I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
1. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang (Sochdeva, 1974).
2. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan
epifies atau tulang rawan sendi (Reksoprodjo).
3. Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Douenges, MW,
1999).
4. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan tulang
rawan (Mansjoer, Arif, 2000).
5. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma (Price,
Sylvia, 2005).
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan fraktur
adalah putusnya kontinuitas tulang rawan, jaringan tulang, epifisis atau
tulang rawan sendi yang biasanya disebabkan oleh trauma.
B. Klasifikasi
Adapun klasifikasi fraktur dapat digolongkan berdasarkan:
1. Bentuk Garis Patahan
a. Fraktur Linear/transfersal adalah fraktur yang garis patahannya
tegak lurus terdapat sumbu panjang tulang. Pada fraktur ini
segmen-segmen tulang yang patah dapat direposisi/direduksi
kembali ke tempat semula, maka segmen itu akan stabil dan
biasanya akan mudah dikontrol dengan badai atau gips.
b. Fraktur spiral adalah fraktur yang menimbulkan sedikit kerusakan
jaringan lunak dan fraktur semacam ini cenderung cepat sembuh
dengan immobilisasi.
c. Fraktur greesetik adalah fraktur tidak sempurna dan sering terjadi
pada anak-anak, korteks tulangnya sebagian besar masih utuh.
d. Farktur oblique adalah fraktur yang garis bawahnya membentuk
sudut terhadap tulang. Fraktur ini tida stabil dan sulit diperbaiki.
e. Fraktur bentuk TY adalah fraktur yang garis patahnya menyerupai
huruf T dan Y.
f. Fraktur kompresi adalah fraktur yang terjadi dua tulang menumbuk
tulang ketiga yang berada diantaranya.
2. Perluasan Fraktur
a. Fraktur Komplit, terjadi apabla seluruh tubuh tulang
patah/kontinuitas jaringan luas sehingga tulang dibagi menjadi 2
bagian dan garis patahnya menyebrang dari satu sisi ke sisi lain
sehingga mengenai ke seluruh korteks.
b. Fraktur Inkomplet, diskontinuitas jaringan tulang dengan garis
patahan tidak menyebrang dari satu sisi lusisi yang lain sehingga
tidak menyertai seluruh korteks.
3. Fragmen Tulangnya
a. Fraktur Simple: tidak melewati kulit.
b. Fraktur Segmental: fraktur berdekatan pada satu tulang yang
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya.
c. Fraktur Multiple: terputusnya keutuhan jaringan dimana terdapat
lebih dari satu fragmen tulang.
4. Hubungan fragmen-fragmen tulang dengan jaringan sekitar:
a. Fraktur terbuka adalah fraktur yang fragmen tulangnya pernah
berhubungan dengan dunia luar.
b. Fraktur Komplikata adalah fraktur yang disertai kerusakan jaringan
saraf pembuluh darah, organ ikut terkena.
c. Fraktue Patologis adalah fraktur yang disebabkan oleh adanya
penyakit lokal pada tulang sehingga kekerasan dapat menyebabkan
fraktur terjadi pada daerah tulang yang telah menjadi lemah dan
karena tumor/proses patologi.
5. Berdasarkan Lokasi : Froximal, Tengah dan Distal.
6. Berdasarkan jumlah garis patah:
a. Fraktur Simple : terdapat satu garis patahan
b. Comminutive Fraktur : terdapat lebih dari satu garis patahan dan
saling berhubungan.
c. Segmental Fraktur: terdapat lebih dari satu garis patahan dan tidak
saling berhubungan.
7. Menurut R. Gusatilo:
a. Grade I : sakit jelas, sedikit kerusakan kulit
b. Grade II : fraktur terbuka merobek kulit dan otot
c. Grade III : banyak dan jelas sekali kerusakan otot kulit jaringan
saraf, pembuluh darah, luka mencapai 6 – 8 cm.
C. Patofisiologi
a. Trauma dibedakan menjadi:
1. Trauma langsung : patah tulang pada tempat beruntun/patah pada
tempat yang terkena trauma.
