Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

ENDOMETRIOSIS

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik

Di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. A. Hardiyanto, Sp.OG

Disusun Oleh :

Effitra Febrina H2A013030P

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Obstetri dan Ginekologi

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGUREJO SEMARANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

Endometriosis merupakan kelainan ginekologik jinak yang sering diderita


oleh perempuan usia reproduksi yang ditandai dengan adanya glandula dan stroma
endometrium di luar letaknya yang normal. Endometriosis sering didapatkan pada
peritoneum pelvis tetapi juga didapatkan pada ovarium, septum rektovaginalis,
ureter, tetapi jarang pada vesika urinaria, pericardium, dan pleura. Endometriosis
merupakan penyakit yang pertumbuhannya tergantung pada hormon estrogen.1

Insidensi endometriosis sulit dikuantifikasi oleh karena sering gejalanya


asimtomatis dan pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis
sensitifitasnya rendah. Perempuan dengan endometriosis bisa tanpa gejala,
subfebril atau menderita rasa sakit pada daerah pelvis terutama waktu menstruasi
(dismenorea). Pada perempuan endometriosis yang asimtomatis prevalensinya
sekitar 2 sampai 22% tergantung pada populasinya. Oleh karena berkaitan dengan
infertilitas dan rasa sakit di rongga panggul, prevalensinya bisa meningkat 20
sampai 50%.1

Selain mempengaruhi kesehatan fisik, endometriosis juga dapat


mengurangi produktifitas kerja seorang wanita. Dari penelitian didapatkan bahwa
wanita dengan endometriosis lebih banyak absen saat bekerja dibandingkan dengan
wanita yang memiliki gejala namun tanpa endometriosis.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Endometriosis adalah penyakit inflamasi jinak terkait estrogen
dimana terdapat pertumbuhan ektopik dari jaringan endometrium.
Implantasi biasanya terjadi pada pelvis, tapi juga bisa ditemukan pada perut
bagian atas, paru-paru, diafragma, dan sistem saraf pusat. Endometriosis
yang paling sering terjadi pada ovarium, posterior/anterior cul-de-sac,
ligament uterosakral, tuba fallopi, kolon sigmoid, dan appendiks.
Endometriosis paling sering ditemukan pada perempuan yang melahirkan
di atas usia 30 tahun disertai dengan gejala menoragia dan dismenorea yang
progresif.1,3

