Anda di halaman 1dari 56

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kejadian stroke menyebabkan berkurangnya atau terhentinya aliran darah
yang mengakibatkan kematian sel-sel otak. Hal ini menjadikan serangan stroke
sebagai keadaan darurat medis. Seseorang yang diperkirakan mendapat serangan
stroke sebaiknya segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan evaluasi
dan penanganan secepatnya. Dengan demikian, kematian sel saraf otak yang
lebih banyak dapat dihindari. Pada saat mendapatkan penanganan medis,
awalnya dokter akan melakukan wawancara untuk mengetahui riwayat penyakit
serta melakukan pemeriksaan fisik kepada pasien. Setelah itu, dokter akan
melakukan pencitraan otak, dapat melalui CT scan, MRI, dan beberapa
pencitraan vaskular untuk memastikan jenis stroke yang diderita pasien. Pada
saat ini, pencitraan vaskular yang sudah berkembang antara lain digital
subtraction angiography (DSA), computed tomography angiography (CTA),
magnetic resonance angiography (MRA), dan transcranial color doppler
(TCD). Di sinilah peran modalitas radiologi dan seorang radiolog sangat
diperlukan (Williandry, 2014).
Seorang radiolog berperan besar dalam manajemen pasien dengan
stroke sehingga pengetahuan tentang anatomi dasar vaskular otak, manifestasi
klinis, dan gambaran radiologisnya sangat penting. CT scan non kontras sudah
tersedia di bagian gawat darurat dan sudah merupakan prasyarat untuk
perawatan pasien stroke akut di era terapi trombolitik. Computed tomography
(CT) scan adalah suatu pemeriksaan pencitraan canggih menggunakan sinar-X
yang dapat mengevaluasi kondisi otak. CT scan dapat dilakukan dengan cepat
serta peka dalam menilai adanya perdarahan otak sehingga dokter dapat segera
membedakan jenis stroke yang dialami pasien. Namun, pada banyak kasus
stroke iskemia awal (beberapa jam setelah serangan), CT scan tidak
menunjukkan adanya kelainan (Williandry, 2014).
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan suatu pemeriksaan
2

pencitraan canggih yang menggunakan gelombang elektromagnetik untuk


mengevaluasi otak. Dengan perkembangan teknologi, teknik pemeriksaan MRI
semakin maju. Adanya teknik yang canggih pada MRI ini mampu mendeteksi
kondisi iskemia di otak kurang dari 6 jam setelah terjadinya serangan stroke.
Sementara itu, kelainan ini baru bisa terlihat 24 jam setelah serangan jika
menggunakan teknik MRI konvensional maupun CT scan (Williandry, 2014).
Pada keadaan tertentu, misalnya dicurigai terdapatnya kelainan
pembuluh darah seperti aneurisma atau AVM maka dapat dilakukan pencitraan
menggunakan DSA (digital subtraction angiography). Tujuan penggunaan DSA
pada kasus dengan kecurigaan kelainan pembuluh darah yaitu untuk
memberikan informasi tambahan secara lebih detail terhadap adanya gangguan
pembuluh darah tersebut sebelum dilakukan operasi atau dekompresi. Jika
terdapat aneurisma atau AVM maka tindakan DSA akan dilanjutkan dengan
embolisasi. CTA dan MRA merupakan alat pencitraan tiga dimensi yang dibuat
dari irisan-irisan tipis, menghasilkan data volumetrik yang dapat dinilai dari
berbagai perspektif, baik secara grafis dan kuantitatif. Bila teknologi ini dapat
dikombinasikan dengan tanpa menggunakan injeksi arterial, maka CTA dan
MRA dapat digolongkan ke dalam teknik pencitraan yang non invasif.
Kemajuan teknologi ultrasonografi terbaru saat ini telah memberikan
kemudahan bagi kita untuk mengevaluasi sistem arterial intracranial dengan
menggunakan transcranial color doppler (TCD), sebagai deteksi kondisi
patologis vaskular pada pasien berisiko. Semua pemeriksaan pencitraan yang
telah disebutkan di atas berperan penting dalam menangani pasien stroke karena
adanya perbedaan dalam jenis terapi untuk jenis stroke yang berbeda. Dengan
adanya pemeriksaan penunjang mulai dari CT sampai TCD diharapkan dapat
meminimalisasi risiko kecacatan dan kematian yang ditimbulkan oleh stroke.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI STROKE


Menurut World Health Organization (WHO) stroke didefinisikan sebagai
suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan
gejala klinik, baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam atau
dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah
otak (Victor, M. dan Ropper, A.H., 2001). Chandra B. pada tahun 1996
menjelaskan bahwa stroke adalah gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan
karena gangguan peredaran darah otak yang disertai dengan timbulnya gejala
dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal pada otak yang terganggu, baik yang
terjadi secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam
beberapa jam) (Noerjanto M., 2002). Stroke termasuk penyakit serebrovaskular
yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi
karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak.

Gambar 1. Seseorang yang terkena stroke maka jarigan otaknya akan mati
karena terjadi pengurangan aliran darah dan oksigen ke otak.
Sumber: Mayo Clinic, 2015
4

Istilah stroke memang banyak digunakan, namun bukan merupakan


istilah yang tepat untuk definisi awal dari defisit neurologis secara tiba-tiba.
Secara klinis, kondisi ini sering disebut cerebrovascular accident. Stroke atau
cerebrovascular accident adalah gangguan pasokan darah otak yang dapat
terjadi karena beberapa kondisi patologis termasuk aterosklerosis, trombosis,
emboli, hipoperfusi, vaskulitis dan stasis vena yang dapat mempengaruhi
pembuluh otak dan menyebabkan stroke (Turanjanin et. al., 2012).
Stroke memiliki tingkat mortalitas yang tinggi sebagai penyakit
terbanyak ketiga yang menyebabkan kematian di dunia (Price S.A., 2005;
Robbins, 2007; Ralph L., et al., 2006). Persentase orang yang meninggal akibat
kejadian stroke pertama kali adalah 18% hingga 37% dan 62% untuk kejadian
stroke berulang (Siswanto Y., 2010). Data International Classification of
Disease yang diambil dari National Vital Statistics Reports Amerika Serikat
untuk tahun 2011 menunjukkan rata-rata kematian akibat stroke adalah 41,4%
dari 100.000 penderita (Hoyert D.L., Xu J., 2012). Selain itu, kejadian stroke
memiliki tingkat morbiditas yang tinggi dalam menyebabkan kecacatan.
Menurut World Health Organization (WHO) terdapat 15 juta orang
menderita stroke setiap tahun. Sekitar 5 juta dari mereka meninggal dan 5 juta
orang lainnya akan menderita cacat permanen. Secara keseluruhan, insiden
stroke per 1.000 orang yang berusia di atas 55 tahun berkisar antara 4,2–6,5.
Terdapat perbedaan prevalensi stroke di beberapa negara di dunia dan hal itu
mencerminkan pengaruh faktor genetik dan lingkungan (Liebeskind, 2014).
Stroke merupakan penyebab kematian yang ketiga terbanyak di
Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker dan juga di berbagai negara
di dunia. Setiap tahunnya, 700.000 orang akan mengalami stroke baru atau
berulang. Diperkirakan 500.000 merupakan serangan pertama dan 200.000
merupakan serangan ulang (Hacke dkk, 2003; William, 2000).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan stroke
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia dan merupakan pembunuh
nomor 1 di RS pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Menurut Yayasan
Stroke Indonesia (Yastroki), terdapat peningkatan yang dramatis kejadian stroke
5

di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Diperkirakan ada 500.000 penduduk


yang terkena stroke per tahun (Depkes RI, 2012). Prevalensi stroke di Indonesia
mencapai 8,3 dari 1000 populasi. Angka prevalensi ini meningkat dengan
meningkatnya usia. Data nasional Indonesia menunjukkan bahwa stroke
merupakan penyebab kematian tertinggi, yaitu 15,4% (Stroke Association,
2013). Didapatkan sekitar 750.000 insiden stroke per tahun di Indonesia dan
200.000 di antaranya merupakan stroke berulang (Price S.A., Wilson L.M.,
2005). Data statistik dari Stroke Association di Eropa, menunjukkan bahwa
kemungkinan terjadinya stroke berulang adalah 3,1% dalam 30 hari, 11,1%
dalam satu tahun, 26,4% dalam lima tahun, dan 39,2% dalam waktu 10 tahun
(Stroke Association, 2013). Dalam penelitian lain disebutkan bahwa 40%
kejadian stroke akan berulang dalam rentang waktu 10 tahun (Hardie K., 2004).
Penelitian epidemiologi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia didapatkan
bahwa 19,9% kejadian stroke merupakan kejadian stroke berulang (Soertidewi
L., Misbach J., 2007).
Stroke juga merupakan penyebab utama gangguan fungsional dengan
20% penderita yang masih bertahan hidup membutuhkan perawatan institusi
setelah 3 bulan dan 15–30% menjadi cacat permanen. Stroke juga merupakan
kejadian yang dapat merubah kehidupan, bukan hanya mengenai seseorang yang
dapat menjadi cacat, tetapi juga kepada seluruh anggota keluarga dan pengasuh
yang lain (Goldstein dkk., 2006).

