Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KELOMPOK FARMAKOLOGI

EPILEPSI

OLEH :

- RACHMI MONITA PUTRI DARISE (O1A115123)

- PUTRI CANDRA SARI (O1A114038)

- JEFRI LEWIS MAMBRASAR (O1A115165)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan epilepsi dapat menyerang pada siapa pun di seluruh dunia, anak-

anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Rentang usia orang

dengan epilepsi adalah 20-70 tahun per 100.000 orang, dengan prevalensi jumlah

4-10 orang per 1000 (Baker & Jacoby, 2002). WHO (2009) menambahkan bahwa

sekitar 50 juta penduduk di seluruh dunia menderita epilepsi. Sebanyak 90% orang

dengan epilepsi ditemukan pada negara-negara berkembang, dan sebagian besar

belum mendapatkan perlakuan sesuai yang mereka butuhkan.

Di Indonesia, terdapat 700, 000 sampai 1,400,000 kasus epilepsy dengan

pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun diperkirakan 40% sampai 50%

terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsy bersifat idiopatik, tetapi sering juga

disertai dengan gangguan neurologi seperti ratardasi mental, palsi selebral dan

sebagainya yang disebabkan kelainan pada susunan saraf pusat.

Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian

yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif,

dan gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja,

permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu epilepsi?

2. Apa penyebab dari epilepsi?

3. Bagaimana gejala dari epilepsi?


4. Apa saja obat-obat antiepilepsi ?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari Epilepsi

2. Mengetahui sebab terjadinya Epilepsi

3. Mengetahui gejala dari Epilepsi

4. Mengetahui obat antiepilepsi


BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani “epilepsia” yang artinya adalah

gangguan neurologis umum kronis yang ditandai dengan kejang berulang tanpa

alasan, kejang sementara dan/atau gejala dari aktivitas neuronal yang abnormal,

berlebihan atau sinkron di otak. Epilepsi oleh Hipocrates diidentifikasi sebagai

sebuah masalah yang ada kaitannya dengan otak. Epilepsi terkait dengan kinerja

sistem saraf pusat di otak. Saraf di otak berfungsi sebagai koordinator dari semua

pergerakan seperti, penglihatan, peraba, bergerak, dan berpikir. Pada penderita

epilepsi, sistem saraf pusat di otak mengalami gangguan, sehingga koordinasi dari

sistem saraf di otak tidak dapat mengirimkan sinyal ke sistem panca indera.

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang

muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat

lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara

paroksismal dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan

epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang

serupa dan berulang secara paroksismal, 2 yang disebabkan oleh hiperaktivitas

listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu

penyakit otak akut (“unprovoked”).

Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan

sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan

cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat
bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik

(subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif)

dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus

epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenalkan

bermacam jenis epilepsi.

Epilepsi yang berkembang di tengah masyarakat adalah semacam penyakit

yang ditandai dengan kejang-kejang tiba-tiba serta mengeluarkan air liur berwarna

putih. Pada umumnya epilepsi dapat muncul karena penderita mengalami kelelahan

atau mengalami benturan dibagian kepala, yang disusul dengan tidak sadarkan diri,

terjatuh, tubuh tegang, lalu disusul dengan gerakan-gerakan kejang tanpa terkendali

di seluruh tubuh. Kejang biasanya berlangsung paling lama lima menit. Sesudahnya

penderita bisa mengalami sakit kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah.

Biasanya penderita tidak dapat mengingat apa yang terjadi setelah kejang (Catur,

2016).

B. Klasifikasi

Sindrom epilepsy dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

1. Epilepsy idiopatik

Pada sebagian besar pasien penyebab epilepsy tidak diketahui dan

biasanya pasien tidak menunjukan manifestasi kelainan organic di otak juga

tidak mengalami penurunan kecerdasan dimana sebagian dari jenis idiopatik

disebabkan oleh intraksi beberapa factor genetik, berhubungan dengan mutasi

dan gen tunggal.


