Anda di halaman 1dari 12

Nama : Adityas Rachmawati Putri

NIM : 13/348942/HK/19617

Kelompok :2

 Bagaimana kedudukan wasiat di dalam hukum pewarisan islam?

Wasiat mencerminkan keinginan terakhir seseorang menyangkut harta yang akan ditinggalkan.
Keinginan terahkir pewaris harus didahulukan daripada hak ahli waris.1 Menurut Pasal 171
huruf f Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Wasiat adalah
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia

Hukum Wasiat

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf . (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(QS. Al-Baqarah : 180)

Hukum wasiat tergantung pada kondisi orang yang menyampaikan wasiat. Berikut rinciannya:

1. Menyampaikan wasiat hukumnya wajib untuk orang yang punya utang atau menyimpan
barang titipan atau menanggung hak orang lain, yang dikhawatirkan manakala seorang itu
tidak berwasiat maka hak tersebut tidak ditunaikan kepada yang bersangkutan.
2. Berwasiat hukumnya dianjurkan untuk orang yang memiliki harta berlimpah dan ahli
warisnya berkecukupan. Dia dianjurkan untuk wasiat agar menyedekahkan sebagian
hartanya, baik sepertiga dari total harta atau kurang dari itu, kepada kerabat yang tidak
mendapatkan warisan atau untuk berbagai kegiatan sosial.
3. Berwasiat dengan harta hukumnya makruh jika harta milik seorang itu sedikit dan ahli
warisnya tergolong orang yang hartanya pas-pasan. oleh karena itu banyak sahabat
radhiyallahu ‘anhum, yang meninggal dunia dalam keadaan tidak berwasiat dengan
hartanya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah
itu bersedekah kepada kalian dengan sepertiga harta kalian ketika kalian hendak meninggal
dunia sebagai tambahan kebaikan bagi kalian.” (HR. Ibnu Majah, dan dihasankan Al-Albani).
Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda, “Wahai manusia ada dua hal yang keduanya bukanlah
hasil jerih payahmu. Pertama, kutetapkan sebagian hartamu untukmu ketika engkau hendak

1 H. Ahmad Azhar Basyir. Hukum Waris Islam. (Yogyakarta: UII Press). hlm 17.
meninggal dunia untuk membersihkan dan mensucikanmu. Kedua, doa hamba hambaku
setelah engkau meninggal dunia.” (HR. Ibnu Majah, dhaif).
Demikian pula hadits yang yang mengisahkan Nabi mengizinkan Saad bin Abi Waqash untuk
wasiat sedekah sebesar sepertiga total kekayaannya [HR Bukhari dan Muslim].

Rukun dan Syarat Wasiat

Rukun Wasiat adalah :

1. orang yang mewasiatkan (Mushi)


2. orang/pihak yang menerima wasiat (musha lahu)
3. harta/sesuatu yang diwasiatkan (musha bihi)
4. Ijab Qabdul (Shighat Wasiat)

Syarat-syarat wasiat :

1. Orang yang berwasiat :

 Baligh
 Berakal sehat
 Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun

2. Orang yang menerima wasiat

 Harus benar-benar ada, meskipun ia tidak hadir pada saat wasiat diucapkan
 Tidak menolak pemberian wasiat
 Bukan pembunuh orang yang berwasiat
 Bukan ahli waris yang berhak menerima warisan, kecuali atas persetujuan ahli waris
lain.

3. Syarat harta/sesuatu yang diwasiatkan :

 Jumlah wasiat tidak lebih dari 1/3 dari harta yang ditinggalkan
 Dapat berpindah miliki dari seseorang kepada orang lain
 Harus ada ketika wasiat diucapkan
 Harus dapat memberi manfaat
 Tidak bertentangan dengan huk syara’.

4. Syarat-syarat shighat :

 kalimat dapat dimengerti maupun dipahami baik dengan lisan maupun tulisan.
 Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.

Permasalahan dalam Wasiat

1. Kadar Wasiat

Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta yang dipunyai oleh orang yang
berwasiat. Yaitu harta bersih setelah dikurangi hutang bila orang yang berwasiat meninggalkan
harta, meskipun seandainya orang yang meninggal tersebut mewasiatkan seluruh hartanya,
maka tetap pelaksanannya tidak boleh melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkan.

Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah
banyak”

2. Wasiat bagi orang yang tidak memiliki ahli waris

Adapun wasiat bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris, para ulama berbeda pendapat,
antara lain sebagai berikut:

1. sebagian berpendapat bahwa orang yang tidak mempunyai ahli waris tidak boleh
berwasiat lebih dari sepertiga harta miliknya. Alasan mereka didasarkan kepada hadits-
hadits Nabi saw. Yang shahih yang mengatakan bahwa sepertiga itupun sudah banyak,
dan Nabi saw, tidak memberikan pengecualian kepada orang yang tidak mempunyai
ahli waris.
2. Sebagian ulama lain berpendapat, bahwa orang yang tidak mempunyai ahli waris boleh
mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya. Mereka beralasan bahwa hadits-hadits Nabi
saw. Yang membatasi sepertiga adalah karena ada ahli waris yang sebaiknya
ditinggalkan dalam keadaan cukup dari pada dalm keadaan miskin, maka apabila ahli
waris tidak ada, pembatasan sepertiga itu tidak berlaku. Pendapat ini dikemukakan oleh
ibnu Mas’ud, ibnu Ubadah, Masruq dan diikuti ulama-ulama Hanafiah.

Adapun mengenai hukum wasiat para ahli hukum berbeda pendapat yaitu:
1. Pendapat ini memandang bahwa wasiat itu wajib bagi setiap orang yang
meninggalkan harta, baik harta itu banyak atau sedikit. Pendapat ini dikatakan oleh Az-
zuhri dan Abu Mijlaz.
2. Pendapat ini memandang bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat
yang tidak mewarisi dari si mayyit wajib hukumnya. Ini menurut Masruq, Iyas, Qatadah,
Ibnu Jarir dan Az-zuhri.
3. Pendapat empat Imam dari aliran Zaidiyah yang menyatakan bahwa wasiat itu
bukanlah kewajiban atas setiap orang yang meninggalkan harta dan bukan pula kewajiban
terhadap kedua orang tua dan karib akan tetapi wasiat itu berbeda-beda hukumnya menurut
keadaan.
Abu Daud Ibnu Hazm dan ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu 'ain.
Mereka beralasan bahwa QS Al-Baqarah ayat 180 dan QS An-Nisa ayat 11-12 mengandung
pengertian bahwa “Allah mewajibkan hamba-Nya untuk mewariskan sebagian hartanya
kepada ahli waris dan mewajibkan wasiat didahulukan pelaksanaanya daripada pelunasan
utang. Adapun maksud kepada orang tua dan kerabat dipahami karena mereka itu tidak
menerima warisan”.

Pak Fulan telah menjalankan perintah Allah SWT untuk meninggalkan wasiat. Karena
beliau memiliki harta kekayaan yang banyak dan berwasiat ketika sakit keras dan akan
meninggal. Pak Fulan telah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Surat Al-Baqarah
Ayat 180. Pak Fulan berwasiat agar anaknya, Ubi, tidak diberi warisan karena memiliki
karakter keras kepala, sombong, boros, dan tidak mau menerima nasihat dari orang tuanya.

 Bagaimana jika seseorang tidak melaksanakan wasiat ditinjau dari segi hukum
islam?
Wasiat yang ditinggalkan kepada ahli waris, pelaksanaannya tergantung kepada izin ahli
waris, seperti wasiat yang melebihi 1/3 harta, Ulama’ Dhahiriyah memandang wasiat itu
batal sejak mula-mula karena hadits Nabi mengajarkan bahwa tidak ada wasiat untuk ahli
waris. Ulama’ Syi’ah Immamiyah memandang sah dan dapat dilaksanakan dalam batas 1/3
harta, tanpa izin siapapun. 2

Dalam skenario ini, Abi, Abu, Umi sepakat untuk melaksanakan wasiat Pak Fulan. Apabila
mereka tidak melaksanakan wasiat tersebut, mereka membuat perlakuan yang adil karena
semua anak yang ditinggalkan Pak Fulan berhak untuk mendapatkan warisan. Anak laki-
laki dan perempuan dalam Islam merupakan ahli waris. Jika Abi, Abu, Umi menjalankan
wasiat, maka:

1. Abi, Abu, Umi melaksanakan wasiat yang isinya dosa dan ini akan menambah siksaan
bagi Pak Fulan
2. Abi, Abu, Umi merampas hak orang lain, yaitu Ubi, dan itu perbuatan kezaliman.

 Apa saja asas-asas hukum waris islam?

