Anda di halaman 1dari 59

Laporan Kasus

Hematemesis dan Melena e.c. Pecahnya Varises Esofagus


e.c. Sirosis Hepatis

Oleh:

Sisca, S. Ked 04084821719197


M. Muharrary Akbar, S. Ked 04054821719124

Pembimbing:
dr. M. Ali Apriansyah, SpPD, K-Psi

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Hematemesis dan Melena e.c. Pecahnya Varises Esofagus e.c. Sirosis Hepatis

Oleh:
Sisca, S. Ked
M. Muharrary Akbar, S. Ked

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Junior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang, Periode 19 Februari – 23 April 2018.

Palembang, Maret 2018


Pembimbing

dr. M. Ali Apriansyah, SpPD, K-Psi

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat dan
karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Hematemesis dan Melena e.c. Pecahnya Varises Esofagus e.c. Sirosis Hepatis”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan
Klinik Senior Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP
dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. M. Ali Apriansyah,
SpPD, K-Psi selaku pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta kepada
semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan
demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberi
ilmu dan manfaat bagi kita semua.

Penyusun

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................... 2
DAFTAR ISI .............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 4
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
BAB IV ANALISIS KASUS .....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................

4
BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir


fibrosis hepatik yang berlangsung progresif ditandai dengan distorsi dari arsitektur
hepar dan pembentukan nodulus regeneratif akibat nekrosis hepatoselular. Lebih dari
40% pasien sirosis asimptomatik dan kebanyakan ditemukan saat pemeriksaan rutin
kesehatan atau pada waktu autopsi. 1
Secara global, tingkat kematian akibat sirosis meningkat dari 676.000 jiwa pada
tahun 1980 menjadi 1 juta jiwa pada tahun 2010. Mesir, diikuti oleh Moldova memiliki
tingkat mortalitas tertinggi yaitu 72,7 dan 71.2 per 100.000 penduduk, sedangkan
Islandia memiliki tingkat mortalitas paling rendah. Di Amerika Serikat, sirosis
merupakan penyebab kematian kesembilan dan menyumbang angka kematian 1,2%
dari seluruh total kematian. Sebanyak 35.000 kematian terjadi pertahun di Amerika
Serikat. Lain halnya di Indonesia, tingkat mortalitasnya sebesar 27 per 100.000
penduduk. Data yang dilaporkan dari RS. Dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan
jumlah pasien sirosis hari berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit
Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Kebanyakan pasien meninggal pada usia
dekade ke 5 dan ke 6 dengan perbandingan pria dan wanita yaitu 2:1.1,4,5,16
Penyebab sirosis hepatis dapat berupa infeksi seperti virus hepatitis, penyakit
herediter dan metabolic seperti defisiensi α1-antitripsin, penyakit Wilson,
hemokromatosis, akibat obat dan toksin seperti alcohol, amiodaron dan obstruksi bilier,
penyakit perlemakan hati non alkoholik serta sirosis bilier primer. Gejala klinis yang
ditimbulkan berupa mudah lelah, berat badan menurun, anoreksia, dyspepsia, nyeri
abdomen, ikterus, muntah darah, warna urine gelap, melena. Pada laki-laki dapat
timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar. Gejala yang ditimbulkan ini
tentunya menurunkan kualitas hidup penderitanya sehingga pasien tidak beraktivitas
seperti biasa.2,3
Pada fase awal kebanyakan sirosis hepatis tidak menunjukkan gejala-gejala
klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Pasien

5
dengan stadium lanjut memiliki prognosis yang buruk dengan harapan hidup tidak
lebih dari 1 tahun. Oleh karena itu, diperlukan keahlian yang baik bagi seorang dokter
agar mampu mendiagnosis dan mengobati pasien sirosis hepatis sehingga angka
kejadian dan kematian penderitanya dapat menurun.

6
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. IDENTIFIKASI PASIEN


Nama : Tn. Supriyanto Bin Sumarjo
Umur : 33 tahun
Alamat : KP 1, Kelurahan Tirta Mulya, Makarti Raya,
Kabupaten Banyuasin
Suku : Sumatera
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
No. RM : 1046733 (RI18005743)
Tanggal MRS : 28 Februari 2018
Dokter Muda : Sisca
M. Muharrary Akbar

2.2. ANAMNESIS
(dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis dengan keluarga pasien pada 1 Maret
2018, pukul 13.00 WIB).

KeluhanUtama
Pasien muntah darah ± 5 jam SMRS.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sekitar 5 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh perut yang terasa
membesar. Pembesarannya terasa perlahan namun tidak berhenti membesar. Keluhan
perut membesar seperti ini baru pertama kali pasien rasakan. Pasien juga mengeluhkan
perut begah atau seperti penuh ketika makan, sehingga pasien tidak dapat makan dalam

7
jumlah yang banyak. Mual terkadang dirasakan oleh pasien. Nyeri perut dan muntah
disangkal. BAB dan BAK normal. Pasien belum berobat.
Sekitar 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh perut yang
semakin membesar. Pasien mengeluhkan demam yang dirasakan hilang timbul dan
tidak terlalu tinggi. BAK warna air kencing tampak seperti teh. BAB tidak ada
keluhan.. Pasien berobat ke bidan kemudian diberikan obat maag. Pasien kemudian
disuruh untuk datang ke puskesmas. Di puskesmas pasien dikatakan kemungkinan
menderita hepatitis dan di dirujuk ke poli PDL RSMH untuk dilakukan pemeriksaan
darah. Hasilnya dikatakan pasien menderita hepatitis B.
Sejak sekitar 1 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh perut
semakin membesar disertai kuning pada seluruh badan dan mata. Pasien mengeluhkan
badan lemas, nafsu makan berkurang, dan mual. Pasien juga mengeluhkan BAB encer
yang berwarna hitam. Pasien kemudian dirawat ke RSK Charitas selama 1 minggu.
Diberi obat diuretik, hepatovitamin. Merasa perbaikan, pasien diperbolehkan pulang
untuk rawat jalan.
Sekitar 5 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh muntah darah
kurang lebih 2 gelas air mineral (300 ml) dan badan lemas. Pasien kemudian dibawa
ke IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat kencing manis (-)
Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat terkena hepatitis B (+)

Riwayat Kebiasaan:
Riwayat merokok (+) sejak ± 20 tahun yang lalu, kurang lebih 5-10 batang per hari.
Riwayat minum alcohol (-)
Riwayat minum jamu (-)

8
Riwayat pengobatan:
Riwayat menggunakan narkoba suntik (-)
Riwayat transfusi darah (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat kencing manis disangkal.
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (+) ibu pernah sakit kuning dan sudah
meninggal pada usia 30 tahun.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK (Dilakukan pada tanggal 1 Maret 2018)


Pemeriksaan Fisik Umum
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Tekanan Darah : 100/70 mmHg
d. Nadi : 100 x/ menit, isi/kualitas cukup, reguler
e. Respirasi : 20x/menit, reguler
f. SpO2 : 97%
g. Suhu : 36,8oC
h. Vas score :2

Pemeriksaan Khusus
Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, alopesia (-).
a. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik (+), pupil bulat
isokor, RC (+).
b. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi lapang, sekret (-),
epistaksis (-)

9
c. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah berselaput (-),
atrofi papil (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-).
d. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-), nyeri tekan
mastoid (-).

Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB submandibula (-), pembesaran kelenjar tiroid
(-).
Thoraks
a. Pulmo
Inspeksi : Statis dinamis: simetris kanan=kiri, retraksi dinding dada (-/-),
spider naevi (-)
Palpasi : Stem fremitus normal kanan=kiri, nyeri tekan (-).
Perkusi : Sonor pada kedua hemithoraks
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

b. Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea parasternalis
Batas jantung kanan ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR 90x/menit, regular, Bunyi jantung I-II (+) normal, murmur
(-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi : Cembung, kaput medusa (-), venektasi (-), umbilikus datar (+)

10
Palpasi : Tegang, nyeri tekan (+), spleen teraba di SI, hepar sulit dinilai.
Perkusi : shifting dullness (+), undulasi (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.

Ekstremitas
Ekstremitas superior : akral hangat (+), palmar eritema (+/+)
Ekstremitas inferior : akral hangat (+), edema pretibial (+/+)

Genitalia
Tidak diperiksa

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil laboratorium tanggal 28 Februari 2018
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 5,7 g/dL 14-18 g/dL
Eritrosit 2,566/mm3 4,5-5,5. 106/mm3
Leukosit 17.000/mm3 5000-10.000/mm3
Hematokrit 17% 40 - 50%
Trombosit 339.000/µL 150.000-400.000/µL
Diff count 0/0/73/15/12 0-1/1-6/50-70/20-40/2-8
BSS 132 g/dL <200 g/dL
SGOT 151 U/L 0-38 U/L
SGPT 114 U/L 0-41 U/L
Bilirubin total 21,4 mg/dL <1,5 mg/dL
Bilirubin direk 14,2 mg/dL 0,1-0,5 mg/dL
Bilirubin indirek 7,2 mg/dL <1,0 mg/dL
Protein total 5,3 mg/dL 6,6-8,7 mg/dL
Albumin 2,5 mg/dL 3,8-5,8 mg/dL
Globulin 2,8 mg/dL 1,3-2,7 mg/dL
Imunologi
HBsAg Positif Negatif

2.5 Diagnosis Sementara


Hematemesis dan melena e.c. pecahnya varieses esophagus e.c. sirosis hepatis

11
2.6 Diagnosis Banding
Hematemesis dan melena e.c. pecahnya varieses esophagus e.c. sirosis hepatis
Hematemesis dan melena e.c.Gastritis erosif
2.7 Terapi awal
Non-Farmakologis
- Istirahat
- Diet NB
- Edukasi
- Pemasangan NGT

Farmakologis
 IVFD RL gtt XX/menit
 Spironolakton tab 2x100 mg PO
 Propanolol tab 2x10 mg PO
 Omeprazol vial 1x40mg IV
 Asam traneksamat amp 3x500mg IV
 Vit. K 3 x 1 ampul IV
 Cefoperazon 2x1gr IV
 Ondansentron amp 2x4mg IV
 Lactulac syr 3x10ml PO
 Transfusi PRC III kolf
 Ca glukonas 3 x 1 (IV)
 Albumin 20% selama 3 hari.

