Anda di halaman 1dari 34

REFLEKSI KASUS KARDIOLOGI

STEMI ANTEROSEPTAL DENGAN CHF

Disusun oleh:

Angelica Safilia Lentikasari

42170170

Dosen Pembimbing :

dr. Lidwina BR Tarigan, Sp.JP (FIHA)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT BETHESDA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2018
I. IDENTITAS
Nama : Bp. THS
Umur : 58 tahun
Alamat : Suryomentaraman, Panembahan, Kraton
Pekerjaan : Pensiunan
Masuk RS : 10 Juli 2018

II. ANAMNESIS
 Keluhan utama : nyeri dada
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk IGD RS Bethesda pada hari Selasa tanggal 10 Juli 2018 dengan keluhan
nyeri dada. Nyeri dada dirasakan sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit (9 Juli 2018)
sekitar pukul 18.00. Nyeri dada terlebih disebelah kiri dan terasa seperti tertindih. Nyeri
dada sempat mereda namun memberat kembali. Selama nyeri dada, pasien sempat muntah
satu kali. Selain nyeri dada, pasien juga mengeluhkan sesak nafas yang sudah dirasakan
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluarga pasien menceritakan, sudah satu bulan
terakhir pasien sering tersedak dan diikuti oleh sesak. Keluarga juga mengamati bahwa
pasien kadang-kadang batuk terutama malam hari, tidak ada keluhan BAK dan BAB. Pasien
merupakan rujukan dari RS Bethesda Lempuyangwangi dengan alasan rujuk membutuhkan
ruangan dan perawatan intensif.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi yang telah diderita sejak tahun 2007. Obat yang
rutin dikonsumsi sejak itu adalah amlodipin. Pada Oktober 2014 pasien pernah dirawat
karena mengeluhkan tangan dan kaki kiri lemas serta perot, dan terdiagnosis stroke non
hemoragik. Setelah itu pasien hanya kontrol beberapa kali dan tidak meneruskan
pengobatan. Sejak pasien terdiagnosis stroke non hemoragik, pasien hanya bedrest dengan
ketergantungan total. Dua tahun setelah itu, pada bulan Maret 2016 pasien kembali dirawat
dengan keluhan sesak nafas dan terdiagnosis CHF.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga tidak diketahui oleh pasien.
 Gaya Hidup
Sebelum terkena stroke, pasien sehari-hari bertukang dan pada malam harinya
berdagang. Pasien sudah sekita 4 tahun bedrest. Pola makan pasien cukup buruk, sering
makan-makanan bersantan atau daging merah, minum air putih 3 liter sehari, dan riwayat
merokok sejak muda. Hubungan pasien dan keluarga tampak baik, selama dirawat di RS
pasien ditemani oleh istri dan anaknya

III. PEMERIKSAAN FISIK


 KU : lemah
 Kesadaran : compos mentis
 GCS : E4 V5 M-hemiparase sinistra
 Vital Sign : TD 150/90 mmHg
HR 114 x/menit, dextra et sinistra reguler, sama kuat
Rr 20 x/menit
T 36,70C
 Kepala : normocephali, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek pupil
direct dan indirect (+/+), mukosa bibir kering, otorea (-/-), nyeri tekan tragus (-)
 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5
± 2 cm
 Paru
o Inspeksi : simetris dekstra et sinistra, jejas (-), retraksi dinding dada (-),
menggunakan otot bantu napas (-)
o Palpasi : ketinggalan gerak (-), fremitus sama pada kedua paru, pengembangan
dada normal, tidak teraba massa
o Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
o Auskultasi : suara dasar vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi basah halus (+/+)
 Jantung
o Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak terlihat nampak pada dinding dada
o Palpasi : iktus cordis di SIC VI linea aksilla anterior sinistra
o Perkusi
 Batas kiri jantung atas SIC II linea midclavicularis sinistra
 Batas kiri jantung bawah SIC VI linea aksilla anterior
 Batas kanan jantung SIC II-IV linea parasternalis dekstra
o Auskultasi
 S1 terdengar tunggal, intensitas keras sama seperti S2
 S2 terdengar tunggal, dan splitting pada inspirasi, intensitas keras
 Suara tambahan : S3 (-), S4 (-)
 Abdomen : distensi (-), nyeri tekan (-), meteorismus (+)
 Ekstremitas :
o Inspeksi : edema ekstremitas superior (-/-), edema ekstremitas inferior (-/-),
jejas (-), deformitas (-), clubbing finger (-), sianosis (-)
o Palpasi : akral hangat, CRT < 2 detik, arteri radialis sinistra et dekstra teraba
kuat angkat, arteri dorsalis pedis dekstra et sinistra teraba