2. Trauma tidak langsung : patah tulang terjadi tidak pada tempat
benturan, melainkan oleh karena kekuatan trauma dicetuskan oleh
sumbu tulang dan terjadi fraktur di tempat lain.
b. Penyakit pada tulang (fraktur patologik) dalam hal ini kerusakan tulang
terjadi akibat proses penyakit, dimana dengan trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur, dapat terjadi pada berbagai kejadian seperti
trauma tulang, infeksi seperti osteomelitis, rakhitis dan hiperparatiroid.
c. Degenerasi spontan disebabkan oleh stress tulang terus menerus
misalnya: pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran,
biasanya berupa fraktur metatarsal dengan ujung proksimal tibia.
SKEMA PATOFISIOLOGI
D. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges (1999) pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur:
1. Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur /trauma.
2. Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI : memperlihatkan fraktur, juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Anteriogram : dilakukan bila dicurigai terdapat kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap : HT mungkin meningkat (Hemokon Sentrasi)
atau menurun (peredaran bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh
pada trauma) peningkatan jumlah WBC adalah respon stress normal.
5. Kreatinin : trauma otot meningkatnya beban kreatinin untuk himens
ginjal.
6. Profil Koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi multiped atau cedera mati.
E. Komplikasi Fraktur
1. Kompartemen Syndrome adalah suatu keadaan peningkatan tekanan
yang berlebihan di dalam suatu ruangan yang disebabkan oleh
peredaran pasif pada suatu tempat.
2. Syock yaitu syock hipovolemik, karena pendarahan pasif pada suatu
tempat.
3. Embolism Syndrome
Emboli merupakan komplikasi yang serius, dan dapat terjadi pada
pasien fraktur. Tetesan lemak masuk ke pembuluh darah, katekolamin
merangsang pembesaran asam lemak tubuh berupa platelet dan
membentuk gumpalan lemak.
4. Infeksi
Kadang trauma mengacaukan sistem pertahanan tubuh, infeksi dapat
disebabkan melalui perantara peniti, logam bidai yang digunakan
untuk reposisi fraktur saat operasi. Infeksi clotridium dapat
menghasilkan gas gangrun/tetanus dan penyebab mat union. Infeksi
yang lasim adalah osteomylitis.
5. Tromboembolit Complication
Trombosis vena dalam (DVT : Deep Venous Trombosis) terjadi pada
pasien yang mobilisasi dalam waktu lama karena
trauma/ketidakmampuan, lazimnya komplikasi sering terjadi parah bila
terjadi bedah ortopedi. Pada orang diatas 40 th insiden DVT 40 – 60%
fraktur yangberesiko terjadi pada perokok, obesitas, penyakit jantung,
pasien yang dirawat dengan trombolik.
6. Avaskular Neurosis
Avaskular neurosis pada umumnya dikaitkan dengan
aseptika/nekrosis, eskemik/osteonekrosis.
7. Delayet union, non union, dan mat union. Delayed Union didefinisikan
sebagai fraktur yang tidak mengalami penyembuhan dalam waktu 6
bulan, sejak mengalami mal union/fraktur yang tidak pernah
mengalami penyembuhan secara utuh, untuk mengatasi hal ini
biasanya dilakukan Bun Grefin.
8. Reflek Sympatetik Disthropy. Hal ini disebabkan oleh hiperaktif
sistem saraf simpatik abnormal syndrome. Ini belum banyak
dimengerti, mungkin karena nyeri, perubahan tropik dan vasmotor
instability.
F. Fase Penyembuhan
1. Hematoma/pendarahan: darah terapung di suatu daerah. Dalam
hematoma sel-sel sub periostal dan endosteal terprofirasi.
2. Proliferasi/inflasi sel-sel sup periosteal dan endosteal.
3. Collus dan pengendapan kalsium pada anyaman hasil stadium I
4. Konsulidasi
5. Remodeling.
G. Penatalaksanaan Medis
Adapun tata laksana pada pasien fraktur yang dijabarkan dalam kumpulan
kuliah ilmu bedah staf pengajar F Kull (1955) yaitu:
1. Teori Konservatif
a. Reposisi (setting tulang) tertutup yaitu pengambilan terhadap
kesejahteraan, dilakukan dengan pengambilan fragmen tulangnya
ke posisi akterna, yaitu penggunaan alat fiksasi.
b. Imobilisasi Fiksasi Ekterna, yaitu penggunaan alat fiksasi eksterna
seperti bidai, gips, mitela.
c. Rehabilitasi, yaitu pemulihan kembali/pengembalian fungsi dan
kekuatan norma bagian yang terkena.
