Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah
dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran timpani) dan
riwayat keluarnya cairan (sekret) dari telinga (otore) lebih dari 2 bulan, baik terus
menerus atau hilang timbul.1,2
Prevalensi OMSK di dunia adalah 65.000.000-330.000.000 jiwa, 94%
diantaranya terdapat di negara berkembang. Prevalensi OMSK di Indonesia
adalah 3,8% dan termasuk dalam klasifikasi tinggi dibandingkan dengan beberapa
negara lain. Berdasarkan Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan
Pendengaran oleh Departemen Kesehatan, angka kesakitan (morbiditas) Telinga,
Hidung, dan Tenggorok (THT) di Indonesia sebesar 38,6% dengan prevalensi
morbiditas tertinggi pada kasus telinga dan gangguan pendengaran yaitu sebesar
38,6% dan prevalensi otitis media supuratif kronis antara 2,1-5,2%. 3,4
Komplikasi OMSK biasanya terjadi pada tipe bahaya/skuamosa, tetapi
juga dapat terjadi pada fase aktif tipe mukosa. Komplikasi dibagi menjadi
komplikasi intratemporal dan komplikasi intracranial. Komplikasi intracranial.
Komplikasi intra temporal yaitu abses subperiosteal, labirinitis, paresis fasial,
petrositis, dan komplkasi ntrakranial yait abses ekstradural, abses para sinus,
tromboflebitis sinus lateral, meningitis, abses otak dan meningitis otikus.
Otitis media supuratis kronis mempunyai potensi menjadi serius karena
komplikasinya dapat mengancam kesehatan da menyebabkan kematian.
Terjadinya komplikasi tergantung pada kelainan patologik penyebab otorrhea.
Umumnya komplikasi terjadi pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis
media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman virulen pada OMSK tipe
benigna pun dapat menyebabkan komplikasi.

I.2. Tujuan

1
I.2.1 Tujuan Umum

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memberikan


penjelasan tentang Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronik.

I.2.2. Tujuan Khusus

Untuk memenuhi tugas pembuatan referat pada stase Ilmu THT-


KL di RSUD Waled.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga Tengah


Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak
dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior
sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial
meluas ke lateral ke arah umbo dari membrane timpani sehingga kotak tersebut
lebih sempit pada bagian tengah.
Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fossa kranii media.
Pada bagian atas dinding posterior terdapat auditus ad antrum tulang mastoid dan
di bawahnya adalah saraf fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf fasialis
dan tendonnya menembus melalui suatu pyramid tulang menuju ke leher stapes.
Saraf korda timpani timbul dari saraf fasialis di bawah stapedius dan berjalan ke
lateral depan menuju inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari telinga
tengah lewat sutura petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung dengan
saraf lingualis dan menghantarkan serabut-serabit sekretomotorik ke ganglion
submandibularis dan serabut-serabut pengecap dari dua pertiga anterior lidah.
Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang di sebelah superolateral
menjadi sinus sigmoideus dan lebih ke tengah menjadi sinus transvesus.
Keduanya adalah aliran vena utama rongga tengkorak. Cabang aurikularis saraf
vagus masuk ke telinga tengah dari dasarnya. Bagian bawah dinding anterior
adalah kanalis karotikus. Di atas kanalis ini, muara tuba eustakius dan otot tensor
timpani yang menempati daerah superior tuba kemudian membalik, melingkari
prosesus kokleariformis dan berinsersi pada leher maleus. Dinding lateral dari
telinga tengah adalah dinding tulang epitimpanium di bagian atas, membrane
timpani, dan dinding tulang hipotimpanium di bagian bawah.

Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium


yang menutup lingkaran koklea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintas

3
promontorium ini. Fenestra rotundum terletak di posteroinferior dari
promontorium, sedangkan kaki stapes terletak pada fenestra ovalis pada batas
posterosuperior promontorium. Kanalis falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis
terletak di atas fenestra ovalis mulai dari prosesus kokleariformis di anterior
hingga pyramid stapedius di posterior.
Rongga mastoid berbentuk seperti pyramid berisi tiga dengan puncak
mengarah ke arah kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial
adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoideus terletak di bawah
duramater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat auditus ad
antrum. Tonjolan kanalis semisirkulais lateralis menonjol ke dalam antrum. Di
bawah kedua patokan ini berjalan saraf fasialis dalam kanalis tulangnya untuk
keluar dari tulang temporal melalui foramen stilomastoideus di ujung anterior
krista yang dibentuk oleh insersio otot digastrikus. Dinding lateral mastoid adalah
tulang subkutan yang dengan mudah dapat dipalpasi di posterior aurikula.

Gambar 1. Batas-batas telinga tengah

4
Telinga tengah merupakan suatu ruangan yang berisi udara yang dibayangkan
sebagai suatu kotak dengan enam sisi, dengan dinding posterior yang lebih luas
dari dinding anteriornya sehingga membentuk kotak seperti baji.
Ada beberapa bangunan yang turut menyusun telinga tengah:
1. Membrane timpani
2. Tulang pendengaran
3. Kavum timpani

Gambar 2. Anatomi Telinga

1. Membran timpani
Membrane timpani memisahan kavum timpani dari kanalis austikus
eksternus pada daerah lateral dari telinga tengah. Berbentuk elips, sumbu
panjangnya 9-10 mm dan sumbu pendeknya 8-9 mm, dengan radius sekitar 4-
5mm dengan ketebalan 0,1 mm dan pada anak letak membrane timpan hamper
vertical sedangkan pada orang dewasa membentuk sudut 55 derajat.
Bagian utama dan terbesar dari membrane timpani adalah pars tensa,
sedang bagian atas dari membrane timpani adalah pars flaksida (membrane
shrapnell) yang melekat langsung pada daerah prosesus lateralis malleus
antara kedua daerah ujung timpanic notch of rinivus, sampai daerah annular
rim sehingga membentuk segitiga kecil yang ditutupi oleh membrane tipis dan
longgar.

Membrane timpani terdiri atas 3 lapisan:


1. Lapisan lateral (luar), merupakan lapisan epitel skuamosa, yang
merupakan kelanjutan dari lapisan epitel kulit kanalis akustikus
eksternus.

5
2. Lapisan tengah, yang terdiri dari lapisan serabut serat fibrosa kolagen
dalam jumlah yang banyak, dan terdiri dari serabut yang berjalan
radier dari arah manubrium mallei perifer, dimana pada lapisan pars
slaksida mengandung jumlah yang sedikit, serta serabut yang berjalan
sirkuler yang terletak di sebelah dalam dari serabut radier.
3. Lapisan dalam, merupakan lapisan mukosa yang merupakan kelanjutan
dari lapisan mukosa kavum timpani.
Bagian atap dari membrane timpani adalah tegmen timpani, yang
merupakan lapisan tulang tipis yang memisahkan rongga telinga tengah
dengan rongga cranial. Di bagian depannya akan terdapat saluran kanal untuk
keluarnya m. ensor timpani. Pada anak, di mana sutura petroskuamosanya
tidak mengeras di daerah tegmen timpani ini akan menyebabkan tejadinya
penyebaran infeksi secara langsung dari kavum timpani ke lapisan menigens
middle cranial fossa. Pada orang dewasa, perforasi pada daerah ini akan
mengakibatkan infeksi pada daerah middle cranial fossa secara langsung. Pada
bagian posterior dari tegmen timoani tersebut akan berlanjut manjadi tegmen
mastoid.