2. Epilepsi simptomatik

Penyebabnya diketahui dan dapat terjadi bila fungsi otak terganggu

oleh berbagai kelainan intracranial misalnya anomaly kongenital, trauma

otak, neoplasma otak, seli iskemia, enselopati, abses otak dan jaringan perut

atau kelainan ekstrakranial dimana penyebab bermula ekstrakranial kemudian

mengganggu fungsi otak juga misalnya gagal jantung, gangguan pernapasan,

gangguan metabolisme ( hipoglikemia, hiperglikemia, uremia) gangguan

keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat dan gangguan keseimbangan cairan

(Haryanti, 2017).

C. Etiologi

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.

Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai

epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai

epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang,

gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik

dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West

syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.

Menurut Pradeep (2017), Berbagai agen etiologi yang bertanggung jawab

atas terjadinya epilepsy berdasarkan study kasus rumah sakit yaitu adanya infeksi

Cental Nervous Sistem (CNS), kerusakan otak, keracunan obat, metabolik, bakteri,

trauma lahir, trauma kepala, tumor otak, stroke, cerebral edema, hypoxia dan

keracunan.
D. Patofisiologi

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling

berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan

bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan

normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar.

Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau

dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan

bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme

pengaturan ini adalah:

 Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter

 GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s

inhibitory neurotransmitter.

Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di

area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa

yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada

sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan

meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari

kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang

secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan

epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:

 Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang

optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,

disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata


memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus

oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post

sinaptik

 Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat

normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan

ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada

penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai

tempat di otak.

 Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk

mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga

kejadian yang saling terkait :

 Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk

menimbulkan bangkitan.

 Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.

 Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,

bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus

epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari

sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan

serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.


Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,

stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat

terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan

menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia,

hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.

Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus

epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,

subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama

dan serentak. dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah

meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus

dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.

Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike

and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap

berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena

kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan

epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.

Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik)

depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas

serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.

E. Gejala

1. Bangkitan umum :

a. Tonik : 20 – 60 detik.àkontraksi otot, tungkai dan siku fleksi, leher dan

punggung melengkung, jeritan epilepsi (aura).


b. Klonik : spasmus 40 detik.àflexi berseling relaksasi, hypertensi, midriasis,

takikardi, hyperhidrosis, hypersalivasi.

c. Pasca Serangan :

1) aktivitas otot terhenti

2) klien sadar kembali

3) lesu, nyeri otot dan sakit kepala

4) klien tertidur 1-2 jam

2. Jenis parsial :

a. Sederhana : tidak terdapat gangguan kesadaran.

b. Komplex : gangguan kesadaran.

Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan epilepsi partial (lokal,

fokal):

1. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal.

Dengan gejala motorik:

a. Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja

b. Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan

menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson

c. Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.

d. Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap

tertentu.

e. Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau

pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.

f. Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.


g. Visual : terlihat cahaya

h. Auditoris : terdengar sesuatu

i. Olfaktoris : terhidu sesuatu

j. Gustatoris : terkecap sesuatu

k. Disertai vertigo

2. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.

a. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran

mula-mula baik kemudian baru menurun.

b. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada

golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.

c. Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul

dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka

berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing

baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.

3. Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,

klonik).

4. Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.

5. Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.

6. Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu

berkembang menjadi bangkitan umum.

F. Penatalaksanaan

1. Manajemen Epilepsi :

a. Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsy


b. Melakukan terapi simtomatik

Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran

pengobatan yang dicapai, yakni:

a. Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.

b. Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang

normal.

c. Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.

Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika

penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia),

perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan

itu.

Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah

serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin

(difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan

pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.

Cara menanggulangi kejang epilepsi :

a. Selama Kejang

1) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu

2) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinka

3) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam

atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.

4) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk

mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.


b. Setelah Kejang

1) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.

2) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan

bahwa jalan napas paten.

3) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal

4) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang

5) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan

6) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan

biarkan penderita beristirahat.

7) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk

menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang

lembut

8) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk

pemberian pengobatan oleh dokter.

G. Pencegahan

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan

untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang

menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot

yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat,

yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang

kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat

dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan

pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang

mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar

melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi

dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya

menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan

persalinan.

Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia

dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti

konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari

rencana pencegahan ini.

H. Pengobatan

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan

diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan.

Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah

dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang

mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.

Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama

pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama

2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th.Penghentian

pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering

dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.

Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap

kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan


penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental.Keterbelakangan mental di

kemudian hari.Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.

Obat antiepilepsi (AED) banyak digunakan dalam jangka panjang terapi

ajuvan atau sebagai monoterapi di epilepsi dan lainnya indikasi dan terdiri dari

sekelompok obat-obatan yang sangat tinggi rentan terhadap interaksi. Selama

beberapa tahun terakhir beberapa baru AED telah dipasarkan. Awalnya, semua

AED baru adalah disensor untuk terapi tambahan untuk pasien epilepsi. Beberapa

AED sebagai lamotrigin, asam valproat, oxcarbazepine, carba- mazepine,

pregabalin, gabapentin, dan topiramate juga semakin digunakan dalam indikasi lain

sebagai psikiatri, neuro- nyeri patologis dan migrain. Studi berbasis populasi

pemanfaatan obat menunjukkan bahwa 19-24% pasien dengan epilepsi

menggunakan polytherapy dengan AED. Dalam penelitian terbaru anak-anak dan

orang dewasa dengan epilepsi refrakter, 64% digunakan politerapi dengan dua atau

lebih AED, dan 35% dari orang dewasa menderita kondisi komorbiditas terkait

SSP, mengakibatkan risiko interaksi yang cukup besar. Polytherapy dan potensi

interaksi dengan obat lain meningkat dengan bertambahnya usia, dan orang tua

adalah kelompok terbesar dengan onset epilepsi memiliki risiko interaksi yang

cukup besar obat yang biasa diresepkan.

Interaksi dengan AED yang lama secara menyeluruh dijelaskan dalam

tinjauan sebelumnya. AED generasi kedua dan ketiga yang lebih baru kurang

berinteraksi dari pada obat yang lama, yang menghasilkan hasil terapi yang kurang

rumit dan komplikasi untuk pasien. Namun, bagaimanapun, karena AED yang lebih

baru juga sering dimetabolisme di hati, banyak dari mereka dapat menyebabkan
interaksi obat atau konsentrasi serum mereka meningkat atau pada tingkat lebih

rendah menurun dengan penambahan komediikasi. Jelas, risiko interaksi obat-obat

yang penting secara klinis sangat baik pada pasien dengan epilepsi, dengan atau

tanpa kondisi komorbid.

Secara umum, interaksi farmakokinetik dapat mengubah penyerapan,

pengikatan protein, metabolisme, dan ekskresi obat apa pun, dan ini telah diselidiki

secara rinci untuk banyak obat. Mereka biasanya terkait dengan perubahan dalam

metabolisme oleh induser enzim atau inhibitor dan sering digambarkan dengan baik

dalam model praklinis. Sebagian besar interaksi obat di masa lalu ditemukan karena

perubahan yang tidak terduga dalam klinis status pasien setelah penambahan atau

penarikan obat dari obat yang ada.


Obat-obat antiepilepsi :

1. Phenobarbital

Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang

tonik-klonik . Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan

fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya

serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah

mengurangi penggunaannya sebagai obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak

pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital

menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor

GABA (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor

GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital

juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic

inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis

pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari (14). Efek samping SSP merupakan hal

yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin

terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital

pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat

menyebabkan kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome.