2.8 Rencana Pemeriksaan


 Darah perifer lengkap
 Darah kimia: SGOT, SGPT, albumin, globulin, bilirubin.
 HbSAg

12
 Urinalisa rutin
 Endoskopi
 USG abdomen
 Cek Hb serial / 24 jam

2.9 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad malam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Malam

2.10 Follow up
Tanggal: 2 Maret 2018
S : perut besar (+), BAB hitam (+), Mual P:
(+), darah di selang NGT masih ada (+) tapi Non farmakologis:
sudah berkurang. - Istirahat
O : Keadaan Umum :Tampak sakit sedang - Edukasi
Kesadaran : Compos Mentis - Dipasang NGT
TD :100/70 mmHg
Nadi : 90 x/ menit Farmakologis:
RR : 20x/menit,  IVFD RL gtt XX/menit
 Spironolakton tab 2x100 mg
o
Suhu : 36,8 C
VAS :2 PO
Pemeriksaan Khusus  Propanolol tab 2x10 mg PO
Kepala :Normocephali, warna rambut  Omeprazol vial 1x40mg IV
hitam, rambut licin, tidak mudah  Asam traneksamat amp
dicabut, alopesia (-), deformitas 3x500mg IV
tulang kepala (-).  Vitamin K 3 x 1 ampul IV
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+),
 Ondansentron amp 2x4mg
sklera ikterik (+/+) IV
Mulut: Pucat (+), basah (+), atrofi papil (-)
 Cefoperazon 2x1gr IV
Leher : JVP (5-2 cmH2O), pembesaran
KGB (-), struma (-)  Transfusi PRC kolf I
Pulmo
Inspeksi :Statis dinamis: simetris  Ca glukonas 3 x 1 (IV)
kanan=kiri, retraksi dinding dada  Albumin 20% hari I.
(-/-), spider naevi (-).
Palpasi :Stem fremitus normal kanan=kiri,
nyeri tekan (-).

13
Perkusi :Sonor pada kedua hemithoraks,
batas paru hepar di ICS V
LMC dekstra peranjakan 1 sela iga.
Auskultasi:Vesikuler (+) normal,
ronkhi (-), wheezing (-)
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi :Batas jantung atas ICS II linea
parasternalis
Batas jantung kanan ICS IV linea
sternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V linea
midclavicularis sinistra.
Auskultasi:HR 90x/menit, regular, Bunyi
jantung I-II (+) normal,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi :Cembung, kaput medusa (-),
venektasi (-)
Palpasi :Lemas, nyeri tekan (+), spleen
teraba di S1, hepar tidak teraba.
Perkusi :shifting dullness (+), undulasi (-).
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Ekstremitas superior: akral hangat (+),
palmar eritema (+).
Ekstremitas inferior: akral hangat (+),
edema pretibial (+/+)
A: - Hematemesis dan Melena e.c.
pecahnya varises esophagus e.c. sirosis
hepatis.

Tanggal: 3 Maret 2018


S : perut besar (+), BAB hitam (+), Mual P:
(+), darah di selang NGT (-) tidak ada lagi. Non farmakologis:
O : Keadaan Umum :Tampak sakit sedang - Istirahat
Kesadaran : Compos Mentis - Edukasi
TD :100/60 mmHg - Dipasang NGT
Nadi : 88 x/ menit
RR : 20x/menit, Farmakologis:
Suhu : 36,7oC  IVFD RL gtt XX/menit
VAS :2  Spironolakton tab 2x100 mg
Pemeriksaan Khusus PO
 Propanolol tab 2x10 mg PO

14
Kepala :Normocephali, warna rambut  Omeprazol vial 1x40mg IV
hitam, rambut licin, tidak mudah  Asam traneksamat amp
dicabut, alopesia (-), deformitas 3x500mg IV
tulang kepala (-).  Vitamin K 3 x 1 ampul IV
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+),  Ondansentron amp 2x4mg
sklera ikterik (+/+) IV
Mulut: Pucat (+), basah (+), atrofi papil (-)  Cefoperazon 2x1gr IV
Leher : JVP (5-2 cmH2O), pembesaran
KGB (-), struma (-)  Transfusi PRC kolf II
Pulmo  Ca glukonas 3 x 1 (IV)
Inspeksi :Statis dinamis: simetris
kanan=kiri, retraksi dinding dada  Albumin 20% hari II.
(-/-), spider naevi (-).
Palpasi :Stem fremitus normal kanan=kiri,
nyeri tekan (-).
Perkusi :Sonor pada kedua hemithoraks,
batas paru hepar di ICS V
LMC dekstra peranjakan 1 sela iga.
Auskultasi:Vesikuler (+) normal,
ronkhi (-), wheezing (-).
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi :Batas jantung atas ICS II linea
parasternalis
Batas jantung kanan ICS IV linea
sternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V linea
midclavicularis sinistra.
Auskultasi:HR 88x/menit, regular, Bunyi
jantung I-II (+) normal,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi :Cembung, kaput medusa (-),
venektasi (-)
Palpasi :Lemas, nyeri tekan (+), spleen
teraba di S1, hepar tidak teraba.
Perkusi :shifting dullness (+), undulasi (-).
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Ekstremitas superior: akral hangat (+),
palmar eritema (+).
Ekstremitas inferior: akral hangat (+),
edema pretibial (+/+)

15
A: - Hematemesis dan Melena e.c.
pecahnya varises esophagus e.c. sirosis
hepatis.

Tanggal : 4 Maret 2018


S : perut besar (+), BAB hitam (+), Mual (- P:
), darah di selang NGT (-) tidak ada lagi. Non farmakologis:
O : Keadaan Umum :Tampak sakit sedang - Istirahat
Kesadaran : Compos Mentis - Edukasi
TD :100/70 mmHg - Dipasang NGT
Nadi : 86 x/ menit
RR : 20x/menit, Farmakologis:
Suhu : 36,8oC  IVFD RL gtt XX/menit
VAS :2  Spironolakton tab 2x100 mg
Pemeriksaan Khusus PO
Kepala :Normocephali, warna rambut  Propanolol tab 2x10 mg PO
hitam, rambut licin, tidak mudah  Omeprazol vial 1x40mg IV
dicabut, alopesia (-), deformitas  Asam traneksamat amp
tulang kepala (-). 3x500mg IV
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+),  Vitamin K 3 x 1 ampul IV
sklera ikterik (+/+)
 Ondansentron amp 2x4mg
Mulut: Pucat (+), basah (+), atrofi papil (-) IV
Leher : JVP (5-2 cmH2O), pembesaran
 Cefoperazon 2x1gr IV
KGB (-), struma (-)
Pulmo  Transfusi PRC kolf II
Inspeksi :Statis dinamis: simetris
kanan=kiri, retraksi dinding dada  Ca glukonas 3 x 1 (IV)
(-/-), spider naevi (-).  Albumin 20% hari II.
Palpasi :Stem fremitus normal kanan=kiri,
nyeri tekan (-).
Perkusi :Sonor pada kedua hemithoraks,
batas paru hepar di ICS V
LMC dekstra peranjakan 1 sela iga.
Auskultasi:Vesikuler (+) normal,
ronkhi (-), wheezing (-).
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi :Batas jantung atas ICS II linea
parasternalis
Batas jantung kanan ICS IV linea
sternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V linea
midclavicularis sinistra.

16
Auskultasi:HR 86x/menit, regular, Bunyi
jantung I-II (+) normal,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi :Cembung, kaput medusa (-),
venektasi (-)
Palpasi :Lemas, nyeri tekan (+), spleen
teraba di S1, hepar tidak teraba.
Perkusi :shifting dullness (+), undulasi (-).
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Ekstremitas superior: akral hangat (+),
palmar eritema (-).
Ekstremitas inferior: akral hangat (+),
edema pretibial (-/-)
A: - Hematemesis dan Melena e.c.
pecahnya varises esophagus e.c. sirosis
hepatis.

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3. 1 Sirosis Hepatis
3.1.1 Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat
adanya nekrosis hepatoselular.2

3.1.2 Etiologi
Penyebab dari sirosis hepatis sangat beraneka ragam, namun mayoritas
penderita sirosis awalnya merupakan penderita penyakit hepar kronis yang disebabkan
oleh virus hepatitis atau penderita steatohepatitis yang berkaitan dengan kebiasaan
minum alkohol ataupun obesitas. Beberapa etiologi lain dari penyakit hepar kronis
diantaranya adalah infestasi parasit (schistosomiasis), penyakit autoimun yang
menyerang hepatosit atau epitel bilier, penyakit hepar bawaan, penyakit metabolik
seperti Wilson’s disease, kondisi inflamasi kronis (sarcoidosis), efek toksisitas obat
(methotrexate dan hipervitaminosis A), dan kelainan vaskular, baik yang didapat
ataupun bawaan.4 Komplikasi sirosis pada dasarnya tidak terlepas dari etiologi.
Meskipun demikian, hal ini berguna untuk mengklasifikasikan pasien dengan
penyebab penyakit liver yang diderita.5

18
3.1.3 Epidemiologi
Sirosis hepar mengakibatkan terjadinya 35.000 kematian setiap tahunnya di
Amerika.3 Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada. Di RS Sardjito
Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di
Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (data tahun 2004). Lebih dari 40%
pasien sirosis adalah asimptomatis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan
pada waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena penyakit yang lain.2

3.1.4 Faktor Resiko


Penyebab pasti dari sirosis hepar sampai sekarang belum jelas, tetapi sering
disebutkan antara lain :6
a. Faktor Kekurangan Nutrisi
Menurut Spellberg, Shiff (1998) bahwa di negara Asia faktor gangguan nutrisi
memegang penting untuk timbulnya sirosis hepar. Dari hasil laporan Hadi di dalam
simposium Patogenesis sirosis hepar di Yogyakarta tanggal 22 Nopember 1975,
ternyata dari hasil penelitian makanan terdapat 81,4 % penderita kekurangan protein
hewani, dan ditemukan 85 % penderita sirosis hepar yang berpenghasilan rendah, yang
digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli, petani, buruh kasar, mereka yang
tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah menengah.
b. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
sirosis hepar, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun
1965 dalam darah penderita dengan penyakit hepar kronis, maka diduga mempunyai
peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hepar sehingga terjadi sirosis. Secara
klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan
untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang
kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.

19
c. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hepar secara akut dan kronis. Kerusakan hepar akut akan berakibat
nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hepar.
Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alcohol.
Tumbuhan obat seringkali terkontaminasi oleh berbagai cendawan, yang akan
mengakibatkan pembusukan dan memproduksi mikotoksin. Beberapa tumbuhan obat
yang dipakai sebagai bahan campuran jamu di Malaysia dan Indonesia (seperti jahe,
kunyit, kencur, kayu rapat, sambiloto, dll), dideteksi mengandung aflatoksin.
Aspergillus flavus, A. parasiticus.7
Infeksi Hepatitis B kronis dan paparan aflatoksin (AFB1) berperan dalam
terjadinya Hepatocellular carcinoma (HCC) di negara-negara berkembang. 4,6-28,2%
dari semua kasus HCC mungkin disebabkan paparan AFB1. Apalagi jika individu yang
terkena virus hepatitis B kronis (HBV) dan AFB1 bersama-sama, risiko kanker menjadi
lebih serius melalui peningkatan risiko 30 kali lebih besar.8

d. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang
muda dengan ditandai sirosis hepar, degenerasi basal ganglia dari otak, dan
terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser
Fleischer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defesiensi bawaan dari seruloplasmin.
Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan
penimbunan tembaga dalam jaringan hepar.

e. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
1. Sejak dilahirkan penderita mengalami kenaikan absorpsi dari Fe.

