Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP

Chronic Kidney Disease


Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Internsip Dokter Indonesia

Disusun Oleh :
dr. Delta Kurnia

Pembimbing :
dr. Radhitiya Dewiriastuty, Sp.PD

Pendamping :
dr. Nanie Rusanti, M.Kes
dr. Rima Budiarti

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KABUPATEN BENGKALIS
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Menurut Departemen Kesehatan Indonesia, hipertensi merupakan suatu


kondisi dimana tekanan sistolik ≥140 mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 90
mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka
lama dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (chronic kidney disease), jantung
(penyakit jantung koroner) dan otak (stroke) 1. Chronic Kidney Disease (CKD)
merupakan salah satu masalah kesehatan publik di seluruh dunia dengan angka
kejadian yang meningkat setiap tahunnya.2
Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang dengan ukuran sebesar
kepalan tangan. Ginjal terletak di ruang retroperitoneal di kedua sisi kolumna
vertebralis. Setiap ginjal terdiri atas 8-12 lobus berbentuk piramid. Ginjal
merupakan organ penting yang mengatur volume dan komposisi kimia darah.
Fungsi utama dari ginjal adalah filtrasi dan sekresi dari produk akhir metabolisme
dan kelebihan elektrolit. Setiap hari ginjal menyaring sekitar 120-150 liter darah
untuk menghasilkan sekitar 1-2 liter urin yang terdiri dari zat sisa dan cairan yang
berlebih. Ginjal juga berfungsi memproduksi hormon yang membantu mengatur
tekanan darah, memproduksi sel-sel darah merah dan kekuatan tulang. Kegagalan
permanen ginjal untuk mencapai fungsinya disebut Penyakit ginjal kronik.2,3
CKD merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal.2 Penyakit ginjal kronik lebih dikenal dengan istilah
gagal ginjal kronik yang merupakan sindroma klinis karena penurunan fungsi
ginjal secara menetap akibat kerusakan dari nefron. Proses penurunan fungsi
ginjal ini berjalan secara kronis dan progresif yang pada akhirnya akan
mengakibatkan terjadinya gagal ginjal terminal dan memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal.2,3
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia
tahun 2013 menyatakan bahwa di Indonesia, gagal ginjal merupakan masalah
kesehatan yang cukup sering ditemui dari berbagai macam jenis penyakit ginjal.
Prevalensi gagal ginjal kronis yang telah terdiagnosis di Indonesia adalah sebesar
0,2% dengan prevalensi gagal ginjal di Riau sebesar 0,1%.8
Data dari laporan Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
menyatakan bahwa prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia pada laki-laki
(0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), dan meningkat angka kejadiannya
dengan meningkatnya usia, pada kelompok umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur
55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Diagnosa
etiologi/ comorbid terbanyak pada tahun 2012 meliputi penyakit ginjal hipertensi
35%, nefropati diabetika 26%, dan glumerulopati primer 12%. Penyakit penyerta
gagal ginjal kronis terbanyak di Indonesia pada tahun 2012 meliputi hipertensi
44%, diabetes melitus 25%, dan penyakit kardiovaskuler 9%.8,9
Pengaruh DM tipe 2 dan hipertensi terhadap kejadian gagal ginjal kronik
tergantung dari tingginya kadar glukosa dalam darah dan tekanan darah serta
lamanya menderita DM tipe 2 dan hipertensi. Semakin tinggi kadar glukosa darah
dan tekanan darah dalam waktu yang lama maka semakin berat komplikasi yang
dapat ditimbulkan sehingga semakin lama menderita DM tipe 2 dan hipertensi
maka semakin tinggi resiko untuk mengalami gagal ginjal kronik.7,8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. CHRONIC KIDNEY DISEASE


I. DEFINISI
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) mendefinisikan
penyakit ginjal kronis sebagai abnormalitas fungsi maupun struktur ginjal
(abnormalitas urinalisis, pencitraan atau histologi) yang menetap sekurang-
kurangnya selama 3 bulan dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) yaitu kecil dari 60 ml/menit/1,73m3.7
Kriteria penyakit ginjal kronis adalah:4
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG), dengan manifestasi:
a. Kelainan patologis
b. Terdapat tanda kelainan ginjal , termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan.
2. LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.

Adapun penanda kerusakan ginjal (satu atau lebih):4


1. Albuminuria
2. Abnormalitas sedimen urin
3. Abnormalitas elektrolit karena gangguan tubular
4. Abnormalitas yang dideteksi dengan histopatologi
5. Kelainan struktur yang dideteksi dengan pencitraan
6. Riwayat transplantasi ginjal4,5
Kriteria Penyakit ginjal kronik berdasarkan KDIGO 2012.10

Kriteria Choric Kidney Disease

a. Albuminuria (AER >

30 mg/24 jam, ACR >

30 mg/g
b. Hasil sedimen urin

abnormal
c. Elektrolit abnormal dan

Marker (satu kelainan yang


atau lebih) berhubungan dengan

gangguan tubulus
d. Ditemukan kelainan

pada pemeriksaan

pencitraan
e. Riwayat transplantasi

ginjal
GFR < 60ml/menit/1,73
Penurunan GFR m2 (kategori GFR G3a-
G5)

II. KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal, yaitu atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar
penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault sebagai berikut:2,5

*) pada perempuan dikalikan 0,85 dan laki-laki dikalikan 1

Klasifikasi atas dasar LFG tampak pada tabel 1.2


Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit
Derajat Penjelasan LFG(ml/
mnt/1,73
m²)
1 Kerusakan ≥ 90
ginjal dengan
LFG normal
atau ↑
Kerusakan
2 ginjal dengan 60-89
LFG↓ ringan
Kerusakan
3 ginjal dengan 30-59
LFG↓ sedang
4 Kerusakan 15- 29
ginjal dengan
LFG↓ berat
5 Gagal ginjal < 15
atau
dialisis

Klasifikasi atas dasar diagnosis tampak pada tabel 2.1

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi


Penyakit Tipe mayor
(contoh)
Penyakit Diabetes tipe 1
ginjal dan 2
diabetes
Penyakit Penyakit glomerular
ginjal (penyakit otoimun,
non infeksi sistemik, obat,
diabetes neoplasia)
Penyakit vascular
(penyakit pembuluh
darah besar,hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit
tubulointerstitial
(pielonefritis kronik,
batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal
polikistik)
Penyakit Rejeksi kronik
pada Keracunan
transplan
tasi obat(siklosporin/takrol
imus)
Penyakit recurrent
(glomerular)
Transplant
glomerulopathy

III. ETIOLOGI
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan
negara lain. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2011 mencatat
penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia yaitu:2,7
1. Penyakit ginjal hipertensi (34%)
2. Nefropati diabetika (27%)
3. Glomerulonefritis (14%)
4. Obstruksi (8%)
5. Pielonefritis kronis (6%)
6. Lain-lain (6%)
7. Nefropati asam urat (2%)
8. Ginjal polikistik (1%)
9. Nefropati SLE (1%)
10. Penyakit yang tidak diketahui (1%).
11. pengelompokkan pada sebab lain diantaranya, nefritis lupus, nefropati
urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal dan penyebab yang tidak diketahui.
IV. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama.2 Terdapat dua pendekatan teroritis untuk menjelaskan
mekanisme kerusakan nefron ginjal lebih lanjut sehingga menjadi gagal ginjal
kronik yaitu:12
1. Teori lama atau tradisi
Teori ini menjelaskan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit,
namun dalam stadium yang berbeda-beda dan bagian-bagian spesifik dari nefron
yang terganggu strukturnya. Misalnya berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja
benar-benar rusak atau lesi organik pada medula ginjal akan merusak susunan
anatomis dari ansa henle atau pompa klorida pars ascenden ansa henle.
2. Hipotesis Briker atau nefron yang utuh.
Hipotesis ini menjelaskan bahwa bila satu nefron terserang penyakit maka
keseluruh unit dari nefron tersebut akan hancur. Akibatnya nefron-nefron yang
masih normal akan bekerja ekstra keras untuk mengkompensasi nefron-nefron
yang rusak agar ginjal tetap bekerja optimal. Kerja ekstra dari ginjal ini yang
mengakibatkan peningkatan jumlah nefron yang rusak dan berkembang menjadi
gagal ginjal kronik. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti
peningkatan tekanan darah kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi
ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini diikuti dengan adanya penurunan fungsi
nefron yang progresif. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor β (TGF-β). Beberapa hal yang berperan terhadap terjadinya penyakit ginjal
kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal
atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada
pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan
berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan
tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan
air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain
natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi
yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal.2
Penyakit ginjal dapat menyebabkan naik turunnya tekanan darah dan
sebaliknya hipertensi dalam jangka waktu yang lama dapat mengganggu ginjal.
Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah
dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu yang
lama makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan. Hipertensi oleh karena hal-
hal sebagai berikut :8