1. Asas integrity (ketulusan)

Integrity artinya ketulusan hati, kejujuran, atau keutuhan. Asas ini mengandung pengertian
bahwa melaksanakan hukum kewarisan dalam islam, di perlukan ketulsan hati menaatinya
karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenaranya. ( taat pada syariat islam / kitab suci
Al-Quran) (Qs. Ali ‘Imran {3}: 85)

2. Asas ta’abbudi (penghambaan diri)

2 H. Ahmad Azhar Basyir. Hukum Waris Islam. (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas
Islam Indonesia). hlm 15.
Maksud dari asas ta’abuddi adalah melaksanakan hukum waris sesuai syariat islam adalah
bagian dari ibadah kepada Allah Swt Sebagai ibadah, dan tentunya mendapatkan berpahala

Bila ditaati seperti menaati hukum-hukum islam lainya. (Qs. An Nissa’ {4}: 13-14)

3. Asas Huququl Maliyah (Hak-Hak kebendaan)

Maksud dari huququl maliyah adalah hak-hak kebendaan. Artinya, hanya hak dan kewajiban
kebendaan (benda yang berbentuk) yang dapat di wariskan kepada ahli waris. segala Hal-hal
kewajiban yang bersifat pribadi tidak dapat di wariskan. (kompilasi hukum islam pasal 175)

4. Asas Huququn thabi’iyah (Hak-Hak Dasar)

Pengertian Huququn thabi’iyah adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia. Artinya,
meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seorang yang sudah sakit menghadapi
kematian sedangkan ia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Begitu juga suami istri
belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, Maka dipandang cakap mewarisi
harta tersebut. Ada dua syarat seorang bisa mendapat hak warisan.

1. Melalui hubungan perkawinan yang seagama


2. Keluaraga yang mempunyai hubungan darah/genetik (Baik anak cucu atau saudara)

Dan ada pula beberapa penghalang kewarisan.

1. Keluar dari islam (Murtad)


2. Membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris
3. Di persalahkan telah memfitnah pewaris melakukan kejahatan.

5. Asas ijbari (keharusan, kewajiban)

Asas ini adalah yang mengatur tata cara peralihan secara otomatis harta dari seorang, baik
pewaris maupun ahli waris sesuai dengan ketetapan Allah swt. Tanpa di gantung terhadap
kehendak seseorang.baik pewaris maupun ahli waris.

Asas ijbari ini dapat juga dilihat dari segi yang lain, yaitu:
1. Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia
2. Jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris.
3. Orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah di tentukan dengan pasti, yakni
orang yang mempunyai hubungan darah dan perkawinan.

6. Asas bilateral

Asas bilateral mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah
pihak, yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan.

(Qs. An-Nisaa’{4}:7) (Qs. An-Nisaa’{4}:11-12) (Qs. An-Nisaa’{4}:176)

7. Asas individual

Asas ini menyatakan harta warisan dapat di bagi kepada masing-masing ahli waris untuk
dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaanya seluruh harta di nyatakan dalam nilai
tertentu. Yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang dapat menerimanya menurut
kadar bagian masing-masing. (Qs. An-Nisaa’{4}:8) (Qs. An-Nisaa’{4}:33)

8. Asas keadilan yang berimbang

Asas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh
seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus di
tunaikanya Misalnya. Laki-laki dan perempuan mendapatkan hak yang sebanding dengan
kewajiban yang di pikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan bermasyarakat seorang
laki laki menjadi penanggung jawab daalam kehidupan keluarga. Mencukupi keperluan hidup
anak dan istrinya sesuai kemampuanya. (Qs. Al-Baqarah {2}:233)

(Qs. Ath-Thalaaq{65}:7)

9. Asas kematian

Makna asas ini menandaka bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain terjadi setelah
orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Harta seseorang tidak bisa beralih ke orang
lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup.
(tidak mengenal kewariasan atas dasar wasiat)

10. Asas membagi habis harta warisan.

Membagi semua harta peningalan (warisan) hingga tak tersisa adalah makna dari asas ini. Hal
tersebut dari proses menghitung dan menyelesaikan pembagian harta warisan. Caranya,
dengan menentukan ahli waris berserta bagianya masing-masing, membersihkan atau
memurnikan dari hutang dan wasiat, sampai melaksanakan pembagian hingga tuntas.