2. Tulang pendengaran
Pada daerah telinga tengah terdapat 3 buah tulang pendengaran yang
berfungsi sebagai penghantar pada transmisi energy sura dengan proses vibrasi
dan memperkuat energy sura tersebut selama proses di telinga tengah sebelum
dilanjut mke telinga bagian dalam melalui foramen ovale.
Tulang-tulang pendengaran tersebut adalah:

a. Malleus
Tulang pendengaran yang berbentuk seperti kampak, merupakan tulang
pendengaran terbesar dengan panjang sekitar 8-9mm dan berat sekitar
23mg yang terdiri dari kepala, leher dan 3 buah prosessus yatu
manubrium, prosesus anterior dan prosessus lateral. Bagian kepala dari

6
malleus merupakan bagian utama dari epitimpanum (atik) yang didukung
oleh banyaknya ligament yang melekat.
b. Inkus
Mempunyai bentuk seperti avil. Tulang pendengaran ke 2 dan terbesar
mempunyai berat sekitar 27mg. terdiri dari badan dengan 2 prosessus,
yaitu prosessus panjang dan pendek. Prosessus yang pendek terproyeksi
pada daerah posteroinferior dari resessus epitimpani. Prosessus ini menjadi
tanda penting pada operasi mastoidektomi.
c. Stapes
Mempunyai bentuk seperti sanggurdi. Tulang pendengaran ke 3 dan
merupakan tulang terkecil dari tubuh yang mempunyai berat sekitar 2,5
mg. terdiri dari capitulum, collum, dan 2 buah kaki sebagai alas.

Gambar 3. Tulang-tulang pendengaran

3. Kavum timpani
Merupakan suatu ruangan di telinga tengah uang terletak di dalam tulang
temporalis, berbentuk irregular yang berisi udara yang berasal dari ruang
nasofaring melalui tuba eustachius untuk selanjutha ke nasofaring dan pada
bagian posteriornya akan berhubungan dengan sistem sel udara darirongga
mstoid dan bagian atas petrosus dari tulang temporal. Pada bagian lateral akan
berbatasan dengan membrane timpani.
Kavum timpani berdasarkan topografinya dibagi atas 3 ruangan:
1. Epitimpanum di daerah batas atas membrane timpani
2. Mesotimpanum diantara membrane timpani dan promontorium
3. Hipotimpanum di bawah batas bawah membrane timpani.

7
Perdarahan di telinga tengah
Arteri
Daerah telinga tengah diperdarahi oleh cabang a. karotis eksterna melalui a.
maksilaris intera yang akan memberikan suplai darah ke membrane timpani baian
eksternal melalui cabang aurikuler dan ke membrane timpani, termasuk di
dalamnya tulang-tulang pendengaran, diperdarahi oleh sejumlah arteri yang
berasal dari a. maksilaris interna, a. meningea media, a. faringeal ascenden, a.
aurikularis posterior dan arteri karotis interna.
Vena
Sistem vena dari elinga tengah akan berjalan parallel dengan sistem arterinya dan
mempunyai drainase ke dalam pleksus pterigoid dan sinus petrosus.

Persarafan telinga tengah


Secara umum persarafan sensoris dari telinga tengah adalah melalui saraf kranialis
V, VII, IX, X, servikalis ke2 dan ke 3. Persarafan spesifikm termasuk di dalamnya
cabang aurikulotemporalis dari saraf trigeminal, cabanag timpani dari saraf
glossofaringeus.

2.2 Otitis Media Supuratif Kronis


Otitis media supuratif kronis (OMSK) dahulu disebut otitis media perforate
(OMP) atau dalam sebutan sehari-hari congek. Yang disebut otitis media supuratif
kronis ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membrane timpani
dan secret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Secret
mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah.
Otitis media akut dengan perforasi membrane timpani menjadi otitis media
supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari dua bulan, bila proses infeksi
kurang dari dua bulan, disebut otitis media supuratif subakut. Beberapa factor
yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang terlambat diberikan,

8
terapi yang tidak adekuat, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau
hygiene buruk.
OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu (1) OMSK tipe aman (tipe mukosa =
tipe benigna) dan (2) OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe maligna). Berdasarkan
aktivitas secret yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang. OMSK
aktif ialah OMSK dengan secret yang keluar dari kavum timpani secara aktif,
sedangkan OMSK tenang ialah keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau
kering.
Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja dan
biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK
tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe
aman tidak terdapat kolesteatoma. Yang dimaksud dengan OMSK tipe maligna
ialah OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. OMSK ini dikenal juga dengan
OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe bahaya
letaknya marginal atau di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada
OMSK dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang bahaya atau
fatal timbul pada OMSK tipe bahaya.

2.3 Kolesteatoma
Kolesteatoma adalah suatu kosta epiterial yang berisi deskuamasi epitel
(keratin). Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma
bertambah besar. Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes Muller
pada tahun 1838 karena disangka kolesteatoma merupakan suatu tumor, yang
ternyata bukan. Beberapa istilah lain yang diperkenalkan oleh para ahli antara lain
adalah: keratoma (Schucknecht), squamous epiteliosis (Birrel, 1958), kolesteatosis
(Birrel, 1958), epidermoid kolesteatoma (Friedman, 1959), kista epidermoid
(Ferlito, 1970), epidermosis (Sumarkin, 1988).

9
Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang pathogenesis kolesteatoma,
antara lain adalah : teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasia, dan teori
implantasi. Teori tersebut akan lebih mudah dipahami apabila diperhatikan
definisi kolesteatoma menurut Gray (1964) yang mengatakan : kolesteatoma
adalah epitel kulit yang berada pada tempat yang salah, atau menurut pemahaman
penulis, kolesteatoma dapat terjadi karena adanya epitel kulit yang terperangkap.

Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh epitel kulit (keratinizing stratified


squamous epithelium) pada tubuh kita berada pada lokasi yang terbuka atau
terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang telinga merupakan suatu daerah Cul-
de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di liang telinga dalam waktu yang
lama maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan
terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.

Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis:

1. Kolesteatoma kongenital yang terbentuk pada masa embrionik dan ditemukan


pada telingan dengan membrane timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi.
Lokasi kolesteatoma biasanya di kavum timpani, daerah petrosus mastoid atau
di cerebellopontin angle. Kolesteatoma di cerebellopontin angle ditemukan
secara tidak sengaja oleh ahli bedah saraf.

2. Kolesteatoma akuisital yang terbentuk setelah anak lahir, jenis ini terbagia atas
dua:
a. Kolesteatoma akuisital primer
Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membrane
timpani. Kolesteatoma timbul akibat terjadi proses invaginasi dari
membrane timpani pars flaksida karena adanya tekanan negative di telinga
tengah akibat gangguan tuba (Teori invaginasi).
b. Kolesteatoma akuisital sekunder
Kolesteatoma terbentuk setelah adanya perforasi membrane timpani.
Kolesteatoma terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari
liang telinga atau dari pinggir perforasi membrane timpani ke telinga

10
tengah (Teori migrasi) atau dapat terjadi akibat metaplasia mukosa kavum
timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama (Teori metaplasia).
Pada teori impantasi dikatakan bahwa koleasteatoma terjadi akibat
implantasi epitel kulit secara iatrogenic ke dalam telinga tengah.
Koleasteatoma merupakan media baik untuk pertumbuhan kuman. Massa
kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ sekitarnya serta
menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis pada
tulang diperhebat oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan
bakteri. Proses nektrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi
seperti labirintis, meningitis, abses otak.