20
2. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada penderita
dengan penyakit hepar alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan
menyebabkan timbulnya sirosis hepar.
f. Sebab-Sebab Lain
1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.
Perubahan fibrotik dalam hepar terjadi sekunder terhadap reaksi dan nekrosis
sentrilobuler
2. Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan
dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai
pada kaum wanita.
3. Penyebab sirosis hepar yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis
kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris.
4. Dari data yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis 40-50%
kasus, sedangkan hepatitis C dalam 30-40 % . sejumlah 10-20% penyebabnya
tidak diketahui dan termasuk disini kelompok virus yang bukan B atau C.

3.1.5 Klasifikasi Sirosis Hepatis


Secara klinis sirosis hepar dibagi menjadi:6
1. Sirosis hepatis kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata
2. Sirosis hepatis dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang
jelas. Sirosis hepar kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik
dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat
dibedakan melalui biopsi hepar.
Secara morfologi Sherrlock membagi Sirosis hepar bedasarkan besar kecilnya nodul,
yaitu:
1. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
2. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
3. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

21
Menurut Gall seorang ahli penyakit hepar, membagi penyakit sirosis hepar atas:
1. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau
sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk karena
banyak terjadi jaringan nekrose.
2. Nutrisional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler, sirosis
alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai akibat
kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
3. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita
hepatitis.
Untuk mempermudah pembagian apakah seseorang berada di dalam stadium
sirosis hepatis kompensata ataupun dekompensata, terdapat pembagian tingkatan
sirosis hepatis menjadi 4 stadium. Pembagian ini sesuai dengan konsensus Baveno IV,
dimana klasifikasi sirosis hepatis ini berdasarkan ada tidaknya varises, asites dan
perdarahan varises:
 Stadium 1 : tidak ada varises, tidak ada asites
 Stadium 2 : varises (+), tidak ada asites
 Stadium 3 : asites dengan atau tanpa perdarahan varises
 Stadium 4 : perdarahan varises dengan atau tanpa asites
Stadium 1 dan 2 dimasukkan ke dalam kelompok sirosis kompensata,
sementara stadium 3 dan 4 dimasukkan ke dalam kelompok sirosis hepatis
dekompensata.15

3.1.6 Patogenesis
Sirosis hepatis sering didahului oleh hepatitis dan fatty liver (steatosis), sesuai
dengan etiologinya. Jika etiologinya ditangani pada tahap ini, perubahan tersebut masih
sepenuhnya reversibel. Ciri patologis dari sirosis adalah pengembangan jaringan parut
yang menggantikan parenkim normal, memblokir aliran darah ke portal melalui organ
dan mengganggu fungsi organ normal.
Penelitian terbaru menunjukkan peran penting sel stellata, tipe sel yang
biasanya menyimpan vitamin A dalam pengembangan sirosis. Kerusakan parenkim

22
hepar menyebabkan sel stellata menjadi kontraktil (miofibroblast) dan menghalangi
aliran darah dalam sirkulasi. Sel ini mengeluarkan TFG-β1 yang mengarah pada respon
fibrosis dan proliferasi jaringan ikat. Selain itu, juga mengganggu keseimbangan antara
matriks metalloproteinase dan inhibitor alami (TIMP 1dan 2) yang menyebabkan
kerusakan matriks. Pita jaringan ikat (septa) memisahkan nodul-nodul hepatosit yang
pada akhirnya menggantikan arsitektur seluruh hepar yang berujung pada penurunan
aliran darah di seluruh hepar. Limpa menjadi terbendung mengarah ke hipersplenisme
dan peningkatan sekuesterasi platelet. Hipertensi portal bertanggung jawab atas
sebagian besar komplikasi parah sirosis.9

3.1.7 Manifestasi Klinis


Sirosis hepar, maka akan terjadi 2 kelainan yang fundamental yaitu kegagalan
fungsi hepar dan hipertensi porta. Manifestasi dari gejala dan tanda - tanda klinis ini
pada penderita sirosis hepar ditentukan oleh seberapa berat kelainan fundamental
tersebut. Kegagalan fungsi hepar akan ditemukan dikarenakan terjadinya perubahan
pada jaringan parenkim hepar menjadi jaringan fibrotik dan penurunan perfusi jaringan
hepar sehingga mengakibatkan nekrosis pada hepar. Hipertensi porta merupakan
gabungan hasil peningkatan resistensi vaskular intra hepatik dan peningkatan aliran
darah melalui sistem porta.
Resistensi intra hepatik meningkat melalui 2 cara yaitu secara mekanik dan
dinamik. Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang terjadi pada sirosis,
sedangkan secara dinamik berasal dari vasokontriksi vena portal sebagai efek sekunder
dari kontraksi aktif vena portal dan septa myofibroblas, untuk mengaktifkan sel stelata
dan sel-sel otot polos. Tonus vaskular intra hepatik diatur oleh vasokonstriktor
(norepineprin, angiotensin II, leukotrin dan trombioksan A) dan diperparah oleh
penurunan produksi vasodilator (seperti nitrat oksida). Pada sirosis peningkatan
resistensi vaskular intra hepatik disebabkan juga oleh ketidakseimbangan antara
vasokontriktor dan vasodilator yang merupakan akibat dari keadaan sirkulasi yang
hiperdinamik dengan vasodilatasi arteri splanknik dan arteri sistemik. Hipertensi porta

23
ditandai dengan peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi vascular
sistemik.2

3.1.8 Diagnosis
Keluhan utama pada pasien dengan sirosis hepatis umumnya tidak khas.
Berikut adalah beberapa contoh gejala dan keluhan yang sering timbul pada pasien
dengan sirosis:
 kulit kuning
 mudah lelah
 lemah
 nafsu makan menurun
 gatal
 mual
 penurunan berat badan
 nyeri perut
 mudah berdarah
 berak hitam/ muntah darah
Pada pasien dengan sirosis hepatis kompensata, umumnya mereka dapat
bertahan selama bertahun-tahun dalam keadaan tanpa gejala sehingga ketika pasien
datang berobat ke dokter dengan salah satu keluhan diatas, umumnya pasien sudah

24
berada di dalam stadium dekompensata. Pada pasien dengan sirosis diikuti fase kronis
dengan pengembangan hipertensi portal dan trombositopenia; penampilan pembesaran
limpa; asites, ensefalopati, dan / atau esophagus varises dengan atau tanpa pendarahan.
Pada pasien yang tidak terdiagnosis sebelumnya, harus segera evaluasi lebih lanjut
untuk menentukan kehadiran hipertensi portal dan penyakit hepar. Varises harus
diidentifikasi oleh endoskopi. Pencitraan abdomen, baik dengan CT atau MRI, dapat
membantu dalam menunjukkan nodular hepar dan perubahan dari hipertensi portal.5
Pada Pemeriksaan fisik, didapatkan penderita yang tampak kesakitan dengan
nyeri tekan pada regio epigastrium. Terlihat juga tanda - tanda anemis pada kedua
konjungtiva mata dan ikterus pada kedua sklera. Tanda - tanda kerontokan rambut pada
ketiak tidak terlalu signifikan. Pada pemeriksaan jantung dan paru, masih dalam batas
normal, tidak ditemukan tanda - tanda efusi pleura seperti penurunan vokal fremitus,
perkusi yang redup, dan suara nafas vesikuler yang menurun pada kedua lapang
paru.Pada daerah abdomen, ditemukan perut yang membesar pada seluruh regio
abdomen dengan tanda-tanda asites seperti pemeriksaan shifting dullness dan
gelombang undulasi yang positif. Hepar, lien, dan ginjal sulit untuk dievaluasi karena
besarnya asites dan nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pada ekstremitas juga ditemukan
adanya edema pada kedua tungkai bawah.2
Pada pemeriksaan laboratorium dapat diperiksa tes fungsi hepar yang meliputi
aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin,
dan waktu protombin. Nilai aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil
oksaloasetat transaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum
glutamil piruvat transaminase (SGPT) dapat menunjukan peningkatan. Gamma -
glutamil transpeptidase (GGT) juga mengalami peningkatan, dengan konsentrasi yang
tinggi ditemukan pada penyakit hepar alkoholik kronik. Konsentrasi bilirubin dapat
normal pada sirosis hepar kompensata, tetapi bisa meningkat pada sirosis hepar yang
lanjut.
Pemeriksaan waktu protrombin akan memanjang karena penurunan produksi
faktor pembekuan pada hepar yang berkorelasi dengan derajat kerusakan jaringan
hepar. Konsentrasi natrium serum akan menurun terutama pada sirosis dengan asites,

25
dimana hal ini dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas. Selain dari
pemeriksaan fungsi hepar, pada pemeriksaan hematologi juga biasanya akan
ditemukan kelainan seperti anemia, dengan berbagai macam penyebab, dan gambaran
apusan darah yang bervariasi, baik anemia normokrom normositer, hipokrom
mikrositer, maupun hipokrom makrositer. Selain anemia biasanya akan ditemukan pula
trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia akibat splenomegali kongestif yang
berkaitan dengan adanya hipertensi porta.
Pemeriksaan USG abdomen pada pasien ini didapatkan kesan berupa adanya
hepatosplenomegali dengan tanda - tanda penyakit heparkronis yang disertai asites
yang merupakan salah satu tanda dari kegagalan fungsi hepar dan hipertensi porta.
Pemeriksaan Endoskopi dengan menggunakan esophagogastroduodenoscopy
(EGD) untuk menegakkan diagnosa dari varises esophagus dan varises gaster sangat
direkomendasikan ketika diagnosis sirosis hepatis dibuat. Melalui pemeriksaan ini,
dapat diketahui tingkat keparahan atau grading dari varises yang terjadi serta ada
tidaknya red sign dari varises, selain itu dapat juga mendeteksi lokasi perdarahan
spesifik pada saluran cerna bagian atas. Di samping untuk menegakkan diagnosis, EGD
juga dapat digunakan sebagai manajemen perdarahan varises akut yaitu dengan
skleroterapi atau endoscopic variceal ligation (EVL).10

3.1.9 Komplikasi
Perjalanan klinis pasien dengan sirosis tidak terlepas dari penyebab yang
mendasari penyakit hepar. Ini termasuk Portal hipertensi dan efek dari
gastroesophageal varises perdarahan, splenomegali, asites, ensefalopati hepar, spontan
peritonitis bakteri (SBP), sindrom hepatorenal, dan karsinoma hepatoseluler.5

26
3.1.10 Tatalaksana17,18
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
1. Simptomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup kalori,
protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin. NB : diet hati III (masih baik dalam
penerimaan protein, lemak, mineral dan vitamin). Diet rendah garam I (jika
asites).
c. Pengobatan berdasarkan etiologi. Misalnya pada sirosis hati akibat
infeksi virus hepatitis C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang telah
dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien dengan hepatitis
C kronik yang belum pernah mendapatkan pengobatan IFN seperti a)
kombinasi IFN dengan ribavirin, b) terapi induksi IFN, c) terapi dosis IFN
tiap hari
a) Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3
x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan

27
(1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan
untuk jangka waktu 24-48 minggu.
b) Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang
lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang
dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu
dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.
c) Terapi dosis interferon setiap hari.
Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap
hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti
1) Asites
2) Spontaneous bacterial peritonitis
3) Hepatorenal syndrome
4) Perdarahan karena pecahnya varises esofagus
5) Ensefalopati Hepatikum

Asites
Terapi konservatif yang terdiri atas :
- Istirahat
- Diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat
dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal
maka penderita harus dirawat.
- Diuretik
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah
garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari
1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian
diuretic adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty
hepatic, maka pilihan utama diuretic adalah spironolacton, dan dimulai
dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari,

28
apabila dengan dosis maksimal diuresisnya belum tercapai maka dapat kita
kombinasikan dengan furosemid.