B. KLASIFIKASI STROKE
Para ahli mengklasifikasikan stroke menjadi beberapa macam.
Pengklasifikasian tersebut ada yang berdasarkan gambaran klinis, patologi
anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya. Dasar klasifikasi yang
berbeda-beda ini perlu karena setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan,
preventif dan prognosis yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa (Victor
M. Dan Ropper A.H., 2001). Klasifikasi modifikasi Marshall untuk stroke
adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
6

a. Stroke Iskemia
- Transient Ischemic Attack (TIA)
- Trombosit serebri
- Emboli serebri
b. Stroke Hemoragik
- Perdarahan intraserebral
- Perdarahan subarachnoid
2. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu:
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Stroke-in-evolution
c. Completed stroke
3. Berdasarkan sistem pembuluh darah:
a. Sistem karotis
b. Sistem vertebro-basiler

C. STROKE ISKEMIA
1. Definisi dan Epidemiologi
Stroke iskemia atau yang dikenal juga dengan stroke non-hemoragik
merupakan jenis stroke yang paling banyak yang diderita orang. Oleh
karena itu, kita sangat perlu untuk memahami apakah stroke iskemia itu dan
berbagai hal terkait dengannya.

Gambar 2. Otak yang terkena stoke iskemia.


Sumber: Neuroscience, 2012
7

Stroke iskemia yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang


menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Stroke
iskemia secara umum diakibatkan oleh aterotrombosis pembuluh darah
serebral, baik yang besar maupun yang kecil. Pada stroke iskemia,
penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang
menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteri karotis interna dan dua
arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta
jantung. Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam pembuluh
darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah.
Keadaan ini sangat serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis dalam
keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak
juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah kemudian
menyumbat arteri yang lebih kecil (ASA, 2011, Miscbach and Kalim, 2011).
Stroke iskemia akut memegang peranan sekitar 80% dari semua stroke
dan merupakan penyebab penting morbiditas dan kematian di Amerika
Serikat (Srinivasan et al., 2006). Beberapa faktor risiko yang sering menjadi
penyebab stroke iskemia, baik pada usia muda maupun tua yaitu diabetes
melitus, hipertensi, dan dislipidemia (Turanjanin et al., 2012).
Sebuah pemahaman patofisiologi yang jelas tentang latar belakang
pengurangan aliran darah otak merupakan poin penting dari setiap diagnosa
iskemia pada otak. Konsekuensi iskemia fokal akut dan tingkat pengaruh
yang merusak tergantung pada tingkat keparahan dan durasi penurunan aliran
darah. Secara umum, hilangnya fungsi daerah otak yang rusak terjadi ketika
aliran darah otak menurun ke level 15–20 ml/100 g/menit. Penurunan aliran
darah ke level 70–80% dari tingkat normal (di bawah 50 ml/100 g per menit)
akan disertai dengan reaksi sintesis penghambatan albumin. Tingkat ini
dianggap sebagai tingkat kritis pertama iskemia otak. Selanjutnya, penurunan
aliran darah sampai 50% dari tingkat normal (sekitar 35 ml/100 g/menit) akan
menyebabkan aktivasi glikolisis anaerob dan peningkatan konsentrasi laktat,
asidosis laktat, dan edema sitotoksik. Terjadinya iskemia otak progresif dan
penurunan aliran darah lebih lanjut (20 ml/100 g/menit) disertai dengan
8

penurunan sintesis ATP, pengembangan insufisiensi energi, destabilisasi


membran sel, pelepasan pemancar acidergic amino, dan penurunan fungsi
aktif transportasi kanal ion. Saat aliran darah menurun di bawah tingkat kritis
10 ml/100 g/menit mengarah ke sel depolarisasi membran, hal ini dianggap
sebagai kriteria utama kerusakan sel yang ireversibel (Kornienko dan Pronin,
2009).
Daerah perifer yang mengalami iskemia, tetapi masih hidup disebut
daerah penumbra. Daerah ini mempertahankan terjadinya metabolisme energi
dan hanya memiliki perubahan fungsional. Pengembangan lebih lanjut karena
terjadinya iskemia menyebabkan habisnya cadangan perfusi lokal dan neuron
menjadi sangat sensitif terhadap penurunan aliran darah lebih lanjut. Inti
dapat mengalami perubahan struktural ireversibel karena hal ini. Penumbra
dapat diselamatkan oleh restorasi aliran darah dan penggunaan agen
pelindung saraf. Penumbra merupakan target utama untuk diagnosis dini
dengan penggunaan metode neuroradiologi modern dan pengobatan dini
(Kornienko dan Pronin, 2009).

Gambar 3. Jaringan otak yang mati dan daerah penumbra.


Sumber: Thrunher M, 2008

Pemeriksaan mikroskopis dapat mendeteksi perubahan saraf seperti


pembengkakan mitokondria dan disorganisasi (neuron lebih sensitive
terhadap iskemia daripada astrosit dan oligodendroglia) yang terlihat 20
9

menit setelah onset iskemia. Perubahan tersebut dapat menjadi satu-satunya


tanda iskemia selama 6 jam pertama. Waktu ekspresi maksimum edema otak
yang merupakan sitotoksik edema yaitu berada di interval antara 24 hingga
48 jam. Hal ini menyebabkan gyri otak menebal dan sulitnya membedakan
antara grey dan white matter. Durasi iskemia akut yaitu pada 2 hari pertama.
Setelah itu, subakut fase infark dimulai. Periode ini berlangsung antara 7–10
hari (setelah onset stroke). Edema otak pada daerah iskemia maksimal
muncul pada 3–5 hari setelah onset stroke. Pada tahap ini, edema vasogenik
dan sitotoksik edema otak berlangsung (Kornienko dan Pronin, 2009).
Fase kronis dapat terjadi sampai beberapa minggu atau bahkan
beberapa bulan. Pada periode ini, jaringan nekrotik rusak dan diserap kembali
sehingga terjadi pembentukan encephalomalacia. Gyri yang keriput dan
dilatasi pada bagian yang berdekatan dengan system ventrikel dapat
ditemukan dalam kasus-kasus daerah infark relatif besar. Perubahan patologis
yang disebutkan di atas muncul hampir pada semua jenis infark. Namun
demikian, kondisi tertentu dari situs jaringan yang rusak bervariasi,
tergantung pada lokasi, ukuran, dan penyebab iskemia tersebut (Kornienko
dan Pronin, 2009).

2. Patofisiologi
Penyebab paling umum infark meliputi aterosklerosis arteri besar,
kardioembolisme, dan lakunar (Zimmerman, 2010). Sumber emboli dapat
berasal dari debris ateromatous, stenosis arteri, dan pembuntuan arteri atau
emboli yang berasal dari jantung kiri (fibrilasi atrial) (Herring, 2007). Saat
ini, ada beberapa klasifikasi stroke iskemia yang berbeda. Sebagai contoh,
klasifikasi yang dikembangkan di Institut Riset Ilmiah Neurologi dari Russian
Academy of Medical Science berikut ini (Kornienko dan Pronin, 2009).
a. Stroke aterotrombotik
Stroke jenis ini terjadi dalam beberapa tahap, dimulai dengan peningkatan
bertahap dari manifestasi klinis selama beberapa jam atau hari. Sering kali
dimulai saat tidur. Hal ini ditandai dengan adanya lesi aterosklerotik di
10

arteri sisi stroke. TIA sering mendahului onset stroke. Ukuran stroke
bervariasi dari kecil ke besar. Stroke aterotrombotik Bersama dengan
emboli arteri-arteri memegang peranan sebesar 47% dari semua kasus
stroke.
b. Stroke karena emboli jantung
Ditandai oleh kondisi awal yang akut, stroke ini menyerang pasien dalam
keadaan terbangun. Tanda-tanda neurologis fokal paling terlihat pada
awal munculnya penyakit. Lokasi yang paling sering yaitu area arteri
karotis tengah dan biasanya mengenai kortikal-subkortikal dan berukuran
sedang atau besar. Menurut data, ada komponen perdarahan khas untuk
jenis stroke ini. Jenis stroke ini memegang peranan sebesar 22% dari
semua kasus stroke yang ada.
c. Stroke hemodinamik
Bentuk stroke ini ditandai dengan onset akut. Daerah yang paling sering
diserang yaitu bidang yang sesuai dengan suplai darah. Ukurannya dapat
bervariasi dari besar sampai kecil. Sebuah komponen hemodinamik juga
hadir dalam bentuk penurunan tekanan darah dan curah jantung secara
tibatiba. Stroke hemodinamik terjadi kurang dari 15% dari semua kasus
stroke.
d. Infark lacunar
Infark lakunar adalah lesi kecil yang disebabkan oleh oklusi arteri
perforans (Zimmerman, 2010). Infark lakunar disebut juga "microstroke",
dengan ukuran mulai dari 1-1,5 cm. Hipertensi arteri sering mendahului
stroke. Lokasi yang paling sering diserang yaitu inti subkortikal, batang
otak, basal ganglia, kapsul internal, korona radiata dan sekitar white
matter dari centrum semiovale (Osborn, 2004; Kornienko dan Pronin,
2009; Zimmerman, 2010). Ada tanda-tanda neurologis fokal yang khas
dan dalam beberapa kasus hanya satu gejala timbul dengan tidak adanya
tanda-tanda otak secara umum. Terjadinya lakunar stroke sebesar 20%
dari semua kasus stroke.
11