Gambar 4. Kolesteatoma Kongenital

Gambar 5. Kolesteatoma Akuisital


2.4 Penyebaran Penyakit
Komplikasi OMSK terjadi apabila sawar ( barrier ) pertahanan telinga tengah
yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di
sekitarnya. Pertahanan pertama ini adalah mukosa kavum timpani yang juga
seperti mukosa saluran nafas, mampu melokalisasi infeksi. Bila sawr ini runtuh,
masih ada sawr kedua, yaitu dinding tulang kacum timpani dan sel mastoid. Bila

11
sawr ini runtuh, maka struktur lunak disekitarnya akan terkena. Runtuhnya
periostium akan menyebabkan terjadinya abses subperiosteal, suatu komplikasi
yang relatif tidak berbahaya. Apabila infeksi mengarah ke dalam, ke tulang
temporal, maka akan menyebabkan paresis n.fasialis atau labirinitis. Bila ke arah
kranial, akan menyebabkan abses ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis,
meningitis dan abses otak7.
Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu jaringan
granulasi akan terbentuk. Pada OMSK penyebaran terjadi mellui erosi tulang.
Cara penyebaran lainnya adalah toksin masuk melalui jalan yang sudah ada,
misalnya melalui fenestra rotundum, meatus akustikus internus, duktus
perilimfatik, dan duktus endolimfatik.
Dari gejala dan tanda yng ditemukan, dapat diperkirakan jalan penyebaran
suatu infeksi telinga ke intrakranial.
1. Penyebaran Hematogen
Penyebaran melalui osteotromboflebitis dapat diketahui dengan adanya (1)
komplikasi terjadi paa awal suatu nfeksi atau eksaserbasi akut, dapat terjadi pada
hari pertama atau kedua sampai hari ke sepuluh. (2) gejala prodormal tidak jelas
seperti didapatkan pada gejala meningitis lokal. (3) Pada operasi, didapatkan
dinding tulang telinga tegah utuh, dan tulang serta lapisan mukoperiosteal
meradan dan mudah berdarah, sehingga disebut juga mastoiditis hemoragika.
2. Penyebaran Melalui Erosi Tulang
Penyebaran melalui erosi tulang dapat diketahui bila (1) komplikasi terjadi
beberapa minggu atau lebih setelah awal penyakit. (2) gejala prodormal infeksi
lokal biasanya mendahului gejala infeksi yang lebih luas, misalnya paresis
n.fasia ringan yang hilang timbul mendahului paresis n.fasialis yang total, atau
gejala meningtis lokal mendahului meningitis purulen. (3) pada operasi dapat
ditemukan lapisan tulang yang rusak diantara fokus supurasi dengan struktur
sekitarnya. Struktur jaringan lunak yang terbuka biasanya dilapisi oleh jaringan
granulasi
3. Penyebaran Melalui Jalan yang Sudah Ada

12
Penyebaran melalui jalan ini dapat diketahui bila (1) komplikasi terjadi pada
beberapa mingggu setelah awal penyakit, (2) ada serangan labirinitis atau
meningitis berulang, mugkin dapat ditemukan fraktur tengkorak, riwayat operasi
tulang atau riwayat otitis media yang sudah sembuh. Kompliksi intrakranial
mengikuti komplikasi labirinitis supuratif. (3) pada operasi ditemukan jalan
penjalaran melalui sawar tulang yang bukan oleh karena erosi
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial melewati 3
macam lintasan :
1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak
Penyebaran ke Selaput Otak Dapat Terjadi Akibat dari Beberapa Faktor.
Melalui jalan yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian
tulang yang lemah atau defek karena pembedahan, dapat memudahkan
masuknya infeksi. Labirin juga dapat dianggap sebagai jalan penyebaran
yang sudah ada, menyebabkan mudahnya infeksi ke fosa kranii media.
Jalan lain penyebaran ialah melalui tromboflebitis vena emisaria
menembus dinding mastoid ke duramater dan sinus duramater.
Tromboflebitis pada susunan kanal haversian yang (osteitis atau
osteomielitis) merupakan faktor utama penyebaran menembus sawar
tulang daerah mastoid dan telinga tengah.
2. Menembus selaput otak.
Dimulai begitu penyakit mencapai duramater, menyebabkan
pakimeningitis. Duramater akan menebal, hiperemi, dan menjadi lebih
melekat ke tulang. Jaringan granulasi terbentuk pada bagian duramater
yang tidak melekat, dan ruang subduramater akan terobliterasi.
3. Masuk kejaringan otak
Pembentukan abses biasanya terjadi pada daerah di antara ventrikel dan
permukaan korteks atau tengah lobus serebelum. Cara penyebaran infeksi
ke jaringan otak ini dapat terjadi baik akibat tromboflebitis atau perluasan
infeksi ke ruang Virchow Robin yang berakhir didaerah vaskular
subkortek.

13
2.5 Diagnosis Komplikasi yang Mengancam
Pengenalan yang baik terhadap perkembangan suatu penyakit telinga
merupakan prasyarat untuk mengetahui timbulnya komplikasi. Bila dalam
medikamentosa tidak berhasil mengurangi gejala klinik dengan tidak
berhentinya otorea, dan pada pemeriksaan otoskopik tidak menunjukkan
berkurangnya reaksi inflamasi dan pengumpulan cairan maka harus diwaspadai
kemungkinan terjadinya komplikasi. Pada stadium akut, naiknya suhu tubuh,
nyeri kepala atau adanya tanda toksisitas seperti malaise, perasaan mengantuk
(browsines), somnolen atau gelisah yang menetap dapat merupakan tanda
bahaya. Timbulnya nyeri kepala di daerah parietal atau oksipital dan adanya
keluhan mual, muntah yang proyektil serta kenaikan suhu badan yang menetap
selama terapi diberikan merupakan tanda komplikasi intrakranial.
Pada OMSK, tanda-tanda penyebaran penyakit dapat terjadi setelah sekret
berhenti keluar, hal ini menandakan adanya sekret purulen yang terbendung.
Pemeriksaan radiologik dapat membantu memperlihatkan kemungkinan
kerusakan dinding mastoid, tetapi untuk yang lebih akurat diperlukan
pemeriksan CT-Scan. Erosi tulang merupakan tanda nyata komplikasi dan
memerlukan tindakan operasi segera. CT scan bermanfaat menegakkan
diagnosis sehingga terapi dapat diberikan lebih cepat dan efektif. Untuk melihan
lesi otak, misalnya abses otak, hidrosefalusndan lain-lain dapat dilakukan
pemeriksaan CT scan otak tanpa dan dengan kontras.

2.6 Klasifikasi komplikasi OMSK


Adam dkk mengemukakan klasifikasi sebagai berikut7 :
A. Komplikasi di telinga tengah :
1. Perforasi membran timpani persisten
2. Erosi tulang pendengaran
3. Paralisis nervus fasialis

14
B. Komplikasi telinga dalam :
1. Fistula labirin
2. Labirinitis supuratif
3. Tuli saraf (sensorineural)
C. Komplikasi ekstradural :
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. petrositis
D. Komplikasi ke susunan saraf pusat :
1. Meningitis
2. Abses otak
3. Hindrosefalus otitis

Souza dkk membagi komplikasi otitis media menjadi :


A. Komplikasi Intratemporal
1. Komplikasi di telinga tengah
- Paresis nervus fasialis
- Kerusakan tulang pendengaran
- Perforasi membran timpani
2. Komplikasi ke rongga mastoid
- Petrositis
- Mastoiditis koalesen
3. Komplikasi ke telinga dalam
- Labirinitis
- Tuli saraf (sensorineural)
B. Komplikasi Ekstratemporal
1. Komplikasi intrakranial
- Abses ekstradural
- Abses subdural
- Abses otak
- Meningitis

