Disusun oleh:
42170170
Dosen Pembimbing :
YOGYAKARTA
2018
I. IDENTITAS
Nama : Bp. THS
Umur : 58 tahun
Alamat : Suryomentaraman, Panembahan, Kraton
Pekerjaan : Pensiunan
Masuk RS : 10 Juli 2018
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : nyeri dada
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk IGD RS Bethesda pada hari Selasa tanggal 10 Juli 2018 dengan keluhan
nyeri dada. Nyeri dada dirasakan sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit (9 Juli 2018)
sekitar pukul 18.00. Nyeri dada terlebih disebelah kiri dan terasa seperti tertindih. Nyeri
dada sempat mereda namun memberat kembali. Selama nyeri dada, pasien sempat muntah
satu kali. Selain nyeri dada, pasien juga mengeluhkan sesak nafas yang sudah dirasakan
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluarga pasien menceritakan, sudah satu bulan
terakhir pasien sering tersedak dan diikuti oleh sesak. Keluarga juga mengamati bahwa
pasien kadang-kadang batuk terutama malam hari, tidak ada keluhan BAK dan BAB. Pasien
merupakan rujukan dari RS Bethesda Lempuyangwangi dengan alasan rujuk membutuhkan
ruangan dan perawatan intensif.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi yang telah diderita sejak tahun 2007. Obat yang
rutin dikonsumsi sejak itu adalah amlodipin. Pada Oktober 2014 pasien pernah dirawat
karena mengeluhkan tangan dan kaki kiri lemas serta perot, dan terdiagnosis stroke non
hemoragik. Setelah itu pasien hanya kontrol beberapa kali dan tidak meneruskan
pengobatan. Sejak pasien terdiagnosis stroke non hemoragik, pasien hanya bedrest dengan
ketergantungan total. Dua tahun setelah itu, pada bulan Maret 2016 pasien kembali dirawat
dengan keluhan sesak nafas dan terdiagnosis CHF.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga tidak diketahui oleh pasien.
Gaya Hidup
Sebelum terkena stroke, pasien sehari-hari bertukang dan pada malam harinya
berdagang. Pasien sudah sekita 4 tahun bedrest. Pola makan pasien cukup buruk, sering
makan-makanan bersantan atau daging merah, minum air putih 3 liter sehari, dan riwayat
merokok sejak muda. Hubungan pasien dan keluarga tampak baik, selama dirawat di RS
pasien ditemani oleh istri dan anaknya
3 2
3 2
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN EKG
Interpretasi EKG:
Irama sinus, dengan heart rate 125x/ menit, reguler
Normoaksis (Lead I (+), Lead aVF (+))
Gelombang P durasi > 200 ms, didapatkan gelombang P ektopik lead I.
PR interval normal
Kompleks QRS durasi 120 ms dengan :
- Q patologis lead V1-6
- S wave V1 + R wave V6 > 35
- Susp. poor R wave progression
Segmen ST depresi dan asimetrik T wave inverted pada lead V5-6
Segmen ST elevasi pada lead V1-4
Kesan : left atrial enlargement, left ventricular hypertrophy tipe volume dan strain, STEMI
anteroseptal.
FOTO THORAKS
KRITERIA SCORE
Age 0
Diabetes, hypertension, or angina 1
Systolic BP < 100 mmHg 0
Heart rate > 100 2
Killip class II-IV 2
Weight < 67 kg 0
Anterior ST elevation or LBBB 1
Time to treatment > 4 hours 1
TOTAL 7
23,4% risk of all-
cause mortality at
30 days
GRACE SCORE
Prediktor Skor
Usia dalam Tahun
< 40 0
40 – 49 18
50 – 59 36
60 – 69 55
70 – 79 73
80 91
Laju Denyut Jantung (kali per menit)
< 70 0
70 – 89 7
90 – 109 13
110 – 149 23
150 – 199 36
> 200 46
Tekanan Darah Sistolik (mmHg)
< 80 63
80 – 99 58
100 – 119 47
120 – 139 37
140 – 159 26
160 – 199 11
>200 0
Kreatinin (µmol/L)
0 - 34 2
35 – 70 5
71 – 105 8
106 – 140 11
141 – 176 14
177 – 353 23
≥ 354 31
Gagal Jantung Berdasarkan Klasifikasi Killip
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti Jantung Saat Tiba di RS -
Peningkatan Marka Jantung 15
Deviasi Segmen ST 12
V. DIAGNOSIS KERJA
1. STEMI anteroseptal
2. CHF NYHA III-IV
3. Acute Renal Failure
4. Diabetes Mellitus
VI. PENATALAKSANAAN
1. STEMI anteroseptal
Initial Terapi
O2 4L/menit
Aspirin 160-320mg
Nitrogliserin
Maintenance Terapi
Aspirin 1 x 80mg
Clopidogrel 1 x 75mg
Concor 1 x 2,5mg
Atorvastatin 1 x 20mg
Ramipril 1 x 5mg
ISDN 3 x 5mg
2. CHF
Spironolakton 1 x 25 mg
Ramipril 1x 5mg
Concor 2,5 mg 1 x 1
3. Diabetes Mellitus
Metformin 500 mg 3 x 1
Acarbose 50 mg 2 x 1
4. Acute Renal Failure
HD dengan UFG 2000ml
TINJAUAN PUSTAKA
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu kegawatan kardiovaskular yang memiliki
potensi komplikasi yang dapat berakibat fatal. SKA terutama infark miokard, merupakan penyebab
utama kejadian henti jantung mendadak yang disebabkan aritmia maligna yang terjadi saat serangan.
