PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tulang merupakan material komposit alamiah yang terdiri dari komponen
organik dan inorganik. Komponen inorganik penyusun tulang (45-65 %) adalah
suatu bentuk kalsium fosfat [Darwis & Warastuti, 2008]. Tulang berfungsi
sebagai rangka, penyokong dan pelindung organ tubuh serta sebagai penghubung
antar otot sehingga memungkinkan terjadinya gerakan [Rivera-Munoz, 2011].
Kerusakan/cacat pada tulang mengakibatkan terganggunya fungsi tersebut
sehingga tulang perlu diperbaiki. Banyak upaya telah dilakukan dalam
pengembangan biomaterial untuk perbaikan atau penggantian tulang. Selain
mempertimbangkan biocompatibility, pertimbangan khusus untuk bahan
pengganti tulang adalah biomechanical nature, yaitu biomaterials harus memiliki
sifat mekanik yang diperlukan untuk kinerja yang tepat dalam fungsi mereka
[Liu, 1997]. Penggunaan graft tulang (allograft dan xenograft) di Indonesia terus
meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh bertambah luasnya bidang
pemakaian graft tulang tersebut tidak hanya pada bidang orthopedik tetapi juga
telah mulai banyak dipakai pada opthalmologik dan periodontal (gigi). Selain itu
peningkatan pemakaian graft juga disebabkan oleh bertambahnya prevalensi
penyakit yang memerlukan graft tulang [Darwis & Warastuti, 2008].
Banyak kasus yang terjadi terkait dengan kerusakan tulang (bone defect)
seperti kanker tulang, periodontitis dan kecelakaan yang menyebabkan patah
tulang sehingga membutuhkan graft tulang sebagai pengganti tulang yang rusak.
Saat ini graft tulang yang banyak digunakan pada bidang ortopedi yaitu natural
bone antara lain autograft (tulang dari pasien yang sama), allograft (tulang dari
donor manusia lain) dan xenograft (tulang hewan). Bone graft yang biasanya
digunakan adalah autograft dan allograft. Namun, autograft tidak dapat memenuhi
keseluruhan kebutuhan bone graft yang terus meningkat [Miranda dkk, 2013].
Sedangkan allograft dan xenograft dapat menimbulkan reaksi autoimun serta
kemungkinan terjadinya transfer penyakit [Darwis & Warastuti, 2008].
Biomaterials merupakan material yang berfungsi mengembalikan dan
meregenerasi jaringan hidup yang rusak [Park dkk., 2000]. Biomaterials telah
digunakan untuk menggantikan jaringan-jaringan biologis dalam bidang
kedokteran dan penggunaannya telah meningkat secara signifikan dalam 10 tahun
terakhir [Dobos, 2012].
Tricalsium phosphate (TCP) adalah biomaterials sintetik yang mengalami
kemajuan pesat dalam 20 hingga 30 tahun terakhir [Kuo dkk., 2007]. TCP
merupakan bioceramics yang memiliki sifat biocompatibility yang baik serta tidak
menimbulkan inflamasi ketika digunakan sebagai implan penghubung/jaringan
tulang. Keunikan TCP dibandingkan biomaterials sintetik lain adalah similaritas
sifat kimianya dengan fase mineral tulang [Ghosh dkk., 2008]. Penggunaan TCP
mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan metode-metode sebelumnya.
Pasca implantasi TCP dalam jaringan tulang, tidak terjadi penurunan volum dan
1
2
perubahan morfologi serta mampu teradsorpsi dan menyatu baik dengan tulang.
Keunggulan TCP yang lainnya yaitu tidak terjadinya reaksi imunogenik terhadap
material TCP dalam tubuh [Oonishi dkk., 1997].
TCP berpori telah digunakan sebagai pengisi sel (loading), drug-releasing
agent dan dalam implantasi jaringan [Sopyan dkk., 2007]. Morfologi pori dapat
dibentuk melalui beberapa metode, salah satunya adalah protein foaming
consolidation [Fadli & Sopyan, 2009]. Metode protein foaming consolidation
menggunakan kuning telur sebagai pembentuk pori. Penggunaan kuning telur
sebagai pembentuk pori memiliki beberapa keunggulan, yaitu sifatnya yang
harganya murah, ramah lingkungan dan distribusi pori yang tersebar merata [Fadli
& Sopyan, 2009].
1.2 Identifikasi Masalah
Penggunaan biomaterials seperti TCP dalam implantasi tulang sudah
seharusnya memenuhi persyaratan tersebut. Ukuran, interkonektivitas dan
distribusi pori merupakan parameter yang perlu diperhatikan dalam pembuatan
TCP berpori. TCP telah digunakan oleh Fadli dkk [2014] dalam fabrikasi keramik
berpori untuk aplikasi tulang implant, yang menghasilkan keramik berpori dengan
derajat porositas berkisar 61 - 82% dan compressive strength berkisar 0,73 - 2,89
MPa.