B. Patogeneris
Patogenesis dari endometriosis masih belum diketahui secara pasti
namun terdapat beberapa teori yang mendukung, termasuk retrograde
menstruation, altered immunity, coelomic metaplasia, dan metastatic
spread. Penelitian terbaru juga mengusulkan teori stem sel dan genetik asal
dari penyakit.
1. Retrograde Menstruation
Teori yang paling diterima adalah retrograde menstruation,
diusulkan oleh Sampson pada tahun 1920-an dan menyatakan bahwa
jaringan endometrium diangkut secara retrograde melalui tuba
fallopi ke dalam rongga peritoneum. Sel-sel endometrium kemudian
menempel pada sel mesotelial peritoneum.3
2. Patoimunologi
Wanita dengan endometriosis memiliki imun abnormal.
Reaksi abnormal imunologi yang tidak berusaha membersihkan
refluks haid dalam rongga peritoneum, malah memfasilitasi
terjadinya endometriosis. Apoptosis sel-sel endometrium ektopik
menurun. Pada endometriosis ditemukan adanya peningkatan
jumlah makrofag dan monosit di dalam cairan peritoneum, yang
teraktivasi menghasilkan faktor pertumbuhan dan sitokin yang
merangsang tumbuhnya endometrium ektopik.1
Dijumpai adanya peningkatan aktivitas aromatase intrinsic
pada sel endometrium ektopik menghasilkan estrogen lokal yang
berlebihan, sedangkan respons sel endometrium ektopik terhadap
progesterone menurun.1
Peningkatan interleukin-1 (IL-1) dapat meningkatkan
perkembangan endometriosis dan merangsang pelepasan faktor
angiogenik (VEGF), IL-6, IL-8 dan merangsang pelepasan
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang membantu sel
endometrium yang refluks ke dalam rongga peritoneum terlepas dari
pengawasan imunologis. Interleukin-8 merupakan suatu sitokin
angiogenik yang kuat. IL-8 merangsang perlengketan sel stroma
endometrium ke protein matrix extracellular, meningkatkan
aktivitas matrix metalloproteinase yang membantu implantasi dan
pertumbuhan endometrium ektopik.1
3. Koelemik Metaplasia
Teori koelemik metaplasia, di mana akibat stimulus tertentu
terutama hormon, sel mesotel dapat mengalami perubahan menjadi
sel endometrium ektopik. Teori ini terbukti dengan ditemukannya
endometriosis pada perempuan premenarke dan pada daerah yang
tidak berhubungan langsung dengan refluks haid seperti di rongga
paru. Di samping itu, endometrium eutopik dan ektopik adalah dua
bentuk yang jelas berbeda, baik secara morfologi maupun
fungsional. Penyebaran dapat terjadi melalui saluran limfe dan
pembuluh darah.1,3
4. Stem sel
Diduga, perkembangan de novo jaringan endometrium
terjadi dari sel punca endogen di endometrium. Sel-sel yang berasal
dari sumsum tulang dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel
endometrium dan secara khusus dapat terlibat dalam perkembangan
implantasi endometrium ektopik. Jika benar, hal ini dapat membantu
menjelaskan bagaimana jaringan ektopik dapat terjadi pada lokasi
diluar rongga peritoneal seperti paru-paru dan sistem saraf pusat.
Bukti bahwa sel endometrium dapat berasal dari sel punca
mesenkim sumsum tulang berasal dari penelitian dari resipien
transplantasi sumsum tulang alogenik yang menerima sumsum dari
donor terkait antigen tunggal yang tidak cocok, yang
memungkinkan sel untuk diidentifikasi oleh tipe antigen leukosit
manusia. Penelitian ini menunjukkan adanya sel endometrium yang
diturunkan dari donor dalam biopsi endometrium dari resipien.
Penemuan ini menunjukkan bahwa sel punca yang berasal dari
sumsum tulang dapat berdiferensiasi menjadi endometrium
manusia. Sebuah penelitian tambahan pada tahun 2007
menggunakan model murine dan sel-sel sumsum tulang seorang
laki-laki ditransplantasikan ke dalam sumsum tulang perempuan.3
Setelah transplantasi, donor laki-laki yang berasal dari sel
sumsum tulang (dikenali oleh kromosom Y) ditemukan di
endometrium uterus dan telah berdiferensiasi menjadi sel epidermis
dan stroma. Ini adalah bukti bahwa sel punca sumsum tulang dari
donor laki-laki dapat menghasilkan endometrium de novo dan
membuktikan asal mesenkimalnya. Penelitian ini juga menunjukkan
kemampuan sel punca untuk menanamkan endometriosis dengan
menunjukkan adanya sel-sel yang berasal dari sumsum tulang pada
implant endometrium ektopik pada tikus yang sebelumnya
dilakukan histerektomi. Jaringan endometrium mampu menarik sel-
sel punca meskipun lokasinya ektopik. Bukti ini menunjukkan
bahwa sumber sel punca non-endometrium dapat menghasilkan sel-
sel endometrium baik di rahim dan ektopik. Hal ini menunjukkan
asal alternatif dari beberapa endometriosis, khususnya, dari sel-sel
yang berasal dari sumsum tulang.3
5. Genetik
Selama lebih dari 20 tahun, telah diketahui bahwa
endometriosis memiliki kecenderungan keluarga. Wanita yang
memiliki kerabat dengan endometriosis memiliki risiko 7 kali lebih
tinggi untuk berkembangnya endometriosis dibandingkan wanita
yang tidak memiliki riwayat penyakit keluarga.3

C. Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Diagnosis endometriosis harus dipertimbangkan pada setiap wanita
usia reproduktif yang memiliki keluhan nyeri di bagian pelvis. Keluhan
paling sering adalah dismenorea, dispareunia, dan nyeri punggung bawah
yang memberat selama menstruasi.
1. Dismenorea
Diagnosis dismenorea harus dipertimbangkan terutama jika pasien
mengalami nyeri saat haid tanpa riwayat nyeri haid sebelumnya.
Nyeri haid disebabkan oleh reaksi peradangan akibat sekresi sitokin
dalam rongga peritoneum, akibat perdarahan lokal pada sarang
endometriosis dan oleh adanya infiltrasi endometriosis ke dalam
saraf pada rongga panggul.1,4
2. Nyeri Pelvik
Akibat perlengketan, lama-lama dapat mengakibatkan nyeri pelvik
yang kronis. Rasa nyeri bisa menyebar jauh ke dalam panggul,
punggung, dan paha dan bahkan menjalar sampai ke rectum dan
diare. Dua per tiga perempuan dengan endometriosis mengalami
rasa nyeri intermenstrual.1
3. Dispareunia
Paling sering timbul terutama bila endometriosis sudah tumbuh di
sekitar kavum douglass dan ligamentum sakrouterina dan terjadi
perlengketan sehingga uterus dalam posisi retrofleksi.1
4. Diskezia
Keluhan sakit saat buang air besat bila endometriosis sudah tumbuh
dalam dinding rekto sigmoid dan terjadi hematokezia pada saat
siklus haid.1
5. Subfertilitas
Perlengketan pada ruang pelvis yang diakibatkan endometriosis
dapat mengganggu pelepasan oosit dari ovarium atau menghambat
perjalanan ovum untuk bertemu dengan sperma.1
Endometriosis meningkatkan volume cairan peritoneal,
peningkatan konsentrasi makrofag yang teraktivasi, prostaglandin,
interleukin-1, tumor nekrosis faktor dan protease. Cairan
peritoneum mengandung inhibitor penangkap ovum yang
menghambat interaksi normal fimbrial cumulus. Perubahan ini
dapat memberikan efek buruk bagi oosit, sperma, embrio, dan fungsi
tuba. Kadar tinggi nitric oxidase akan memperburuk motilitas
sperma, implantasi, dan fungsi tuba.1
Antibodi IgA dan IgG dan limfosit dapat meningkat di
endometrium perempuan yang terkena endometriosis. Abnormalitas
ini dapat mengubah reseptivitas endometrium dan implantasi
embrio. Autoantibodi terhadap antigen endometrium meningkat
dalam serum, implant endometrium, dan cairan peritoneum dari
penderita endometriosis. Pada penderita endometriosis dapat terjadi
gangguan hormonal (hiperprolaktinemia) dan ovulasi, termasuk
sindroma Luteinized Unruptured Follicle (LUF), defek fase luteal,
pertumbuhan folikel abnormal, dan lonjakan LH dini.1
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
endometriosis adalah ultrasonografi transvaginal, MRI (Magnetic
Resonance Imaging) dan pemeriksaan marka biokimiawi
1. Ultrasonografi
Ultrasonografi vaginal merupakan pemeriksaan penunjang
lini pertama yang mempunyai akurasi cukup baik terutama dalam
mendeteksi kista endometriosis. USG tidak memberikan hasil baik
untuk pemeriksaan endometriosis peritoneal. Pada endometriosis
dalam, angka sensitifitas dan spesifisitasnya bervariasi tergantung
lokasi lesi endometriosis.2
Ultrasonografi transvaginal juga dapat digunakan untuk
mendiagnosis endometriosis pada traktus gastrointestinal. Dari
review sistematis 1105 wanita didapatkan sensitivitas USG adalah
91 % dengan spesifisitas 98%, nilai duga positif 98% dan nilai duga
negatif 95%.2
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pada serial kasus yang dilaporkan oleh Stratton dkk mengenai
penggunaan MRI untuk mendiagnosis endometriosis peritoneum,
didapatkan sensitifitas 69% dan spesifisitas 75%. Sebagai
kesimpulan MRI tidak berguna untuk mendiagnosis atau
mengeksklusi endometriosis peritoneum.2
3. Pemeriksaan Marka Biokimiawi
Endometriosis merupakan kelainan yang disebabkan oleh
inflamasi. Sitokin, interleukin, dan TNF-α mempunyai peran dalam
pathogenesis endometriosis. Hal ini dilihat dari meningkatnya
sitokin dalam cairan peritoneal pada pasien dengan endometriosis.
Pemeriksaan IL-6 telah digunakan untuk membedakan wanita
dengan atau tanpa endometriosis, dan untuk mengidentifikasi
derajat dari endometriosis.2
Pada penelitian yang dilakukan pada 95 wanita, yang dibagi
dalam kelompok kontrol (30 orang), dan kelompok pasien dengan
endometriosis (65) yang terbagi dalam 2 derajat nyeri yaitu, ringan-
sedang (MM) dan berat (MS), didapatkan bahwa serum IL6 dan
TNF-α secara signifikan meningkat pada pasien dengan
endometriosis dibandingkan dengan kontrol (P < 0,001). Serum IL-
6 dan TNF-α secara signifikan meningkat pada pasien dengan
endometriosis MM, dibandingkan dengan pasien kontrol (P < 0,001)
dan dengan pasien endometriosis derajat MS (P < 0,006). Sedangkan
serum CA-125, Hs-CRP dan VEGF secara signifikan meningkat
pada pasien dengan endometriosis dengan endometriosis derajat MS
dibandingkan dengan pasien derajat MM (P < 0,01). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa IL-6 dan TNF-α merupakan penanda yang baik
untuk diagnosis endometriosis gejala ringan-sedang, karena
penanda tersebut meningkat pada derajat awal endometriosis.
Sedangkan CA125, Hs-CRP dan VEGF secara signifikan meningkat
pada kasus yang sudah lama terjadi, sehingga tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosis kasus baru endometriosis. Pada peneliatian ini,
pemeriksaan dilakukan pada sampel darah yang diambil dari pasien
pada saat puasa dan fase folekuler (hari ke 5-10), dan sampel cairan
peritoneum yang diambil dari kavum douglas.2