3 2

3 2
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Interpretasi

Hemoglobin 14,2 g/dL 11,7 – 15,5


Leukosit 4,8 ribu/mmk 4,5 – 11,5
Eritrosit 3,92 juta/mmk 4,20 – 5,40
Trombosit 169 ribu/mmk 150 – 450
HS Troponin 37,7 mg/L < 2, 2-99, > 100
CKMB 25,4 U/L 0 - 25
Ureum 38 mg/dl 17,0 – 54,0
Creatinine 0,5 mg/dl 0,55 – 1,02
Asam Urat 3,0 mg/dl
Elektrolit
Natrium 135,6 mmol/L 136 - 146
Kalium 3,63 mmol/L 3,5 – 5,1

Glukosa sesaat 100 Mg/dl 70-140


Analisis urine
Warna Kuning keruh Kuning
BJ 1,020 1,003 – 1,030
pH 6,50 5,0 – 8,5
Protein 2,7 Negatif
Glukosa 100 Negatif
Leko pucat +1 Negatif
Sel gliter Negatif Negatif
Leko gelap +2 Negatif
Eritrosit +4 Negatif
Epitel +3 Negatif
Ca Oxalat/Trip, fosfat Negatif Negatif
Urat Negatif Negatif

PEMERIKSAAN EKG
Interpretasi EKG:
 Irama sinus, dengan heart rate 125x/ menit, reguler
 Normoaksis (Lead I (+), Lead aVF (+))
 Gelombang P durasi > 200 ms, didapatkan gelombang P ektopik lead I.
 PR interval normal
 Kompleks QRS durasi 120 ms dengan :
- Q patologis lead V1-6
- S wave V1 + R wave V6 > 35
- Susp. poor R wave progression
 Segmen ST depresi dan asimetrik T wave inverted pada lead V5-6
 Segmen ST elevasi pada lead V1-4
Kesan : left atrial enlargement, left ventricular hypertrophy tipe volume dan strain, STEMI
anteroseptal.

FOTO THORAKS

- Tampak penonjolan pada proyeksi


aorta  sklerotik arkus aorta
- Tak tampak penonjolan pada
proyeksi arteri pulmonalis
- Tampak pinggang jantung melebar
 left ventricular hypertrophy
- Tampak gambaran double contour 
right ventricular hypertrophy
KLASIFIKASI KILLIP

KELAS KILLIP MORTALITAS RS (%)

I Tidak ada komplikasi 6


II Gagal jantung; ronkhi, S3, tanda bendungan paru 17
III Edema paru 38
IV Syok kardiogenik 81

TIMI SCORE FOR STEMI

KRITERIA SCORE

Age 0
Diabetes, hypertension, or angina 1
Systolic BP < 100 mmHg 0
Heart rate > 100 2
Killip class II-IV 2
Weight < 67 kg 0
Anterior ST elevation or LBBB 1
Time to treatment > 4 hours 1
TOTAL 7
23,4% risk of all-
cause mortality at
30 days