Pembuatan keramik berpori dapat dilakukan melalui berbagai metode, salah
satunya adalah protein foaming consolidation. Kuning telur digunakan sebagai
agen pembentuk pori dikarenakan sifatnya yang berbentuk gel. Proses sintering
akan menghilangkan protein didalam slurry sehingga akan membentuk pori di
dalam sampel [Fadli & Sopyan, 2009]. Pembuatan alumina berpori menggunakan
kuning telur telah dilakukan oleh Fadli dan Sopyan [2009]. Hasil penelitian
tersebut menghasilkan derajat porositas alumina berkisar 43,6-50,4% dengan
compressive strength 4,57-5,72 MPa. Penelitian ini difokuskan pada pembuatan
TCP berpori dikarenakan TCP merupakan biomaterials yang komposisi kimianya
mirip dengan tulang manusia serta memenuhi karakteristik sebagai implan
[Kivrak & Cuneyt, 1998].
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui pengaruh komposisi slurry dan temperatur sintering
terhadap sifat fisik, kimia dan mekanik TCP berpori dengan metode
protein foaming-consolidation
2. Karakterisasi TCP berpori yang mampu memenuhi standar sebagai graft
tulang sintetik.
1.4 Urgensi Penelitian
Kebutuhan akan implan tulang di beberapa rumah sakit di Indonesia
dilaporkan meningkat seiring dengan tingginya jumlah penderita patah tulang
[Miranda et al, 2013]. Peningkatan penderita patah tulang itu dipicu semakin
tingginya jumlah kecelakaan di jalan raya dan kecelakaan kerja.Selain itu,
3
Gambar 2.11 Pelepasan air selama drying (a) keramik basah, (b) sebagian air
telah hilang dan (c) keramik kering [Kingery, 1960]
Sintering merupakan proses pemanasan pada temperatur tinggi untuk
meningkatkan kekuatan mekanik material. Proses ini juga dapat didefinisikan
sebagai proses produksi suatu material dengan mikro struktur dan porositas yang
terkontrol. Sintering dapat diklasifikasikan menjadi sintering fasa padat dan fasa
cair. Sintering fasa padat terjadi jika material berada dalam fasa padat pada
temperatur sintering sedangkan sintering fasa cair terjadi apabila terdapat cairan
selama sintering berlangsung. Selama sintering berlangsung, struktur partikel
material akan tumbuh (coarsening) dan menyatu membentuk kesatuan massa
(densifikasi) [Kang, 2005]. Hal ini merupakan fenomena dasar dari proses
sintering dan dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12 Fenomena dasar yang terjadi selama sintering [Kang, 2005]
Selama coarsening dan densifikasi berlangsung, terjadi pergerakan partikel
material. Pergerakan tersebut terjadi secara kompleks dan dikarenakan adanya
difusi permukaan (Ds), difusi gas (Dg), difusi kisi (Dl), difusi boundary (Db),
perbedaan viskositas (η) dan perbedaan tekanan uap (Δp) partikel.
7
DAFTAR PUSTAKA
Carter, D.R. & Hayes, W.C. (1977). The compressive behavior of bone as a two-
phase porous structure. Journal Bone Joint Surgery. 59 : 954-962.
Darwis, D. & Warastuti, Y. (2008). Sintesis dan Karakterisasi Komposit
Hidroksiapatit (HA) Sebagai Graft Tulang Sintetik. Jurnal Ilmiah Aplikasi
Isotop dan Radiasi. 4 : 143-153.
Doblaré, M, J., García, J.M., Goméz, M.J., (2004). Review Modelling bone tissue
fracture and healing: a review. Engineering Fracture Mechanics. 71 : 1809 -
1840.
Dobos, Petr. (2012). Synthesis of foamed bioceramics for potential medical
applications. Tesis Master. Brno University of Technology.
Emadi, R., Tavanga, F., Iman, S.R.E., Sheikhhosseini, A. & Kharaziha, M.
(2010). Nanostructured Forsterite Coating Strengthens Porous
Hydroxyapatite for Bone Tissue Engineering. Journal of the American
Ceramic Society. 93 : 2679–2683.
Fadli, A., Rasyid, A. & Firmansyah, R. (2014). Efect of Sintering Temperature
Rate on Physical Properties of Porous Tricalcium Phosphate (TCP)
Ceramics. Proceeding ASEAN COSAT 2014. Bogor. 427-432.
10