2. Terapi Operatif
a. Orif (Open Reduction Internal Fixation), dengan alat interna: plat
screw, wire, close railing pada fraktur femur dan tibia dengan
pemasangan fiksasi interna intra meduler (pen)
b. Rehabilitasi, pengambilan fungsi dan kekuatan normal bagian yang
terkena.
c. Orif (open Reduction External Fixation)
Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi terhadap cedera sampai dengan kehilangan integritas tulang
(fraktur).
2. Nyeri akut sampai dengan cedera pada jaringan lunak.
3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan
dengan penurunan/interupsi aliran darah : adema berlebihan.
4. Resiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
aliran darah/emboli lemak.
5. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan mobilisasi fisik.
6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neurovaskuler.
7. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan primwer kerusakan kulit.
8. Krang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi yang
didapat.
9. Syndrome kurang perawatan diri berhubungan dengan imobilitas kulit.
10. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan
sekunder akibat kehilangan fungsi tubuh dan efek dari pembedahan.
11. Ansietas berhubungan dengan situasi baru dan keadaan pre operatif.
Perencanaan Dan Evaluasi
1. Diagnosa I
- Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring/eksistensi sesuai indikasi.
b. Letakkan di bawah tempat tidur/tempatkan pasien pada tempat
tidur ortopedik.
c. Sokong fraktur dengan gulungan traksi/bantal.
- Evaluasi
a. Mempertahankan stabilitas dan posisi fraktur
b. Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada
posisi fraktur.
c. Menunjukkan pembentukan kallus/mulai penyatuan fraktur yang
tepat.
2. Diagnosa II
- Tujuan : Nyeri dapat berkurang / ditoleransi
- Intervensi :
a. Pertahankan mobilisasi bagian yang sakit, beri posisi yang nyaman.
b. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, intensitasnya (0-10)
c. Lakukan dan awasi latihan gerak aktif/pasif.
d. Ajarkan teknik distraksi, relaksasi dengan nafas dalam 3-5 detik.
e. Kolaborasi dengan pemberian analgetik sesuai indikasi.
- Evaluasi
a. Nyeri berkurang
b. Mampu beradaptasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
c. Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas
terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual.
3. Diagnosa III
- Tujuan : mempertahankan perfusi jaringan
- Intervensi :
a. Lepas perhiasan dari ekstrimitas yang sakit
b. Kaji aliran kapiler dan warna kulit
c. Selidiki tanda iskemia ekstrimitas tiba-tiba
d. Beri dorongan pada pasien untuk secara rutin latihan jari/sendi
distal yang mengalami cidera.
e. Awasi tanda-tanda vital dan cyanosis
- Evaluasi
a. Terabanya nadi
b. Kulit hangat/kering
c. Seniasi normal
d. Sensori biasa
e. Tanda-tanda vital stabil
f. Haluaran urin adekuat utnuk situasi individu
4. Diagnosa IV
- Tujuan : mempertahankan fungsi pernafasan adekuat
- Intervensi :
a. Observasi frekuensi pernafasan
b. Auskultasi binyi nafas
c. Beri tambahan O2 bila diindikasikan
- Evaluasi :
Mempertahankan fungsi pernafasan adekuat dibuktikan oleh:
a. Tidak adanya dispeneu/cianosis
b. Frekuensi pernafasan dalam batas normal
5. Diagnosa V
- Tujuan : mempertahankan posisi fungsional, mempertahankan
mobilitas fisik
- Intervensi :
a. Kaji derajat mobilisasi
b. Bantu dengan mobilisasi secara bertahap, dorong latihan mulai
tingkat yang tidak sakit.
c. Dorong partisipasi pada aktivitas terapiotik, ajarkan untuk
melakukan rentang gerak aktif/pasif.
d. Konsultasi dengan ahli fisiotherapi fisik
e. Berikan motivasi agar melakukan aktivitas sehari-hari secara
bertahap, bantu/dorong perawatan diri.kebersihan.
- Evaluasi :
a. Meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat yang paling
tinggi dan yang mungkin.
b. Mempertahankan fungsi fungsional
c. Meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkonpensasi
bagian tubuh.