15
- Tromboflebitis sinus lateralis
- Hidrosefalus otikus
2. Komplikasi ekstrakranial
- Abses retroaurikular
- Abses Bezold’s
- Abses zigomatikus

Shambough membagi komlikasi otitis media sebagai berikut :


A. Komplikasi intratemporal
1. Perforasi membran timpani
2. Mastoiditis akut
3. Paresis nervus fasialis
4. Labirinitis
5. petrositis
B. Komplikasi ekstratemporal
1. Abses subperiosteal
C. Komplikasi intrakranial
1. Abses otak
2. Tromboflebitis
3. Hidrosefalus otikus
4. Empiema subdural
5. Abses subdural/ekstradural

2.6.1 Komplikasi di telinga tengah


Akibat infeksi telinga tengah hampir selalu berupa tuli konduktif. Pada
membran timpani yang masih utuh, tetapi rangkaian tulang pendengaran terputus,
akan menyebabkan tuli konduktif yang berat. Biasanya derajat tuli konduktif tidak
selalu berhubungan dengan penyakitnya, sebab jaringan patologis yang terdapat di

16
kavum timpani pun, misalnya kolesteatoma dapat menghantar suara ke telinga
dalam.
Ketulian sensorineurak dapat disebabkan otitis media akut maupun kronik.
Setiap kali ada infeksi dalam telinga tengah, terutama bila di bawah tekanan,
maka ada kemungkinan produk-produk infeksi akan menyebar melalui membrana
fenestra rotundum ke telinga dalam, mengakibatkan ketulian sensorineural.
Infeksi biasanya terbatas pada lengkung basal koklea. Namun, dengan berjalannya
waktu, ketulian dapat meluas sehingga akhirnya menimbulkan masalah.

Paralisis Fasialis
Otogenic yang menyebabkan kelumpuhan saraf wajah termasuk OMA, OMK
tanpa cholesteatoma, dan cholesteatoma. Yang pertama biasanya terjadi dengan
saluran tuba pecah dalam segmen timpani, yang memungkinkan kontak langsung
mediator inflamasi dengan saraf wajah itu sendiri. OMK dengan atau tanpa
cholesteatoma dapat mengakibatkan kelumpuhan wajah melalui keterlibatan saraf
pecah, atau melalui erosi tulang. Kelumpuhan wajah sekunder untuk OMA sering
terjadi pada anak dengan paresis tidak lengkap yang datang tiba-tiba dan biasanya
singkat dengan pengobatan yang tepat. Di sisi lain, kelumpuhan sekunder pada
OMK atau cholesteatoma sering menyebabkan kelumpuhan wajah progresif
lambat dan memiliki prognosis yang lebih buruk.

Diagnosis
Diagnosis kelumpuhan wajah otogenic dibuat atas dasar klinis. Paresis atau
kelumpuhan wajah pada OMA, OMK, atau cholesteatoma bukanlah diagnosis
yang sulit untuk dibuat hanya dengan pemeriksaan sendiri. Peran diagnostik
pencitraan CT dipertanyakan. Meskipun CT scan tidak diperlukan, dapat berguna
dalam perencanaan terapi dan konseling pasien. Ketika cholesteatoma melibatkan
saluran tuba, juga dapat mengikis struktur seperti labirin atau tegmen.
Selanjutnya, tingkat erosi tulang dari kanal tuba dan derajat keterlibatannya lebih
dapat dinilai pada CT.

17
2.6.2 Komplikasi di telinga dalam
Apabila terdapat peninggian tekanan di telinga tengah oleh produk infeksi, ada
kemungkinan produk infeksi itu akan menyebar ke telinga dalam melalui tingkap
bulat (fenestra rotundum). Selama kerusakan hanya sampai bagian basalnya saja
biasanya tidak menimbulkan keluhan pada pasien. Akan tetapi, apabila kerusakan
telah menyebar ke koklea akan menjadi masalah. Hal ini sering dipakan sebagai
indikasi untuk dilakukan miringotomi segera pada pasien otitis media akut yang
tidak membaik dalam empat puluh delapan jam dengan pengobatan
medikamentosa saja.
1. Labirinitis
Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin disebut labirinits umum
(general), dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labirinitis
yang terbatas (labirinitis sirkumskripta) menyebabkan vertigo saja atau tuli
saraf saja.
Labirinitis terjadi karena penyebaran infeksi ke ruangan perilimfa.
Terdapat dua bentuk labirinitis yaitu labirinitis serosa dan labirinitis supuratif.
Labirinitis serosa dapat berupa labirinitis serosa difus dan labirinitis
sirkumskripta. Labirinitis supuratif dibagi dalam bentuk labirinitis akut difus
dan labirinitis supuratif kronik difus.
Pada labirinitis serosa toksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa infasi
sel radang, sedangkan pada labirinitis supuratif, sel radang menginfasi labirin,
sehingga terjadi kerusakan yang irreversibel, seperti fibrosis dan osifikasi.
Pada kedua bentuk labirinitis itu operasi harus segera dilakukan untuk
menghialangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang-kaang diperlukan juga
drainase nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian
antibiotika yang adekuat terutam ditujukan kepada pengobatan otitis media
kronik dengan/ tanpa kolesteatoma.

2. Fistula Labirin
Fistula labirin terus menjadi salah satu komplikasi yang paling umum dari
otitis kronis dengan cholesteatoma, dan telah dilaporkan terjadi pada sekitar

18
7% dari kasus. Beberapa keadaan ini lebih mengganggu ahli bedah otologic
daripada terdapatnya sebuah labirin terbuka yang ditemukan pada saat operasi
cholesteatoma. Risiko kehilangan pendengaran sensorineural yang signifikan
sebagai akibat manipulasi bedah membuat labirin terbuka dan pengelolaannya
menjadi topik yang sangat kontroversial.
Karena lokasinya di dekat antrum, kanalis semisirkularis horizontal adalah
bagian yang paling sering terlibat dari labirin, dan menyumbang sekitar 90%
dari fistula ini. Meskipun kanal horisontal biasanya terlibat, fistula dapat
terjadi di kanal posterior dan superior, dan di koklea itu sendiri. Fistula koklea
dikaitkan dengan insidensi terjadinya gangguan pendengaran yang jauh lebih
tinggi ditemui dibandingkan dengan labirin fistula.
Erosi tulang dari kapsul otic dapat terjadi melalui dua proses yang
berbeda. Dengan terdapatnya cholesteatoma, mediator diaktifkan dari matriks,
atau tekanan dari cholesteatoma itu sendiri, dapat menyebabkan osteolisis dan
membuka labirin. Namun, fistula labirin dapat terjadi dari resorpsi kapsul otic
karena mediator inflamasi bila tidak ada cholesteatoma, yang biasanya terjadi
pada OMK dengan granulasi.
Salah satu alasan kontroversi dalam membahas fistula ini adalah
kurangnya sistem pembagian stadium yang dapat diterima. Beberapa sistem
telah diusulkan. Sistem diperkenalkan oleh Dornhoffer dan Milewski, sistem
ini berkaitan dengan keterlibatan labirin yang mendasarinya. Fistula dengan
erosi tulang dan endosteum utuh diklasifikasikan sebagai stadium I fistula.
Jika endosteum ini terkena, namun ruang perilymphatic tidak, fistula ini
diklasifikasikan sebagai stadium II a. Ketika perilymph ini terkena oleh
penyakit atau sengaja disedot, fistula dikategorikan sebagai stadium II b.
Stadium III menunjukkan bahwa labirin membran dan endolymph telah
terganggu oleh penyakit atau intervensi bedah.