Asas ini mengindarkan dari semua jumlah ahli waris lebih besar daripada masalah yang
ditetapkan. Ataupun yang sebaliknya. (Kompilasi Hukum Islam Pasal 192 & 193)

Dalam skenario berlaku asas-asas pembagian warisan dalam hukum Islam, yaitu:

A. Asas Kematian
Pak Fulan meninggal dunia karena sakit keras dan meninggalka harta yang banyak.
Terjadi peralihan kekuasaan kepada ahli waris yaitu empat anak kandungnya, yaitu Abi,
Abu, Ubi, dan Umi
B. Asas Bilateral
Empat anak Pak Fulan mendapatkan warisan dari garis keturunan laki-laki yaitu ayah
mereka, Pak Fulan.
C. Asas Keadilan Berimbang
Jumlah warisan yang diterima oleh empat anak-anak Pak Fulan harus adil. Bagian anak
laki-laki merupakan dua bagian dari anak perempuan. Anak perempuan hanya
mendapatkan satu bagian.
D. Asas Huququn thabi’iyah (Hal-Hak Dasar)
Abi, Abu, Ubi, dan Umi mendapatkan hak atas warisan karena ada syarat yang
dipenuhi, yaitu keluarga yang mempunyai hubungan darah.
E. Asas Ijbari (Keharusan)
Peralihan harta Pak Fulan, secara otomatis berpindah ke tangan ahli waris setelah Ia
meninggal dunia dengan ketetapan Allah SWT.
F. Asas Huququl Maliyah (Hak-Hak kebendaan)
Hanya harta yang dimiliki Pak Fulan baik berupa benda tetap dan benda bergerak dapat
dwariskan kepada ahli waris. Segala kewajiban yang berbentuk pribadi tidak dapat
diwariskan.

 Apa saja dasar hukum waris islam?


Ayat 7 Surat An-Nisa memberi ketentuan bahwa laki-laki dan perempuan sama-
sama berhak atas warisan orang tua dan kerabatnya. Ketentuan tersebut merupakan
perombakan terhadap kebiasaan Bahasa Arab yang hanya memberikan hak waris
kepada laki-laki yang sanggup memanggul senjata membela kehormatan kabilahnya.
Anak-anak kecil, orang tua dan orang-orang perempuan, karena tidak sanggup
memanggul senjata, tidak berak warisan sama sekali.
Ayat 8 Surat An-Nisa memerintahkan agar kepada sanak kerabat, anak-anak
yatim, dan orang-orang miskin yang hadir menyaksikan pembagian harta warisan,
diberi jumlah harta sekadar untuk dapat mengikuti menikmati harta warisan yang baru
saja dibagi itu.
Ayat 9 Surat An-Nisa memperingatkan agar orang senantiasa memperhatikan
kepada anak cucu yang akan ditinggalkan, agar jangan sampai mereka mengalami
kesempitan hidup sebagai akibat kesalahan orang tua membelanjakan orang tuanya.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
beliau bersabda: “Berikanlah bagian fara`idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada
yang berhak menerimanya. Dan harta yang tersisa setelah pembagian, maka itu bagi
pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya).” (HR. Al-Bukhari no. 6235 & Muslim no.
1615)

Dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu anhu dia berkata: Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada saat khutbah haji wada’:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi masing-masing orang haknya, karenanya
tak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Daud no. 3565, At-Tirmizi no. 2120, Ibnu
Majah no. 2704, & dinyatakan shahih oleh Al-Albani dlm Irwa` Al-Ghalil no. 1655)
Dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
beliau bersabda:

“Orang muslim tak mewarisi orang kafir & orang kafir tak mewarisi orang
muslim.” (HR. Al-Bukhari no. 6267 & Muslim no. 1614)
 Peradilan yang berwenang yang mengadili warisan?

Kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama diatur dalam Pasal
2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor
3 Tahun 2006, dimana dibangun atas asas Personalitas Keislaman, yang mana dalam Pasal
2 disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakah salah satu pelaksanaan kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara
perdata tertentu Pada Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”) disebutkan
bahwa:

“…Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan


perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
b. waris..
Penjelasan lebih detail mengenai permasalahan waris apa saja yang diatur dapat kita lihat
pada penjelasan Pasal 49 huruf b UU Peradilan Agama yang berbunyi:

“…Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
bagian masing-masing ahli waris…”

Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa yang berhak untuk mengeluarkan


penetapan ahli waris adalah Pengadilan Agama.

Dalam masalah warisan ini dapat ditempuh dua cara, yakni;


- melalui gugatan.Dalam hal gugatan yang diajukan, berarti terdapat sengketa
terhadap objek waris. Hal ini bisa disebabkan karena adanya ahli waris yang tidak mau
membagi warisan sehingga terjadi konflik antara ahli waris. Proses akhir dari gugatan ini
akan melahirkan produk hukum berupa putusan, atau

- melalui permohonan yang diajukan para ahli waris dalam hal tidak terdapat
sengketa. Terhadap permohonan tersebut pengadilan akan mengeluarkan produk hukum
berupa penetapan.