Terapi lain :
Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif.
Pada keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis. Mengenai parasintesis
cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan
infus albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Ternyata
parasintesa dapat menurunkan masa opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada
Child’s C, Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit <
40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.

Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)


Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan parasintese.
Tipe yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati dengan asites. Keadaan
ini lebih sering terjadi pada sirosis hati stadium dekompesata yang berat. Pada
kebanyakan kasus penyakit ini timbul selama masa rawatan. Infeksi umumnya
terjadi secara Blood Borne dan 90% Monomicroba.
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III
(Cefotaxime), secara parental selama lima hari, atau Quinolon secara oral.
Mengingat angka rekuren yang cukup tinggi maka untuk Profilaksis dapat diberikan
Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu.

Hepatorenal Syndrome
Kriteria Mayor
Penyakit hati kronis dengan asites
Rendahnya glomerular fitration rate (GFR)
Kreatinin serum > 1,5 mg/dl
Creatine clearance (24 hour) < 4,0ml/menit

29
Absence of shock, severe infection, fluid losses and Nephrotoxic drugs
Proteinuria < 500 mg/day
No improvement following plasma volume expansion

Minor
Volume urin< 1liter / hari
Sodium urin < 10 mmol/liter
Osmolaritas urin>osmolaritas plasma
Konsentrasi serum sodium < 13 mmol / liter

Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang


berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit,
perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa:
restriksi cairan, garam, potassium dan protein serta menghentikan obat-obatan
yang nefrotoxic. Pilihan terbaik adalah transplantasi hati yang diikuti dengan
perbaikan dan fungsi ginjal.

Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus


Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi
sering dinomorduakan, namun yang paling penting adalah penanganannya lebih dulu.
Prrinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien
stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan :
- Pasien diistirahatkan dan dipuasakan
- Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfuse
- Pemasangan Naso Gastric Tube (NGT), hal ini mempunyai banyak
sekali kegunaannya yaitu :
a. untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian
obat obatan, evaluasi darah
b. Pemberian obat-obatan berupa antasida, ARH2, Antifibrinolitik, Vitamin
K, Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin

30
Disamping itu diperlukan tindakan-tindakan lain dalam rangka menghentikan
perdarahan misalnya Pemasangan Ballon Tamponade dan Tindakan Skleroterapi /
Ligasi atau Oesophageal Transection.

Ensefalopati Hepatikum
Suatu sindrom neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita penyakit hati
menahun, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan kepribadian, gelisah sampai ke
pre koma dan koma.
Pada umumnya enselopati hepatik pada sirosis hati disebabkan adanya
factor pencetus, antara lain : infeksi, perdarahan gastro intestinal, obat-obat
yang hepatotoksik
Prinsip tatalaksana ada 3 sasaran :
1. Mengenali dan mengobati factor pencetus
2. Intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta
toxin-toxin yang berasal dari usus dengan jalan :
a. Diet rendah protein
b. Pemberian antibiotik (neomisin)
c. Pemberian lactulose/ lactikol
3. Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter
a. Secara langsung (Bromocriptin,Flumazemil)
b. Tak langsung (Pemberian AARS)

3. 2 Varises Esofagus
3.2.1 Definisi
Varises esofagus adalah pembesaran vena yang berkelok-kelok pada dinding
esofagus. Varises esofagus terbentuk karena dilatasi vena subepitelial dan submukosa
dan vena yang berdilatasi menyangkut nervus vagus yang berada di adventitia di luar
tunika muskularis. Varises esofagus selalu mendapat suplai dari cabang anterior vena
gaster sinistra, sedangkan cabang posterior vena menyuplai vena kolateral
paraesofagus.19

31
3.2.2 Epidemiologi
Prevalensi, insidens dan etologi sirrosis mungkin berbeda tergantung pada
lokasi gepgrafis, tetapi insidens internasional dan tingkat risiko tahunan varises
esophagus adalah serupa. Sebagian besar varises terjadi karena hipertensi portal karena
sirrosis. Sirrosis hepar adalah penyebab ke-3 kematian setelah kanker dan penyakit
kardiovaskular pada orang berusis 25-65 tahun. Penyebab utama sirrosis di negara
bagian barat adalah penyakit hepar alkoholik, diikuti oleh hepatitis virus. Di luar
negara barat, penyebab utama sirrosis adalah hepatitis B dan hepatitis C. Hepatitis B
merupakan endemis di Asia Timur dan Asia Tenggara, sebagian Amerika Selatan,
Afrika Utara, Mesir dan negara lain di Timur Tengah. Hepatitis C menjadi penyebab
utama sirrosis hepar di seluruh dunia.7 Dalam beberapa tahun, kejadian sirrosis
semakin meningkat dengan semakin ditemukannya kasus hepatitis C. Insidens varises
esophagus sebanyak 50% pada pasien dengan sirrosis. Risiko terbentuknya varises
esophagus adalah 5-15 %.20
Pasien yang mengalami perdarahan pertama varises esophagus memiliki
kemungkinan 70% untuk perdarahan ulang, dan kira-kira sepertiga peristiwa
perdarahan fatal. Puncak risiko kematian adalah selama hari awal peristiwa perdarahan
dan menurun perlahan selama 6 minggu pertama. Tingkat kematian cukup tinggi pada
intervensi pembedahan untuk perdarahan varises akut. Abnormalitas pada ginjal,
pulmonal, kardiovaskular dan sistem imun pada pasien dengan varises esophagus
berperan pada 20-65% mortalitas.21
Varises esophagus muncul pada hampir setengah pasien dengan sirrosis pada
saat diagnosis, dengan tingkat paling tinggi pada pasien dengan Child–Turcotte–Pugh
(child) kelas B atau C. (table 1). Pembentukan dan pertumbuhan varises esophagus
muncul 7% per tahun. Kejadian perdarahan varises pertama pada tahun pertama adalah
12% (5% pada varises kecil dan 15% pada varises besar). Disamping ukuran varises,
red wale marks pada varises dan penyakit hepar lanjut (child kelas B atau C)
menandakan pasien memiliki risiko tinggi perdarahan varises. Tingkat rekurensi

32
perdarahan pada 1 tahun pertama adalah 60%. Kematian dalam 6 minggu pada setiap
peristiwa perdarahan varises adalah 15-20%.26

Tabel 1. Klasifikasi sirrosis menurut Child-Turcotte-Pugh

3.2.3 Perjalanan Penyakit


3.2.3.1 Pembentukan Varises Esofagus
Penyakit hepar kronis yang mengakibatkan sirrosis adalah penyebab utama
hipertensi portal (peningkatan tekanan vena portal). Tekanan vena portal (P) adalah
hasil dari resistensi vaskular (R) dan aliran darah (Q) pada pembuluh portal,
sebagaimana dijelaskan pada hukum Ohm – P = Q x R.19 Peningkatan resistensi pada
struktur (distorsi arsitektur vaskular hepar karena fibrosis dan regenerasi nodul) dan
dinamik (peningkatan irama vaskular hepatik sebagai akibat disfungsi endotelial dan
penurunan bioavailabilitas nitrit oxide).22
Ketika gradien tekanan portal (perbedaan antara tekanan vena portal dan
tekanan vena hepatik) meningkat di atas nilai ambang batas, kolateral terbentuk pada
tempat komunikasi portal dan sistem sirkulasi. Proses ini dimodulasi oleh faktor
angiogenik. Tetapi, karena resistensi yang lebih tinggi dan peningkatan inflow vena
portal, aliran kolateral ini tidak mampu untuk menurunkan tekanan yang tinggi.
Bersamaan dengan pembentukan portosistemik kolateral, inflow darah vena portal
meningkat sebagai hasil dari vasodilatasi splanchnic dan peningkatan cardiac output.
Peningkatan aliran portal memicu terjadinya hipertensi portal. Varises gastroesofageal

33
adalah aliran kolateral yang paling penting, karena hipertensi portal menyebabkan
aliran hepatofugal (aliran balik), yang menggalihkan aliran darah uphill pada cephalic
melewati vena gaster sinistra ke pleksus venosus esofagus. Terjadi peningkatan
tekanan dan aliran yang melewatinya sehingga pembuluh darah membesar dan
berpotensi ruptur.23 Pembentukan varises esofagus paling banyak pada sepertiga distal
esofagus, terutama pada gastroesofageal junction.24

Gambar 1. Patogenesis hipertensi portal, varises dan perdarahan varises26

3.2.3.2 Faktor Risiko Perdarahan


Faktor predisposisi terjadinya perdarahan varises esofagus masih belum jelas.
Pendapat bahwa espfagitis merupakan pencetus varises esofagus telah terbantahkan.
Saat ini faktor penting yang terlibat dalam perdarahan varises adalah : (i) tekanan di