1. retensi natrium
2. peningkatan sistem RAA akibat iskemi relatif karena kerusakan regional
3. aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal
4. hiperparatiroid sekunder
5. pemberian eritropoetin.
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan
struktur pada arteriol diseluruh tubuh ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi
dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal dan
mata. Pada ginjal arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan terjadinya
nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena
penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Penyumbatan arteri dan arteriol
akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus sehingga seluruh
nefron rusak maka terjadilah gagal ginjal kronik.12
V. PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada pasien yang mengalami penyakit ginjal kronik
adalah:2,12,13
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
saluran kemih, batu saluran kemih, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritomatosus Sistemik (LES).
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida).
Gejala lain yang dapat muncul, terutama ketika fungsi ginjal telah
memburuk adalah kulit gelap, nyeri tulang, otak dan gejala sistem saraf
(mengantuk dan kebingungan, gangguan berkonsentrasi atau berfikir, mati rasa di
tangan, kaki, atau daerah lain, kedutan otot atau kram), nafas bau, mudah memar,
perdarahan, atau darah dalam tinja, haus berlebihan, sering cegukan, impotensi,
periode menstruasi berhenti (amenore), masalah tidur, seperti insomnia, sindrom
kaki gelisah, pembengkakan kaki dan tangan (edema), serta muntah yang biasanya
pagi hari.14
Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium pada pasien yang mengalami penyakit ginjal
kronik adalah:2
- Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
- Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
- Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia dan asidosis metabolik.
- Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria.
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis pada pasien yang mengalami penyakit
ginjal kronik adalah : 2,4,11
 Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
 Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
 Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
 Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
 Pemeriksaan pemindahan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih
mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa ditegakkan.
Adapun tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis dan untuk mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal kontraindikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas.2
VI. PENATALAKSANAAN
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila
LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit
dasarnya sudah tidak banyak bermanfaat.2
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi
komorbid
Faktor-faktor komorbid antara lain: gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya.2
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus adalah pembatasan asupan protein dan terapi farmakologis.
Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60ml/mnt, sedangkan
diatas nilai tersebut pembatasan protein tidak dianjurkan. Protein diberikan 0,6-
0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,5 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi
tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Pembatasan
asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Asupan
protein yang berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan glomerulus yang akan meningkatkan
progresifitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan protein juga berkaitan dengan
pembatasan fosfat karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang
sama.2
Terapi farmakalogis yang digunakan adalah obat antihipertensi yang
bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular dan memperlambat
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Penghambat ACE dapat menurunkan tekanan darah sistemik, obat ini
secara langsung menurunkan tekanan intraglomerular dengan mendilatasi secara
selektif pada arteriol aferen.2
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular
40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit
kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hiperfosfatemia dan terapi kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Modifikasi gaya hidup dapat memperbaiki tekanan darah yang tinggi
dan dapat meningkatkan efisiensi terapi hipertensi. Pengurangan intake natrium,
meningkatkan aktivitas fisik, mengurangi berat badan, pembatasan intake alcohol
dan pemberhentian merokok adalah strategi yang direkomendasikan.2
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Penyakit ginjal kronis mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Pada
LFG 60-89 ml/mnt, tekanan darah mulai meningkat. LFG 30-60 ml/mnt,
komplikasi yang terjadi hiperfosfatemia, hipokalemia, anemia, hiperparatiroid,
hipertensi, dan hiperhomosistemia. LFG 15-29 dapat terjadi malnutrisi, asidosis
metabolik, hiperkalemia, dislipidemia. Saat LFG <15 terjadilah gagal jantung dan
uremia.2
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat hemoglobin ≤ 10 g% atau
hematokrit ≤ 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi, mencari sumber
perdarahan, morfologi eritrosit, dan lain sebagainya. Pemberian eritropeitin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronis
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.2
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronis yang
sering terjadi. Penatalaksanaannya dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian kalsitriol. Penatalaksanaan hiperfosfatemia dengan cara membatasi
asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi
fosfat di saluran cerna.2
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi
kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang
keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi air
yang keluar melalui IWL antara 500-800 ml/hari, maka air yang masuk dianjurkan
500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang perlu diawasi adalah kalium
dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritmia jantung. Oleh karena itu pemberian obat-obatan dan
makanan yang mengandung tinggi kalium harus dibatasi. Kadar kalium darah
yang dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. pembatasan natrium dimaksudkan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema.2
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau
transplantasi ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.2
A. Hemodialisa
Terapi Hemodialisa tidak boleh terlambat dengan tujuan untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak
boleh terlalu cepat pada pasien gagal ginjal kronis (GGK) yang belum tahap
akhir, karena dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi terapi ini terdiri
dari indikasi absolut dan indikasi elektif. Adapun yang termasuk dalam
indikasi absolut adalah perikarditis,enselopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%
dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif adalah LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m2, mual, anoreksia, muntah dan astenia berat.14
Indikasi Hemodialisa segera :
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K>6,5
mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
Indikasi Hemodialisia Kronik
Hemodialisia kronik adalah hemodialisia yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup oleh penderita gagal ginjal kronik dengan menggunakan mesin
hemodialisia. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt.
Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal
berikut:12
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi: letargi, anoreksia, nausea, mual dan muntah
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan
(edema, efusi pleura)
e. Komplikasi metabolik yang refrakter

Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.15

B. Dialisis peritoneal (DP)


Tindakan ini populer dengan sebutan Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan Indonesia.
Indikasi tindakan CAPD yaitu: pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih
dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan
bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan
stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup
dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik adalah keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri) dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.16

C. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi
dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:16
a. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah
b. Kualitas hidup normal kembali
c. Masa hidup (survival rate) lebih lama
d. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
Hubungan Hipertensi dan Gagal Ginjal Kronik
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi
dapat menjadi salah satu penyakit primer yang menyebabkan kerusakan pada
ginjal. Sebaliknya, penyakit ginjal kronik yang berat dapat menyebabkan
hipertensi atau ikut berperan dalam hipertensi melalui mekanisme retensi natrium
dan air, peningkatan sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA) akibat iskemik
relatif karena kerusakan regional, aktivitas saraf simpatis meningkat akibat
kerusakan ginjal, hiperparatiroid sekunder dan pemberian eritropoetin.4,16
Hipertensi melalui suatu proses yang mengakibatkan hilangnya sejumlah
besar nefron fungsional yang progresif dan irreversible. Peningkatan tekanan dan
regangan yang kronik pada arteriol dan glomeruli diyakini dapat menyebabkan
sklerosis pada pembuluh darah glomeruli atau yang sering disebut dengan
glomerulosklerosis. Penurunan jumlah nefron akan menyebabkan proses adaptif,
yaitu meningkatnya aliran darah, peningkatan LFG dan peningkatan keluaran urin
di dalam nefron yang masih bertahan. Proses ini melibatkan hipertrofi dan
vasodilatasi nefron serta perubahan fungsional yang menurunkan tahanan vaskular
dan reabsorbsi tubulus di dalam nefron yang masih bertahan. Perubahan fungsi
ginjal dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada
nefron yang ada. Lesi-lesi sklerotik yang terbentuk semakin banyak sehingga
dapat menimbulkan obliterasi glomerulus, yang mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal lebih lanjut, dan menimbulkan lingkaran setan yang berkembang secara
lambat yang berakhir sebagai penyakit Gagal Ginjal Terminal.4,13

BAB III
ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien
Nama : Ny.P
Umur : 62 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Bantan
Nomor MR : 028929
Tanggal masuk RS : 6 Maret 2018 dirawat di bagian penyakit dalam
ANAMNESIS (Autoanamnesis)
 Keluhan Utama
Sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli penyakit dalam RSUD Bengkalis pada tanggal 6
Maret 2018 dengan keluhan sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS.
Pasien mengeluhkan sesak nafas terus menerus dan merasa napasnya terasa
pendek, pasien lebih nyaman pada posisi duduk, tetapi sesak nafas tidak
berkurang dengan dibawa beristirahat. Sesak nafas tidak dipicu dan tidak
dipengaruhi oleh aktivitas, makanan, debu, perubahan cuaca dan perubahan
posisi. Pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri dada sisi kiri yang menjalar ke
leher hingga ke rahang.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah yang memberat sejak 1
minggu SMRS. Muntah tidak menyemprot, lebih kurang 2 kali sehari sebanyak +
½ gelas aqua setiap kali muntah. Muntah berisi makanan dan cairan, tidak berisi
darah. Pasien muntah setiap kali makan, pasien tidak ada minum obat untuk
mengurangi keluhannya. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan karena
mual yang dirasakannya. Pasien hanya makan nasi ± 6-7 sendok per harinya.
Pasien juga mengeluhkan badannya terlihat pucat dan badannya terasa lemas
sehingga hanya bisa tirah baring di rumah. Pasien mengalami penurunan berat
badan sebanyak + 5 kg selama 2 bulan. Pasien tidak mengeluhkan adanya batuk
berdahak dan batuk berdarah. Pasien belum pernah berobat sebelumnya untuk
keluhan tersebut.
Pasien juga mengeluhkan kedua kakinya sembab yang semakin memberat
sejak + 2 minggu SMRS. Tidak ada perubahan warna kulit disekitar kaki yang
sembab, tidak nyeri, dan tidak terasa panas di kaki yang sembab. Nyeri saat BAK
(-), BAK berdarah (-), BAK ± 6 kali sehari hanya ± 600ml/hari (1 botol aqua
sedang) dengan jumlah minum seperti biasa. BAB berdarah (-), mencret (-) dan
lendir (-).
 Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat Hipertensi (+) sejak 8 tahun SMRS, pasien tidak pernah
kontrol dan tidak ada minum obat dari dokter, pasien hanya minum
obat herbal rebusan dedaunan.
• Riwayat Diabetes melitus (-)
• Riwayat Stroke (-)
• Riwayat Asma (-)
• Riwayat TBC (-)
• Riwayat batu saluran kemih dan infeksi saluran kemih (-)
• Riwayat sakit jantung (-)
• Riwayat sakit maag (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan serupa dengan
pasien. Riwayat HT (-), DM (-), penyakit jantung (-), asma (-),
penyakit ginjal (-).
 Riwayat Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan
 Pasien adalah ibu rumah tangga
 Riwayat merokok (-)
 Riwayat minum alkohol (-)
 Riwayat kebiasaan makan bersantan

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 6 Maret 2018.

Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Komposmentis
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Vital Sign : - Tekanan darah : 179/81 mmHg
- Frekuensi nadi : 78 x/menit, regular
- Frekuensi napas : 24 x/menit
- Suhu : 370 C
Pemeriksaan Kepala – Leher
Kepala : kesan normocephal, Deformitas (-)
Mata : Udem palpebra (-/-), Konjungtiva anemis(+/+), Sklera ikterik(-/-),
Reflek pupil direk (+/+), reflek pupil indirek (+/+), pupil isokor
(D: 3mm/3mm).
Telinga – Hidung – Mulut – Leher : Tidak ada kelainan
Pemeriksaan Thorax
Paru
 Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
 Palpasi : Vocal fremitus simetris kiri dan kanan
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : Bunyi napas vesikuler, wheezing -, rhonki pada basal +
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIK 5. Dua jari lateral linea
midclavicula sinistra
Perkusi : Batas kanan jantung pada ICS II parasternal line dextra,
batas kiri pada ICS V midklavikula line sinistra
Auskultasi: Bunyi jantung S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar, distensi (-), scar (-), venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak
teraba, undulasi (-)
Perkusi : Shifting dullness (+)
Inguinal
Inspeksi : Hernia (-), Massa (-).
Palpasi : Teraba denyut arteri femoralis (+), massa (-), nyeri tekan
(-).
Ekstremitas superior:
Warna kulit normal, turgor kulit normal, edema -/-, akral hangat +/+, CRT
< 2 detik.
Ekstremitas inferior:
Warna kulit normal, turgor kulit normal, edema +/+, akral hangat +/+, CRT
< 2 detik.
Status urologikus:
• CVA : balotement (-), nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-)
• Suprapubik : bulging (-), nyeri tekan (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah (tanggal 6/3/2018) :
– Hb : 6,1 g/dL
– Leukosit : 5.800 uL
– Trombosit : 131.000 uL
– Kreatinin : 10,4 mg %
– Ureum : 142 mg %
– Kolesterol total : 148 mg %
– GDS : 149 mg %
– HbsAg kualitatif: negatif

2. USG Traktus Urinarius (tanggal 7/3/2018)


Interpretasi: massa kistik bersepta di ren sinistra bosniak II, tak tampak
kelainan pada ren dextra maupun vesica urinaria.

RESUME
Anamnesis:
 Sesak nafas memberat sejak 1 hari SMRS tidak dipicu dan tidak dipengaruhi
oleh aktivitas, makanan, debu, perubahan cuaca dan perubahan posisi. Pasien
tidak mengeluhkan adanya nyeri dada sisi kiri yang menjalar ke leher hingga
ke rahang.

 Mual muntah memberat sejak 1 minggu SMRS tidak menyemprot, lebih


kurang 2 kali sehari sebanyak + ½ gelas aqua setiap kali muntah. Muntah
berisi makanan dan cairan, tidak berisi darah.
 Badan lemas dan terlihat pucat, tidak bisa beraktivitas, hanya tirah baring di
rumah
 Pasien juga mengeluhkan kedua kakinya sembab yang semakin memberat
sejak + 2 minggu SMRS
 Penurunan nafsu makan sejak 2 bulan SMRS
 Pasien mengalami penurunan berat badan sebanyak 5 kg selama 2 bulan.
 BAK ± 6 kali sehari hanya ± 600ml/hari (1 botol aqua sedang) dengan jumlah
minum seperti biasa.
 Riwayat Hipertensi (+) sejak 8 tahun pasien tidak pernah kontrol dan tidak
ada minum obat dari dokter

Pemeriksaan Fisik
TD : 179/81 mmHg
Pernafasan : 24 x/menit
Konjungtiva Anemis (+/+)
pitting udem

- -
+ +

Pemeriksaan Penunjang

Hb : 6,1 g/dL
Ureum: 142 mg/dl
Kreatinin: 10,4 mg/dL
USG Traktus Urinarius: massa kistik bersepta di ren sinistra

Daftar masalah
1. CKD stage V
2. Hipertensi grade II
3. Anemia
4. Kista ginjal

DIAGNOSIS KERJA
CKD stage V

PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
• Bed rest
• IV plug
• Oksigen nasal kanul 2 liter
• Diet rendah garam
• Diet rendah cairan <1L/hari
• Diet sebanyak 30-35 kkal/kg BB ideal /hari 
BB ideal = (165-100) x 0,9 = 59 kg
Kalori = (30 – 35) x 59 kg = 1.770-2.065 kkal
• Diet rendah protein 0,6 gr/kgBB ideal /hari
Kebutuhan protein= 0,6 x 59 = 36 gr
• Kebutuhan transfusi PRC
(10-6) x 4 x 40= 624 cc : 200 cc= 3 labu
 Hemodialisa 2x
Farmakologi
Injeksi Furosemid 3 x 1 ampul
Injeksi Omeprazol 2 x 1 ampul
Bicnat 3 x 1
Amlodipin 1 x 10 mg
Clonidine 3 x 0,15 mg
Asam Folat 3 x 1
Ketocid 1 x 1
Sucralfate syr 3 x CI
Paracetamol 3 x 500 mg

FOLLOW UP
Tanggal 7 Maret 2018

S Pucat (+), Badan lemah (+)


O KU : tampak sakit berat, composmentis
TD : 200/90 mmHg P : 20 x/m
N : 80 x/m S : 36oC
A CKD stage V+HHD+anemia penyakit ginjal
P Terapi
Istirahat
Diet rendah protein, 36 gr
IV plug
Inj. Furosemide 3x1 amp
Inj. Omeprazole 1x1 amp
Bicnat 3x1
Amlodipine 1x10 mg
Clonidine 3x0,15 mg
Asam folat 3x1
Tranfusi PRC 3 unit (lihat KU): 1 unit/hari
Rencana USG TUG hari ini