GRACE SCORE

Prediktor Skor
Usia dalam Tahun
< 40 0
40 – 49 18
50 – 59 36
60 – 69 55
70 – 79 73
80 91
Laju Denyut Jantung (kali per menit)
< 70 0
70 – 89 7
90 – 109 13
110 – 149 23
150 – 199 36
> 200 46
Tekanan Darah Sistolik (mmHg)
< 80 63
80 – 99 58
100 – 119 47
120 – 139 37
140 – 159 26
160 – 199 11
>200 0
Kreatinin (µmol/L)
0 - 34 2
35 – 70 5
71 – 105 8
106 – 140 11
141 – 176 14
177 – 353 23
≥ 354 31
Gagal Jantung Berdasarkan Klasifikasi Killip
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti Jantung Saat Tiba di RS -
Peningkatan Marka Jantung 15
Deviasi Segmen ST 12

TOTAL SKOR 144 (17%)

Prediksi Kematian dalam 6 Bulan setelah Keluar RS Berdasarkan Skor Grace

Skor Grace Risiko Mortalitas


≤ 88 Rendah (risiko kematian <3%)
89 - 118 Menengah (risiko kematian 3-8%)
>118 Tinggi (risiko kematian >8%)

V. DIAGNOSIS KERJA
1. STEMI anteroseptal
2. CHF NYHA III-IV
3. Acute Renal Failure
4. Diabetes Mellitus
VI. PENATALAKSANAAN

1. STEMI anteroseptal
Initial Terapi
O2 4L/menit
Aspirin 160-320mg
Nitrogliserin
Maintenance Terapi
Aspirin 1 x 80mg
Clopidogrel 1 x 75mg
Concor 1 x 2,5mg
Atorvastatin 1 x 20mg
Ramipril 1 x 5mg
ISDN 3 x 5mg
2. CHF
Spironolakton 1 x 25 mg
Ramipril 1x 5mg
Concor 2,5 mg 1 x 1
3. Diabetes Mellitus
Metformin 500 mg 3 x 1
Acarbose 50 mg 2 x 1
4. Acute Renal Failure
HD dengan UFG 2000ml
TINJAUAN PUSTAKA

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu kegawatan kardiovaskular yang memiliki
potensi komplikasi yang dapat berakibat fatal. SKA terutama infark miokard, merupakan penyebab
utama kejadian henti jantung mendadak yang disebabkan aritmia maligna yang terjadi saat serangan.
Pengertian SKA merujuk pada sekumpulan keluhan dan tanda klinis yang sesuai dengan iskemia
miokard akut. Sindroma koroner akut merupakan suatu spektrum dalam perjalanan penderita
penyakit jantung koroner (arterosklerosis koroner). SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil
(APTS), infark miokard akut non elevasi segmen ST (IMA NEST/NSTEMI) dan infark miokard
akut dengan elevasi segmen ST ( IMA EST/STEMI) dan atau kematian jantung mendadak.

PATOFISIOLOGI
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang
koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus
yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi
jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan
menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi
mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang
berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark
miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi
subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan
nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan
kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia
dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel).
Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa
faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

KLASIFIKASI SINDROM KORONER AKUT


Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan
pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation myocardial
infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian
oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan
menunggu hasil peningkatan marka jantung.
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman
EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang
datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangkan Angina
Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai
dengan peningkatan marka jantung.
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil
pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark
Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada
Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma
koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi
nilai normal atas (upper limits of normal, ULN). Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan
kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih
berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap
menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien
dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.

DIAGNOSIS
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan
nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan SKA,
dan Definitif SKA .
5.1. Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal)
atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal,
sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina
tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa
lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia
muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun,
atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut
dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual
tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan
karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas koroner,
atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK
dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP
(National Cholesterol Education Program)
5.2. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi
iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut,
suara jantung Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri,
leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten atau persisten (>20 menit);
sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop tiga (S3), ronkhi
basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus
atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena
perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam
memikirkan diagnosis banding SKA.
5.3. Pemeriksaan elektrokardiogram.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia
harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat
darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua
pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu,
sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di
ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu:
normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen
ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa
inversi gelombang T. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di
sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang
usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan
V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai
ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang
berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI
kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen
ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien
tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk
STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.

Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG


Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark

V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3, V4 Ventrikel kanan

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB
baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan
kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini
disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah
untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks
QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang
persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau
Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia
adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan
depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (2 sadapan
berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk
iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik
dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.
5.4. Pemeriksaan marka jantung.
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung
dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab
nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh
sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi
ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin
I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi
pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan
informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal.
Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan
kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam
setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat
dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah)
dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih
terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan di
ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes
kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing
sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral
memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil
negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal pada saat
evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. Marka jantung normal
Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau inversi T yang
diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung
Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung normal perlu
menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif SKA dan angina tipikal dengan gambaran
EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit dalam ruang intensive cardiovascular
care (ICVCU/ICCU).
5.5. Pemeriksaan laboratorium.
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat
darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal,
dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.
5.6. Pemeriksaan foto polos dada.
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk
tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat
portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan
penyakit penyerta.
TINDAKAN UMUM DAN LANGKAH AWAL
Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan diagnosis
kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal
adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas
dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA),
yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring (Kelas I-C)
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <95%
atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa
mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi
sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C)
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x
90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik (Kelas I-B)
atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada
pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). Jika nyeri dada tidak hilang dengan satu
kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena
diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas I-C).
dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI SEGMEN ST


Karakteristik utama Sindrom Koroner Akut Segmen ST Elevasi adalah angina tipikal dan
perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI. Sebagian besar pasien
STEMI akan mengalami peningkatan marka jantung, sehingga berlanjut menjadi infark miokard
dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction, STEMI). Oleh karena itu pasien
dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil
pemeriksaan marka jantung tersedia.
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk diagnosis dan
pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah saat pasien pertama diperiksa oleh
paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien tiba di
unit gawat darurat, sehingga seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan. Diagnosis kerja infark
miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau
lebih yang tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri
ke leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG perlu
dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI. Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera
mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari
saat pasien tiba untuk mendukung penatalaksanaan yang berhasil.
Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia miokard yang
sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera. Sebisa mungkin, penanganan pasien
STEMI sebelum di rumah sakit dibuat berdasarkan jaringan layanan regional yang dirancang untuk
memberikan terapi reperfusi secepatnya secara efektif, dan bila fasilitas memadai sebanyak mungkin
pasien dilakukan IKP. Pusat-pusat kesehatan yang mampu memberikan pelayanan IKP primer harus
dapat memberikan pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat memulai IKP primer
sesegera mungkin di bawah 90 menit sejak panggilan inisial.
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan pasien
STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang terjadi dan berusaha untuk mencapai
dan mempertahankan target kualitas berikut ini: 1. Waktu dari kontak medis pertama hingga
perekaman EKG pertama ≤10 menit 2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi
reperfusi:
• Untuk fibrinolisis ≤30 menit
• Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan awitan kurang dari 120
menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu melakukan IKP)
TERAPI REPERFUSI
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk semua
pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left
Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP
primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang
berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan
EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah
sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada,
pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut
apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan
adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke
pusat dengan fasilitas IKP.
2.1 Intervensi koroner perkutan primer
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan fibrinolisis
apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama.
IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik,
kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan
awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP
primer.
Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total
lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah
maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi
antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap
pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS)
2.1.1. Farmakoterapi periprosedural
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda
(DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi (Kelas
I-A), disertai dengan antikoagulan intravena (Kelas I-C). Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160-
320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari) (Kelas
I-B).
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600 mg diikuti
150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau diindikasikontrakan (Kelas I-C).
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain:
1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa rutin)
harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau enoksaparin (Kelas I-C).
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat lebih dipilih
dibandingkan heparin yang tidak terfraksi (Kelas IIb-B).
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer (Kelas III-B). 4. Tidak disarankan
menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan untuk IKP primer (Kelas III-A).
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan untuk IKP
primer (Kelas III-A).
2.2 Terapi fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempattempat yang
tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik
direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi
kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak
kontak medis pertama (Kelas I-A). Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan
gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan
bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit (Kelas IIa-B).
Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase) (Kelas I-B). Aspirin oral
atau intravena harus diberikan (Kelas I-B). Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan
untuk aspirin (Kelas I-A).
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik
hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari (Kelas I-A).
Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi)
(Kelas I-A).
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan infus
selama 3 hari (Kelas I-C).
TERAPI JANGKA PANJANG
Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien yang telah pulih
dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya dan kematian prematur, perlu
dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan jangka
panjang ini peran dokter umum lebih besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan dari saat
pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan gaya hidup sebelum pasien
dipulangkan.
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok, dengan ketat
(Kelas I-B)
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan tanpa henti (Kelas
I-A)
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12 bulan setelah
STEMI (Kelas I-C)
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien dengan gagal
ginjal atau disfungsi ventrikel kiri (Kelas I-A)
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera mungkin sejak
datang (Kelas I-C)
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien masuk rumah sakit
bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi, tanpa memandang nilai kolesterol
inisial (Kelas I-A)
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal ginjal,
disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-A). Sebagai alternatif
dari ACE-I, ARB dapat digunakan (Kelas I-B).
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal ginjal atau
diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia (Kelas I-B).