3. Diagnosis
Metode neuroimaging selalu memainkan peranan penting pada
diagnosis stroke, termasuk dalam mengeksklusi patologi otak atau dalam
estimasi lesi yang dapat diakses melalui pembedahan (Kornienko dan
Pronin, 2009).
Berdasarkan pemeriksaan CT dan MRI, biasanya stroke dibagi
menjadi tiga tahap yaitu akut, subakut, dan kronis. Ada beberapa
inkonsistensi di antaranya dan perubahan patologis dalam jaringan otak.
Namun secara umum, perubahan yang didiagnosis dengan penggunaan CT
dan MRI mirip dengan perubahan makroskopik. Keduanya memiliki karakter
yang sama dan perkembangan dalam proses terjadinya penyakit sesuai
dengan tiga tahap utama yang disebutkan di atas (Kornienko dan Pronin,
2009). Berikut ini penjelasannya.
a. Fase superakut dan stroke akut
CT memainkan peranan yang jauh lebih signifikan dalam diagnosa
stroke daripada MRI karena mayoritas pasien stroke yang dirawat di unit
perawatan intensif rumah sakit lebih mudah untuk melakukan CT scan
daripada MRI. Meskipun pada pemeriksaan CT mendeteksi perubahan
iskemia akut, namun tugas utama pemeriksaan CT adalah untuk
menghilangkan adanya perdarahan dan patologi otak lainnya (seperti
tumor, malformasi dan perdarahan, yang semuanya dapat memiliki
manifestasi klinis yang sama dengan stroke iskemia). Fase stroke akut
memiliki batas waktu tertentu, maksimal 2 hari. Potensi CT dalam
mendeteksi stroke akut tergantung pada jumlah waktu yang berlalu sejak
onset stroke. Selama jam pertama, pemeriksaan CT tanpa kontras akan
menampilkan gambar otak normal lebih dari 50% kasus (Kornienko dan
Pronin, 2009).
Tanda-tanda patologis yang terlihat dalam 12 jam pertama setelah
onset stroke yaitu meningkatnya intensitas sepanjang arteri yang terkena
dampak (hiperdens lebih sering divisualisasikan di cabang-cabang arteri
serebral tengah, atau MCA yang disebut gejala atau fenomena MCA),
12

kaburnya batasbatas nukleus lentiformis, tidak adanya celah subarachnoid


dan kaburnya batas-batas antara grey dan white matter. Hiperdens MCA
merupakan tanda trombosis. Gejala ini diamati pada 25% kasus stroke
iskemia hingga 50% pada pasien stroke di wilayah MCA. Dalam 24 jam
pertama, proses demarkasi wilayah iskemia berlangsung. Daerah iskemia
menjadi hipodens dibandingkan dengan jaringan di sekitarnya (Kornienko
dan Pronin, 2009).
b. Fase subakut iskemia
Dalam kasus stroke yang disebabkan oleh gangguan aliran darah
arteri besar, CT mengidentifikasi wilayah yang mengalami penurunan
densitas yang tidak hanya mengenai white matter tetapi juga grey matter
pada daerah yang sesuai dengan wilayah arteri yang sesuai. Efek massa
akan muncul pada 3 hari pertama dan secara bertahap mengalami regresi
pada akhir tahap subakut (Kornienko dan Pronin, 2009).
Dalam 15–20% kasus tanda-tanda perdarahan, hal itu dapat terlihat
pada CT tanpa kontras selama fase subakut. Tanda-tanda tersebut
divisualisasikan dalam bentuk peningkatan densitas lokal yang terletak di
basal ganglia dan samping gyri. Dalam kebanyakan kasus, transformasi
hemoragik dapat diamati pada 4–6 hari pertama. Mengingat fakta bahwa
integritas struktural dari penghalang sawar darah otak rusak dalam proses
perkembangan iskemia maka sangat mungkin untuk memvisualisasikan
peningkatan kontras patologis sepanjang gyri otak. Peningkatan fokus
kontras di daerah yang terkena dapat terlihat 3–4 hari setelah onset stroke
dan menetap selama periode yang relatif lama hingga 8–10 minggu
(Kornienko dan Pronin, 2009).
c. Fase kronik iskemia
Stroke pada tahap kronis (lebih dari 3 bulan) divisualisasikan pada
CT sebagai daerah dengan CSF densitas (encephalomalacia). Pada stroke
tahap kronis dapat disertai dengan dilatasi kompensasi dari bagian
ipsilateral dari sistem ventrikel. Hal ini mencerminkan penurunan volume
jaringan otak. Perifokal daerah stroke yang mewakili daerah gliosis dapat
13

memiliki karakteristik hipodens. Peningkatan kontras pada CT tidak lagi


divisualisasikan karena proses reparasi penghalang darah otak selesai
(Kornienko dan Pronin, 2009).

4. Watershed infark
Watershed infark adalah lesi iskemia yang terjadi di lokasi dengan
karakteristik di persimpangan antara dua wilayah arteri utama (Johnson dan
Kubal, 1999). Menurut literatur, lesi ini berperan sekitar 10% dari semua
infark otak. Patofisiologinya belum sepenuhnya dapat dijelaskan, tetapi
hipotesis sementara yang diterima menyatakan bahwa penurunan perfusi di
daerah distal dari wilayah vaskular dapat menyebabkan rentan terhadap
infark. Pada pencitraan yang paling sering terlihat yaitu infark perbatasan
zona arteri lentikulostriata dan arteri serebri media (Mangla et al., 2011).

Gambar 4. Pencitraan yang menunjukkan watershed infark.


Sumber: Smithuis, 2008

5. Transient Ischemic Attack


Transient ischemic attack (TIA) adalah gangguan neurologis
fungsional yang mendadak dan terbatas pada wilayah vaskular dan biasanya
berlangsung kurang dari 15 menit dengan resolusi lengkap selama 24 jam.
Diagnosis TIA sulit dilakukan dan sekitar 25% kasus diagnosis klinis TIA
tidak benar. Hal ini dapat terjadi karena infark atau etiologi lain, misalnya
perdarahan intrakranial, migrain, atau kejang. Meskipun TIA memiliki
14

berbagai penyebab, tetapi pada umumnya disebabkan karena suplai darah


sementara yang tidak memadai untuk suatu wilayah fokus otak. TIA bukan
suatu gangguan yang jinak dan hampir sepertiga pasien akhirnya akan
memiliki infark serebral (sekitar 20% dalam waktu 1 bulan kejadian stroke
berawal dari TIA). Meskipun terjadi resolusi gejala, namun demikian TIA
memiliki gambaran difusi yang positif pada MRI. Pengukuran apparent
diffusion coefficients (ADC) dari MR diffusion-weighted images (DWI)
dapat menunjukkan difusi yang menurun ringan (< 25%). Sementara itu, di
daerah tanpa gejala kelainan pada sinyal DWI, menunjukkan bahwa
meskipun tidak ada deficit fungsional permanen, neuron telah hilang
(sekitar 25% dalam beberapa studi hewan). Dengan demikian, tindakan
lanjutan pemeriksaan pada TIA sangat mendesak. Saat ini, dengan
munculnya MDCT dan khususnya 64-slice CT, hal itu menawarkan metode
baru dan menarik untuk menilai seluruh pembuluh darah otak yaitu mulai
dari lengkungan ke sirkulus Wilisi dan hanya memerlukan waktu selama 6
detik (Teasdale dan Aitken, 2009). Defisit neurologis iskemia reversibel
berlangsung kurang dari 7 hari dan gejala harus menghilang (Zimmerman,
2010). Tidak ada parameter pencitraan CT/CTA atau MRI yang bisa
digunakan untuk memprediksi stroke berulang setelah TIA dan stroke
ringan. Pencitraan hanya digunakan untuk memprediksi perkembangan
stroke dan bukan untuk memprediksi stroke berulang (Horton et al., 2013).
Skor ABCD mungkin berguna dalam memprediksi risiko terjadinya stroke
pada 2 hari kemudian (Tabel 1). Evaluasi cepat dan tindakan awal
pencegahan dalam waktu 24 jam secara signifikan terbukti dapat
mengurangi risiko stroke berulang (Liao, 2011).
15

