Anda di halaman 1dari 4

CEK FAKTA: Siapakah Rohingya dan

mengapa mereka termarjinalkan?


Siapakah kaum Rohingya? Mengapa mereka tak diakui? Berikut adalah informasi penting
untuk diketahui demi memahami penderitaan orang kaum termarjinalkan ini.

JAKARTA, Indonesia — Kaum imigran Rohingya kembali menjadi tajuk utama di media
massa. Mereka dilaporkan menjadi korban konflik persaudaraan di Myanmar.

Akibatnya, sejumlah warga Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke negara-negara
terdekat, salah satunya Indonesia.

Para kritik menuding negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) tak memiliki kepedulian
terhadap kaum Rohingya yang terdampar di lautan mencari suaka. Selama berbulan-bulan
mereka menderita kelaparan dan mengalami kesusahan. Negara-negara ASEAN dituduh
melepas tanggung jawab karena tak ada yang mau menerima mereka.

Siapakah kaum Rohingya? Mengapa mereka berada di lautan? Berikut adalah informasi
penting yang perlu diketahui:

1. Siapa Muslim Rohingya?

Rohingya adalah kaum minoritas Muslim yang menggunakan etnis bahasa Rohingya —
bahasa Indo-Eropa yang mirip dengan bahasa Bengali. Mereka tinggal di negara bagian
Rakhine Utara (sebelumnya disebut Arakan), sebuah desa pesisir di Myanmar.

Menurut Menteri Imigrasi dan Kependudukan Myanmar Khin Yi, ada sekitar 1,33 juta orang
Rohingya di negaranya.

Organisasi Nasional Rohingya Arakan (ARNO) menyatakan bahwa orang-orang ini telah
bermukim di Myanmar “sejak zaman dahulu”. Nenek moyang mereka berasal dari bangsa
Arab, Moor, Pathan, Moghul, Bengali, dan beberapa orang Indo-Mongoloid.

Sementara itu, ahli sejarah dan warga setempat mengklaim bahwa Rohingya merupakan
penduduk asli negara bagian Rakhine sejak abad ke-19, ketika Myanmar masih berada di
bawah penjajahan Inggris.

Namun, Myanmar tidak mengakui kaum Rohingya sebagai warga negara atau kelompok etnis
mereka. Hanya sekitar 40.000 yang diakui oleh pemerintah Myanmar dan diberikan hak
kewarganegaraan.

2. Mengapa orang-orang Rohingya tidak diakui?


Warga Rohingya di sebuah kamp pengungsian di Sittwe, di negara bagian Rakhine,
Myanmar, pada 13 November 2014. Foto oleh Nyunt Win/EPA

Presiden Myanmar Thein Sein mengacu pada Rohingya sebagai "Bengali" (orang
Bangladesh) —menyiratkan bahwa mereka adalah penduduk asli Bangladesh dan, oleh
karena itu, dideportasi dari Myanmar. Namun, pemerintah Bangladesh juga tidak mengakui
Rohingya sebagai bagian dari mereka.

Pemerintah Myanmar bahkan tidak menyetujui bahwa kelompok tersebut menggunakan


istilah “Rohingya”.

Zaw Htay, seorang pejabat senior kepresiden Myanmar, mengatakan, "Jika mereka
menggunakan istilah 'Rohingya' kami tidak akan mengambil bagian di dalamnya karena kami
tidak mengenal istilah ini. Pemerintah Myanmar telah memprotes penggunaan kata tersebut
sejak lama”.

Pada 1982, pemerintah Myanmar mengeluarkan undang-undang yang menyatakan bahwa


rakyatnya adalah warga yang telah menetap di negara tersebut sebelum kemerdekaan pada
1948. Kelompok minoritas yang ingin secara resmi diakui harus menunjukkan dokumen
sebagai bukti bahwa nenek moyang mereka hidup di Myanmar (dulu disebut Burma) sebelum
1823.

Orang-orang Rohingya mengklaim bahwa leluhur mereka telah tinggal di Myanmar sejak
ratusan tahun yang lalu. Namun, mereka tidak memiliki dokumentasi yang tepat untuk
membuktikan klaim tersebut.

Pada 2014, Myanmar membuat sebuah rencana kontroversial untuk memecahkan masalah
ini: Pemerintah akan memberikan kewarganegaraan bagi kaum Rohingya jika mereka
mengubah etnis mereka sebagai warga Bangladesh. Ini berarti pengakuan bahwa kelompok
ini adalah ilegal di negara itu, sebuah ide yang ditolak oleh sebagian besar komunitas
Rohingya.