6. Diagnosa VI
- Tujuan : mencegah kerusakan kulit
- Intervensi :
a. Observasi kulit, adanya kemerahan
b. Letakkan bantal pada siku/tumit
c. Sering ubah posisi
d. Lakukan perawatan gips
- Evaluasi :
a. Menyatakan ketidaknyamanan berkurang
b. Menunjukkan perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit atau
memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.
7. Diagnosa VII
- Tujuan : Infeksi tidak terjadi
- Intervensi :
a. Infeksi kulit untuk adanya iritasi/robekan
b. Observasi luka
c. Kaji tanda-tanda infeksi
d. Beri perawatan luka dengan cara aseptik
e. Kolaborasi pemberian antibiotik
- Evaluasi :
a. Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu
b. Drainase pukulan/aritema dan demam tidak terjadi.
8. Diagnosa VIII
- Tujuan : mengetahui pemahaman pasien tentang penyakitnya
- Intrevensi :
a. Kaji tingkat pemahaman pasien dan keluarganya tentang
penyakitnya
b. Beri HE tentang penyakitnya
c. Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif diatas dan di bawah
fraktur
- Evaluasi :
a. Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan
b. Melakukan dengan benar prosedur yang diperlakukan dalam
menjelaskan alasan tindakan.
9. Diagnosa IX
- Tujuan : perawatan diri dan kepenuhan sehari-hari terpenuhi.
- Intervensi :
a. Berikan bantuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, ijinkan pasien
merawat diri sesuai kemampuan.
- Evaluasi :
Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan,
melakukan dengan benar prosedur yang dilakukan dan menjelaskan
alasan tindakan, menyatakan dengan jelas kebutuhan sehari-hari.
10. Diagnosa X
- Tujuan : meningkatkan harga diri pasien
- Intervensi :
a. Kaji tingkat pemahaman pasien tentang tubuhnya
b. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan pada perawatan
c. Beri penguatan informasi pasca operasi termasuk tipe, proses
penyembuhannya dan perawatan yang akan dijalani
d. Kaji derajat dukungan yang ada untuk pasien
e. Dorong pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang bisa
dilakukan
- Evalusai :
Mempergerakkan gerak relaksasi dengan benar dan tepat,
mengungkapkan perasaan lebih santai, tampak tenang dan rileks.
11. Diagnosa XI
- Tujuan menggambarkan ansietas dan pola koping pasien
- Intervensi :
a. Beritahu dan jelaskan pada pasien dan keluarga tentang program
medis yang akan dilakukan serta tujuannya
b. Dorong pasien untuk mengekspresikan perasaannya
c. Dorong menggunakan manajemen stress, contoh nafas dalam
bimbingan majinasi visualisasi
- Evaluasi :
a. Pasien tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai
dapat ditangani
b. Mengakui dan mendiskusikan rasa takut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
a Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan
menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and
Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama
yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical
Surgical Nursing.
b Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000,
diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu
fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa
komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
c Patah Tulang Humerus
Adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus
yang terbagi atas :
1) Fraktur Suprakondilar Humerus
2) Fraktur Interkondiler Humerus
3) Fraktur Batang Humerus
4) Fraktur Kolum Humerus
Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
1) Tipe Ekstensi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan
bawah dalam posisi supinasi.
2) Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan
dalam posisi pronasi.
(Mansjoer, Arif, et al, 2000)
d Platting
Adalah salah satu bentuk dari fiksasi internal menggunakan plat
yang terletidak sepanjang tulang dan berfungsi sebagai jembatan yang
difiksasi dengan sekrup.
Keuntungan :
1) Tercapainya kestabilan dan perbaikan tulang seanatomis mungkin
yang sangat penting bila ada cedera vaskuler, saraf, dan lain-lain.
2) Aliran darah ke tulang yang patah baik sehingga mempengaruhi
proses penyembuhan tulang.
3) Klien tidak akan tirah baring lama.
4) Kekakuan dan oedema dapat dihilangkan karena bagian fraktur
bisa segera digerakkan.
Kerugian :
1) Fiksasi interna berarti suatu anestesi, pembedahan, dan jaringan
parut.
2) Kemungkinan untuk infeksi jauh lebih besar.
3) Osteoporosis bisa menyebabkan terjadinya fraktur sekunder atau
berulang.
c Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung
atas), korpus, dan ujung bawah.
1) Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah
kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla
dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya
terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik.
Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat
sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan
terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor.
Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus
intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep.
Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi
fraktur.
2) Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah
semakin pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan
disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot
deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah
belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan
memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis
sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
3) Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah
sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang
terlatidak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang
tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar etrdapat
kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi
persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu
epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)
d Fungsi Tulang
1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2) Tempat mlekatnya otot.
3) Melindungi organ penting.
4) Tempat pembuatan sel darah.
5) Tempat penyimpanan garam mineral.
(Ignatavicius, Donna D, 1993)
3. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat
fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan
penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
(Oswari E, 1993)
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang,
maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang
tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat
menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan
daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari
tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan
tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
b. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain.
Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah
dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang.
Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar
daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi
tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan
fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan
berhenti sama sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel
menjadi fibro kartilago yang berasal dari
periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami
trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke
dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast
beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari
terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen
tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah
fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik
dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan
mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai
berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa
sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang
imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan
pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur
menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman
tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku
dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan
pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi
celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang
baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa
bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang
padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini
dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada
tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya
dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)
c. Komplikasi fraktur
1) Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal,
hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius
yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan
pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh
oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti
gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius
yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES
terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow
kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis
tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang
untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan
supai darah ke tulang.
b) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi
dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.
c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai
dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk
(deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993)
5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena
adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada
foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan
mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
ddan ancaman sindroma kompartement.
(Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995,
Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000,
Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995).
6. Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang
mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap
enyakitnya. Akibat fraktur terrutama pada fraktur hunerus akan
menimbulkan dampak baik terhadap klien sendiri maupun keada
keluarganya.
a Terhadap Klien
1) Bio
Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya
yang terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan
untuk penyembuhan tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi
melebihi kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi
2) Psiko
Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri
dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi
rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru
serta tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.
3) Sosio
Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam
masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak
akan sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam
melakukan kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti biasanya.
4) Spiritual
Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai
dengan keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah
yang diakibatkan karena rasa nyeri dan ketidakmampuannya.
b Terhadap Keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota
keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan
klien, apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan sembuh total.
Koping yang tidak efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran
perawat disini sangat vital dalam memberikan penjelasan terhadap
keluarga. Selain tiu, keluarga harus bisa menanggung semua biaya
perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi
keluarga.
Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit,
sedang masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya
keluarga harus bisa merawat, memenuhi kebutuhan klien. Hal ini
tentunya menambah beban bagi keluarga dan bisa menimbulkan
konflik dalam keluarga.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode
proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung
dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana
rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan
sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat
rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut
akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker
tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko
terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat
steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga
atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat
besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein
dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama
pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(Keliat, Budi Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat
inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani
rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien
bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba
sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian
distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan
pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun
buatan seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-
hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi
anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun
klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang.
Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila
ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian
diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat
apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan.
Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan
sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau
PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan
pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum
atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus
ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana
tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal
dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang
rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan
potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan
suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat
Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase
(AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini
sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan
bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan
adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan
dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk
mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan
data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang
timbul.
2. Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual
maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam
mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi
keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah
kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.
3. Perencanaan
4. Pelaksanaan
5. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika,
Jakarta, 1995.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process
Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta,
1992.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI,
Jakarta, 2000.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.
I. PENGKAJIAN
Pengkajian di lakukan pada tanggal 24 Oktober 2011 pukul 10.00 wita di ruang
Angsoka I RSUP Sanglah dengan menggunakan tekhnik
wawancara,observasi,pemeriksaan fisik,dan dokumentasi perawatan.
II.DATA DASAR
A.Identitas Pasien Penanggung
No CM :01463908
Nama : ”NR ” :”NH”
Jenis Kelamin ;laki-laki : Perempuan
Umur : 20 th : 50 th
Status perkawinan ;Belum Menikah : Menikah
Agama ;Islam :Islam
Suku Bangsa : Indonesia : Indonesia
Pendidikan : SMU : SD
Pekerjaan :Wiraswasta : Pegawai Negeri
Alamat : Br batu paras, padang sambian-Denpasar
Hubungan :Ibu Kandung
D.Pemeriksaan Fisik
a.Keadaan Umum
Kesadaran ;compos mentis
Bentuk Tubuh ;sedang
Warna kulit ;sawo matang
Turgor kulit ;elastis
BB ;65 kg
b.Gejala Kardinal
Suhu ;36,oC
Nadi ;80x/mnt
Tensi ;140/70 mmHg
Respirasi ;20x/mnt
c.Keadaan Fisik
Kepala ;Bentuk kepala simetris,ketombe(-),benjolan(-),nyeri(-)
Mata ;Bentuk simetris,konjungtivita merah muda.