Pengertian SKA merujuk pada sekumpulan keluhan dan tanda klinis yang sesuai dengan iskemia
miokard akut. Sindroma koroner akut merupakan suatu spektrum dalam perjalanan penderita
penyakit jantung koroner (arterosklerosis koroner). SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil
(APTS), infark miokard akut non elevasi segmen ST (IMA NEST/NSTEMI) dan infark miokard
akut dengan elevasi segmen ST ( IMA EST/STEMI) dan atau kematian jantung mendadak.
PATOFISIOLOGI
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang
koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus
yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi
jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan
menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi
mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang
berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark
miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi
subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan
nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan
kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia
dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel).
Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa
faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.
DIAGNOSIS
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan
nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan SKA,
dan Definitif SKA .
5.1. Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal)
atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal,
sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina
tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa
lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia
muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun,
atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut
dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual
tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan
karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas koroner,
atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK
dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP
(National Cholesterol Education Program)
5.2. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi
iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut,
suara jantung Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri,
leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten atau persisten (>20 menit);
sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop tiga (S3), ronkhi
basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus
atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena
perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam
memikirkan diagnosis banding SKA.
5.3. Pemeriksaan elektrokardiogram.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia
harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat
darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua
pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu,
sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di
ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu:
normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen
ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa
inversi gelombang T. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di
sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang
usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan
V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai
ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang
berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI
kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen
ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien
tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk
STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3, V4 Ventrikel kanan
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB
baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan
kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini
disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah
untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks
QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang
persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau
Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia
adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan
depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (2 sadapan
berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk
iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik
dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.
5.4. Pemeriksaan marka jantung.
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung
dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab
nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh
sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi
ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin
I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi
pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan
informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal.
Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan
kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam
setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat
dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah)
dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih
terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan di
ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes
kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing
sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral
memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil
negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal pada saat
evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. Marka jantung normal
Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau inversi T yang
diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung
Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung normal perlu
menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif SKA dan angina tipikal dengan gambaran
EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit dalam ruang intensive cardiovascular
care (ICVCU/ICCU).
5.5. Pemeriksaan laboratorium.
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat
darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal,
dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.
5.6. Pemeriksaan foto polos dada.
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk
tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat
portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan
penyakit penyerta.
TINDAKAN UMUM DAN LANGKAH AWAL
Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan diagnosis
kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal
adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas
dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA),
yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring (Kelas I-C)
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <95%
atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa
mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi
sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C)
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x
90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik (Kelas I-B)
atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada
pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). Jika nyeri dada tidak hilang dengan satu
kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena
diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas I-C).
dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).
GAGAL JANTUNG
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung,
sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.
Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi
kanan.