Tabel 1. Skor ABCD untuk memprediksi risiko terjadinya stroke

D. STROKE HEMORAGIK
1. Definisi dan Epidemiologi
Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan ke dalam jaringan
otak (disebut hemoragia intraserebrum atau hematom intraserebrum) atau
perdarahan ke dalam ruang subarachnoid, yaitu ruang sempit antara
permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut hemoragia
subarachnoid). Stroke hemoragik merupakan jenis stroke yang paling
mematikan dan merupakan sebagian kecil dari keseluruhan stroke yaitu
sebesar 10-15% untuk perdarahan intraserebrum dan sekitar 5% untuk
perdarahan subarachnoid (Felgin, V., 2006).
Stroke hemoragik dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami rupture sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarachnoid
atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat
menyebabkan perdarahan subarachnoid adalah aneurisma sakular dan
malformasi arteriovena (MAV) (Price, SA, Wilson, LM, 2006).
Morbiditas yang lebih parah dan mortalitas yang lebih tinggi
terdapat pada stroke hemoragik dibandingkan stroke iskemia. Hanya 20%
pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya (Nasissi,
Denise, 2010). Stroke hemoragik memegang peranan sebesar 15% sampai
16

20% dari semua jenis stroke (Lumbantobing, SM, 2003). Sementara itu,
perdarahan intra serebral terhitung sekitar 10 - 15% dari seluruh stroke dan
memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi daripada infark serebral (Nasissi,
Denise, 2010).

Gambar 5. Pecahnya pembuluh darah di otak pada stroke hemoragik.


Sumber: Joe Niekro Foundation, 2015
Literatur lain menyatakan hanya 8 – 18% dari stroke keseluruhan
yang bersifat hemoragik. Namun demikian, pengkajian retrospektif
menemukan bahwa 40,9% dari 757 kasus stroke merupakan stroke
hemoragik. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa peningkatan persentase
mungkin dikarenakan karena peningkatan kualitas pemeriksaan seperti
ketersediaan CT scan ataupun peningkatan penggunaan terapeutik agen
antiplatelet dan warfarin yang dapat menyebabkan perdarahan (Nasissi,
Denise, 2010).
Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000 per
tahunnya dan sebesar 10-15% merupakan stroke hemoragik, khususnya
perdarahan intraserebral. Mortalitas dan morbiditas pada stroke hemoragik
lebih besar daripada stroke iskemia. Dilaporkan hanya sekitar 20% saja pasien
yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya. Selain itu, ada sekitar
40-80% yang akhirnya meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan
sekitar 50% meninggal pada 48 jam pertama. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan dari 251 penderita stroke, ada 47% wanita dan 53% laki-laki
dengan rata-rata umur 69 tahun (78% berumur lebih dari 60 tahun). Pasien
dengan umur lebih dari 75 tahun dan berjenis kelamin laki-laki menunjukkan
17

outcome yang lebih buruk (Nasissi, Denise. 2010).

2. Klasifikasi
Terdapat dua bentuk stroke hemoragik, yaitu intracerebral
hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH). Kedua bentuk ini
memiliki etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, dan gambaran radiologis
yang berbeda (Yates, 2014).
a. Intracerebral Hemorrhage (ICH)
Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral.
Hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol merupakan penyebab utama
stroke hemoragik. Penyebab lainnya adalah pecahnya aneurisma,
malformasi arterivena, angioma kavernosa, alkoholisme, diskrasia darah,
terapi antikoagulan, dan angiopati amiloid (Setyopranoto, I., 2011).
Antara 30–40 orang per 10.000 orang per tahun terserang stroke ICH
(Yates, 2014). Perdarahan intraserebral (ICH) adalah perdarahan primer
yang berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan
disebabkan oleh trauma. Sebesar 70% kasus ICH terjadi di kapsula interna,
20% terjadi di fosa posterior (batang otak dan serebelum) dan 10% di
hemisfer (di luar kapsula interna). ICH terutama disebabkan oleh
hipertensi (50-68%) (Harsono, 2003).
Angka kematian untuk perdarahan intraserebrum hipertensif sangat
tinggi, mendekati 50%. Perdarahan yang terjadi di ruang supratentorium
(di atas tentorium cerebeli) memiliki prognosis yang baik apabila volume
darah sedikit. Namun, perdarahan ke dalam ruang infratentorium di daerah
pons atau cerebellum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk karena
cepatnya timbul tekanan pada struktur–struktur vital di batang otak (Price,
SA, Wilson, L.M., 2006.).
18

Gambar 6. Terjadinya intracerebral hemorrhage dan subarachnoid hemorrhage.


Sumber: (a) UF Health, 2015 dan (b) Joe Niekro Foundation, 2015

b. Subarachnoid Hemorrhage (SAH)


Stroke SAH terjadi pada 6–10 orang per 100.000 orang per tahun
pada populasi negara Barat. Di negara lain, prevalensi SAH berbeda. Di
Jepang dan Finlandia, SAH menyerang 15–20 orang per 100.000 orang per
tahun. Pada umumnya, pasien terkena SAH pada usia yang relatif muda.
Setengah pasien yang terkena SAH berusia < 50 tahun (van Gijn, et al.,
2007).
Perdarahan subarachnoid adalah keadaan akut yaitu terdapatnya/
masuknya darah ke dalam ruangan subarachnoid atau perdarahan yang
terjadi di pembuluh darah di luar otak, tetapi masih di daerah kepala seperti
di selaput otak atau bagian bawah otak (Price, SA, Wilson, LM, 2006).
SAH menduduki sekitar 7-15% dari seluruh kasus gangguan peredaran
darah otak. SAH paling banyak disebabkan oleh pecahnya aneurisma
(50%) (Harsono, 2003). Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya
aneurisma pada percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah
malformasi arterivena atau tumor (Setyopranoto, I., 2011).

3. Etiologi
Ada banyak faktor yang berperan dalam menentukan seseorang terkena
stroke atau tidak. Beberapa faktor tersebut antara lain sebagai berikut.
19

a. Usia
Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke. Sekitar 30%
dari stroke terjadi sebelum usia 65 tahun; 70% terjadi pada mereka yang
65 tahun ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk setiap 10
tahun di atas 55 tahun (Sotirios A.T., 2000).
b. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan 2/3 kasus ICH. Area yang sering terkena adalah
thalamus, ganglia basalis, pons, serebellum (Liebeskind, 2014). Area-area
ini merupakan area yang mendapatkan vaskularisasi dari r. perforantes
MCA atau a. basilaris (Wanke, 2007). Sebagai respon terhadap tekanan
darah yang tinggi, arteri-arteri kecil ini akan mengalami hiperplasia tunika
intima, hialinisasi tunika intima, dan degenerasi tunika media, yang
meningkatkan risiko nekrosis fokal pada dinding vascular dan akhirnya
ruptur. Peneliti lain mengusulkan bahwa stres hemodinamik pada arteri
kecil akan mengakibatkan terbentuknya mikro-aneurisma, yang disebut
Charcort-Bouchard aneurisma. Mikro-aneurisma inilah yang dianggap
menjadi penyebab ICH lobar pada pasien dengan hipertensi tanpa
kelainan vaskular (Smith, et al., 2011).
c. Riwayat stroke sebelumnya
d. Alkohol
e. Narkoba
Penggunaan kokain dan phenylcyclidine terkait dengan stroke hemoragik,
meskipun keduanya tidak memiliki sifat anti-koagulan (Magistris, 2013).
f. Koagulopati dan penggunaan anti-koagulan/trombolitik
Koagulopati pada pasien dengan gagal hati ataupun karena genetik dapat
menyebabkan terjadinya ICH. Pasien dengan status slow metabolizer
terhadap warfarin berisiko menderita ICH jika diberikan terapi warfarin.
Status ini disebabkan oleh polimorfisme pada gen CYP2C9 (Liebeskind,
2014).
g. Cerebral amyloidosis
Cerebral amyloidosis (CA) sering mengenai pasien manula. CA
20

bertanggung jawab atas 10% kejadian ICH (Liebeskind, 2014). CA jarang


mengenai pasien berusia < 60 tahun. Gejala CA ditandai dengan
penumpukan amiloid beta-protein pada vaskular sedang dan kecil, pada
leptomeningeal dan korteks, tidak mengenai vaskular ganglia basalis,
substansia alba dan fossa posterior. (Smith, et al., 2011).
h. Malformasi arteriovena dan fistula arteriovenal
i. Cavernoma
j. Vaskulitis
Vaskulitis otak merupakan suatu kelompok penyakit heterogen dengan
berbagai etiologi yang semuanya ditandai dengan inflamasi dengan atau
tanpa nekrosis dinding vaskular. (Garg, 2011).
k. Tumor
Tumor otak primer maupun sekunder menyebabkan 1–14% stroke
hemoragik. Perdarahan dapat berada intra-tumoral maupun meluas ke
parenkim otak sekitar (Smith, et al., 2011).
i. Aneurisma
Peluang menemukan aneurisma pada orang muda tanpa factor risiko lain
adalah sebesar 2,3% (van Gijn, et al., 2007). Aneurisma bertanggung
jawab terhadap kejadian SAH. Namun penelitian lain mencatat 34%
ruptur aneurisma berkaitan dengan ICH dan sekitar 1,6% ruptur ini
terkait dengan ICH tanpa SAH. (Wanke, 2007).
21