Hidung ;Bentuk simetris,polip(-)penciuman baik,secret(-)
Nafas cuping hidung (-)
Mulut :Bentuk simetris, caries(-), pembesaran tonsil(-) bau
mulut(-)
Telinga ;Bentuk simetris,serumen(-)pendengaran baik.
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar limfe dan tyroid, bendungan
Vena jugularis (-).
Thorax ; Bentuk simetris,pergerakan dada simetris,nyeri tekan(-),
Wheezing(-),ronchi(-),retraksi otot(-)
Abdomen : Acites(-),distensi(-).
Genetalia : Tidak ada benjolan,kemerahan(-),kebersihan cukup,DC(+)
Ekstermitas
-Atas : edema(-),pergarakan baik,pada tangan kiri terpasang infus
RL 20 tts/mnt
-Bawah : edema(-)terdapat luka operasi pada paha kanan yang di balut
Dengan tensocripe. Drain ( + ).
E.Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil DL tgl 18/10-11
WBC :12,4 k/uL
RBC : 4,32 m/uL
HGB :12,7 g/dL
HCT :38,1 %
PLT :217 k/uL
2 BT : 2,00” menit
CT : 10,00” menit
PT : 11,40 detik
INR : 1,00 detik
Kontrol PT : 11,00 detik
APTT : 4 menit 30 detik
Kontrol APTT : 37,80 detik
a,Analisa Data
555 555
333 555
III.PERENCANAAN
a. Prioritas Diagnosa Keperawatan
a) DX 1 ; Nyeri akut b/d cedera pada jaringan lunak
b) DX 2 ; Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neurovaskuler
c) DX 3 ; Risiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuatnya pertahanan primer
Kerusakan kulit.
b. Rencana Asuhan Keperawatan
NO Hari/tgl/jam DX Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
I II III IV V VI
Senin Nyeri akut b/d Setelah di berikan a.pertahankan -menghilangkan
1 24/10- cedera pada askep selama 3 x imobilisasi nyeri dan
11,jam jaringan lunak 24 jam yang sakit. mencegah
10.30 wita Kerusakan diharapkan kesalahan posisi.
mobilitas fisik Nyeri berkurang b.ajarkan -memfokuskan
b/d kerusakan atau dapat di tekhnik kembali
rangka toleransi dengan relaksasi dan perhatian,meningk
neurovaskuler Kriteria hasil; distraksi atkan kemampuan
-ps tdk mengeluh koping,dan
nyeri lagi. manajement nyeri.
-ps tdk meringis c.kaji intensitas -mengetahui
Saat bergerak. nyeri seberapa besar
-skala nyeri 0-1 nyeri di rasakan.
-delegatif dlm -untuk membantu
pemberian mengurangi rasa
analgetik. nyeri.
3
Senin,24/10 Risiko tinggi Setelah di berikan a.inspeksi kulit kemerahan,abrasi
-11, jam terhadap Askep selama 3 x untuk melihat dapat
10.30 wita infeksi b/d 24 jam di adanya infeksi menimbulkan
tidak harapkan tidak atau robekan infeksi
adekuatnya terjadi infeksi
pertahanan dengan kriteria b.kolaborasi -antibiotik
primer hasil ; pemberian spektrum luas
kerusakan a.tidak ada tanda- antibiotik dapat membunuh
kulit. tanda infeksi kuman penyebab
infeksi
IV.IMPLEMENTASI
NO
HR/TGL/JAM DX IMPLEMENTASI EVALUASI FORMATIF PARAF
NO
NO HE/TGL/JAM DX EVALUASI SUMATIF
Selasa,25/10- DS ; -
3 III
11 DO ; -Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti kemerahan.
Jam 14.00wita -Luka operasi bersih
-Suhu=36,oC
-Infus dan Drain sudah tidak terpasang lagi.
A ; Tujuan tercapai,masalah tidak terjadi
P ; Pertahankan kondisi pasien.