3. Mengapa mereka meninggalkan Myanmar?

Kaum etnis minoritas Rohingya di atas sebuah kapal kayu yang terdampar di Laut Andaman,
dekat Malaysia, di bagian selatan Thailand, pada 14 Mei 2015. Foto oleh EPA

Rohingya mengalami diskriminasi selama beberapa dekade terakhir, yang mengakibatkan


mereka berupaya melarikan diri dari Myanmar. Sebuah laporan New York Times
menyatakan bahwa “mereka telah ditolak kewarganegaraan dan diusir dari rumah mereka,
tanah mereka disita, dan mereka diserang oleh militer”.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan mengakui bahwa masyarakat Rohingnya sebagai
salah satu kaum minoritas yang paling teraniaya di dunia.

Sebuah insiden besar melibatkan mereka terjadi pada 2012, ketika umat Islam Rohingya
terlibat dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita Buddha di Myanmar. Hal
ini mengakibatkan serangkaian perkelahian berdarah antara umat Buddha di Rakhine dan
Muslim Rohingya. Sebuah laporan mengatakan sedikitnya 90 orang tewas dan 3.000 rumah
hancur akibat kekerasan tersebut.

Pemerintah Myanmar bertindak dengan membatasi ribuan Rohingya dalam sebuah kamp
pengungsian yang dibatasi dengan kawat berduri. Kamp-kamp tersebut menerima sumber
makanan dan bantuan medis yang sangat minim, sehingga mengakibatkan kelaparan dan
penyakit, bahkan kematian. Polisi setempat juga melarang Rohingya meninggalkan kamp.

4. Masalah apa yang mereka hadapi saat melarikan diri Myanmar?

Seorang anak Rohingya sedang sarapan sekaligus diberi pengobatan medis di sebuah tempat
pengungsian di Kuala Langsa, Aceh, Indonesia, pada 17 Mei 2015. Foto oleh Hotli
Simanjuntak/EPA

Tampaknya kaum Rohingya lebih rela untuk menyerahkan nasib hidup mereka ke tangan
oknum perdagangan manusia daripada harus musnah oleh kaum ekstremis Buddha di
Rakhine.

Sebuah kamp perdagangan ditemukan pada Mei 2015 di hutan yang sepi di Thailand selatan,
di mana ditemukan setidaknya 30 mayat yang dikubur dalam sebuah liang dangkal. Mayat-
mayat lainnya ditemukan hanya ditutupi selimut dan ditinggal di tempat terbuka.

Perhatian militer yang tiba-tiba setelah ditemukannya kamp perdagangan tersebut,


menyebabkan para penyelundup untuk melakukan taktik yang lebih berhati-hati. Kaum
Rohingya kemudian ditempatkan di perahu kaya, di tengah lautan, yang dibagi-dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil.

Aksi militer tersebut membuat para penyelundup dan pedagang manusia ketakutan dan
bersembunyi. Bahkan beberapa kapten kapal yang mengangkut Rohingya meninggalkan
kapal mereka, sehingga membuat Rohingya terdampar selama berbulan-bulan di laut.

Korban selamat dari insiden kapal juga berbagi cerita mereka. Mereka disolasi selama dua
bulan di kapal, berjuang dengan membatasi makanan untuk bertahan hidup. Beberapa
Rohingya melompat dari kapal, termasuk perempuan dan anak-anak, sementara yang lain
terlempar dari perahu untuk menghindari berdesak-desakan.

Selain itu, tak satu pun dari negara-negara tetangga yang bersedia menerima Rohingya dan
takut dengan terus masuknya migran.

5. Bagaimana pemerintah negara-negara ASEAN menanggapi masalah ini?


Kaum terpelajar di Aceh mengadakan demonstrasi terhadap pemerintah Indonesia agar
menerima warga Rohingya yang terdampar di laut, pada 19 Mei 2015. Foto oleh Hotli
Simanjuntak/EPA

Sejak Agustus 2012, pemerintah Bangladesh melarang bantuan kemanusiaan untuk kaum
minoritas Rohingya, meninggalkan mereka tak berdaya dan rentan.

Negara tetangga lainnya juga telah menutup mata. Thailand, salah satunya, mengklaim
angkatan lautnya memberikan bantuan kepada kapal seperti makanan, air, dan obat-obatan.
Namun militer Negeri Gajah Putih terus menolak mereka masuk karena resistensi pemerintah
untuk pendatang.

Rohingya juga telah berpaling ke Malaysia karena penduduk mereka mayoritas adalah
Muslim. Namun pemerintah Malaysia telah memerintahkan angkatan laut untuk menolak
mereka dari tanah mereka.

Meskipun ribuan pencari suaka ditemukan di Indonesia oleh nelayan setempat, pemerintah
Indonesia menjelaskan bahwa para pengungsi akan tetap tidak diterima dan memberikan
peringatan kepada nelayan untuk tidak menyelamatkan perahu Rohingnya. —Rappler.com

BAGAIMANA CERITA INI MEMBUAT ANDA MERASA?

Anda mungkin juga menyukai