D. Klasifikasi
Sistem klasifikasi untuk endometriosis pertama kali dibuat oleh
American Fertility Society (AFS) pada tahun 1979, yang kemudian berubah
nama menjadi ASRM pada tahun 1996, klasifikasi ini kemudian direvisi
oleh AFS tahun 1985. Revisi ini memungkinakan pandangan tiga dimensi
dari endometriosis dan membedakan antara penyakit superfisial dan invasif.
Sayangnya, penelitian-penelitian menunjukkan bahwa kedua klasifikasi ini
tidak memberikan informasi prognostik. Pada tahun 1996, dalam usaha
untuk menemukan hubungan lebih lanjut penemuan secara operasi dengan
keluaran klinis, ASRM lalu merevisi sistem klasifikasinya, yang dikenal
dengan sistem skoring revised-AFS (r-AFS). Dalam sistem ini dibagi
menjadi empat derajat keparahan, yakni:2,4
Stadium I (minimal) :1–5
Stadium II (ringan) : 6 – 15
Stadium III (sedang) : 16 – 40
Stadium IV (berat) : > 40
Walaupun tidak ada perubahan staging dari klasifikasi tahun 1985,
sistem klasifikasi tahun 1996 memberikan deskripsi morfologi lesi
endometriosis, yakni putih, merah, dan hitam. Modifikasi ini didasarkan
dari beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa terjadi beberapa
aktivitas biokimia di dalam implan dan mungkin prognosis penyakit dapat
diprediksi melalui morfologi implant.2
Menurut ASRM, Endometriosis dapat diklasifikasikan kedalam 4
derajat keparahan tergantung pada lokasi, luas, kedalaman implantasi dari
sel endometriosis, adanya perlengketan, dan ukuran dari endometrioma
ovarium.2
Klasifikasi Enzian score dapat juga digunakan sebagai instrumen
untuk mengklasifikasikan endometriosis dengan infiltrasi dalam, terutama
difokuskan pada endometriosis bagian retroperitoneal yang berat. Pada
penelitian ini, didapatkan 58 pasien yang menurut Enzian Score
diklasifikasikan sebagai endometriosis dengan infiltrasi dalam, namun pada
AFS revisi tidak didiagnosis demikian.2
E. Tatalaksana
1. Terapi awal
Progestin, danazol, kontrasepsi oral kombinasi, NSAID, dan
agonis GnRH dapat digunakan sebagai tatalaksana nyeri pada
wanita yang dicurigai menderita endometriosis. Namun, tingkat
kekambuhan setelah pengobatan dihentikan cukup tinggi. Jika
inisial terapi tidak berhasil, dapat dilakukan laparoskopi diagnostik
untuk mengkonfirmasi diagnosis. Alternatif lainnya, terapi empiris
dengan pengobatan supresif dapat menjadi pilihan. Terapi empiris
dengan penggunaan agonis GnRH selama 3 bulan dapat diberikan
jika terapi awal dengan menggunakan kontrasepsi oral dan NSAID
tidak berhasil. Hal ini penting untuk dijelaskan kepada pasien bahwa
respon dari terapi empiris tidak digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis endometriosis.5
2. Tatalaksana pada endometriosis berulang
Pada wanita dengan riwayat endometriosis yang ingin
mempertahankan kesuburan mereka, NSAID atau kontrasepsi oral
kombinasi dapat digunakan untuk mengobati nyeri berulang.
Medroxyprogesterone acetate oral atau depot juga efektif. Jika
terapi tersebut tidak ada yang berhasil, progestin, agonis GnRH, dan
androgen dapat digunakan. Penggunaan levonorgestrel-releasing
intrauterine system (Mirena) mengurangi nyeri panggul yang terkait