Diagnosis
Pasien yang memiliki erosi yang signifikan dari labirin klasik ini datang
dengan vertigo subjektif dan tes fistula yang positif pada pemeriksaan.

19
Sayangnya, gambaran klasik tidak sensitif dalam identifikasi preoperatif
fistula. Vertigo periodik atau disekuilibrium yang signifikan ditemukan pada
62% sampai 64% dari pasien yang memiliki fistula sebelum operasi. Tes
fistula positif dalam 32% sampai 50% dari pasien yang ditemukan memiliki
fistula selama eksplorasi bedah. Meskipun kehilangan pendengaran
sensorineural ditemukan di sebagian besar pasien (68%), itu bukan indikator
yang sensitif untuk fistula. Meskipun adanya gangguan pendengaran
sensorineural, vertigo, atau tes fistula positif pada pasien yang memiliki
cholesteatoma harus meningkatkan kecurigaan untuk fistula, tidak adanya
tanda-tanda tadi tidak menjamin labirin tulang utuh. Hal ini sebagai alasan
bahwa pendekatan bedah yang bijaksana adalah dengan mengasumsikan
adanya fistula di setiap kasus cholesteatoma, untuk mencegah komplikasi
yang tak terduga.
Walaupun pencitraan universal untuk semua pasien yang memiliki
cholesteatoma belum standar, tinjauan literatur menunjukkan bahwa
penggunaan pencitraan CT pra operasi meningkat. Karena ketidakmampuan
untuk secara akurat mendiagnosis fistula preoperatif atas dasar klinis,
peningkatan dalam pencitraan merupakan upaya untuk meningkatkan deteksi
suatu labirin, nervus facialis , atau dura yang terkena, untuk membantu dalam
perencanaan operasi. Sayangnya, kemampuan untuk mendeteksi fistula secara
akurat pada CT pra operasi telah dilaporkan sebagai 57% sampai 60%. Dalam
laporan saat ini CT scan tidak lebih sensitif daripada anamnesis dan
pemeriksaan fisik dalam mendeteksi fistula labirin. Diagnosis definitif untuk
fistula hanya dibuat intraoperatif, yang menegaskan kembali kebutuhan untuk
menangani semua kasus cholesteatoma dengan hati-hati.
Pemeriksaan radiologik tomografi atau CT scan yang baik kadang-kadang
dapat memperlihatkan fistula labirin, yang biasanya ditemukan di kanalis
semisirkularis horisontal.
Pada fistula labirin atau labirinitis, operasi harus segera dilakukan untuk
menghilangkan infeksi dan menutup fistula, sehingga fungsi telinga dalam
dapat pulih kembali. Tindakan bedah harus adekuat, untuk mengontrol

20
penyakit primer. Matriks kolesteatom dan jaringan granulasi harus diangkat
dari fistula sampai bersih dan daerah tersebut harus segera ditutup dengan
jaringan ikat atau sekeping tulang/ tulang rawan.

2.6.3 Komplikasi ekstradural


1. Petrositis
Kira-kira sepertiga dari populasi manusia, tulang temporalnya mempunyai
sel-sel udara sampai ke apeks os petrosum. Terdapat beberapa cara penyebaran
infeksi dari telinga tengah ke os petrosum. Yang sering ialah penyebaran
langsung ke sel-sel udara tersebut.
Adanya pertositis sudah harus dicurigai, apabila pada pasien otitis media
terdapat keluhan diplopia, karena kelemahan n.VI. sering kali disertai dengan
rasa nyeri di daerah parietal, temporal atau oksipital, oleh karena terkenanya
n.V, ditambah dengan terdapatnya otore yang persisten, terbentuklah suatu
sindrom yang disebut sindrom Gradenigo.
Kecurigaan terhadap petrositis terutama bila terdapat nanah yang keluar
terus menerus dan rasa nyeri yan menetap pasca mastoidektomi. Pengobatan
petrositis ialah operasi serta pemberian antbiotika protokol komplikasi
intrakranial. Pada waktu melakukan operasi telinga tengah dilakukan juga
eksplorasi sel-sel udara tulang petrosum serta mengeluarkan jaringan patogen.

2. Trombosis Sinus Lateralis


Sinus sigmoid atau trombosis sinus lateralis merupakan komplikasi yang
terkenal dari otitis media dimana tercatat 17% sampai 19% kasus dari
komplikasi intrakranial. Kedekatan dari telinga tengah dan sel udara mastoid
ke sinus vena dural memudahkan mereka untuk menjadi trombosis dan
tromboflebitis sekunder terhadap infeksi dan peradangan di telinga tengah dan

21
mastoid. Keterlibatan sinus sigmoid atau lateral dapat hasil dari erosi tulang
sekunder untuk OMK dan cholesteatoma, dengan perpanjangan langsung dari
proses menular ke ruang perisinus, atau dari penyebaran ruang dari
tromboflebitis vena mastoid. Setelah sinus telah terlibat, dan trombus
intramural berkembang, dapat menghasilkan sejumlah komplikasi yang serius.
Hidrosefalus Otitic dikenal untuk mempersulit sejumlah besar kasus ini.
Bekuan yang terinfeksi dapat menyebar ke arah proximal melibatkan
pertemuan sinus (torcular herophili) dan sinus sagital, menyebabkan
hidrosefalus yang mengancam jiwa, atau menyebar ke arah distal untuk
melibatkan vena jugularis interna. Keterlibatan vena jugularis interna
meningkatkan risiko emboli paru septik.

Diagnosis
Presentasi klasik dari trombosis sinus sigmoid atau lateral adalah adanya
demam tinggi yang tajam dalam pola "picket fence", sering terlihat dengan
sakit kepala dan malaise umum. Seperti banyak komplikasi ini, tingkat
kecurigaan yang tinggi diperlukan karena demam spiking mungkin tumpul
oleh penggunaan antibiotik bersamaan. Dengan adanya demam tinggi spiking,
atau kepedulian untuk tekanan intrakranial meningkat, CT scan harus
dikontraskan dilakukan untuk melihat tromboflebitis. Dinding sinus akan lebih
cerah dengan kontras dan menghasilkan tanda delta karakteristik yang
berkaitan dengan trombosis sinus. Dengan adanya trombosis sinus signifikan,
sebuah Venogram resonansi magnetik MRI dijamin, karena mereka dapat
digunakan serial untuk mengevaluasi propagasi gumpalan atau resolusi.
Pengobatan haruslah dengan jalan bedah, membuang sumber infeksi di
sel-sel mastoid, membuang tulang yang berbatasan dengan sinus (sinus plate)
yang nekrotik, atau membuang dinding sinus yang terinfeksi atau nekrotik.
Jika sudah terbentuk trombus harus juga dilakukan drenase sinus dan
mengeluarkan trombus. Sebelum itu dilakukan dulu ligasi vena jugulare
interna untuk mencegah trombus terlepas ke paru dan ke dalam tubuh lain.

22
3. Abses Subdural
Abses subdural jarang terjadi sebagai perluasan langsung dari abses
ekstradural biasanya sebagai perluasan trombofelbitis melalui pembuluh vena.
Gejalanya dapat berupa demam, nyeri kepala dan penurunan kesadaran sampai
koma pada pasien OMSK. Gejala kelainan susunan saraf pusat bisa berupa
kejang, hemiplegia dan pada pemeriksaan terdapat tanda kernig positif. Pungsi
lumbal perlu untuk membedakan abses subdural dengan meningitis. Pada
abses subdural pada pemeriksaan likuor serebrospinal kadar protein biasanya
normal dan tidak ditemukan bakteri.