Gambar 6. Predileksi lokasi aneurisma di


Circulus Willis dan arteri vertebra. Basilar artery
(BA), right posterior cerebral artery (RPCA),
posterior communicating artery (PComA), right
internal carotid artery (RICA), left internal
carotid artery (LICA), right middle cerebral
artery (RMCA), left middle cerebral artery
(LMCA), right anterior cerebral artery (RACA),
left anterior cerebral artery (LACA), anterior
communicating artery (AComA), right vertebral
artery (RVA), left vertebral artery (LVA).
Sumber: Department of Radiology, Medical
University of Silesia in Katowice/Poland 2014

Aneurisma merUpakan sebuah kelainan yang berkembang seiring


waktu, akibat interaksi berbagai faktor. Selain pengaruh lokasi pada sirkulus
Wilisi seperti yang tercermin dari kecenderungan aneurisma yang muncul
pada tempat-tempat tertentu (Wanke, 2007), faktor yang paling berperan
adalah stres hemodinamik dan kelainan genetik yang menyebabkan
kelemahan fokal dinding vaskular. Beberapa kelainan genetik yang
menyebabkan aneurisma adalah autosomal dominan policystic renal disease,
sindroma Loeys Dietz, sindroma Ehler Danlos tipe IV (Liebeskind, 2014).
Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah aterosklerosis, merokok, alkohol,
dan inflamasi (Wanke, 2007).
Risiko ruptur meningkat seiring peningkatan diameter aneurisma.
Namun, sebagian besar aneurisma yang ruptur dan menyebabkan SAH adalah
aneurisma kecil dengan diameter < 1 cm.(van Gijn, et al., 2007).
m. Ruptur kapiler atau vena
Ruptur kapiler atau vena diperkirakan adalah etiologi SAH
perimesencephalic atraumatik non-aneurisma (Liebeskind, 2014). Sebanyak
10% dari seluruh SAH disebabkan oleh ruptur kapiler/vena perimesensefalik
ini (van Gijn, et al., 2007). Sebanyak 21–68% SAH dengan angiografi negatif
untuk aneurisma disebabkan oleh etiologic ini. Meskipun tidak dapat
22

dibedakan dengan yang lain yaitu dengan CT scan, etiologi ini harus
dipikirkan jika menemukan SAH yang terletak tepat di anterior mesensefalon,
sementara petunjuk untuk etiologi lain tidak ditemukan. Selain itu, dapat
ditemukan perluasan ke bagian anterior sisterna ambien atau ke bagian basal
fissura Sylvii. Entitas klinis ini memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan SAH akibat ruptur aneurisma arteri (Smith, et al., 2011).
n. Trombosis sinus venosus
Trombosis vena intraserebral atau sinus dural diperkirakan terjadi 3–
4/1.000.000 orang, dengan 75% kasus terjadi pada wanita. Sekitar 39% dari
seluruh trombosis ini berakibat pada perdarahan (Smith, et al., 2011).
o. Hipertensi dalam kehamilan
Meskipun sangat jarang, terdapat laporan kasus bahwa hipertensi dalam
kehamilan dapat menyebabkan SAH. Hal ini mungkin disebabkan oleh
kenaikan tekanan darah mendadak selama kehamilan/persalinan yang disertai
dis-autoregulasi vaskular otak sehingga menyebabkan ruptur arteri pial yang
relatif halus (Zak, et al., 2007).

4. Patofisiologi
Kedua jenis stroke hemoragik cukup berbeda dalam hal patofisiologi.
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan
subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih sebesar 20 % adalah
stroke hemoragik dan masing-masing 10% untuk perdarahan subarachnoid dan
perdarahan intraserebral (Caplan, 2000).
Pada ICH, perdarahan terjadi di dalam parenkim otak. Hal ini diperkirakan
terjadi akibat bocornya darah dari pembuluh yang rusak akibat hipertensi kronis.
Tempat predileksi antara lain thalamus, putamen, serebellum, dan batang otak.
Selain hipoperfusi, parenkim otak juga terkena kerusakan akibat tekanan yang
disebabkan oleh efek massa hematoma atau kenaikan tekanan intrakranial (TIK)
secara keseluruhan (Liebeskind, 2014). ICH memiliki tiga fase, yaitu perdarahan
awal, ekspansi hematoma, dan edema peri-hematoma. Perdarahan awal
disebabkan oleh faktor-faktor risiko di atas. Prognosis sangat dipengaruhi oleh
23

kedua fase berikutnya. Ekspansi hematoma, yang terjadi dalam beberapa jam
setelah fase perdarahan awal terjadi, akan meningkatkan TIK yang pada
gilirannya akan merusak BBB (Blood Brain Barrier). Peningkatan TIK
berpotensi menyebabkan herniasi. Kerusakan BBB ini menyebabkan fase
berikutnya yaitu pembentukan edema peri-hematoma. Fase terakhir ini dapat
terjadi dalam beberapa hari setelah fase pertama terjadi dan merupakan
penyebab utama perburukan neurologis, akibat penekanan bagian otak normal
(Magistris, 2013).
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola yang berdiameter 100–
400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah
tersebut yaitu berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya
aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah
yang tiba-tiba menyebabkan pecahnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya
darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriola dan
pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini
mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000).
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemia akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang
terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena
ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000).
Perdarahan subarachnoid terjadi akibat pembuluh darah di sekitar permukaan
otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid.
Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma
sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM) (Caplan,
2000). SAH mengakibatkan banyak hal. Selain peningkatan TIK, SAH
mengakibatkan vasokonstriksi akut, agregasi platelet, dan kerusakan
mikrovaskular. Hal ini mengakibatkan penurunan bermakna perfusi otak dan
iskemia (Liebeskind, 2014).
24

5. Manifestasi Klinis
Terdapat beberapa kontelasi klinis yang mengarah ke stroke. Namun
demikian, seiring pasien dengan sepsis, syncope, atau kejang akibat kelainan
ekstrakranial lainnya yang berpotensi sulit dibedakan dengan stroke, jika
presentasi penyakit tersebut atipikal. Terdapat sebuah system skor yang
dirancang untuk membantu klinisi guna memilah kasus stroke dari non-stroke,
yaitu skor ROSIER. Skor yang nilainya berkisar antara –2 hingga +5 ini
memiliki sensitivitas 92%, spesifisitas 86%, nilai duga positif 88%, dan nilai
duga negatif 91%. Jika seorang pasien memiliki skor > 0, besar kemungkinannya
kontelasi klinis yang dialami disebabkan oleh stroke (Magistris, 2013).
Tabel 3. Daftar kontelasi klinis stroke (A) dan skor ROSIER (B)

Tidak ada satu pun manifestasi klinis yang dapat membedakan antara kedua
subtipe stroke dengan meyakinkan. Meskipun demikian, manifestasi sistemik
seperti mual muntah, sakit kepala, kejang, hipertensi maligna, dan penurunan
kesadaran merupakan tanda peningkatan TIK sehingga lebih mengarahkan
diagnosis ke stroke hemoragik (Liebeskind, 2014). Reaksi Cushing (hipertensi,
bradikardia, dan irregularitas pernapasan) merupakan tanda peningkatan TIK yang
penting. Dibandingkan SAH yang mendadak, manifestasi klinis ICH membutuhkan
waktu hingga hitungan jam untuk muncul (gradual). Namun tetap lebih dramatis
daripada stroke iskemia (Magistris, 2013). Meskipun demikian, manifestasi klinis
yang saling tumpang tindih sering terjadi dan sering kali pasien datang dengan
manifestasi atipikal (Smith, et al., 2011).
25

Salah satu sistem skoring yang sering digunakan untuk membantu membedakan
kedua subtipe stroke hemoragik adalah sistem skor Siriraj. Sistem skoring ini telah
tervalidasi di berbagai pusat pelayanan kesehatan dan cukup dapat diandalkan
untuk membedakan kedua subtipe stroke dalam keadaan Computed Tomography
(CT) scan tidak tersedia. Skor lain yang cukup sering digunakan adalah skor Allen
(Nouira, 2008). Penelitian lain menyimpulkan bahwa sistem skoring Siriraj lebih
sederhana sekaligus lebih akurat daripada Allen dalam menentukan subtipe stroke
(Sherin, 2011). Jika tersedia, CT scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)
harus menjadi patokan dalam membedakan kedua subtipe stroke (Sheta, 2012).
Tabel 4. Skor Skoring Siriraj

Defisit neurologis fokal yang terjadi dapat diperkirakan dari daerah


otak yang terserang, yaitu seperti berikut ini (Liebeskind, 2014):
1) Hemisfer kanan: Hemipareis kiri, hipesthesia kiri, buta mata kiri, afasia.
2) Hemisfer kiri: Hemiparesis kanan, hipesthesia kanan, buta mata kanan.
3) Serebellum: Penurunan kesadaran drastis, apneu dan kematian, ataksia
ipsilateral, merot.
4) Putamen: Hemiparesis kontralateral, hipesthesia kontralateral,
hemianopsia homonim, afasia, apraksia.
5) Thalamus: Hemiparesis kontralateral, hipesthesia kontralateral,
hemianopsia homonim, afasia, miosis, kebingungan.
26

6) Nukleus kaudatus: Hemiparesis kontralateral, kebingungan.