GAGAL JANTUNG

Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung,
sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.
Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi
kanan.

Tabel I : Tanda & Gejala Gagal jantung

Definisi gagal jantung


Gagal jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien dengan tampilan seperti :
Gejala khas gagal jantung : Sesak nafas saat istrahat atau aktifitas, kelelahan, edema tungkai

DAN
Tanda khas Gagal Jantung : Takikardia, takipneu, ronki paru, efusi pleura, peningkatan tekanan vena
jugularis, edema perifer, hepatomegali
DAN
Tanda objektf gangguan struktur atau fungsional jantung saat istrahat, kardiomegali, suara jantung
ke tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptida
natriuretik

Tabel II : Manifestasi klinis Gagal Jantung

Gejala Tanda
Tipikal: Spesifik
 Sesak nafas  Peningkatan JVP
 Ortopneu  Refluks hepatojugular
 Paroxysmal nocturnal dyspnoe  Suara jantung S3 (gallop)
 Toleransi aktifitas yang berkurang  Apex jantung bergeser ke lateral
 Cepat lelah  Bising jantung
 Begkak di pergelangan kaki
Kurang tipikal Kurang tipikal
 Batuk di malam / dini hari  Edema perifer
 Mengi  Krepitasi pulmonal
 Berat badan bertambah > 2 kg/minggu  Sura pekak di basal paru pada perkusi
 Berat badan turun (gagal jantung stadium  Takikardia
lanjut)  Nadi ireguler
 Perasaan kembung/ begah  Nafas cepat
 Nafsu makan menurun  Hepatomegali
 Perasaan bingung (terutama pasien usia  Asites
lanjut) - Depresi Berdebar  Kaheksia

I. ETIOLOGI
Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya
kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup
aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
Aterosklerosis koroner
mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi
hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung
menyebabkan kontraktilitas menurun.
Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot
jantung (peningkatan afterload), mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung. Efek tersebut
(hipertropi miokard) dianggap sebagai kompensasi karena meningkatkan kontraktilitas jantung,
karena alasan yg tidak jelas hipertropi otot jantung dapat berfungsi secara normal, akhirnya terjadi
gagal jantung.
Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langsung
mempengaruhi jantung. Mekanisme yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang
masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidak mampuan jantung untuk mengisi darah
(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak after
load.
Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung.
Meningkatnya laju metabolisme (misal : demam, tirotoksikosis ), hipoksia dan anemia memerlukan
peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga
dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas
elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung.