2.6.4 Komplikasi ke susunan saraf pusat


1. Meningitis
Meningitis adalah komplikasi intrakranial yang paling umum dari OMK,
dan OMA adalah penyebab sekunder yang paling umum dari meningitis.
Dalam seri terbaru komplikasi OMK, meningitis terjadi pada sekitar 0,1% dari
subyek. Meskipun ini tetap merupaka komplikasi yang signifikan, tingkat
kematian akibat meningitis otitic telah menurun secara signifikan, dari 35% di
era preantibiotic sampai 5% di era postantibiotic. Meningitis dapat muncul
dari tiga rute otogenic yang berbeda: penyebaran hematogen dari meninges
dan ruang subarachnoid, menyebar dari telinga tengah atau mastoid melalui
saluran yang telah terjadi (fisura Hyrtl), atau melalui erosi tulang dan
penyuluhan langsung. Dari ketiga kemungkinan, meningitis otogenic paling
umum adalah hasil dari penyebaran hematogen.

Diagnosis
Diagnosis cepat meningitis bergantung pada pengenalan dari tanda-tanda
peringatan oleh dokter. Tanda-tanda bahwa harus meningkatkan kecurigaan
komplikasi intrakranial termasuk demam persisten atau intermiten, mual dan
muntah; iritabilitas, letargi, atau sakit kepala persisten. Tanda-tanda yang juga
membantu diagnosis proses intrakranial meliputi perubahan visual; kejang
onset baru, kaku kuduk, ataksia, atau status mental menurun. Jika ada tanda-

23
tanda mencurigakan itu terjadi, pengobatan segera dan pemeriksaan lebih
lanjut sangat penting. Antibiotik spektrum luas, seperti sefalosporin generasi
ketiga, harus diberikan selama tes diagnostik sedang dilakukan. CT scan atau
MRI kontras akan menunjukkan peningkatan karateristik meningeal dan
menyingkirkan komplikasi intrakranial tambahan yang dikenal terjadi pada
hingga 50% dari kasus ini. Dengan tidak adanya efek massa yang signifikan
pada pencitraan, pungsi lumbal harus dilakukan untuk mengkonfirmasi
diagnosis dan memungkinkan untuk kultur dan tes sensitivitas.
Pengobatan meningitis otogenik ini ialah dengan mengobati meningitisnya
dulu dengan antibiotik yang sesuai, kemudian infeksi di telinganya
ditanggulangi dengan operasi mastoidektomi.

2. Abses Otak
Abses otak otogenik merupakan salah satu komplikasi intrakranial yang
sering terjadi pada otitis media supuratif kronik tipe maligna1. Mortalitasnya
masih sangat tinggi yaitu sekitar 40%. Penyebaran infeksi melalui beberapa
cara yaitu 1) melalui tegmen timpani yang membentuk temporal abses, 2)
melalui sinus sigmoid ke fossa kranii posterior yang membentuk abses
serebellum, 3) dari labirin ke sakkus endolimfatikus yang membentuk abses
serebellum. Dapat juga melalui vena-vena dan 4) melalui meatus akustikus
internus. Pada kasus abses otak dimana Otitis Media Suppurativa Kronik
(OMSK) sebagai faktor predisposisi, abses sering berlokasi pada lobus
temporalis kemudian diikuti oleh abses pada serebellum. Dilaporkan dari 96%
abses otak,62% abses berlokasi pada lobus temporal dan 34% pada
serebellum. Proctor menyimpulkan bahwa pada era preantibiotika angka
kematian karena abses otak 50-100%.Pada saat ini dengan penggunaan
antibiotik angka kematian 12-40%.9
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga
tengah yang normal dilewati sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke
struktur sekitarnya. Pertahanan pertama ialah mukosa kavum timpani yang
menyerupai mukosa saluran pernapasan yang mampu melokalisasi dan

24
mengatasi infeksi. Bila sawar ini runtuh masih ada sawar kedua yaitu dinding
tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini masih runtuh maka
struktur lunak disekitarnya akan terkena. Bila infeksi supuratif meluas ke
daerah sekitarnya, reaksi pertahanan lokal berusaha untuk bereaksi, biasanya
berupa pembentukan abses yang terlokalisasi. Perluasan menembus tegmen
akan menyebabkan abses ekstradura fossa media sedangkan perluasan
menembus dinding posterior tulang temporal dapat menghasilkan abses ekstra
dura atau abses perisinus. Penyebaran melalui selaput otak dimulai begitu
penyakit mencapai dura menyebabkan pekimeningitis. Dura sangat resisten
terhadap penyebaran infeksi sehingga akan menebal,hiperemikdan lebih
melekat ke tulang. Bila suatu abses subdura terbentuk akibat penyebaran
melalui tegmen, dapat menjadi besar karena longgarnya perlekatan dura
dengan skuama os temporal.
Apabila pertahanan pertama untuk mencegah penyebaran infeksi gagal
karena telah terjadi nekrosis dura, terjadilah invasi ke ruang subdura.
Walaupun biasanya ruangan ini telah terobliterasi oleh reaksi inflamasi
sebelumnya,kadang-kadang terjadi juga empiema yang dapat meluas bahkan
bisa sampai ke hemisfer kontra lateral.9
Untuk diagnosis sampai sekarang masih merupakan problem untuk para
dokter karena baik secara anamnesis, gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang sangat tidak spesifik. Kecurigaan terdapatnya abses otak pada
pasien OMSK adalah bila timbul sakit kepala yang bersifat hemikranial atau
yang paling sering pada seluruh kepala, menetap dan tidak berespon dengan
pengobatan penurunan kesadaran, papil edema, defisit neurologis fokal tidak
selalu dijumpai. Akan tetapi bila terdapat hal tersebut maka kecurigaan
terhadap abses otak menjadi lebih kuat.9
Gejala dan tanda klinis abses otak mengikuti patogenesis terjadinya abses
seperti yang digambarkan oleh Neely dan Mawson yaitu :9
1. Stadium inisial: gejalanya biasanya ringan dan sering terabaikan. Penderita
mengeluh sefalgia, malaise, menggigil, rasa mengantuk, mual dan muntah.
Gejala biasanya ringan, sering terabaikan dan kadang-kadang tampak

25
sebagai eksaserbasi otitis media supuratif kronik. Gejala ini dapat
menghilang dalam beberapa hari.
2. Stadium laten: secara klinis tidak jelas karena gejala berkurang, kadang-
kadang masih terdapat malaise, kurang nafsu makan dan sakit kepala yang
hilang timbul. Pada stadium ini abses terlokalisir dan terjadi pembentukan
kapsul. Gejala ini dapat timbul beberapa minggu dan kadang-kadang
sampai beberapa bulan.
3. Stadium manifest : pada stadium ini abses mulai membesar dan
menyebabkan gejala bertambah. Pada stadium ini dapat terjadi kejang
fokal atau afasia pada abses lobus temporalis sedangkan pada abses
serebellum dapat terjadi ataksia atau tremor yang hebat. Gejala klinik pada
stadium ini terjadi karena peningkatan tekanan intrakranial dan gangguan
fungsi serebrum atau serebellum yang menyebabkan tanda dan gejala
fokal. Gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial berupa; i) sakit
kepala yang hebat, memburuk pada pagi hari, ii) mual dan muntah
biasanya bersifat proyektil terutama bila lesi pada serebellum, iii)
perubahan tingkat kesadaran berupa lethargi, kelemahan yang progresif,
stupor edema biasanya tidak tampak pada kasus dini. Gejala ini tampak
bila peningkatan tekanan intrakranial bertahan selama 2-3 minggu dan v)
denyut nadi lambat dan temperature subnormal.
4. Stadium akhir: pada stadium ini kesadaran makin menurun dari stupor
sampai koma dan akhirnya meninggal yang disebabkan karena ruptur
abses ke dalam sistem ventrikel dan rongga subarakhnoid1. Pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis dapat berupa:
 Laboratorium: umumnya jumlah lekosit normal atau meningkat
(<15.000/m3);
 Lumbal punksi: analisis liquor cerebro spinalis (LCS) pada abses
otak tidak spesifik dan tindakan ini merupakan kontraindikasi untuk
membuktikan kecurigaan abses otak.Penurunan kesadaran dapat terjadi
pada 20% pasien yang dilakukan LP.