Tanggal 8 Maret 2018

S Mual (+)
O KU : tampak sakit berat, composmentis
TD : 165/75 mmHg P : 18 x/m
N : 63 x/m S : 36oC
USG Traktus Urinarius
Interpretasi: massa kistik bersepta di ren sinistra bosniak II, tak
tampak kelainan pada ren dextra maupun vesica urinaria
A CKD stage V+HHD+anemia penyakit ginjal+kista ginjal
P Terapi
Ketocid 3x1
Sucralfate syr 3xC1
Terapi lain lanjut

Tanggal 9 Maret 2018

S Badan terasa lemas (+)


O KU : tampak sakit sedang, composmentis
TD : 160/70 mmHg P : 20 x/m
N : 60 x/m S : 36.4oC
A CKD stage V+HHD+anemia penyakit ginjal+kista ginjal
P Terapi
Terapi lanjut
Paracetamol 3x500 mg
Rencana cek ulang Hb, ureum, creatinine: sore hari ini

Tanggal 10 Maret 2018

S Mual (+), Badan lemas (+)


O KU : tampak sakit berat, composmentis
TD : 170/70 mmHg P : 20 x/m
N : 69 x/m S : 36oC
Lab: Hb 10,3 g/dL, Ureum 150 mg %, Creatinin 10,8 mg %
A CKD stage V+HHD+anemia penyakit ginjal+kista ginjal
P Terapi
Lanjut

Tanggal 11 Maret 2018

S Mual (+)
O KU : tampak sakit berat, composmentis
TD : 140/80 mmHg P : 20 x/m
N : 62 x/m S : 36,6oC
A CKD stage V+HHD+anemia penyakit ginjal+kista ginjal
P Terapi
Lanjut
Rencana Hemodialisa hari selasa sore 13-3-2018

Tanggal 12 Maret 2018

S Sesak nafas (+)


O KU : tampak sakit berat, composmentis
TD : 140/70 mmHg P : 23 x/m
N : 59 x/m S : 36,4oC
A CKD stage V+HHD+anemia penyakit ginjal+kista ginjal
P Rencana Hemodialisa besok
Qb 100-150 cc, UFG 1000-1300 ml dengan HD + 2 jam

Tanggal 13 Maret 2018

S Mual (+), Muntah (+)


O KU : tampak sakit sedang, composmentis
TD : 150/80 mmHg P : 22 x/m
N : 68 x/m S : 36,2oC
A CKD stage V+HHD+anemia penyakit ginjal+kista ginjal
P Terapi
Lanjut
Sucralfate 3 x CI

Tanggal 14 Maret 2018

S Nyeri ulu hati (+)


O KU : tampak sakit sedang, composmentis
TD : 170/80 mmHg P : 20 x/m
N : 62 x/m S : 36,4oC
Lab: ureum 89 mg %, creatinin 8,2 mg %
A CKD stage V on HD 1x+HHD+anemia penyakit ginjal+kista ginjal
P Terapi
Lanjut
Rencana Hemodialisa hari jumat tanggal 16-3-2018

Tanggal 15 Maret 2018

S Mual (+), Muntah (+), Nyeri ulu hati (+)


O KU : tampak sakit sedang, composmentis
TD : 174/91 mmHg P : 20 x/m
N : 75 x/m S : 36,5oC
A CKD stage V on HD 1x+HHD+anemia penyakit ginjal+kista ginjal
P Terapi
Lanjut
Domperidon 3x10 mg
Inj. Omeprazole 2x1 amp

Tanggal 16 Maret 2018

S Mual (+)
O KU : tampak sakit sedang, composmentis
TD : 155/75 mmHg P : 20 x/m
N : 64 x/m S : 36oC
A CKD stage V on HD 1x+HHD+anemia penyakit ginjal+kista ginjal
P Terapi
Rencana Hemodialisa hari ini
Qb: 100-150 cc
UFG: 1500-2000 ml/menit
Waktu: + 2-3 jam

Tanggal 17 Maret 2018

S Tidak ada keluhan


O KU : tampak sakit sedang, composmentis
TD : 140/70 mmHg P : 20 x/m
N : 64 x/m S : 36,2oC
A CKD stage V on HD 2x+HHD+anemia penyakit ginjal+kista ginjal
P Terapi
+Aff infus
+Obat pulang:
Furosemide tab 2x40 mg, amlodipine tab 1x10 mg, asam folat
3x1, bicnat tab 3x1, omeprazole 2x1, domperidon 3x10 mg,
sucralfate syr 3xC1, paracetamol 3x500 mg
+Rawat jalan: kontrol poli penyakit dalam tanggal 21 maret 2018
+Rencana pemasangan doble lumen hari rabu 21 maret 2018

BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis gagal ginjal kronik pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
didapatkan adanya mual dan muntah, sesak nafas, penurunan nafsu makan, badan
terasa lemas. Pasien baru terdiagnosis gagal ginjal dan belum pernah melakukan
cuci darah. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak 8 tahun yang lalu.
Adanya riwayat hipertensi memberikan informasi mengenai diagnosis etiologi
dari gagal ginjal pada pasien.

Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan


struktur pada arteriol diseluruh tubuh ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi
dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal dan
mata. Pada ginjal arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan terjadinya
nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena
penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Penyumbatan arteri dan arteriol
akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus sehingga seluruh
nefron rusak maka terjadilah gagal ginjal kronik.1

Hipertensi yang terjadi dapat merupakan etiologi ataupun komplikasi dari


gagal ginjal kronik. Hipertensi yang terjadi akibat komplikasi dari gagal ginjal
kronik disebabkan karena perfusi ginjal yang menurun merangsang sel
jukstaglomerulus untuk menghasilkan renin yang akan dilanjutkan oleh hati untuk
mengeluarkan angiotensinogen yang akan diubah oleh paru menjadi angiotensin I
dan dengan bantuan angiotensi converting enzyme akan diubah menjadi
angiotensin II yang akan mengaktifkan kontraksi simpatis, pengaktifan aldosteron
dan anti diuretic hormon yang berguna untuk menahan air dan natrium sehingga
volume darah dan tekanan darah menjadi meningkat.1

Berdasarkan kepustakaan dari perhimpunan Nefrologi Indonesia 2015


(PERNEFRI) didapatkan bahwa penyakit ginjal hipertensi (44%) merupakan
penyebab tersering gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia. 6
Keluhan lemas, nafsu makan menurun, serta mual dan muntah sesuai dengan
gambaran klinis sindrom uremia pada penyakit gagal ginjal kronik yang meliputi
gejala lemah, letargi, anoreksi, mual dan muntah, nokturia, kelebihan volume
cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, kejang sampai koma. Sindrom
uremia ini disebabkan oleh tingginya kadar ureum didalam darah.2

Diagnosis anemia pada pasien ini didasarkan pada pemeriksaan fisik


pasien yang didapatkan adanya konjungtiva anemis yang didukung dengan data
laboratorium Hb 6,1 gr/dL. Kondisi anemia pada pasien gagal ginjal terutama
disebabkan oleh defisiensi hormon eritropoietin sehingga ransangan pada sumsum
tulang menurun Adanya toksik uremik pada CKD akan mempengaruhi masa
paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari
menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunyai efek inhibisi
eritropoiesis.2
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai kreatinin pasien sebesar
10,4 mg/dL yang seterusnya dikonfersikan kedalam rumus kockroft-Gault
didapatkan nilai LFG pasien sebesar 3,8 ml/mnt/1,73m2. Nilai LFG tersebut
kurang dari 15 ml/mnt/1,73m2 yang berarti kriteria penyakit ginjal kronik berada
pada derajat 5 atau terminal, Keadaan penurunan nilai LFG ini akan
mengakibatkan penurunan pembersihan kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin
serum. Hal ini menyebabkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang
menyebabkan keluhan nausea (mual), muntah (vomitus) serta anoreksia
(penurunan nafsu makan) pada pasien ini.1

Penatalaksanaan non farmakologis pada pasien ini adalah bedrest dan


diberikan diet rendah garam (200-400 mg) , protein 0,6 gram/KgBB/hari. Diet
rendah garam diberikan untuk mengontrol tekanan darah pasien.

Hipertensi pada pasien ini diberikan Clonidine dan Amlodipin. Pada


penderita gagal ginjal kronik dengan hipertensi memiliki efek dalam menurunkan
progresivitas penurunan faal ginjal dengan menurunkan tekanan darah kapiler
glomerulus. ACE Inhibitor dapat bermanfaat untuk pasien dengan hipertensi
esensial atau diabetes mellitus bergantung insulin. Selain untuk menurunkan
tekanan darah sistemik, obat ini secara langsung menurunkan tekanan
intraglomerulus dengan mendilatasi secara

selektif arteriol efferent. Obat ACE Inhibitor juga menurunkan proteinuria, dan
memperlambat perkembangan gagal ginjal kronis.2
Pada pemeriksaan USG Traktus Urinarius diperoleh hasil berupa massa
kistik bersepta di ren sinistra bosniak II.

Kista merupakan suatu rongga yang dilapisi oleh epitel dan berisi cairan.
Kista ginjal dapat berkembang pada setiap lokasi di sepanjang tubulus ginjal, dari
kapsul Bowman ke saluran pengumpul, dengan proses yang diwariskan, melalui
perkembangan atau dapatan. Kista ginjal simple atau sederhana yang diperoleh
umumnya terjadi pada orang berusia diatas 50 tahun, dan tidak terkait dengan
penyakit apapun.17,18

Kista adalah jaringan atau kantong tertutup yang biasa terbentuk di tempat
manapun di tubuh. Kista dapat berisi udara atau cairan. Kista yang terbentuk pada
ginjal biasanya berisi cairan. Satu atau lebih kista dapat berkembang pada saluran
kecil di ginjal. Kista ginjal sederhana berbeda dari kista ginjal polikistik (kista
yang berkembang ketika seseorang memiliki penyakit ginjal polikistik) yang
merupakan penyakit genetik. Meskipun penyebabnya tidak sepenuhnya dipahami,
kista sederhana/simple bukanlah suatu kondisi yang diwarisi. Kista ginjal simple
banyak ditemukan sejalan dengan peningkatan usia. Hampir 30 % orang yang
berusia diatas 70 memiliki minimal satu kista ginjal simple atau sederhana.
Sampai dengan 27% dari individu lebih besar dari 50 tahun mungkin memiliki
kista ginjal sederhana yang tidak menimbulkan gejala.17,18