34
dalam varix, (ii) ukuran varises, (iii) dinding varises, dan (iv) keparahan penyakit
hepar.19

a. Tekanan Portal
Pada banyak kasus, tekanan portal menggambarkan tekanan intravarises.
Hipertensi portal paling baik diukur (secara tidak langsung) menggunakan pengukuran
wedged hepatic venous pressure (WHVP). Perbedaan tekanan antara portal dan
sirkulasi sistemik (hepatic venous pressure gradient, HVPG) sebesar 10-12 mmHg
diperlukan untuk pembentukan varises. Nilai HVPG normal adalah 3-5 mmHg.
Pengukuran tunggal berguna untuk menentukan prognosis sirrosis terkompensasi dan
tidak terkompensasi, sedangkan pengukuran ulangan berguna untuk memonitor respon
terapi farmakologi dan perjalanan penyakit hepar.21
Tekanan dinding varises mungkin merupakan faktor utama yang menentukan
ruptur varises. Pada tekanan rata-rata, pembuluh darah dengan diameter besar akan
ruptur sementara pembuluh darah berdiameter kecil tidak akan ruptur. Ruptur varises
terjadi jika tekanan dalam varix terlalu tinggi. Kemungkinan bahwa suatu varises akan
pecah dan berdarah meningkat seiring dengan peningkatan tekanan varises, yang
sebanding lurus dengan HVPG. Dan sebaliknya, varises tidak akan berdarah jika
HVPG di bawah 12 mmHg. Risiko perdarahan ulang menurun secara signifikan dengan
penurunan HVPG lebih dari 20% dari garis batas.21,26
Pasien dengan penurunan HVPG hingga < 12 mmHg memiliki kemungkinan
yang lebih kecil untuk terjadinya perdarahan varises ulang dan juga risiko yang lebih
rendah untuk ascites, peritonitis bakterial spontan dan kematian.21,26
.
b. Ukuran Varises
Ukuran varises paling baik dinilai dengan menggunakan endoskopi. OMED
mengklasifikasikan ukuran varises esofagus menjadi 3 derajat yaitu:

 Grade 1 = varises esofagus kecil dan tidak berkelok-kelok, rata dengan


insuflasi

35
 grade 2 = varises esofagus yang berkelok-kelok, meliputi kurang dari 50%
diameter esofagus distal

 grade 3 = varises esofagus yang besar dan berkelok-kelok, meliputi lebih dari
50% diameter esofagus distal.
Telah terbukti bahwa risiko perdarahan varises esofagus berkaitan dengan
ukurannya. Varises esofagus besar adalah risiko terbesar, dimana mungkin disebabkan
oleh tekanan dinding varises yang lebih besar. Semakin besar dan semakin superior
lokasi varises meningkatkan risiko perdarahan.23,24

c. Dinding Varises
Polio dan Grozzmann menggunakan model in vitro menunjukkan bahwa ruptur
varises berhubungan dengan tekanan pada dinding varises. Tekanan tergantung pada
diameter dari varix. Pada model ini, peningkatan ukuran varix dan penurunan ketebalan
dinding varises menyebabkan ruptur varises. Gambaran endoskopi seperti tanda ”red
spots” dan ”wale” digambarkan pertama kali sebagai prediksi perdarahan oleh Dagradi.
Ini menggambarkan perubahan pada struktur dan tekanan dinding varises yang
berhubungan dengan pembentukan microtelangiectasias. Perubahan warna pada
mukosa varises yang selalu menjadi merah merupakan tanda perdarahan baru atau
risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan. Terdapat 4 sub kategori yang masing-masing
adalah:
(1) Red Wall Marking (RWM), ialah tanda perdarahan pembuluh darah pada dinding
varises yang memanjang dan menyerupai cambuk.

36
Gambar 2. Red Wale Marking

(2) Cherry Red Spot (CRS), ialah bintik-bintik merah yang banyak dengan
diameter lebih dari 2 mm, terdapat pada dinding varises

Gambar 3. Cherry Red Spot

(3) Hemato Cystic Spot (HCS), ialah tanda warna merah yang lebih besar, lebar
dan kistik. Terdapat pada varises yang besar dan merupakan risiko tinggi
untuk terjadinya perdarahan

37
Gambar 4. Hematocystic Spot

(4) Diffuse Redness (DR), ialah warna merah yang difus pada mukosa varises,
tidak terdapat permukaan yang meninggi atau cekung seperti esofagitis.

Gambar 5. Diffuse Redness


Dalam penelitian retrospektif oleh Japanese Research Society for Portal Hypertension,
Beppu menunjukkan bahwa 80% pasien yang memiliki varises biru atau cherry red
spot mengalami perdarahan varises, menunjukkan bahwa ini sangat penting sebagai
prediktor perdarahan varises pada sirrosis.21

d. Derajat Penyakit Hepar


Analisis hubungan antara parameter klinis dan endoskopi pada studi North
Italian Endoscopic Club (NIEC) telah menunjukkan tiga variabel sebagai faktor
independent prognostik perdarahan varises : kelas Child, ukuran varises dan adanya
tanda red wale. Ketiga variabel tersebut berdiri sendiri, walaupun terkadang ukuran
varises dan adanya tanda red wale saling berhubungan.20 Indikator paling efektif untuk

38
risiko perdarahan ulang adalah parameter yang menggambarkan derajat disfungsi
hepar, meliputi adanya ascites, hipoalbuminemia, aktivitas prothrombin yang rendah,
encefalopati dan hiperbilirubinemia.26

3.2.4 Diagnosis
3.2.4.1 Gejala klinik
Pada varises esofagus yang tidak menimbulkan perdarahan, biasanya tidak
memberikan keluhan, sukar untuk dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik. Oleh
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan rontgenologik dan endoskopik.22
Perdarahan varises sering terjadi tanpa faktor presipitasi yang jelas dan
biasanya muncul sebagai hematemesis spontan dan masif yang tidak nyeri dengan atau
tanpa melena. Darah yang dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak
membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Hematemesis yang diduga
karena pecahnya varises esofagus, perlu diperhatikan gangguan faal hati, yaitu : ada
tidaknya foetor hepatikum, ikterus, spider nevi, eritema palmaris, venektasi di sekitar
abdomen, asites, splenomegali, tanda endokrin sekunder pada wanita (gangguan
menstruasi, atrofi payudara) dan pada pria (ginekomasti, atrofi testis). Tanda yang
menyertai bervariasi dari takikardi postural ringan sampai syok berat, bergantung pada
jumlah darah yang keluar dan derajat hipovolemia. Karena pasien dengan varises dapat
berdarah dari lesi gastrointestinal lain (misal. Ulkus peptikum, gastritis), sumber
perdarahan lain perlu disingkirkan bahkan pada pasien yang pernah mengalami
perdarahan varises.19,20

3.2.4.2 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Endoskopi adalah gold standard untuk deteksi dan skrining varises esofagus,
namun endoskopi mahal, invasif dan seringkali tidak dapat dilakukan di pusat
kesehatan terutama di kota kecil dan pedalaman. Beberapa penelitian telah meneliti
metode non invasif untuk mendeteksi varises esofagus dengan berbagai variabel seperti
platelet, ukuran lien, level albumin serum, ukuran vena portal, rasio SAAG (serum

39
ascetik albumin gradient), prothrombin time (P.T) dan rasio platelet/diameter lien.
Marker echografi indirek hipertensi portal (ascites, diameter vena portal > atau = 13
mm, panjang lien, kecepatan aliran vena portal maksimal dan rata-rata, berturut-turut
< 20 cm/s dan < 12 cm/s) dapat berguna. Diantara parameter tersebut, panjang lien
adalah penanda independen prediksi varises esofagus. Trombositopeni pada beberapa
penelitian terbukti sebagai faktor risiko kuat untuk kehadiran varises esofagus. Jumlah
platelet (68.000-160.000) berulang kali ditemukan sebagai penanda prediksi varises
esofagus pada analisis multivariate.23
Pembesaran lien (teraba secara klinis atau peningkatan pada pemeriksaan
ultrasound) ditemukan memiliki hubungan yang signifikan untuk prediksi varises
esofagus. Thomopulous KC et all menemukan ukuran 135 mm pada ultrasound,
madhora R et all, fagundes ED et all mendeteksi pembesaran lien pada penelitian
mereka. Atif Zaman et all dan Sharma SK menemukan pembesaran lien sebagai
prediktor untuk terjadinya varises esofagus. Niaz AS et all, dalam penelitiannya
mendapatkan hasil bahwa hipoalbuminemia (2,48 mg/dl), platelet, diameter lien dan
rasio platelet/diameter lien menunjukkan korelasi yang kuat untuk terbentuknya varises
esofagus pada pasien dengan sirrosis.25

b. Esofagoduodenoskopi
Esofagogastroduodenoskpoi adalah gold standar untuk diagnosis varises
esofagus. Jika gold standar tidak dapat dilakukan, langkah diagnosis lain yang dapat
dilakukan adalah Doppler ultrasonografi sirkulasi darah. Walaupun ini bukan pilihan
yang baik, ini dapat menunjukkan secara langsung adanya suatu varises. Alternatif
lebih lanjut meliputi radiografi/ kontras barium dari esofagus dan gaster, serta
angiografi vena portal.19

40
Gambar 6. Gambaran endoskopi varises esofagus

Kelainan endoskopi pada penderita dengan varises esofagus, tampak jelas


gambaran varises yang berkelok-kelok sebagian besar di pertengahan distal esofagus
berwarna keabu-abuan atau kemerah-merahan. Pada yang pernah mengalami
perdarahan terdapat bekas perdarahan berupa sikatriks yang merah kehitaman. Pada
perdarahan akut dapat terlihat perdarahan segar yang berasal dari pecahnya varises
esofagus. Dengan endoskopi juga dapat ditentukan derajat dan beratnya suatu varises
esofagus.22
Guideline dari WGO, screening esofagoduodenoskopi (EGD) untuk diagnosis
varises esofagus dan gaster direkomendasikan jika telah dibuat diagnosis sirrosis. Pada
pasien dengan sirrosis yang terkompensasi, EGD diulang setiap 2-3 tahun. Namun bila
pasien tersebut memiliki varises, EGD diulang setiap 1-2 tahun. Pada pasien dengan
sirrosis yang tidak terkompensasi, EGD diulang setiap tahun.10 Guideline dari
American Assosiation of Liver Disease menyarankan skrining endoskopi pada pasien

41
sirrosis hepar stadium Child A dengan gejala hipertensi portal terutama dengan
trombosit < 140.000/mm3 dan diameter vena portal lebih dari 13 mm atau pada stadium
B atau C.24

c. Barium Enema

Gambar.7. Uphill esophageal varices. Barium swallow demonstrates multiple serpiginous


filling defects primarily involving the lower one third of the esophagus with striking
prominence around the gastroesophageal junction. The patient had cirrhosis secondary to
alcohol abuse.