26
 Foto polos kepala, kurang bermakna, mungkin dapat
memperlihatkan pergeseran kelenjar pineal yang mengalami
kalsifikasi.
 Computed tomography (CT) Scan kepala: pemeriksaan ini
sangatlah penting untuk menegakkan diagnosis abses otak merupakan
pemeriksaan non invasif. Sebaiknya dilakukan dengan kontras. Pada
pemeriksaan dengan kontras, abses otak tampak sebagai daerah
hipodens yang dikelilingi oleh lingkaran yang disebut tanda cincin
(ring sign), penting untuk mengetahui ukuran dan lokasi abses serta
membantu memantau perkembangan abses selama pengobatan.
 Magnetic resonance imaging (MRI): membantu mengidentifikasi
abses otak pada stadium lebih awal dan lebih sensitif dalam
mendeteksi penyebaran ekstra parenkimal ke ruang subarakhnoid.
Prinsip terapi abses otak adalah menghilangkan fokus infeksi dan efek
massa. Terapi medikamentosa dengan antibiotik dapat diberikan pada abses
otak bila:9
1. Keadaan pasien akan menjadi buruk bila tindakan bedah dilakukan
2. Terdapatnya abses multipel terutama bila lokasinya saling berjauhan
3. Letak abses di sebelah dalam atau daerah yang membahayakan
4. Bersamaan dengan meningitis
5. Bersamaan dengan hidrosefalus yang memerlukan shunt yang dapat
menyebabkan infeksi pada tindakan bedah
6. Bila setelah pemberian antibiotik pada 2 minggu pertama ukuran abses
menjadi kecil. Pada penanganan medikamentosa diberikan antibiotik dosis
tinggi secara parenteral. Pemberian antibiotik dapat dikombinasikan
karena biasanya terjadi infeksi campuran dan diindikasikan pada infeksi
yang berat.Pemilihan antibiotik biasanya sulit karena adanya variasi
bakteri penyebab abses otak. Biasanya diberikan golongan penisilin untuk
bakteri gram positif dan aminoglikosida untuk bakteri gram negatif dan
yang lebih penting bakteri anaerob. Kombinasi penisilinase-resisten
penisilin dan aminoglikosida dapat digunakan untuk bakteri aerob gram

27
positif dan gram negatif. Kombinasi sefalosforin generasi ketiga dan
metronidazol yang dapat melalui sawar darah otak dan merupakan efektif
untuk bakteri anaerob. Harus diusahakan agar dapat diperoleh bahan baku
untuk kultur dan tes kepekaan. Tes kepekaan dapat membantu pemilihan
antibiotik dan diberikan sampai suhu badan menjadi normal.
Kortikosteroid diberikan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi
pembengkakan otak dan efek desak ruang yang disebabkan oleh abses.
Dapat diberikan 4 mg tiap 6 jam secara intravena.

3. Otitik Hidrosefalus
Otitic hidrosefalus digambarkan sebagai tanda-tanda dan gejala
menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial dengan LCS yang normal pada
pungsi lumbal, yang dapat hadir sebagai komplikasi dari OMA, OMK, atau
operasi otologic. "Hidrosefalus Otitic" sampai sekarang belum dipahami
seluruhnya, begitu juga dari sisi patofisiologi Ini adalah sebuah ironi karena
kondisi ini dapat ditemukan tanpa otitis, dan pasien tidak memiliki ventrikel
yang melebar menunjukkan tanda hidrosefalus. Symonds, yang menciptakan
istilah otitic hidrosefalus, merasa bahwa kondisi ini dikembangkan dari infeksi
sinus (transversal) lateral, dengan perluasan thrombophlebitis ke pertemuan
sinus untuk melibatkan sinus sagital superior. Peradangan atau infeksi dari
sinus sagital superior mencegah penyerapan LCS melalui vili arachnoid,
sehingga tekanan intrakranial meningkat. Hal ini biasanya terjadi
tromboflebitis menular sebagai akibat dari infeksi otologic, tetapi beberapa
kasus juga terdapat pada kasus tanpa operasi otologic atau otitis. Selanjutnya,
meskipun trombosis sinus lateral biasanya ditemukan pada hidrosefalus otitic,
kasus telah dilaporkan tanpa trombosis sinus dural.

Diagnosis
Diagnosis hidrosefalus otitic membutuhkan tingkat kecurigaan yang tinggi
untuk mengenali gejala sugestif. Gejala-gejala yang ditemukan pada pasien ini
adalah akibat dari tekanan intrakranial yang meningkat dan menyebar

28
termasuk sakit kepala, mual, muntah, perubahan visual, dan kelesuan.
Kehadiran gejala ini memerlukan pemeriksaan menyeluruh dan pencitraan.
Pemeriksaan fundoscopic harus dilakukan untuk mengevaluasi papilledema
sebagai bukti tekanan intrakranial meningkat. MRI dan MRV harus dilakukan
untuk mengevaluasi untuk pembesaran ventrikel, atau komplikasi intrakranial
yang lain, seperti trombosis sinus yang signifikan dengan obstruksi.
Peningkatan tekanan intrakranial dengan gejala klinis dan papilledema tanpa
adanya dilatasi ventrikel atau meningitis sudah cukup untuk membuat
diagnosis ini. MRV akan mengkonfirmasi keberadaan dan tingkat trombosis
sinus dural, tetapi tidak diperlukan untuk membuat diagnosis hidrosefalus
otitic.

2.7 Penatalaksanaan Komplikasi


Secara umum, pengobatan komplikasi penyakit telinga harus mencakup dua
hal. Tidak hanya penanganan yang efektif terhadap komplikasinya yang harus
diperhatikan tetapi juga usaha untuk penyembuhan infeksi primernya. Seringkali
beratnya komplikasi mengharuskan kita menunda mastoidektomi sampai keadaan
umum pasien mengizinkan. Di samping itu bila ada ancaman terhadap terjadinya
komplikasi atau bila ditemukan komplikasi pada stadium dini dapat dikontrol
dengan cara pengobatan seperti pengobatan untuk penyakit primernya.
Singkatnya, pengobatan terdiri dari pemberian antibiotika dosis tinggi secepatnya,
penatalaksanaan operasi infeksi primer di mastoid pada saat yang optimum, dan
bedah saraf diperlukan.
Pengobatan antibiotika pada komplikasi intracranial sulit, karena adanya
sawar darah otak (blood-brain barrier) yang menghalangi banyak jenis antibiotika
untuk mencapai konsentrasi yang tinggi di cairan serebrospinal. Pasien harus
dirawat dan diberikan antibiotika dosis secara intravena. Pemberian antibiotika
dimulai dengan ampisilin 4 x 200-400 mg/kgBB/hari, kloramfenikol 4 x ½ - 1
gram untuk orang dewasa, atau 60 – 100 mg/kgBB/hari untuk anak-anak,
metronidazole 3 x 400-600 mg/kgBB/hari.