Seringkali, kista simple tidak menimbulkan gejala ataupun kerusakan pada


ginjal. Dalam beberapa kasus, nyeri dapat terjadi jika kista membesar dan
menekan organ – organ yang lain. Kadangkala kista menjadi infeksi atau tiba –
tiba mulai berdarah. Kista jarang menyebabkan gangguan fungsi ginjal. Penderita
dengan kista simple sering memiliki tekanan darah tinggi atau hipertensi .17,18

Kista ginjal adalah lesi tumor jinak ginjal yang paling sering dijumapi
(70% dari tumor ginjal yang asimptomatik). Kista bisa tunggal / simple ataupun
multiple, dapat unilateral maupun bilateral. Angka insiden kista simple pada usia
dibawah 18 tahun sekitar 0,1 – 0,45 % dengan insiden rata – rata 0,22 %. Pada
orang dewasa, frekwensi meningkat sejalan dengan usia. Pada usia di bawah 40
tahun, angka insiden 20 %, dan setelah 40 tahun meningkat menjadi 33 %
kebanyakan penelitian menunjukkan tidak ada predileksi khusus pada perbedaan
jenis kelamin, tetapi pada 2 penelitian oleh Bearth-Steg (1977) dan Tada dkk
(1983), menunjukkan bahwa pada pria lebih sering daripada wanita. Kista simple
atau soliter merupakan kelainan non genetik. Karena kasus ini lebih sering
didapatkan pada orang dewasa., diduga kista soliter ginjal adalah kelainan yang
didapat. Biasanya kista ginjal asimptomatik dan tidak dijumpai tanda – tanda
klinis yang signifikan.19

BAB V
KESIMPULAN

1. Diagnosa pada pasien ini


sudah benar
2. Penatalaksanaan pada pasien
ini sudah benar
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen keesehatan Indonesia. Infodatin Hipertensi. Bulletin.
2. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I.
Edisi IV. Jakarta: lImu Penyakit Dalam FKUI; 2007.p.570-3.
3. Khonten PG, Effendi C, Soegiarto G, Baskoro A, Tjokroprawiro A,
Hendromartono, dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Pedoman Diagnostik Dan
Terapi Bag/SMF Penyakit Dalam, Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo.
Edisi ke-3. Surabaya : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
2008 ; 222-236.
4. Gulati S. Chronic kidnet disease. 2010. [3Oktober 2015]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/984358-overview.
5. National kidney foundation. Clinical practice guidelines for chronic kidney
disease: evaluation, classification and stratification. 2002. [5Oktober 2015].
Diunduh dari: http://www.kidney.org/professionals/KDOQI/
guidelines_ckd/toc.htm.
6. World Health Organization (WHO). How can we achieve global equity in
provision of renal replacement therapy. Bulletin. [cited 2015 Oct 10]
Available from: http://www.who.int/bulletin/volumes/86/3/.
7. Lederer ER. Ouseph. Chronic Kidney Disease. American Journal of Kidney
Diseases. 49(1):162-171; 2007.
8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Republik
Indonesia. Riset Kesehatan Dasar. 2013.
9. Perkumpulan Nefrologi Indonesia. Report of Renal Registry. Edisi ke-5.
2012
10. Kidney Disease Improving Global Outcomes. Clinical Practice Guideline for
the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease.2012.)
11. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Penyakit Ginjal. Dalam: Kedokteran
Klinis. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. 2007. 228-32.
12. Wilson LM. Gagal ginjal kronik. Dalam: Prince SA, Wilson LM, editors.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6.
Jakarta:EGC; 1995.p.813-43.
13. Skorecki K, Green J, Brenner BM. Chronic renal failure. In: Kasper DL,
Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson L, editors. Harrison’s
principles of internal medicine. 16th edition. New York: McGraw-Hill;
2005.p.1703-10.
14. Patel P. Chronic Kidney Disease. 2009. [Diambil tanggal 5 Oktober 2015]
Diakses pada www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000471.htm.
15. Adamson JW (ed). Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 th edition
vol.1. McGraw-Hill Companies: 2005.
16. Price SA, Lorraine MW. Patofisiologi. Jakarta: E
17. Wein, A.J. Campbell-Walsh Urology. Ed.9. Philadelphia: Saunders, An
imprint of Elsevier. 2007
18. Landman. Kidney cyst (simple and complex). 2006. Kidney Cancer institute.
Taken by : http://www.kidneycancerinstitute.com/kidney-cyst.html
19. Marion A. Kista Ginjal. 2009. NeoEase. Taken by:
http://www.bedahugm.net/tag/kista-ginjal/

Anda mungkin juga menyukai