dengan endometriosis, tetapi efek samping (misalnya perdarahan
tidak teratur, penambahan berat badan) sering terjadi.5
3. Pembedahan
Pada wanita dengan nyeri terkait endometriosis yang ingin
mempertahankan kesuburan mereka, ada perbaikan jangka pendek
yang signifikan pada nyeri setelah laparoskopi dan operasi
pengangkatan lesi. Namun, seperti halnya manajemen medis,
kekambuhan nyeri sering terjadi.5
Endometrioma dianggap sebagai hasil dari perkembangan
lesi ovarium yang membentuk kista. Kista ini dapat menyebabkan
nyeri dan infertilitas, dan berhubungan dengan peningkatan risiko
torsi dan ruptur. Namun, karena mereka melekat pada ovarium dan
korteks ovarium di mana oosit tertanam, pengangkatan
endometrioma membawa risiko bahwa jaringan normal juga akan
dihilangkan. Endometrioma harus dihilangkan pada wanita tanpa
riwayat endometriosis. Drainase sederhana dari endometrioma
dikaitkan dengan tingkat kekambuhan tinggi, oleh karena itu,
dianjurkan untuk dilakukan eksisi. Operasi ulang pada wanita
dengan endometrioma rekuren harus dipertimbangkan berdasarkan
kasus per kasus, karena dapat mengakibatkan penurunan atau
hilangnya total fungsi ovarium.5
Manajemen bedah definitif tepat untuk wanita yang tidak
ingin mempertahankan kesuburan dan dengan menggunakan terapi
konservatif medis dan bedah tidak berhasil. Histerektomi dengan
salpingo-ooforektomi bilateral umumnya dianggap sebagai terapi
definitif. Namun, pada wanita dengan ovarium normal, histerektomi
dengan konservasi ovarium dan pengangkatan lesi endometriosis
harus dipertimbangkan. Dalam sebuah penelitian terhadap 120
wanita yang menjalani eksisi endometrioma dan histerektomi
dengan atau tanpa ooforektomi, kebanyakan pasien tidak
memerlukan operasi ulang, bahkan dengan konservasi ovarium.5
4. Terapi pasca pembedahan
Terapi hormon dengan estrogen tidak dikontraindikasikan
setelah histerektomi dan salpingo-ooforektomi bilateral untuk
endometriosis. Endometriosis akan kambuh pada hingga 15 persen
wanita, terlepas dari apakah mereka menerima terapi estrogen pasca
operasi. Terapi hormon dapat menstimulasi pertumbuhan sisa
ovarium atau jaringan endometrium setelah histerektomi total dan
salpingooophorectomy bilateral. Ada juga kekhawatiran tentang
kemungkinan transformasi maligna yang diinduksi oleh estrogen
pada endometriosis residual; ini telah menyebabkan beberapa dokter
secara rutin merekomendasikan penambahan progestin pada terapi
estrogen. Namun, tidak ada bukti yang mendukung rekomendasi
ini.5
5. Terapi infertilitas terkait endometriosis
Terapi supresif, seperti kontrasepsi oral atau agonis GnRH,
tidak efektif untuk pengobatan infertilitas yang terkait dengan
endometriosis. Pembedahan meningkatkan angka kehamilan, tetapi
besarnya peningkatan tidak jelas. Eksisi endometrioma yang sangat
infiltratif dapat mempengaruhi kesuburan. Setelah kegagalan
operasi untuk infertilitas yang terkait dengan endometriosis,
fertilisasi in vitro lebih disukai daripada operasi berulang kecuali
masih ada keluhan nyeri. Operasi ovarium berulang memiliki efek
negatif yang signifikan pada hasil fertilisasi in vitro.5

