkan kekakuan pada
leher dan batang tubuh (opistotonus) dan kejang, koma, dan kematian. Faktor yang terkait
dengan terjadinya sindrom ini adalah kompleks yaitu termasuk adanya interaksi antara
besaran kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin bebas yang
melewati sawar darah otak.1
Pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang bertahan hidup akan
berkembang menjadi bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran,
dysplasia dental-enamel, paralisis upward gaze. Bayi dengan gejala saraf demikian banyak
yang meninggal dan yang hidup pada umumnya disertai dengan defisit neurologik yang
berat.8
Hipotesis menyatakan bahwa bilirubin merusak dinding sel, kemudian menghalangi
pemakaian oksigen oleh jaringan otak sehingga memperberat hipoksia otak yang
berlangsung.8

Pencegahan
American Academy of Pediatrics (AAP) tahun 2004 mengeluarkan strategi praktis
dalam pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia bayi baru lahir (< 35 minggu atau
lebih) dengan tujuan untuk menurunkan insidens dari neonatal hiperbilirubinemia berat dan
ensefalopati bilirubin serta meminimalkan risiko yang tidak menguntungkan seperti
kecemasan ibu, berkurangnya breastfeeding atau terapi yang tidak diperlukan. Pencegahan
dititikberatkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui untuk
menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan baktero flora normal, dan
merangsang aktifitas usus halus.14
 Pencegahan primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari
untuk beberapa hari pertama. Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti
dextrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.1,10
 Pencegahan sekunder
Melakukan penilaian sistematis terhadap risiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal. Seterusnya, semua wanita hamil
harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk
antibody isoimun yang tidak biasa. Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh
negative, dilakukan pemeriksaan antibody direk (tes Coombs), golongan darah dan
tipe Rh(D) darah tali pusat bayi. Bila golongan darah ibu 0, Rh positif, terdapat
pilihan untuk dilakukan tes golongan darah dan tes coombs pada darah tali pusat bayi,
tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan pengawasan, penilaian terhadap risiko
sebelum keluar rumah sakit dan tindak lanjut yang memadai.1

Kesimpulan
Hiperbilirubinemia neonatorum dapat normal terjadi pada bayi yang baru lahir dan
dapat menghilang tanpa pengobatan, tetapi pada keadaan patologis akan menjadi sangat
berbahaya dan membutuhkan penatalaksaan segera untuk mencegah kerusakan organ,
terutama untuk mencegah Kernikterus.
Daftar Pustaka
1. Sukadi A. Hiperbilirubinemiaemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa
GI, Usman A. Buku ajar neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012. h. 147-68.
2. Lissauer T, Fanaroff AA. Selayang neonatologi. Ed ke-2. Jakarta: Indeks; 2013. h. 29-
155. h. 150-5.
3. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolp. Ed ke-20.
Jakarta: EGC; 2007.
4. Benson RC, Pernoll ML. Buku saku obsetri & ginekologi. Ed ke-9. Jakarta:EGC;
2009.h. 268-70.
5. Debra HP, Yolanda R. Jaundice. Dalam: American academy of pediatrics textbook of
pediatrics care. 2128 Ed. 2016.
6. Stevry M, Rocky W, Audrey W. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Jurnal Biomedik.
5 (1). 2013. H. 4-10.
7. Daniel B, Steven S. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Dalam: Ilmu kesehatan anak.
3r8 ed. USA. Wolter Kluwer Health Inc; 2012. P 205-6.
8. Meredith LP, Beth ID. Hyperbilirubinemia in the Term Newborn. American of
Family Physicians; 65(4): 2002. P 599-606.
9. Bhutta ZA. Hyperbilirubinemia. In: Kliegman R, Emerson W. Nelson textbook of
paediatrics. 19t6 ed. USA: Elsevier; 2011. P 275-7.
10. Bryon JL, Nancy DS. Hyperbilirubinemia in the newborn. American Association of
Pediatrics ; 32(8) : 2011.
11. Gunardi H, Tehuteru ES, Kurniati N, Advani N, Setyanto DB, Wulandari HF,
Handryastuti S. Kumpuan tips pediatri. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2011.
12. Lissauer T, Fanaroff A. At a glance neonatologi. Jakarta: Penerbit Erlangga;2012.h.
96-8.
13. Toy EC, Yetman RJ, Giarardet RG, Hormann MD, Lahoti SL, McNeese MC, Sanders
MJ. Case files pediatrics. Ed ke-3. America: Mc Graw Hill; 2010. h. 161.
14. Karen EM. Evaluation and Treatment of Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Neonatal
hyperbilirubinemia. American of Family Physician; 89 (11): 2014. P 873-8.

Anda mungkin juga menyukai