Kontras barium dapat dilakukan jika pasien memiliki kontraindikasi untuk


endoskopi atau endoskopi tidak dapat dilakukan. Dengan barium, varises esofagus
terlihat seperti berkelok-kelok, serpiginous, terdapat defek longitudinal pengisian pada
lumen esofagus. Varises esofagus dapat terlihat seperti lipatan tebal dikelilingi daerah
putih luas karena barium terjebak di antara kumpulan varises. Ini dapat membedakan
varises dengan penebalan lipatan esofagus karena esofaginitis.22
d. CT-scan
Pada CT scan, varises terlihat sebagai bentukan bulat, tubular, atau struktur
serpentine yang halus, memiliki gambaran yang homogen dan menyerap kontras
dengan derajat yang sama dengan vena di dekatnya. Varises esofagus terlihat sebagai
penonjolan intralumen dengan tepi scalloped dan berhubungan dengan penebalan
dinding yang meningkat dengan material kontras. Akan tetapi, varises esofagus kurang
terdeteksi dengan CT-scan jika dibandingkan dengan jenis varises yang lain karena
lokasinya mural dan tidak adanya jaringan lemak di sekitarnya.21

42
3.2.5 Penatalaksanaan
3.2.5.1 Pencegahan Perdarahan Varises
Pasien yang memiliki varises esofagus dengan risiko tinggi perdarahan harus
diidentifikasi untuk memulai pencegahan perdarahan primer. Prediktor independen
risiko perdarahan terdiri dari : derajat disfungsi hepar, ukuran varises esofagus, dan
kehadiran red wale pada varises esofagus. Petunjuk terkini menganjurkan pencegahan
primer untuk semua pasien dengan varises medium dan besar dan pasien dengan varises
kecil dengan tanda red wale atau pada pasien Child C. pasien dengan varises kecil
tanpa tanda red wale dan child A atau B mungkin dapat diterapi dengan beta-blocker
untuk mencegah progresivitas varises dan perdarahan, namun masih diperlukan
penelitian lebih lanjut.

43
a Terapi farmakologi
Tujuan utama terapi farmakologi pada varises esofagus adalah untuk
menurunkan tekanan portal dan sebagai konsekuensinya, tekanan intravarises. Terapi
farmakologi untuk pencegahan primer, perdarahan akut dan pencegahan sekunder
adalah sama. Varises jarang mengalami perdarahan jika gradien tekanan kurang dari
12 mmHg, penurunan gradien pada level ini ideal pada pengobatan varises esofagus.20
Terdapat tiga jenis utama obat yang digunakan dalam pengobatan varises
esofagus, yaitu vasokonstriktor splanchnic, venodilator dan vasodilator. Obat yang
merupakan vasokonstriktor splanchnic adalah golongan vasopressin (analog),
somatostatin (analog) dan non-selektif beta-blocker. Vasopressin dan somatostatin
(dan analognya, octreotide dan vapreotide) diberikan secara parenteral dan efektif
dalam menghentikan perdarahan untuk sementara pada lebih dari 80% pasien.
Somatostatin mungkin lebih baik dari analognya octreotide.22

Non-Selektif Beta Blocker


Non-selective beta-blockers (seperti propranolol, nadolol, timolol)
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk pencegahan primer perdarahan
varises pada pasien sirrosis dengan risiko perdarahan tinggi. Beta blocker menurunkan
aliran darah splanchnic, tekanan portal dan akhirnya aliran darah kolateral
gastroesofageal. Propanolol dan nadolol, non-selektif beta blocker, lebih disukai
karena kombinasi aksinya : blokade reseptor β1-adrenergik menyebabkan
vasokonstriksi splanchnic dengan reflex aktivasi adrenergik reseptor menghasilkan
vasokonstriksi splanchnic dan perifer melalui eliminasi vasodilatasi yang diperantarai
reseptor β2-adrenergik. Oleh karena itu, nonselektif beta-blocker seperti propanolol
atau nadolol lebih baik daripada beta-blocker selektif karena mekanisme kerja yang
lebih luas. Mereka diberikan secara oral dan digunakan untuk terapi jangka panjang
pada hipertensi portal.23
Penggunaan non-selektif beta-blocker juga memiliki kontraindikasi dan efek
samping. Kontraindikasi absolut penggunaan non-selektif beta-blocker adalah penyakit
paru obstruktif, decompensatio cordis atau penyakit katup aorta, derajat dua dan tiga

44
atrioventricular block dan inssufisiensi erteri perifer. Kontraindikasi relatif penggunaan
non-selektif beta-blocker adalah sinus bradikardi dan insulin-dependent diabetes
mellitus. Kontraindikasi dapat ditemukan pada 5-20% pasien.21 Pada pasien tanpa
varises, pengobatan dengan non-selektif beta blocker tidak direkomendasikan karena
tidak mencegah pembentukan varises dan berpotensi untuk efek samping seperti
hipotensi simtomatik, bradikardi berat, ensefalopati, kelemahan dan impotensi, yang
dapat menurunkan kemampuan (terutama pada laki-laki muda).25,26, Terapi beta
blocker dini dapat menghambat perkembangan varises esofagus yang kecil.20
Pemberian non-selektif beta-blocker sebaiknya dimulai dari dosis rendah (20
mg dua kali sehari untuk propanolol dan 40 mg satu kali sehari untuk nadolol) yang
dapat ditingkatkan secara bertahap dengan monitoring denyut jantung dan tekanan
darah, sampai dosis maksimal 120 mg dua kali sehari untuk propanolol dan 160 mg
satu kali sehari untuk nadolol. Dosis beta blocker sebaiknya ditingkatkan untuk
mendapat setidaknya penurunan 25% denyut jantung atau terjadinya gejala. Terapi
dengan beta-blocker dibberikan seumur hidup, pasien sebaiknya diedukasi untuk tidak
menghentikan pengobatan karena risiko perdarahan rebound.20

Nitrat
Venodilator yang digunakan pada pengobatan varises esofagus adalah nitrat.
Long acting nitrat – isosorbid dinitrat (ISDN) atau isosorbid-5-mononitrat (ISMN) –
menurunkan tekanan portal dengan menurunkan resistensi intrahepatik dan portal-
collateral. Isosorbid 5-mononitrat menurunkan tekanan portal, namun penggunaannya
pada pasien sirrosis hepatitis terbatas karena pengaruh vasodilatasi sistemiknya, yang
sering menyebabkan penurunan tekanan darah dan berpotensi menyebabkan gagal
ginjal pre-renal.19 Pemberian ISMN dimulai dari dosis 10 mg dua kali perhari dan
dinaikkan perhari hingga tercapai dosis 40 mg dua kali perhari. Efek samping nitrat
tergantung pada dosisnya, yaitu cephalgia (20%) dan hipotensi. Nitrat organik dapat
menyebabkan kerusakan ginjal dan sebaiknya tidak diberikan sebagai terapi tunggal.21
Obat yang meningkatkan penghantaran nitrit oxide ke sirkulasi intrahepatik,
seperti golongan nitrate dan simvastatin, dan obat yang menghambat aktivitas

45
adrenergik (seperti prazosin dan clonidine) atau yang menghambat angiotensin (seperti
captopril, losartan dan irbesartan) bekerja dengan menginduksi venodilatasi
intrahepatik. Sayangnya, venodilator mungkin juga menyebabkan vasodilatasi
sistemik, dengan semakin memburuknya retensi natrium dan vasokonstriksi renal.
Pengecualian bagi simvastatin, yang bekerja pada disfungsional endotel intrahepatik
tanpa mempengaruhi sirkulasi sistemik. 25,26

Beta blocker dan nitrat


Kombinasi terapi vasodilator dan vasokonstriktor memberikan efek sinergis
menurunkan tekanan portal. Kombinasi isosorbid 5-mononitrat dengan nonselektif
beta-blocker telah menunjukkan peningkatan efek dalam menurunkan tekanan portal
dan lebih efektif pada pasien yang tidak merespon dengan terapi beta-blocker tunggal.
Kombinasi beta-blocker dan ISMN terbukti lebih baik daripada skleroterapi. Namun,
terapi kombinasi tersebut juga meningkatkan efek yang tidak diinginkan pada fungsi
ginjal don mortalitas jangka panjang, terutama yang berusia di atas 50 tahun.23

b Terapi endoskopi
Selama 20 tahun terakhir, terapi endoskopi telah menunjukkan peran penting
pada penatalaksanaan varises esofagus. Skleroterapi endoskopik, paling sering dengan
etanol, morrhuate sodium, polidocanol, or sodium tetradecyl sulfate, telah sering
digunakan, dan ligasi varises esofagus, baru-baru ini difasilitasi alat ligasi multiband,
yang telah sering digunakan beberapa dekade terakhir.23
Endoscopic Sclerotherapy (EST) dan Endoscopic Variceal Ligation (EVL)
efektif dalam menghentikan perdarahan pada lebih dari 90% pasien. EVL
mengeradikasi varises esofagus dengan komplikasi lebih sedikit daripada EST dan
telah menunjukkan sama bermanfaatnya dengan penggunaan beta-blocker. Pada
banyak kasus, EVL direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi
kontraindikasi penggunaan beta-blocker, atau pada mereka yang tidak menunjukkan
penurunan HVPG >20% atau <12 mmHg. Namun, pada pasien dengan perdarahan
aktif, EVL lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan EST.23

46
Endoscopic variceal ligation
EVL telah menjadi pilihan terapi untuk mengontrol perdarahan varises
esovagus dan untuk obliterasi varises pada pencegahan sekunder. Hasil dari 6
penelitian prospektifrandom telah membandingkan secara langsung EVL dan EST
melaporkan bahwa EVL lebih baik daripada EST dalam mengeradikasi varises lebih
cepat dengan lebih sedikit perdarahan ulangan. Meta analisis telah mengkonfirmasi
keunggulan EVL daripada EST untuk semua outcome mayor (perdarahan ulang,
komplikasi lokal termasuk pembentukan ulcer dan striktur, waktu dari obliterasi varises
dan peluang hidup). Dibandingkan dengan EST, EVL lebih jarang mengakibatkan
bakteremia. Walaupun antibiotik profilaksis diindikasikan untuk semua pasien yang
dirawat dengan perdarahan varises, keputusan untuk menggunakan antibiotik
profilaksis pada pasien risiko tinggi yang semata-mata untuk mencegah komplikasi
infeksi EVL harus diberikan secara individu. Rekurensi varises esofagus lebih sering
pada yang diterapi dengan EVL. EVL lebih sulit dilakukan daripada EST pada
perdarahan aktif karena lapang pandang yang buruk atau operator yang kurang
berpengalaman. Penambahan terapi dengan beta-blocker harus dipertimbangkan
sebagaimana telah dilaporkan menurunkan dengan cepat angka perdarahan ulang dari
38% menjadi 14%. Kombinasi EST dan EVL tidak lebih baik dari EVL sendiri.20