7) Batang otak: Tetraparesis, merot, penurunan kesadaran, miosis,
instabilitas autonomik, ocular bobbing.

E. ANATOMI VASKULAR OTAK


Otak merupakan organ tubuh manusia yang paling terlindungi, termasuk di
dalamnya sistem pembuluh darah otak. Berat otak ± 1,5 kg, sekitar 2% dari berat
tubuh manusia, dan mempergunakan ± 17% dari cardiac output. Sumber energi
otak berasal dari metabolisme aerobik. Oleh karena itu, otak memerlukan O2
dan glukosa dalam waktu 24 jam sehari.
Pengetahuan tentang wilayah vaskular adalah penting, karena
memungkinkan kita untuk mengenali infark di wilayah arteri dan juga infark
vena. Hal ini juga membantu kita untuk membedakan infark dari patologi
lainnya (Smithuis, 2008). Karena model distribusi pembuluh darah otak
memiliki pengaruh penting pada sejumlah besar lesi patologis yang dapat terjadi
di bagian sistem saraf, penting untuk mempertimbangkan sedikit lebih rinci
bagaimana pembuluh darah otak didistribusikan.
Peredaran darah serebri berasal dari 4 arteri, yaitu 2 arteri karotis interna dan
2 arteri vertebralis. Arteri karotis interna berasal dari percabangan arteri karotis
komunis dan menembus basis kranii melalui foramen jugularis. Arteri
vertebralis masuk ke kranium melalui foramen oksipital dan tidak seperti arteri
lain yang dichotomize, arteri ini bergabung membentuk arteri basilaris. Secara
skematis, sistem arterial intrakranial dibagi menjadi bagian anterior yang terdiri
atas sirkulasi karotis (Gambar 5.11 dan Gambar 5.12) dan bagian posterior yang
terdiri atas sirkulasi vertebro-basilar (Gambar 5.13 dan Gambar 5.14) (Anzalone
& Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2000; Patestas & Gartner, 2006).
27

Gambar 7. Sirkulasi karotis


Sumber: Anzalone & Tartaro, 2005;
Moeller & Reif, 2000;
Patestas & Gartner, 2006

Jika kita perhatikan gambar di atas maka terlihat bagian I adalah internal carotid
artery (ICA), bagian II yaitu middle cerebral artery (MCA), dan bagian III
adalah anterior cerebral artery (ACA). Sementara itu, nomor 1 menunjukkan
medial frontobasal artery, nomor 2 yaitu callosomarginal artery, nomor 3 yaitu
pericallosal artery.

Gambar 8. Sirkulasi anterior


Sumber: Liebeskind, 2014

Gambar di atas menunjukkan bagian-bagian berikut ini:


A. Arteriogram sirkulasi anterior sisi kiri tampak frontal: a. cerebri anterior
segmen proksimal, a. communicans anterior (A1), a. cerebri anterior segmen
distal, a. communicans anterior (A2), a. cerebri media segmen horizontal
(M1), segmen insular (M2), segmen operkular (M3), dan segmen kortikal
(M4).
B. Arteriogram sirkulasi anterior tampak temporal yang menunjukkan a. cerebri
anterior segmen proksimal, a. communicans anterior (A1), segmen setelah a.
28

communicans anterior dan sebelum pertemuan rostrum dan genu korpus


kallosum (A2), segmen genu korpus kallosum (A3), dan segmen korpus
kallosum dan post callosal (A4 dan A5).

Gambar 9. Sirkulasi vertebro-basilar.


Sumber: Anzalone & Tartaro, 2005;
Moeller & maka
Jika kita perhatikan, Reif, 2000;
gambar di atas
Patestas & Gartner, 2006
menunjukkan bagian-bagian berikut ini:
Bagian I menunjukkan vertebral artery
(VA), bagian II basilary artery (BA),
bagian III menunjukkan posterior
cerebral artery (PCA) dan bagian IV yaitu anterior spinal artery (ASA). Sementara
itu, bagian a menunjukkan inferior posterior cerebellar artery, bagian b yaitu
inferior anterior cerebellar artery, bagian c yaitu superior cerebellar artery, bagian
d menunjukkan temporooccipital arteries dan bagian e yaitu medial occipital
arteries.

Gambar 10. Arteriogram sirkulasi


posterior.
Sumber: Liebeskind, 2014

Berdasarkan gambar 10 terlihat a. vertebralis, a. basilaris, a. cerebelli inferior


posterior (PICA), a. cerebelli inferior anterior (AICA), dan a. cerebelli superior
(SCA).
Kedua teritorial pembuluh darah di atas bergabung menjadi sirkulus Wilisi dan
berasal dari dasar otak (Gambar 11). Tiga bagian arteri berasal dari sirkulus Wilisi,
yaitu arteri serebri anterior, medial, dan posterior. Arteri-arteri ini menyediakan
aliran darah ke hemisfer serebri, sedangkan batang otak dan serebellum secara
29

khusus dialiri oleh cabang-cabang sirkulasi vertebro-basilar (Anzalone & Tartaro,


2005; Moeller & Reif, 2000; Patestas & Gartner, 2006).

Gambar 11. Sirkulus Willisi

F. PENCITRAAN PADA STROKE ISKEMIA


1. Gambaran CT Scan
Pencitraan memainkan peran yang penting dalam trombolisis. Pengetahuan
tentang tanda-tanda klasik iskemia awal atau gambaran perdarahan di computed
tomography (CT) tanpa kontras diperlukan untuk studi pencitraan yang
memuaskan. Pemeriksaan CT yang modern harus mencakup CT perfusi dan CT
angiografi. Computed tomography perfusi melukiskan jaringan iskemia
(penumbra) dengan menunjukkan peningkatan waktu transit yang berarti
penurunan aliran darah otak (CBF) dan volume darah otak normal atau
meningkat (CBV), sedangkan jaringan infark bermanifestasi dengan nyata
menurun CBF dan CBV menurun. CT angiografi dapat menggambarkan letak
oklusi dan membantu mencirikan penyakit aterosklerosis pada karotis. Sebuah
studi lengkap CT (CT tanpa kontras, CT perfusi, dan CT angiografi) dapat
dilakukan dan dianalisis dengan cepat dan mudah oleh ahli radiologi secara
umum dengan menggunakan protokol standar yang sederhana dan bahkan dapat
memfasilitasi untuk mendiagnosis pasien kepada ahli radiologi kurang yang
berpengalaman (Lucas et al., 2008).
Computed tomography scan tanpa kontras harus dilakukan sesegera
mungkin pada stroke. CT sangat sensitif untuk penggambaran lesi hemoragik
30

dan peran kunci CT tanpa kontras adalah deteksi perdarahan atau penyakit lain
yang mirip stroke (misalnya neoplasma dan malformasi arteri) yang bisa menjadi
penyebab defisit neurologis (Harold P. Adams et al., 2007). Peran kedua CT
tanpa kontras yaitu mendeteksi tandatanda iskemia yang disebabkan karena
infark. Temuan utama pada CT adalah daerah hypoattenuating di kortikal-
subkortikal dalam suatu wilayah vaskular (Lucas et al., 2008).
Gambar 12 menggambarkan wilayah (raster) dari ACA, arteri serebri media
(MCA) dan arteri serebri posterior. CT scan (bawah) menunjukkan infark pada
wilayah arteri tersebut (Lucas et al., 2008).

