Anda di halaman 1dari 7

Edwin Darmawan

1301-12120539

Terapi Oksigen

Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi lebih dari fraksi oksigen di ruangan (20-
21%). Pemberian terapi ini bertujuan untuk mengobati atau mencegah gejala hipoksia serta mengurangi beban
kerja jantung dan paru-paru.1 Hipoksia didefinisikan sebagai keadaan kurangnya oksigen di tingkat jaringan,
sedangkan hipoksemia digambarkan sebagai tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) yang berada di bawah
normal.
Secara klinis, istilah hipoksia diklasifikasikan dengan hipoksemia dan normoksemi yang dibedakan
berdasarkan tingkat PaO2:2
1. Hypoxaemic Hypoxia: penurunan asupan oksigen kedalam tubuh. Dapat disebabkan karena:
- High altitude
- Hypoventilation
- Ventilation – perfusion (V/Q) abnormalities (e.g., COPD, asthma, interstitial lung disease (ILD)
- Right to left (R to L) shunt
- Diffusion defects at alveolo-capillary gas exchange levels
2. Normoxaemic Hypoxia: kebutuhan oksigen pada jaringan yang tidak terpenuhi, dengan penyimpanan
oksigen yang cukup pada darah. Terdapat beberapa tipe:
- Circulatory hypoxia
Saat terjadi penurunan aliran darah (e.g., cardiac failure, shock, intravascular volume depletion)
- Histotoxic hypoxia
Terjadi gangguan metabolisme seluler (e.g., tissue poisoning by toxic agents, endotoxaemia and septic
shock, thiamine deficiency)
- Anaemic hypoxia
Terjadi karena kadar haemoglobin (Hb) yang rendah atau afinitas Hb terhadap oksigen yang
menurun (e.g., anaemia, haemorrhage, carbon monoxide poisoning, methaemoglobinaemia,
haemoglobinopathies)

Manifestasi klinis dari hipoksia tidak spesifik, tergantung dari lamanya hipoksia. Untuk mengukur
hipoksia, dapat digunakan alat oksimetri (pulse oxymetry) dan analisis gas darah. Bila saturasi kurang dari
90% dapat diperkirakan terjadi hipoksia. Gejala dan tanda-tanda yang dapat muncul pada hipoksia akut
yaitu:3, 4
- Respirasi: sesak napas, takipnea, dispnea, sianosis
- Kardiovaskular: CO meningkat, palpitasi, takikardi, aritmia, hipotensi, angina, vasodilatasi, syok
- Sistem saraf pusat: sakit kepala, bingung, disorientasi, euforia, delirium, gelisah, koma
- Neuromuskular: lemah, tremor, hiperrefleks, incoordination
- Metabolik: retensi cairan dan kalium, asidosis laktat.

1
Edwin Darmawan
1301-12120539

INDIKASI
Oksigen terapi diindikasikan untuk pasien dengan hipoksia hipoksemi, yang lebih sering terjadi
sebagai akibat dari penyakit paru-paru akut maupun kronis. Kebutuhan oksigen pada hipoksia normoksemi
sulit untuk ditentukan.3 Pemberian terapi oksigen harus mempertimbangkan apakah sesuai dengan kebutuhan,
dan berapa lama diberikan (short-term atau long-term).2
a. Terapi Oksigen Jangka Pendek (short-term)
Terapi ini dibutuhkan pada pasien dengan keadaan hipoksemia akut, diantaranya pneumonia, PPOK
eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskular, emboli paru. Pada kondisi ini, oksigen harus
diberikan dengan FiO2 60-100% dalam jangka pendek sampai kondisi membaik dan terapi spesifik diberikan.

Tabel 1. Indikasi Akut Terapi Oksigen


Sudah direkomendasikan:
Hipoksemia akut
Cardiac arrest atau respiratory arrest
Hipotensi
Cardiac Output rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat kurang dari 18 mmol/L)
Respiratory distress
Masih dipertanyakan:
Infark miokard tanpa komplikasi
Sesak napas tanpa hipoksemia
Sickle cell disease
Angina

2
Edwin Darmawan
1301-12120539

b. Terapi Oksigen Jangka Panjang (long-term)


Terapi ini paling banyak diberikan pada pasien PPOK. Penelitian mengatakan bahwa pemberian
oksigen secara kontinyu selama 4-8 minggu pada pasien PPOK dapat menurunkan hematokrit, memperbaiki
toleransi latihan dan dan menurunkan tekanan vaskular pulmonar.
Pada keadaan ini pemberian oksigen harus dimulai pada konsentrasi rendah dan dapat ditingkatkan
berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah, untuk mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH
dibawah 7,26. Oksigen dosis tinggi yang diberikan pada pasien PPOK dengan gagal napas tipe 2 akan
mengurangi efek hipoksi yang memicu gerakan bernafas, sehingga terjadi mismatch ventilasi-perfusi. Hal ini
menyebabkan retensi CO2 dan menimbulkan respiratori asidosis yang fatal. Pasien gagal nafas tipe 2 memiliki
resiko hiperkapnia yang sering terjadi akibat pemberian oksigen yang berlebih.