F. Prognosis
Endometriosis sulit disembuhkan kecuali pada wanita yang sudah
menopause. Setelah diberikan penanganan bedah konservatif, angka
kesembuhan 10 – 20% per tahun. Endometriosis sangat jarang menjadi
ganas.1
Dalam suatu studi di Taiwan, didapatkan bahwa wanita dengan
endometriosis yang invasif meningkatkan risiko untuk terjadinya kanker
endometrium. Walaupun endometriosis termasuk penyakit yang sifatnya
jinak, beberapa bukti menunjukkan bahwa endometriosis masih dapat
dilihat sebagai suatu proses neoplastik, termasuk peningkatan kerentanan
terhadap beberapa subtipe kanker epitelial ovarium, begitu pula dengan
kesamaan secara molekuler antara endometriosis dan kanker. Diperkirakan
bahwa endometriosis memiliki risiko untuk berubah menjadi ganas sebesar
0,7% dan risiko 4,2 kali lebih tinggi untuk berkembang menjadi kanker
ovarium.6
KESIMPULAN

Endometriosis merupakan salah satu penyakit utama yang dapat


menyebabkan disabilitas, terutama pada wanita dalam usia reproduktif. Tanda dan
gejala endometriosis secara umum mengalami regresi dengan onset menopause dan
selama kehamilan.

Endometriosis juga berkaitan erat dengan infertilitas, dan hingga saat ini,
modalitas terapi yang ada masih bersifat kontroversial. Modalitas terapi yang ada
seringkali tidak menghilangkan gejala dan dapat menyebabkan infertilitas.
Modalitas terapi yang absolut untuk menghilangkan penyakit ini adalah
adneksetomi bilateral, namun terapi ini masih merupakan kontraindikasi untuk
wanita muda yang masih ingin memiliki keturunan di masa depan.

Pada 50% wanita dapat mengalami kembali gejala dalam waktu 5 tahun
setelah pengobattan medis. Secara umum, kehamilan mungkin dapat terjadi, namun
hal tersebut tergantung dari keparahan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Luthan D, Adenin I, Halim B. 2011. Endometriosis. Dalam: Ilmu Kandungan.


Anwar M, Baziad A, Prabowo P (ed). Ed ke-3. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 239-50.
2. Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Indonesia. Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2013. Konsensus Tatalaksana Nyeri Haid
Pada Endometriosis; 5-11.
3. Macer M.L., Hugh S., Taylor. 2012. Endometriosis and Infertility: A Review
of the Pathogenesis and Treatment of Endometriosis-associated Infertility.
Elsevier Journal; 535-9.
4. Agarwal Neha, Subramanian Arulselvi. 2010. Endometriosis – Morphology,
Clinical Presentations and Molecular Pathology. New Delhi: Journal of
Laboratory Physicians; 1-7.
5. Amstrong Carrie. 2010. ACOG Updates Guideline on Diagnosis and
Treatment of Endometriosis; 1-2.
6. Yu HC, Lin CY, Chang WC, Shen BJ, Chang WP, Chuang CM. 2015.
Increased association between endometriosis and endometrial cancer.
International journal of gynecological cancer. Vol 25 (3); 447-52

Anda mungkin juga menyukai