29
Antibiotika yang diberikan disesuaikan dengan kemajuan klinis dan hasil
biakan dari secret telinga ataupun likuor serebrospinal. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan laboratorium, foto mastoid, tomografi computer kepala yang
terutama untuk melihat kemungkinan terdapat abses otak. Jika pada CT-scan
kepala terlihan tanda-tanda ensefalitis atau abses intracranial, segera konsultasi ke
bagian Bedah Saraf untuk melakukan tindakan bedah otak untuk drainase segera.
Jika pada CT-scan kepala tidak terlihat abses otak dan keadaan umum pasien baik,
maka segera dilakukan mastoidektomi. Bila keadaan umum pasien buruk atau
suhu tetap tinggi, maka pengobatan medikamentosa dilakukan sampai 2 minggu,
kemudian segera dilanjutkan dengan mastoidektomi.
Trombosis sinus diobati dengan membuka sinus tersebut setelah memaparkan
sinus dari sudut sinodural sampai ke bulbus jugularis. Seluruh jaringan nekrotik
dan thrombus harus dihisap dan sinus tersebut ditampon. Tampon surgical,
merupakan bahan yang baik untuk keperluan ini sebab bahan tersebut di absorbs
perlahan-lahan sehingga tidak perlu diangkat.
Meningitis diobati terutama dengan pemberian antibiotic. Kemungkinan
adanya komplikasi lain seperti abses atau tromboflebitis harus selalu dipikirkan
dan harus dilakukan operasi bila hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan.
Abses subdural merupakan komplikasi berat dan mengancam jiwa yang
pengobatannya merupakan tindakan gawat darurat bedah saraf. Dibuat lubang
dengan bor di atas dan di bawah tempat yang terkena dan pus yang terkumpul
dihisap. Kemudian dilakukan irigasi dengan cairan fisiologik serta dengan larutan
antibiotic dan dipasang salir karet agar dapat dilakukan reirigasi berkali-kali.
Abses otak juga merupakan masalah bedah saraf walaupun diagnosisnya
kebetulan ditegakkan ketika melakukan mastoidektomi.

2.8 Jenis Pembedahan pada OMSK


Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan
pada OMSK dengan mastoiditis kronik, baik tipe aman atau tipe bahaya, antara
lain (1) mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy), (2) mastoidektomi

30
radikal, (3) mastoidektomi radikal dengan modifikasi, (4) miringoplasti, (5)
timpanoplasti, (6) pendekatan ganda timpanoplasti (Combined approach
tympanoplasty).

Jenis operasi mastoid yang dilakukan tergantung pada luasnya infeksi atau
kolesteatoma, sarana yang tersedia, serta pengalaman operator. Sesuai dengan
luasnya infeksi atau luas kerusakan yang sudah terjadi, kadang-kadang dilakukan
kombinasi dari jenis operasi itu atau modifikasinya.

1. Mastoidektomi sederhana
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang dengan pengobatan
konservatif tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan pembersihan
ruang mastoid dari jaringan patologik. Tujuannya ialah supaya infeksi tenang
dan telinga tidak berair lagi. Pada operasi ini fungsi pendengaran tidak
diperbaiki.
2. Mastoidektomi radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK bahaya dengan infeksi atau
kolesteatoma yang sudah meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum
timpani dibersihkan dari semua jaringan patologik. Dinding batas antara liang
telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid diruntuhkan, sehingga
ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan.
Tujuan operasi ini ialah untuk membuang semua jaringan patologik dan
mencegah komplikasi ke intracranial. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
Kerugian operasi ini ialah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur
hidupnya. Pasien harus dating dengan teratur untuk kontrol, supaya tidak
terjadi infeksi kembali. Pendengaran berkurang sekali, sehingga dapat
menghambat pendidikan atau karir pasien.
Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur (graft) pada rongga
operasi serta membuat meatoplasti yang lebar, sehingga rongga operasi kering
permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus liang telinga luar
menjadi lebar.
3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi (operasi Bondy)
Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatoma di daerah atik,
tetapi belum merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan

31
dinding posterior liang telinga direndahkan. Tujuan operasi ini ialah untuk
membuang semua jaringan patologik dari rongga mastoid, dan
mempertahankan pendengaran yang masih ada.
4. Miringoplasti
Operasi ini merupakan jenis timpanoplasti yang paling ringan, dikenal
juga dengan nama timpanoplasti tipe I. rekonstruksi hanya dilakukan pada
membrane timpani. Tujuan operasi ini ialah untuk mencegah berulangnya
infeksi telinga tengah pada OMSK tipe aman dengan perforasi yang menetap.
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang sudah tenang dengan
ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi membrane timpani.
5. Timpanoplasti
Operasi ini dikerjakan pada OMSK tipe aman dengan kerusakan yang
lebih berat atau OMSK tipe aman yang tidak bias ditenangkan dengan
pengobatan medikamentosa. Tujuan operasi ini ialah untuk menyembuhkan
penyakit serta memperbaiki pendengaran. Pada operasi ini selain rekonstruksi
membrane timpani seringkali harus dilakukan juga rekonstruksi tulang
pendengaran. Berdasarkan bentuk rekonstruksi tulang pendengaran yang
dilakukan maka dikenal istilah timpanoplasti tipe II, III, IV, dan V. sebelum
rekonstruksi dikerjakan lebih dahulu eksplorasi kavum timpani dengan atau
tanpa mastoidektomi, untuk membersihkan jaringan patologis. Tidak jarang
pula operasi ini dilakukan dua tahap dengan jarak waktu 6 sampai dengan 12
bulan.

6. Timpanoplasti dengan pendekatan ganda (Combined Approach


Tympanoplasty)
Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan pada
kasus OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi
yang luas. Tujuan operasi untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki
pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa
meruntuhkan dinding posterior liang telinga). Membersihkan kolesteatoma
dan jaringan granulasi di kavum timpani, dikerjakan melalui dua jalan, yaitu
melalui liang telinga dan rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi
posterior.

32
33
BAB III
KESIMPULAN

Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan peradangan atau infeksi


kronis yang mengenai mukosa dan struktur tulang di dalam kavum timpani,
ditandai dengan perforasi membran timpani, sekret yang keluar terus-menerus
atau hilang timbul.
Klasifikasi OMSK dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu
A. Komplikasi di telinga tengah :
1. Perforasi membran timpani persisten
2. Erosi tulang pendengaran
3. Paralisis nervus fasialis
B. Komplikasi telinga dalam :
1. Fistula labirin
2. Labirinitis supuratif
3. Tuli saraf (sensorineural)
C. Komplikasi ekstradural :
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. petrositis
D. Komplikasi ke susunan saraf pusat :
1. Meningitis
2. Abses otak
3. Hindrosefalus otitis

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,


Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI, 2001.
2. Adams FL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. 6 th ed. Jakarta;
Balai Penerbit FKUI; 1997
3. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001.
4. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan
mastoid. Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit
THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997:
5. Farida et al. Alergi Sebagai Faktor Resiko Terhadap Kejadian Otitis Media
Supuratif Kronik Tipe Benigna. Medical Faculty of Hasanuddin. 2009.

6. Djaafar ZA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
leher. Edisi 6. 2007. Jakarta : FKUI.

7. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid.
Boies, Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. 2014. Jakarta:EGC

8. Rasad, Sjahriar. Pemeriksaan Radiologik Mastoid. Radiologi Diagnostik


Edisi Kedua. 2013. Jakarta : EGC

35

Anda mungkin juga menyukai