Tabel 2. Indikasi Terapi Oksigen Jangka Panjang


Pemberian kontinyu
PaO2 istirahat ≤ 55% mmHg
PaO2 istirahat 56-59 mmHg dengan salah satu kondisi:
Edema karena penyakit lain (e.g., CHF)
P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3 mm pada lead II, III, aVF)
Eritrositemia (hematokrit > 56%)
Pemberian tidak kontinyu (menggunakan pengukuran pulse oxymetry)
Desaturasi (SpO2 ≤ 88%) saat beraktivitas
Desaturasi (SpO2 ≤ 88%) saat istirahat dengan komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen, dan aritmia

#Tambahan:3
- Saturasi oksigen harus diukur pada pasien sesak nafas dan sakit akut.
- Pasien tidak membutuhkan terapi oksigen pada saturasi diatas 94% kecuali pada keracunan karbon
monoksida dan pneumotoraks.
- Semua pasien dengan syok, trauma berat, sepsis, atau sakit kritis lainnya harus diberikan terapi oksigen
dengan konsentrasi tinggi dari reservoir mask. Dosis oksigen dapat diatur kembali setelah hasil analisis
gas darah dan/atau pasien sudah stabil.

KONTRAINDIKASI2
- Pasien dengan keterbatasan jalan napas berat dengan keluhan utama dispnea, tetapi dengan PaO2 ≥
60mmHg, dan tidak memiliki hipoksia kronik.
- Pasien yang meneruskan merokok karena dapat meningkatkan resiko kebakaran.
- Tidak menerima terapi adekuat.

3
Edwin Darmawan
1301-12120539

CARA PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN5


A. Pendekatan pasien
1. Berikan salam pada pasien dengan ramah.
2. Berikan penjelasan ke pasien tentang oksigen terapi dan tujuan yang diharapkan setelah pemberian
oksigen terapi tersebut.

B. Langkah dasar persiapan alat


1. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan terapi oksigen. Jika menggunakan oksigen sentral,
hubungkan adaptor ke unit tersebut dan perhatikan apakah ada kebocoran atau tidak.
2. Hubungkan flow meter dan putar untuk menyakinkan flow meter bekerja dengan baik.Putar silinder pada
tabung oksigen.
3. Periksa ukuran silinder untuk mengecek persediaan oksigen.
4. Isi botol pelembab kurang lebih setengahhnya dengan air steril.
5. Hubungkan botol pelembab dengan pasangannya. Set jumlah kebutuhan oksigen pada flowmeter.
Yakinkan bahwa pertengahan bola penunjuk pada garis liter per menit yang diberikan.

C. Terapi oksigen dengan nasal kanul


1. Inspeksi masing-masing lubang hidung dengan senter. Cek patensi, polip, edema dan adanya deviasi
septum atau adanya obstruksi. Jika kedua lubang hidung terobstruksi, harus menggunakan masker untuk
terapi oksigen.
2. Periksa apakah nasal prong lurus, rata atau terlipat. Tempatkan lekukan nasal prong sesuai dengan
anatomi hidung. Posisi ini mencegah obstruksi karena mucus nasal yang dapat mengurangi aliran oksigen.
3. Sekarang kaitkan saluran nasal kanul di belakang telinga pasien dan ke bawah dagu.

D. Terapi Oksigen dengan masker


1. Cari ukuran masker yang paling sesuai dengan pasien sehingga mengurangi kebocoran udara.
2. Hubungkan slang, masker, dan tabung pelembab ke flow meter. Atur konsentrasi oksigen yang
diinginkan.
3. Untuk simple mask, atur sesuai dengan kebutuhan oksigen yang diperlukan.
4. Untuk non rebreathing atau partial rebreathing mask, atur flowmeter sesuai kebutuhan oksigen, biasanya
antara 6 sampai dengan 15 liter per menit.
5. Amati inflasi dari reservoir bag dari masker. Jika menggunakan non rebreathing yakinkan bahwa klep
aliran satu arah berjalan dengan baik.
6. Sewaktu pasien bernafas, perhatikan reservoir akan mengempis sebagian sewaktu inspirasi.

4
Edwin Darmawan
1301-12120539

Tabel 3. Alat Pemberian Oksigen5

5
Edwin Darmawan
1301-12120539
GAMBAR ALAT PEMBERIAN OKSIGEN

Nasal Cannula Venturi Mask

Simple Face Mask

Partial Rebreathing Mask

Non-Rebreathing Mask

6
Edwin Darmawan
1301-12120539

DAFTAR PUSTAKA

1. Rubin S. Gondodiputro AO, H. Uun Sumardi, editor. Panduan Penatalaksanaan


Kegawatdaruratan. Departemen IPD FKUP2012.
2. Jindal S. Oxygen therapy: important considerations. INDIAN JOURNAL OF CHEST
DISEASES AND ALLIED SCIENCES. 2008;50(1):97.
3. O’Driscoll B, Howard L, Davison A. BTS guideline for emergency oxygen use in adult
patients. Thorax. 2008;63(Suppl 6):vi1-vi68.
4. N. AUZ. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS,
Setiati S, editors. Terapi Oksigen. 4 ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universtas Indonesia; 2006.
5. Pruitt WC, Jacobs M. Breathing lessons: basics of oxygen therapy. Nursing2012.
2003;33(10):43-5.

Anda mungkin juga menyukai