Endoscopic sclerotherapy
EST telah berhasil mengkontrol perdarahan aktif lebih dari 90% pasien dan
mampu menurunkan frekuensi dan keparahan perdarahan varises ulang. Varises gaster
sebagai lanjutan varises esofagus dapat diterapi dengan EST di bawah esophagogastric
junction. Skleroterapi dilakukan dengan injeksi sklerosan intravariseal atau
paravariseal. Berbagai agen (sodium tetradecyl sulfate, sodium morrhuate,
ethanolamine oleate, polidocanol dan ethanol) telah digunakan pada berbagai
konsentrasi, volume dan interval pengobatan. Semakin sering terapi didapat semakin
cepat obliterasi varises dibandingkan dengan terapi yang lebih jarang, tetapi lebih besar
berkaitan dengan ulserasi mukosa. Komplikasi EST termasuk demam, retrosternal

47
discomfort atau nyeri, disfagia, perdarahan karena injeksi, ulkus esophagus dengan
perdarahan lambat, perforasi esophagus, mediastinitis, efusi pleura, bronkhoesofageal
fistel, adult respiratory distress syndrome dan infeksi.22

3.2.5.2 Penatalaksanaan Perdarahan Akut


Perdarahan varises merupakan kegawatan yang dapat mengancam nyawa.
Pasien yang diduga mengalami perdarahan varises esofagus akut sebaiknya dirawat di
ruang perawatan intensif untuk resusitasi dan penatalaksanaan. Inisial resusitasi
meliputi penilaian dasar termasuk menilai jalan napas pasien dan pemasangan akses
vena perifer. Resusitasi volume darah harus dilakukan segera tapi dengan hati-hati,
dengan hasil mempertahankan stabilitas hemodinamik dan hemoglobin kira-kira 8
g/dL. Rekomendasi ini berdasarkan penelitian eksperimental yang menunjukkan
bahwa penggantian darah yang hilang mengarah pada peningkatan tekanan portal lebih
tinggi dari nilai normal dan menyebabkan lebih banyak perdarahan ulang dan
kematiaan. Dengan cara yang sama, resusitasi cepat dengan salin perlu dihindarkan
karena dapat menambah kemungkinan mempercepat perdarahan varises ulang, ini
dapat memperberat atau mempercepat akumulasi ascites atau cairan pada
ekstravaskular lain. Kemungkinan aspirasi darah dapat terjadi, oleh karena itu intubasi
trakhea mungkin perlu dilakukan untuk melindungi jalan napas pertama untuk
endoskopi, terutama pada pasien dengan ensefalopati hepatik. Tranfusi plasma segar

48
beku dan trombosit dapat dilakukan pada pasien dengan koagulopati dan atau
trombositopeni. 11,12,16
Sekitar separuh dari semua perdarahan varises berhenti tanpa intervensi, walaupun
risiko perdarahan ulangan sangat tinggi. Penatalaksanaan medis perdarahan varises
akut mencakup pemberian vasokonstriktor (vasopresin atau somatotastin), tamponade
balon dan sklerosis endoskopik varises (skleroterapi) atau ligasi endoskopik varises.
Pada pasien dengan perdarahan varises pada fundus gaster, endoscopic variceal
obturation menggunakan adhesi jaringan (seperti cyanoacrylate) banyak dipilih,
pilihan kedua adalah EVL. TIPSS harus dipertimbangkan jika perdarahan fundus
varises tidak terkontrol atau perdarahan ulangan disamping terapi kombinasi
farmakologi dan endoskopi. Emergensi skleroterapi tidak lebih baik daripada terapi
farmakologi pada perdarahan varises akut pada sirrosis.19,25

Terapi Farmakologi
Vasopressin

49
Vasopressin adalah vasokonstriktor kuat yang efektif menurunkan tekanan
portal dengan menurunkan aliran darah portal menyebabkan vasokonstriksi splanchnic.
Ini digunakan sebagai obat pertama pada perdarahan varises, namun sekarang
penggunaannya diizinkan hanya jika obat yang lain tidak dapat diberikan karena
adanya kejadian kardiovaskular yang berat (iskemia atau infark miokard, aritmia,
iskemia mesenterik, iskemia ekstrimitas, kejadian serebrovaskular dan hiponatremia
yang diakibatkan pengaruh antidiuretiknya). Pengaruh tidak menguntungkan ini terjadi
pada 32-64% pasien dan terjadi karena peningkatan resistensi vaskular perifer dan
penurunan cardiac output, detak jantung dan aliran darah koroner. Vasopressin
diberikan melalui infus dengan kecepatan 0,4 U/menit, dengan peningkatan titrasi
hingga mencapai 1.0 U/menit dalam 48 jam, diberikan bersama nitrogliserin
transdermal (20 mg/24 jam) untuk meningkatkan pengaruh hipotensi portal dan
menurunkan efek samping sistemik.19,24

Terlipressin
Terlipressin (triglycyl-lysine vasopressin) adalah derivat long-acing
vasopressin yang perlahan berubah menjadi vasopressin melalui pemecahan enzim
residu triglisil oleh peptidase jaringan. Agen aktif terlipressin dilepaskan secara
perlahan-lahan sehingga efek sampingnya lebih ringan daripada vasopressin. Efek
samping terlipressin cukup ringan, berupa kram abdomen, diare, bradikardi dan
hipertens. Efek samping yang lebih berat seperti aritmia, angina, iskemia ekstrimitas
jarang terjadi. Guideline terkini merekomendasikan dosis inisiasi terlipressin 2 mg/4-6
jam untuk 48 jam pertama, dan setelah periode ini pengobatan dapat dipertahankan
untuk selama 5 hari pada dosis 1 mg/4-6 jam untuk mencegah perdarahan ulang dini.25

Somatostatin
Somatistatin telah digunakan untuk terapi perdarahan varises akut karena
kemampuannya menurunkan tekanan portal dan aliran darah kolateral. Melalui
hambatan pelepasan peptida vasodilator splanchnic (seperti glukagon) dan fasilitasi
pengaruh sistem vasokonstriktor endogen. Ditambah lagi, somatostatin menghambat

50
peningkatan postprandial aliran darah portal dan tekanan portal. Somatostatin
diberikan dengan dosis inisial bolus 250 mg (yang dapat diulang tiga kali) diikuti
dengan infus 250 mg/jam selama 5 hari untuk mencegah perdarahan ulang dini atau
sampai didapatkan periode 24 jam tanpa perdarahan. Efek samping somatostatin
biasanya ringan, yaitu bradikardi, hiperglikemia, diare dan kram abdomen.26

Terapi Antibiotik
Lebih dari 20% pasien sirrosis hepatis yang dirawat inap karena perdarahan
gastrointestinal mengalami infeksi bakteri dan 50% lainnya mendapat infeksi selama
perawatan. Infeksi yang paling sering pada pasien sirrosis hepatis adalah peritonitis
bakterial spontan dan bakteremia spontan, infeksi saluran kencing dan pneumonia.
Bakteri gram negatif adalah yang paling sering ditemukan. Guideline
merekomendasikan antibiotik profilaksis dengan pemberian quinolon oral (contohnya
norfloxacin 400 mg/12 jam) atau sefalosporin intravena, dan dipertahankan selama 7
hari. Penelitian menunjukkan ceftriaxon intravena lebih efektif daripada norfloxacin
oral untuk profilaksis infeksi pada pasien sirrosis dengan perdarahan varises.
Aminoglikosida harus dihindari karena toksik untuk ginjal pada pasien sirrosis.22

Tamponade balon
Penggunaan tamponade balon sudah jarang dilakukan, karena tingginya risiko
perdarahan ulang setelah deflasi dan risiko komplikasi seperti aspirasi, migrasi dan
nekrosis/perforasi esofagus dengan angka kematian sebanyak 20%. Meskipun
demikian, tamponade balon efektif pada banyak kasus untuk menghentikan perdarahan
untuk sementara dan dapat dilakukan pada daerah di dunia dimana EGD dan TIPS tidak
tersedia. Proteksi jalan napas sangat direkomendasikan ketika menggunakan
tamponade balon.Pemasangan tamponade balon ini dibatasi sampai 48 jam. Bila tetap
tidak berhasil harus dipertimbangkan pembedahan.19,21

Terapi Endoskopi
Skleroterapi

51
Skleroterapi endoskopi varises berdasarkan pada konsep bahwa perdarahan
varises terhenti karena trombosis varix yang berdarah setelah injeksi sklerosan
intravariceal atau paravariceal. Dalam percobaan skleroterapi pada perdarahan akut,
terdapat banyak perbedaan pada tipe sklerosan yang digunakan, pengalaman operator,
injeksi intravariceal atau paravariceal dan jadwal follow up. Lebih jauh lagi,
interpretasi hasil percobaan membandingkan injeksi skleroterapi dengan terapi non-
invasif sangat sulit karena inklusi pasien yang tidak mengalami perdarahan aktif pada
saat pengacakan. Empat percobaan telah membandingkan skleroterapi dengan
tamponade balon dan 2 diantaranya menunjukkan control perdarahan yang lebih baik
pada pasien dengan skleroterapi.22

Ligasi
Tehnik ini merupakan modifikasi yang digunakan pada ligasi hemorrhoid
interna. Penelitian acak pada pasien dengan perdarahan varises akut telah menunjukkan
bahwa ligasi endoskopi sama efektifnya dengan skleroterapi pada hemostasis dini.
Komplikasi yang berkaitan dengan ligasi seperti ulkus dan striktur jarang terjadi.20,24

TIPSS (Transjugular Intrahepaik Portosystemic Shunt Stent)


Penatalaksanaan dengan TIPSS merupakan penggantian vaskular dengan
expandable metal stent melewati jalur yang diciptakan antara vena hepatica dengan
cabang intrahepatik utama sistem portal. Transjugular shunting berdampak pada
perubahan hemodinamik yang sama dengan portocaval shunt. Walaupun TIPSS
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah daripada operasi
shunt, komplikasi sedang (seperti perdarahan dan infeksi) dapat terjadi.19

Terapi Operatif
Operasi shunting harus dilakukan pada kasus perdarahan lanjut atau perdarahan
ulangan yang tidak dapat dikontrol dengan endoskopi dan terapi farmakologi – dan jika
TIPSS tidak dapat dilakukan. Terapi operatif termasuk portosystemic shunting atau
sophageal staple transaction dengan atau tanpa esofagogastrik devaskularisasi.