II. KLASIFIKASI GAGAL JANTUNG


Klasifikasi berdasarkan kelainan Klasifikasi berdasarkan kapsitas
struktural jantung fungsional (NYHA)

Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang Tidak terdapat batasan dalam melakukan
menjadi gagal jantung. Tidak terdapat aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak
gangguan struktural atau fungsional jantung, menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak
tidak terdapat tanda atau gejala nafas

Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur jantung Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak
yang berhubungan dengan perkembangan terdapat keluhan saat istrahat, namun aktifitas
gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simtomatik berhubungan Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak
dengan penyakit struktural jantung yang terdapat keluhan saat istrahat, tetapi aktfitas
mendasari fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi
atau sesak
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa
gagal jantung yang sangat bermakna saat keluhan. Terdapat gejala saat istrahat.
istrahat walaupun sudah mendapat terapi Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas
medis maksimal (refrakter)

III. DIAGNOSIS GAGAL JANTUNG


Penilaian klinis yang teliti diperlukan untuk mengetahui penyebab gagal jantung, karena
meskipun terapi gagal jantung umumnya sama bagi sebagain besar pasien, namun keadaan
tertentu memerlukan terapi spesifik dan mungkin penyebab dapat dikoreksi. Diagnosis gagal
jantung dapat ditegakkan menggunakan teknik diagnostic dan menggunakan kriteria
Framingham

A. Kriteria Framingham : Diagnosis CHF ditegakkan apabila terdapat 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor + 2 Kriteria minor

Kriteria Mayor

 Paroxysmal nocturnal dyspnea


 Distensi vena di leher
 Rakles (ronkhi kering)
 Acute pulmonary edema
 Hepatojugular Reflux
 S3 Gallop
 Radiographic cardiomegaly
 Berat badan berkurang 4,5 kg dalam 5 hari (sesudah diberi terapi CHF)
 Central venous pressure (CVP) lebih dari 16 cm

Kriteria Minor
 Batuk malam hari
 Efusi pleura
 Takikardi (hingga >120 kali per menit)
 Edema pada kedua pergelangan kaki (angkle edema)
 Penurunan kapasitas vital paru sepertiga dari nilai maksimum (menggunakan spirometri)

Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal jantung.
Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG
normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).

Tabel 4 : Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung

Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis

Sinus takikardia Gagal jantung dekompensasi, Penilaian klinis


anemia, demam, Pemeriksaan laboratorium
hipertroidisme

Sinus Bradikardia Obat penyekat β, anti aritmia, Evaluasi terapi obat


hipotiroidisme, sindroma sinus Pemeriksaan laboratorium
sakit

Atrial takikardia / flutter / Hipertiroidisme, infeksi, gagal Perlambat konduksi AV,


fibrilasi jantung dekompensasi, infark konversi medik, elektroversi,
miokard ablasi kateter, antikoagulasi

Aritmia ventrikel Iskemia, infark, Pemeriksaan laboratorium, tes


kardiomiopati, miokardits, latihan beban, pemeriksaan
hipokalemia, perfusi, angiografi koroner,
hipomagnesemia, overdosis ICD
digitalis

Iskemia / Infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin,


Angiografiikoroner, 6 |
Pedoman Tatalaksana Gagal
Jantung revaskularisas

Gelombang Q Infark, kardiomiopati Ekokardiografi, angiografii


hipertrofi, LBBB, preexitasi koroner

Hipertrofi ventrikel kiri Hipertensi, penyakit katup Ekokardiografi, doppler


aorta, kardiomiopati hipertrofi

Blok Atrioventrikular Infark miokard, Intoksikasi Evaluasi penggunaan obat,


obat, miokarditis, sarkoidosis, pacu jantung, penyakit
Penyakit Lyme sistemik
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, efusi Ekokardiograf, rontgen
perikard, amiloidosis thoraks
Durasi QRS > 0,12 detik Disinkroni elektrik dan Ekokardiograf, CRT-P, CRT-
dengan morfologi LBBB mekanik D
LBBB = Lef Bundle Branch Block; ICD = Implantable Cardioverter Defbrillator CRT-P =
Cardiac Resynchronizaton Therapy-PACEImaker; CRT-D = Cardiac Resynchronizaton Therapy-
Defbrillator
Foto Thoraks