Gambar 12. Infark pada wilayah arteri ACA, arteri serebri media (MCA) dan
arteri serebri posterior.
Sumber: Lucas et al., 2008

Perfusi CT dilakukan dengan hanya memantau agen kontras iodinasi bolus


yang lolos melalui sirkulasi serebral. Ini melibatkan pencitraan secara terus-
menerus selama 45 detik di atas potongan jaringan yang sama (1-32 bagian)
selama administrasi kontras kecil secara dinamis (50 mL) dan kontras dengan
aliran tinggi secara bolus (laju injeksi 4–5 mL/detik). Sebelum dilakukan
pemeriksaan ini, pemeriksaan fungsi ginjal perlu diperiksa terlebih dahulu untuk
mengurangi keterlambatan kontras dan mencegah terjadinya kontras-induced
nefropati dan merupakan komplikasi yang jarang pada pasien stroke akut yang
menjalani pemeriksaan multimodal CT scan (Lucas et al., 2008). Tidak
31

ditemukan adanya defisit neurologis baru atau komplikasi jantung setelah injeksi
bahan kontras pada tingkat aliran tinggi (Koenig et al., 1998).
Pada stroke akut, inti jaringan infark irreversible dikelilingi oleh daerah
perifer atau disebut penumbra yang menerima suplai darah kolateral dari arteri
yang tidak terkena dan arteri di wilayah leptomeningeal. Sel-sel di penumbra
berpotensi diselamatkan dengan rekanalisasi awal. Penelitian terbaru telah
menunjukkan bahwa terapi trombolitik intravena mungkin bermanfaat bagi
pasien di luar 3 jam pertama. Pasien dipilih secara hati-hati berdasarkan temuan
perfusi mismatch. Beberapa penulis telah melaporkan ambang batas untuk infark
inti ketika CBV kurang dari 2 L/ menit dan untuk jaringan iskemia ketika MTT
mencapai lebih dari 145% (Lucas et al., 2008).

Gambar 13. Stroke akut (6 jam evolusi) pada wanita 46 tahun dengan
hemiplegia kiri.
Sumber: Lucas et al., 2008

Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (a) yaitu nonenhanced CT scan


yang menunjukkan tanda titik (panah) di MCA kanan, kehilangan diferensiasi
materi putih & abu-abu dan mengaburkan basal ganglia. Bagian (b-e) peta Perfusi
CT dari MTT (b), CBV (c), dan CBF (d) dan peta ringkasan (e) menunjukkan
32

MTT diubah dan CBF di daerah frontotemporal kanan, sugestif iskemia, dan
subkortikal berkurang daerah dengan penurunan CBV, sugestif dari inti infark.
Perhatikan area peningkatan CBF dan CBV di nucleus caudatus kanan dan inti
lentikular, yang mewakili tahap pertama dari iskemia otak (kompensasi dengan
suplai dari cadangan serebrovaskular). Bagian (f) Gambar MR aksial T2-weighted
menunjukkan hiperintens daerah frontoparietal kanan dan nucleus caudatus yang
berkaitan dengan infark akhir di bidang iskemia.

2. Gambaran MRI
Pada stroke iskemia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk
pencitraan menggunakan MRI yaitu MRI konvensional, FLAIR imaging,
diffusion-weighted imaging, perfusion-weighted imaging, dan time of flight.
Berikut ini penjelasannya.
Evaluasi rutin pasien stroke iskemia (terutama di tahap infark subakut dan
kronis) biasanya mencakup beberapa bentuk T1-weighted dan T2-weighted spin
echo atau fast spin echo dan tambahan gradient echo imaging untuk perdarahan.
T1-weighted imaging (waktu pengulangan 400–600 ms, waktu gema 20–35 ms)
umumnya dilakukan untuk memberikan definisi anatomi dan deteksi
methemoglobin dalam perdarahan subakut. T2-weighted imaging (waktu
pengulangan >2.500 ms, waktu gema 80–120 ms) digunakan untuk menunjukkan
letak dari cedera parenkim, direpresentasikan sebagai daerah dengan kadar air
meningkat. Fluid attenuated inversion recovery (FLAIR) baru-baru ini telah
diadopsi untuk menggantikan proton density weighted imaging dan untuk
mempercepat pemeriksaan fast spin echo konvensional, khususnya untuk area
otak yang berdekatan dengan ventrikel dan sulkus kortikal (Marks, 2008).
Temuan pada pencitraan konvensional dalam perkembangan infark serebral
dapat dikenali dengan baik dan memiliki stereotip serupa dengan yang terlihat
pada CT. Perubahan ini terlihat pada iskemia parenkim yang ditandai dengan
peningkatan kadar air jaringan. Hal ini meningkatkan cairan dalam jaringan
sehingga terjadi pemanjangan T1 dan waktu relaksasi T2. Perubahan sinyal T2,
meskipun lebih sensitif terhadap akumulasi air jaringan daripada gambar T1-
33

weighted, namun sering kali masih normal dalam 8 jam pertama setelah infark.
Secara bertahap selama tahap akut, T2-weighted akan menjadi lebih hiperintens
di wilayah iskemia, terutama selama 24 jam pertama. Pada 24 jam, kira-kira 90%
dari pasien yang mengalami infark akan menunjukkan perubahan dalam weighted
dibandingkan dengan perubahan T1-weighted yang hanya sekitar 50%. Perubahan
sinyal ini terlihat pada 24 jam pertama dan yang terbaik terlihat di grey matter dan
baik divisualisasikan dalam struktur grey matter bagian dalam seperti thalamus
atau basal ganglia. Sering kali white matter tidak menunjukkan perubahan yang
cukup dalam jangka waktu 24 jam pertama. Fast spin echo juga dapat
menunjukkan thrombosis atau aliran lambat dilihat sebagai hilangnya kekosongan
dalam arteri lingkaran Willis dan arteri yang melintasi ruang subarachnoid dalam
sulki kortikal. Perubahan sinyal ini dalam arteri dapat dikenali segera setelah
kejadian tromboemboli dimulai dan mungkin mendahului akumulasi air dalam
parenkim (Marks, 2008).
Perubahan morfologi yang bersamaan dengan perkembangan edema
vasogenik yang terjadi kemudian, sering akan terlihat dengan spin echo imaging.
Peningkatan hasil edema vasogenik di otak terutama di daerah korteks sebagai
pembengkakan girus atau pendataran sulkus dapat dilihat pada kedua T1- dan T2–
weighted imaging. Hal ini dapat divisualisasikan pada hari pertama, tetapi menjadi
lebih jelas setelah awal terjadinya infark (> 24 sampai 48 jam). Perubahan sinyal
pada T1 dan T2 juga menjadi lebih jelas dalam periode ini karena daerah infark
akut menjadi lebih jelas. Jika daerah otak yang terpengaruh besar, selama periode
ini efek massa dengan herniasi dapat terlihat (memuncak pada 3 sampai 4 hari
setelah infark). Hal ini juga harus dicatat bahwa fast spin echo telah menggantikan
teknik conventional spin echo di sebagian besar pusat kesehatan. Teknik ini
kurang sensitif terhadap T2 karena beberapa pulsa 180 derajat. Oleh karena itu,
dengan fast spin echo imaging, deteksi perdarahan akut berkurang berdasarkan
sensitivitas yang lebih rendah terhadap perubahan kerentanan magnetik. Hal ini
penting untuk melengkapi evaluasi MRI pasien stroke dengan pencitraan gradient
echo yang sangat sensitif terhadap variasi kerentanan yang menyertai perdarahan
intraparenkim (Gambar 14 dan Gambar 15) (Marks, 2008).
34

Jika kita perhatikan Gambar 14 terlihat FLAIR (A), T2-weighted fast spin
echo (B), dan gradient echo (C). Perdarahan yang luas hanya terlihat gambar
gradient echo (CT tidak ditampilkan, tidak menunjukkan bukti perdarahan).
Gambar diffusion-weighted (D) dan diffusion coefficient maps (E) menunjukkan
difusi terbatas pada posterior terhadap lesi perdarahan yang heterogen, konsisten
dengan infark akut. Tujuan teknik difusi di daerah perdarahan akut adalah untuk
menyelidiki jaringan nonhemorrhagic yang berdekatan dengan perdarahan, dalam
hal ini adalah jelas dalam distribusi vaskular arteri besar (arteri serebri, divisi
posterior).