DAN
Tanda khas Gagal Jantung : Takikardia, takipneu, ronki paru, efusi pleura, peningkatan tekanan vena
jugularis, edema perifer, hepatomegali
DAN
Tanda objektf gangguan struktur atau fungsional jantung saat istrahat, kardiomegali, suara jantung
ke tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptida
natriuretik
Gejala Tanda
Tipikal: Spesifik
Sesak nafas Peningkatan JVP
Ortopneu Refluks hepatojugular
Paroxysmal nocturnal dyspnoe Suara jantung S3 (gallop)
Toleransi aktifitas yang berkurang Apex jantung bergeser ke lateral
Cepat lelah Bising jantung
Begkak di pergelangan kaki
Kurang tipikal Kurang tipikal
Batuk di malam / dini hari Edema perifer
Mengi Krepitasi pulmonal
Berat badan bertambah > 2 kg/minggu Sura pekak di basal paru pada perkusi
Berat badan turun (gagal jantung stadium Takikardia
lanjut) Nadi ireguler
Perasaan kembung/ begah Nafas cepat
Nafsu makan menurun Hepatomegali
Perasaan bingung (terutama pasien usia Asites
lanjut) - Depresi Berdebar Kaheksia
I. ETIOLOGI
Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya
kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup
aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
Aterosklerosis koroner
mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi
hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung
menyebabkan kontraktilitas menurun.
Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot
jantung (peningkatan afterload), mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung. Efek tersebut
(hipertropi miokard) dianggap sebagai kompensasi karena meningkatkan kontraktilitas jantung,
karena alasan yg tidak jelas hipertropi otot jantung dapat berfungsi secara normal, akhirnya terjadi
gagal jantung.
Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langsung
mempengaruhi jantung. Mekanisme yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang
masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidak mampuan jantung untuk mengisi darah
(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak after
load.
Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung.
Meningkatnya laju metabolisme (misal : demam, tirotoksikosis ), hipoksia dan anemia memerlukan
peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga
dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas
elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang Tidak terdapat batasan dalam melakukan
menjadi gagal jantung. Tidak terdapat aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak
gangguan struktural atau fungsional jantung, menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak
tidak terdapat tanda atau gejala nafas
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur jantung Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak
yang berhubungan dengan perkembangan terdapat keluhan saat istrahat, namun aktifitas
gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simtomatik berhubungan Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak
dengan penyakit struktural jantung yang terdapat keluhan saat istrahat, tetapi aktfitas
mendasari fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi
atau sesak
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa
gagal jantung yang sangat bermakna saat keluhan. Terdapat gejala saat istrahat.
istrahat walaupun sudah mendapat terapi Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas
medis maksimal (refrakter)
A. Kriteria Framingham : Diagnosis CHF ditegakkan apabila terdapat 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor + 2 Kriteria minor
Kriteria Mayor
Kriteria Minor
Batuk malam hari
Efusi pleura
Takikardi (hingga >120 kali per menit)
Edema pada kedua pergelangan kaki (angkle edema)
Penurunan kapasitas vital paru sepertiga dari nilai maksimum (menggunakan spirometri)
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal jantung.
Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG
normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).
Tabel 5 : Abnormalitas foto thoraks yang sering ditemukan pada gagal jantung
Pemeriksaan Biomarker
BNP > 400 pg/mL, NT proBNP > 2000 pg/mL meningkatnya nilai BNP/NT pro BNP
karena Tekanan dinding ventrikel meningkat, Oleh karena itu diagnosis Sangat mungkin gagal
jantung
Ekokardiografi
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan
ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal
jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan
pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).
Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala berat
yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai
sedang tidak memberikan keuntungan klinis (kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C)
Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil. Program
latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A)
FARMAKOLOGI
Algoritme tatalaksana Farmakologik Congestive Heart Failure
PENYEKAT β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan kelangsungan hidup
Indikasi pemberian penyekat β
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik,
tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β
Asma
Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit)
ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat
(kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis
aldosterone mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan
kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosterone:
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosterone:
Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
Kombinasi ACEI dan ARB
DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama
sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)
Indikasi
Fibrilasi atrial dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat aktifitas> 110 -
120 x/menit
Irama sinus
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
Dosis optimalACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada indikasi.
Kontraindikasi
Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika
pasien diduga sindroma sinus sakit
Sindroma pre-eksitasi
Riwayat intoleransi digoksin
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk
mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus
diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi.
DAFTAR PUSTAKA
Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart J 2008;29:2388–442.
McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment
of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute
and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology. Developed in collaboration
with the Heart. Eur Heart J [Internet]
2013;32:e1–641 – e61. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22611136
Rydén L, Grant PJ, Anker SD, et al. ESC guidelines on diabetes, prediabetes,and cardiovascular
diseases developed in collaboration with the EASD. Eur Heart J 2013;34:3035–87.
Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC Guidelines for the
management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment
elevation The Task Force for the management of acute coronary syndromes (ACS) in patients
presenting without persistent ST-segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC).
European Heart Journal (2011) 32, 2999–3054