Adapun proses untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama bisa ditempuh


dengan cara mengajukan Surat Permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau
kuasanya yang sah dan ditujukan ke Ketua Pengadilan Agama yang meliputi tempat tinggal
Pemohon (lihatPasal 118 HIR/142 RBG).

Bagi Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya
secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama (lihatPasal 120 HIR, Pasal 144 R.Bg).
Kemudian, Pemohon membayar biaya perkara (lihat Pasal 121 ayat [4] HIR, 145 ayat [2]
RBG, Pasal 89dan Pasal 91A UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Setelah itu Hakim akan memeriksa
perkara Permohonan tersebut dan terhadap permohonan tersebut Hakim kemudian akan
mengeluarkan suatu Penetapan.

Mengenai berapa lama prosesnya hal itu sulit dipastikan karena akan sangat bergantung
pada situasi yang ada. Misalnya, Hakim atau Pemohon berhalangan hadir sehingga sidang
harus ditunda, ataupun misalnya bukti yang diajukan pemohon tidak lengkap, sehingga
harus dilengkapi lagi dan sidang kembali ditunda.

Pada prinsipnya, Pengadilan mengandung asas cepat, sederhana, biaya ringan,


sebagaimana hal tersebut ditegaskan kembali dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) No. 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara, yang menyatakan :

“…Untuk itu, Mahkamah Agung memandang perlu menegaskan kembali dan


memerintahkan kepada Saudara hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa perkara-perkara di Pengadilan harus diputus dan


diselesaikan dalam waktu 6 (enam) bulan termasuk minutasi,
yaitu:
a. perkara-perkara perdata umum, perdata agama dan
perkara tata usaha negara, kecuali karena sifat dan
keadaan perkaranya terpaksa lebih dari 6 (enam) bulan,
dengan ketentuan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama
yang bersangkutan wajib melaporkan alasan-alasannya
kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding…”
Oleh karena itu, seharusnya semua perkara baik permohonan atau pun gugatan yang
diperiksa di tingkat peradilan pertama baik itu Pengadilan Agama maupun Pengadilan
Umum harus diputus atau diselesaikan dalam waktu 6 (enam) bulan.3

Menurut pengamatan saya, Ubi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama


karena Pengadilan Agama memiliki kompetensi absolut dalam menangani perkara waris yang
terdapat dalam Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”). Ubi mengajukan gugatan
karena ada sengketa dalam ahli waris dimana Ia tidak menjadi ahli waris karena wasiat
ayahnya, Pak Fulan. Gugatan yang diajukan nanti mendapatkan hasil berupa putusan. Proses
pengajuan permohonan dengan cara mengajukan Surat Permohonan yang ditandatangani oleh
pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan ke Ketua Pengadilan Agama yang meliputi
tempat tinggal Ubi. Lama permohonan yang diperiksa di Pengadilan Agama seharusnya
diputus dalam waktu enam bulan sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
No. 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara.

 Siapa saja yang berhak menjadi ahli waris di dalam hukum waris islam? Dan jika
ada pengecualiannya, siapa saja dan bagaimana kriterianya?

Menurut Pasal 174 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam ialah:

(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:

- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

- golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.

(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah,
ibu, janda atau duda.

Ada juga pengecualian, karena “terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”
sebagaimana bunyi Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam yaitu:

3 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4de5d5fa395d9/bagaimana-proses-
permohonan-penetapan-ahli-waris-dari-pengadilan-agama diakses pada tanggal 25 November
2013
- ahli waris tidak beragama Islam. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 171 huruf c KHI yang
menyatakan bahwa yang dapat menjadi ahli waris adalah yang beragama Islam.
- terdapat putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menghukum ahli waris
tersebut karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris(Pasal 173 huruf a KHI); dan
- terdapat putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menghukum ahli waris
tersebut karena dipersalahkan memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat (Pasal 173 huruf b KHI).

Dalam skenario ini, yang berhak menjadi ahli waris ialah semua anak Pak Fulan, yaitu
Abi, Abu, Ubi, dan Umi. Hal ini berdasarkan pengelompokan ahli waris menurut Pasal 174
Ayat 1 huruf a Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
menurut hubungan darah. Golongan laki-laki: anak laki-laki dan golongan perempuan: anak
perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Basyir, Ahmad Azhar. 2004. Hukum Waris Islam. Yogyakarta:UII Press

Basyir, Ahmad Azhar. 1990. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas
Ekonomi Universitas Islam Yogyakarta

www.hukumonline.com

Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Anda mungkin juga menyukai