Tabel 5 : Abnormalitas foto thoraks yang sering ditemukan pada gagal jantung

Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis

Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekokardiograf, doppler


ventrikel kanan, atria,
efusi perikard

Hipertrofi ventrikel Hipertensi, stenosis Ekokardiografi, doppler


aorta,

Tampak paru normal Kardiomiopati hipertrofi Nilai ulang diagnosis


Bukan kongesti paru

Kongesti vena paru Peningkatan tekanan Mendukung diagnosis


Pengisian ventrikel kiri gagal jantung kiri

Edema interstitial Peningkatan tekanan Mendukung diagnosis


Pengisian ventrikel kiri gagal jantung kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan etologi nonkardiak
peningkatan tekanan jika efusiBanyak
pengisian jika efusi
bilateral, Infeksi paru, pasca
bedah/ keganasan

Garis Kerley B Peningkatan tekanan Mitral stenosis/gagal


limfatik jantung kronik

Pemeriksaan Biomarker
BNP > 400 pg/mL, NT proBNP > 2000 pg/mL meningkatnya nilai BNP/NT pro BNP
karena Tekanan dinding ventrikel meningkat, Oleh karena itu diagnosis Sangat mungkin gagal
jantung

Ekokardiografi
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan
ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal
jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan
pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).

IV. TATALAKSANA GAGAL JANTUNG


NON FARMAKOLOGI
Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien.
Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi farmakologi maupun non-
farmakologi

Pemantauan berat badan mandiri


Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan > 2
kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertimbangan dokter (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti C)

Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala berat
yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai
sedang tidak memberikan keuntungan klinis (kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C)

Pengurangan berat badan


Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C)

Kehilangan berat badan tanpa rencana


Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.Kaheksia jantung
(cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka kelangsungan hidup.Jika selama 6
bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan,
pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti C)

Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil. Program
latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A)

FARMAKOLOGI
Algoritme tatalaksana Farmakologik Congestive Heart Failure

ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)


Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik
dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema, oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi
ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Stenosis aorta berat

PENYEKAT β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan kelangsungan hidup
Indikasi pemberian penyekat β
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik,
 tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β
 Asma
 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit)

ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat
(kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis
aldosterone mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan
kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosterone:
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosterone:
 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB

ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)


Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β
dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung ARB direkomedasikan sebagai alternative pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini,
ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II
- IV NYHA) yang intoleran ACEI
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik
sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI

HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-ISDN
digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa,
tingkatan bukti B). Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN:
 Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
 Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi
 Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan ARB atau
antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Hipotensi simtomatik
 Sindroma lupus
 Gagal ginjal berat

DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama
sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)
Indikasi
 Fibrilasi atrial dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat aktifitas> 110 -
120 x/menit
 Irama sinus
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
 Dosis optimalACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada indikasi.

Kontraindikasi
 Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika
 pasien diduga sindroma sinus sakit
 Sindroma pre-eksitasi
 Riwayat intoleransi digoksin
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk
mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus
diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi.

DAFTAR PUSTAKA

Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart J 2008;29:2388–442.
McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment
of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute
and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology. Developed in collaboration
with the Heart. Eur Heart J [Internet]
2013;32:e1–641 – e61. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22611136

Rydén L, Grant PJ, Anker SD, et al. ESC guidelines on diabetes, prediabetes,and cardiovascular
diseases developed in collaboration with the EASD. Eur Heart J 2013;34:3035–87.

Piña I. Acute HF: Guidance on Reducing Readmissions [Internet].


2013 [cited 2015 Feb 21];Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/777325

Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC Guidelines for the
management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment
elevation The Task Force for the management of acute coronary syndromes (ACS) in patients
presenting without persistent ST-segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC).
European Heart Journal (2011) 32, 2999–3054

Anda mungkin juga menyukai