Nama Generik Phenobarbital

Nama Merek Solfoton, Luminal

Dagang

Jenis Obat Antiepilepsi

Golongan Obat Obat Keras, Obat Resep

Dikonsumsi Dewasa dan anak-anak

Untuk

Bentuk Sediaan Tersedia dalam kemasan Obat cair untuk diminum, obat

suntik dan tablet

Indikasi – Mencegah kejang pada penderita epilepsi

– Sebagai Obat Penenang

Kontra Indikasi Jangan digunakan bagi penderita yang memiliki riwayat

hipersensitif (Alergi) terhadap obat ini

2. Karbamazepin

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik.

Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan

tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk

(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang (11) dan menghambat

terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada

anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12

tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg.
Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari.

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan

penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak

dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut

akan meningkat seiring dengan peningkatan usia.

Golongan Antikonvulsan

Kategori Obat Resep

Manfaat  Mengatasi Kejang Pada Epilepsi

 Mengatasi Trigeminal Neuralgia

 Menangani Gangguan Bipolar

Dikonsumsi Oleh Dewasa Dan Anak-Anak

Kategori Kehamilan Kategori D: Ada Bukti Positif Mengenai Risiko

Dan Menyusui Terhadap Janin Manusia, Tetapi Besarnya Manfaat

Yang Diperoleh Mungkin Lebih Besar Dari

Risikonya, Misalnya Untuk Mengatasi Situasi Yang

Mengancam Jiwa.Carbamazepine Dapat Diserap Ke

Dalam Asi. Bagi Ibu Menyusui, Konsultasikan

Terlebih Dahulu Kepada Dokter Sebelum

Mengonsumsi Obat Ini.

Bentuk Obat Tablet, Sirop


BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan dari materi epilepsy yaitu:

- Epilepsi merupakan gejala-kompleks dari banyak gangguan susunan saraf pusat

(SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan yaitu modifikasi fungsi otak yang

bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak

yang bersifat spontan, singkron, berirama dan berkala serta dikarakteristikkan

oleh kejang berulang atau kehilangan kesadaran dan gangguan perilaku.

- Penyebabnya cukup beragam yaitu : trauma kepala, alcohol, cedera otak,

keracunan, stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak, masalah-masalah

sirkulasi, demam, gangguan metabolisme dan nutrisi/ gizi dan intoksikasi

obaobatan. Kadang epilepsi mungkin juga karena genetic (meski relative kecil

antara 5-10 %), tapi epilepsy bukanlah penyakit keturunan.

- Adapun faktor pencetus epilepsy :Tekanan, Kurang tidur/istrahat, Sensitive pada

cahaya yang terang (photo sensitive) dan Minum-minuman keras.

- Pengobatan : obat pertama yang paing lazim dipergunakan : (sodium valporat,

Phenobarbital dan phenytoin), Obat kedua yang lazim digunakan : lamotrigin,

tiagabin, gabapetin, Tindakan bedah saraf.


DAFTAR PUSTAKA

Catur Nurwinta W.M, 2016. Epilepsi dan Budaya. Buletin psikolog Vol. 24 (1).

Haryanti Rika, Dkk., 2017. Factor-Faktor Yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif


Pada Epilepsi. Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 50 (2).

Johannessen Svein I, Dkk., 2010. Antiepileptic Drug Interaction-Principles and


Clinical Implication. Current Neuropharmacology Vol. 8 (3).

Kristanto Andre, 2017. Epilepsy Bangkitan Umum Tonik-Klonik Di UGD RSUP


Sanglah Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis Vol. 8 (1).

Narendran A. 2017. Prevalence of Various Etiologic Factors Responsible for


Epilepsy - A Hospital based Study. International Journal of
Contemporary Medical Research Vol.4 (8).

Vaidya Pooja H. 2017. Drugs Implicated In Seizures and Its Management. Journal
of Pharmacology & Clinical Research Vol. 3 (2).

Shin Hae Won, Dkk., 2014. Review of Epilepsy - Etiology, Diagnostic Evaluation
and Treatment. Journal of Neurorehabilitation Vol. 1 (3).

Anda mungkin juga menyukai