52
Terlepas dari pilihan tehnik operasi, morbidity cukup tinggi pada pasien dengan
penyakit liver lanjut.20

3.2.5.3 Pencegahan Perdarahan Ulang


Pada umumnya terapi untuk pencegahan perdarahan ulang adalah sama dengan
terapi pencegahan perdarahan pertama. Kontrol endoskopi jangka panjang dan banding
atau skleroterapi untuk perdarahan ulangan setiap 3-6 bulan. Jika ligasi endoskopi tidak
dapat dilakukan atau kontraindikasi, dapat diberikan nonkardioselektif β-blocker
(propanolol atau nadolol) dimulai dari dosis rendah dan jika perlu meningkatkan dosis
sedikit demi sedikit sampai penurunan denyut jantung sampai 25%, tetapi tidak lebih
rendah dari 55 kali/menit. Pada pasien yang lebih muda dengan sirrosis yang lebih
ringan (Child–Pugh A), penambahan isosorbide 5-mononitrat (dimulai 2x20 mg per
hari dan ditingkatkan sampai 2x40 mg per hari) dapat dipertimbangkan jika
skleroterapi atau farmakoterapi gagal. TIPS harus dipertimbangkan, terutama pada
kandidat transplantasi hepar. Portosistemik shunt berkaitan dengan tingkat perdarahan
ulang yang lebih rendah dibandingkan dengan skleroterapi/banding, tetapi

53
meningkatkan insidens ensefalopati hepatik. Transplantasi hepar harus selalu
dipertimbangkan pada pasien dengan Child–Pugh grade B atau C.20

54
BAB IV
ANALISIS MASALAH

Sirosis hepatis merupakan perjalanan akhir dari kelainan penyakit hati.


Berdasarkan studi epidemiologi yang dilakukan di rumah sakit besar di Indonesia,
penyakit ini lebih banyak diderita oleh laki-laki dengan rasio laki-laki : wanita = 2,1:1.
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan sirosis hepatis adalah mengatasi
komplikasi yang terjadi dikarenakan pengobatan terhadap etiologi tidak akan lagi
efektif jika pasien sudah memasuki tahap sirosis hati. Batasan sirosis hepatis menurut
WHO secara histologi adalah didapatkannya gambaran fibrosis hati (penumpukan yang
berlebihan dari matriks ekstraseluler dalam hati) ditambah dengan perubahan arsitektur
hati. Progresivitas kerusakan hati ini dapat berlangsung dalam kurun waktu beberapa
minggu hingga beberapa tahun. Penegakkan diagnosis sirosis hepatis dapat dilakukan
melalui gambaran manifestasi dari perjalanan penyakit berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada kasus ini, pasien adalah seorang laki-laki berusia 33 tahun dengan
pekerjaan sebagai petani. Keluhan utama yang diungkapkan pasien adalah perut yang
terasa semakin membesar. Dalam riwayat perjalanan penyakit pasien perlu ditekankan
adanya riwayat kuning ketika pasien masih muda, namun pasien tidak mengingat
waktu persisnya. Pasien juga mengeluhkan mata tampak kuning, namun pasien tidak
berobat. Pasien merupakan perokok aktif yang mengonsumsi 5- 10 batang rokok sehari
selama 20 tahun terakhir.
Pemeriksaan fisik memberikan beberapa gambaran khas bagi pasien dengan
kelainan hati yang bersifat kronis. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan
tekanan darah dalam rentang normal (100/70 mmHg) dan afebris (36,8oC). Pada
pemeriksaan mata didapatkan gambaran sklera ikterik pada kedua mata. Pada
pemeriksaan thoraks, saat inspeksi tidak tampak spider naevi. Pada pemeriksaan
abdomen, pada inspeksi tampak bentuk abdomen cembung dan gambaran venektasi (-
). Pada palpasi abdomen, nyeri tekan (+), hepar sulit dinilai dan lien teraba di S1. Pada
perkusi abdomen didapatkan shifting dullness (+) dan undulasi (-). Pada pemeriksaan

55
ekstremitas, didapatkan gambaran palmar eritema. Baik anamnesis dan pemeriksaan
fisik secara umum maupun spesifik, keluhan pasien mengarah kepada manifestasi
klinis dari sirosis hepatis.
Dalam menegakkan diagnosis sirosis hepatis yang dialami oleh pasien ini,
didapatkan manifestasi klinis berupa asites. Manifestasi ini terjadi akibat baik
hipertensi porta yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik secara sistemik
dan penurunan fungsi hati akibat fibrosis sel hati yang progresif yang mengakibatkan
terjadinya hipoalbuminemia (albumin = 2.5 mg/dl) yang berujung pada penurunan
tekanan onkotik koloid. Baik peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan
onkotik koloid merupakan penyebab utama terjadinya asites.
Terdapat dua mekanisme utama patogenesis dari manifestasi klinis yang
ditunjukkan oleh sirosis hepatis. Pada sirosis hepatis terjadi hipertensi porta dan
kelainan fungsi hati. Hipertensi porta akan menyebabkan terjadinya asites (melalui
mekanisme peningkatan tekanan hidrostatik), terbentuknya varises esofagus dan
splenomegali. Gangguan fungsi hati dapat menyebabkan terjadinya asites (melalui
mekanisme penurunan tekanan onkotik koloid), ikterik (dikarenakan peningkatan
kadar bilirubin direk dan bilirubin indirek di dalam darah), gangguan koagulasi,
hipoalbuminemia dan malnutrisi.
Pasien ini telah mengalami manifestasi dari hipertensi porta berupa asites,
pecahnya varises esofagus yang ditandai dengan BAB hitam. Pasien ini juga telah
mengalami manifestasi kelainan fungsi hati berupa asites, sklera ikterik pada mata yang
merupakan akibat dari tingginya kadar bilirubin di dalam darah, didapatkan
hipoalbuminemia dan malnutrisi yang ditunjukkan dari nafsu makan dan berat badan
yang terus menurun dalam setahun terakhir. Ditambah dengan adanya gejala klinis
palmar eritema sebagai manifestasi dari peningkatan sekunder estradiol akibat sirosis
hepatis.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolf DC. Cirrhosis. Medscape. 2015. (http://emedicine.medscape.com/


article/185856-overview#a3 diakses pada 11 Agustus 2016).
2. Siti Nurdjanah. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I,
Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th ed.
Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia.
2009.h. 668-673.
3. Riley TR, Taheri M, Schreibman IR. Does weight history affect fibrosis in the
setting of chronic liver disease?. J Gastrointestin Liver Dis. 2009. 18(3):299-302.
4. Don C. Rockey, Scott L. Friedman. 2006. Hepatic Fibrosis And
Cirrhosis.http://www.eu.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/97814160
32588/9781416032588.pdf. Diakses pada tanggal 14 Juli 2012
5. Harrison’s. 2013. Principles of Internal Medicine, 18h Edition. USA: McGraw-
Hill.
6. Malau AS. 2012. Karakteristik penderita sirosis hati yang dirawat inap di Rumah
Sakit Martha Friska Medan Tahun 2006-2010. Artikel karya tulis ilmiah
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
7. Noveriza, R. 2008. Kontaminasi Cendawan dan Mikotoksin pada Tumbuhan
Obat. Perspektif ; 7 (1)h. 35 - 46
8. Basak, K and Zehra , H. 2015. Challenging Role of Dietary Aflatoxin B1
Exposure and Hepatitis B Infection on Risk of Hepatocellular Carcinoma. Open
Access Macedonian Journal of Medical Sciences; 3(2):363-369.
9. Jagiello, J.Z.,Simon, M.P., Simon, K., Warwas, M. 2011. Advanced Oxidation
Protein Product and Inflamatory Markers in Liver Cirrhosis : A Comparison
Between Alcohol Related and HCV related cirrhosis : Acta Biochimica Polonica:
58 (1) 59 - 65.
10. Guadalupe Garcia-Tsao. Prevention and Management of Gastroesophageal
Varices and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. Am J Gastroenterol. 2007.
102:2086–2102.

57
11. Kesuma, DG. 2014. A Women 51 Years With Decompensated Liver Cirrhosis
With Gastritis Chronic And Kidney Chronic Disease Stage III. J medula unila;
3(1).h.151-159
12. Ersley AJ. 2001. Anemia of Chronic Disease. In: Beutler E, Lichtman AM,
Coller SB, Kipps JT, Seligsohn U, editors. Williams Hematology. 6 th ed. vol 1.
New York: McGraw Hill. p. 481–7
13. Kumar, Cotran, Robbins. 2007. Sistem Hematopoietik dan Limfoid. Buku Ajar
Patologi.Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,;h.463.
14. Cohen HJ. 1986. Crawford J. Hematologic Problems. In: Calkins E, Davis PJ,
Ford AB, editors. The Practice of Geriatrics. Philadelphia: WB Saunders
Company. p. 519–31.
15. Mokdad AA, Lopez AD, Shahraz S, et al. Liver Cirrhosis Mortality in 187
Countries between 1980 and 2010: a Systematic Analysis. BioMed Central.
2014;12:145
16. WHO in World Health Rankings. Liver Disease. 2014.
(http://www.worldlifeexpectancy.com/cause-of-death/liver-disease/by-country/
diakses pada tanggal 11 Agustus 2016).
17. Kusumobroto O Hernomo, Sirosis Hati, dalam buku ajar Ilmu Penyakit Hati,
edisi I, Jakarta, Jayabadi, 2007, hal 335-45
18. Tjokroprawiro, A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas Kedokteran
UNAIR. Airlangga University Press: 2010.
19. Dite P, Labrecque D, Fried M, Gangl A, Khan AG, Bjorkman D, et al.
Esophageal varices. World gastroenterology organisation practise guideline
2007. Available from: http://www.worldgastroenterology.org/graded-evidence-
access.html.
20. Kenneth R, McQuaid M. Gastrointestinal disorders. In: Stephen J, McPhee M,
Maxine A, Papadakis P, eds. Current Medical Diagnosis & Treatment. 48th ed.
USA: McGraw Hill Companies Inc; 2009. p. 523-6.
21. John R, Saltzman S. Acute upper gastrointestinaleeding. In: Greenberger N,
Blumberg R, Burakoff R, eds. Current diagnosis & treatment: gastroenterology.

58
Hepatology & Endoscopy. 2nd ed. USA: McGraw Hill Companies Inc; 2009. p.
324-42.
22. Vaezi MF. Upper gastrointestinal bleeding. In: Vaezi MF, Park W, Swoger J,
eds. Esophageal diseases. Oxford: An imprint of atlas medical publishing Ltd;
2006. p. 110-4.
23. Ala I, Sharara S, Don C, Rockey R. Gastroesophageal variceal hemorrhage. N
Engl J Med 2001. Available from: www.nejm.org.
24. Pangestu A. Pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, ed. Ilmu penyakit dalam.
Edisi 1. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal. 447-53.
25. Wilson LMC. Esofagus. Dalam: Price SA, Wilson LMC, ed. Patofisiologi. Edisi
4. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2002. hal. 357-450.
26. Guyton AC, Hall JE. Prinsip-prinsip umum fungsi gastrointestinal-motilitas,
pengaturan saraf, dan sirkulasi darah. Dalam: Guyton AC, ed. Buku ajar fisiologi
kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2002. hal. 817-9.

59

Anda mungkin juga menyukai