Gambar 14. Nilai diffusion


weighted imaging pada
perdarahan akut.
Sumber: Marks, 2008
35

Gambar 15. Perdarahan


infark akut pada CT vs
MRI.
Sumber: Marks, 2008

Berdasarkan Gambar 15, meskipun tidak ada bukti perdarahan di kedua CT


(A) atau FLAIR (B) di infark serebral kanan tengah, gradient echo jelas
menunjukkan perdarahan akut yang luas (C). Sensitivitas MRI menggunakan
gradient echo imaging untuk perdarahan akut dapat melebihi computed
tomography.
Hal ini juga diketahui bahwa peningkatan kontras gambar MRI
konvensional memainkan peran penting dalam diagnosis infark subakut dan
masih dianggap sebagai ciri khas dari diagnosis. Peningkatan intensitas
parenkim girus di infark subakut biasanya dimulai menjelang akhir minggu
pertama, ketika efek massa telah selesai dan berlangsung selama sekitar 6 sampai
8 minggu. Dalam periode ini, perubahan yang relatif terlihat adalah hiperintens
pada T2 yang lebih jelas. Pada sekitar 20% kasus akan ada daerah dengan
peningkatan sinyal pada gambar T1 yang menunjukkan adanya komponen
perdarahan (Marks, 2008).
Pada fase kronis infark serebral biasanya dimulai ketika integritas
penghalang darah-otak telah pulih, edema telah menghilang, dan sebagian besar
resorpsi jaringan nekrotik telah selesai. Hal ini membutuhkan waktu lebih lama
pada infark yang lebih besar, tetapi biasanya terjadi dalam waktu 6 minggu. MRI
infark kronis ditandai dengan zona yang lebih kecil dan terlihat lebih baik
daripada yang terlihat di scan sebelumnya. Hilangnya elemen selular dan atrofi
fokus menjadi jelas. Hal ini ditandai sebagai pelebaran sulki dan pembesaran
ventrikel. Intensitas sinyal meningkat karena kandungan air yang lebih besar,
36

terbentuk kavitasi kistik yang merupakan sebagian besar berupa jaringan sisa,
terutama terlihat pada infark yang lebih besar. Seiring waktu berjalan, lesi terus
menyusut dengan perubahan atrofi menjadi lebih jelas dan infark itu sendiri
menjadi kurang jelas (Marks, 2008).

a. Gambaran FLAIR
Sekuens ini sering digunakan dalam evaluasi pasien dengan stroke
iskemia untuk menguatkan hasil MRI konvensional T1- dan T2– weighted
imaging. Gambar FLAIR sinyal CSF nol didasarkan seperti gambar cairan di
T1. FLAIR telah sangat membantu dalam evaluasi parenkim otak dan telah
terbukti lebih sensitif untuk mendeteksi infark bila dibandingkan dengan
pencitraan T2WI dalam evaluasi stroke. Barubaru ini, FLAIR imaging telah
digunakan dalam evaluasi fase hiperakut stroke (< 6 jam setelah timbulnya
gejala). Sekuens FLAIR tidak mampu mendeteksi infark dalam periode waktu
yang akut dengan banyak sensitivitas yang tinggi. Hal ini juga telah
menunjukkan bahwa Teknik ini dapat menunjukkan pembuluh darah yang
tersumbat atau pembuluh darah dengan aliran berkurang akan tampak
hiperintens sehingga terlihat kontras tinggi untuk hipointens terhadap CSF
sekitarnya. Namun, jika dibandingkan secara langsung dengan teknik baru
seperti DWI, teknik FLAIR telah terbukti nyata kurang sensitif dibandingkan
DWI. Di luar periode waktu hiperakut, periode akut, dan jangka waktu
subakut (infark kurang dari 10 hari) sekuens FLAIR menunjukkan lebih baik
dari T2WI FSE. Keterbatasan lebih lanjut dari FLAIR dibandingkan dengan
pencitraan T2WI adalah kurangnya spesifisitas hipointens pada perdarahan
akut, yang pada FLAIR mirip sebagai daerah kistik yang mengandung air
(Marks, 2008).
37

Gambar 16. Infark iskemia dari kortikal dan subkortikal sebelah kanan (hari
ke-3). Pada serangkaian pencitraan T2WI (a) dan FLAIR (b).
Sumber: Marks, 2008

b. Gambaran Diffusion-Weighted
Dengan munculnya DWI MRI scan pada saat ini maka teknologi ini
dapat digunakan untuk mendeteksi iskemia serebral akut dalam awal 6 jam
setelah onset gejala (Mirsen, 2014). Pengembangan Teknik MRI baru ini
mampu menilai perubahan iskemia hiperakut di tingkat parenkim seperti
DWI dan PWI yang sebagian besar disebabkan oleh pengembangan
kecepatan tinggi T2. Teknik T2* merupakan Teknik sensitif yang bisa
memetakan perubahan gerak proton dan pola perfusi serebral secara jelas.
Metode kecepatan tinggi ini sangat penting dalam mengurangi artefak gerak
(Marks, 2008).
DWI telah merevolusi evaluasi MRI pada tahap awal atau infark
hiperakut karena sensitivitas yang tinggi terhadap infark dinyatakan tidak
tampak dan sudah menjadi sekuens pencitraan rutin pada pasien stroke. Hal
ini menggunakan teknik untuk pemetaan kontras proton yang mencerminkan
lingkungan air di mikrovaskular. DWI sensitif terhadap gerakan translasi atau
difusi air jarak pendek. Proton yang berpindah akan memperoleh perubahan
fase dan mengakibatkan kehilangan sinyal (atau gambar lebih gelap) pada
gambar DWI. Gambar yang diperoleh responsif terhadap perfusi berbasis
38

kapiler. Untuk gerakan yang lebih cepat menggunakan kekuatan gradien lebih
rendah dan untuk gerakan lambat difusional menggunakan kekuatan gradien
yang lebih tinggi (Marks, 2008).
Pada umumnya, gambar DWI dan gambar ADC dibaca bersama-sama
dan dapat dibandingkan dengan gambar konvensional yang digunakan dalam
protokol. Nilai tambah gambar ADC ditemukan dalam kasus hiperintens pada
DWI. Hal ini dapat disebabkan oleh salah satu (atau keduanya) yaitu difusi
yang terbatas dan perubahan T2. Dalam kasus ini yang kadang-kadang
merupakan sinyal hanya tinggi karena T2 pada DWI maka peta ADC harus
dilihat karena peta ADC menunjukkan secara kontras berdasarkan perbedaan
difusi. Di sisi lain, jika tidak ada hiperintens terlihat di DWI, maka tidak ada
infark akut dan tidak perlu untuk peta ADC, karena peta ADC sendiri
memiliki sensitivitas yang sangat rendah dan akurasi untuk infark akut.
Kebanyakan infark non akut tidak menunjukkan hiperintens pada DWI,
meskipun terjadi pemanjangan T2 di wilayah infark. Selain itu, dalam kasus-
kasus tertentu, kontras aditif yang diberikan oleh perubahan T2 akan
meningkatkan penemuan infark akut pada DWI dibandingkan dengan peta
ADC (Marks, 2008).

Gambar 17. Iskemia akut pada genu korpus kallosum kanan (24 jam setelah
serangan iskemia).
Sumber: Marks, 2008

Jika kita perhatikan gambar terlihat T2WI (a) dan T1WI (b) gambar DWI
(c) menunjukkan fokus perubahan sinyal. Pergeseran ringan dan kompresi
anterior horn dari ventrikel lateral kanan terlihat. Infark lacunar lama terlihat
dalam kapsul eksternal kanan. Studi difusi (c) menunjukkan karakteristik
hiperintens yang menyingkirkan kemungkinan dari tumor.
39

c. Gambaran Perfussion-Weighted
Pencitraan perfusi otak dapat dilakukan dengan menggunakan agen
kontras berbasis kerentanan atau teknik berputar pada pelabelan arteri.
Pencitraan perfusi menggunakan agen kontras paramagnetik saat ini lebih
banyak digunakan. Gambar yang diperoleh setelah injeksi bolus dari agen
kontras akan mendeteksi perubahan intensitas gambar saat melewati pembuluh
darah kapiler. Agen kontras magnetik seperti disprosium atau gadolinium-
DTPA akan menimbulkan pemendekan T2* dan menghasilkan kehilangan
sinyal dalam jaringan perfusi. Agen-agen ini tetap dalam ruang intravaskular
ketika penghalang darah otak yang utuh merangsang gradien medan magnet
lokal di tempat pembuluh darah kapiler. Suatu sinyal yang hilang diamati
ketika agen kontras bergerak masuk dan keluar dari jaringan. Aliran darah otak
regional dan waktu transit yang relatif juga dapat dihitung. Namun, aliran
darah otak regional tidak dapat dihitung secara akurat, kecuali profil
konsentrasi pasokan arteri pada jaringan yang dikenal. Satu atau lebih dari peta
hemodinamik ini kemudian dapat ditampilkan bersama dengan urutan
pencitraan lainnya (Marks, 2008).
Selain injeksi agen kontras, pencitraan aliran darah dapat dilakukan
oleh pelabelan magnetis proton air. Hal ini menyediakan metode yang sama
sekali non-invasif untuk pencitraan perfusi menggunakan air jaringan dan agen
kontras endogen. Meskipun PWI secara luas dianggap penting untuk triase
stroke terapi, harus disadari bahwa PWI yang dilakukan dengan teknik berbeda
dapat menunjukkan volume berbeda pula secara signifikan dari jaringan yang
terkena. Oleh karena itu, perbandingan ukuran lesi pada PWI dengan gambar
DWI mungkin berbeda secara signifikan dengan mengubah metodologi perfusi
(Marks, 2008).
40

Gambar 18. Iskemia akut di cabang terminal dari arteri serebri kiri tengah
saat 12 jam setelah onset.
Sumber: Marks, 2008

Berdasarkan gambar di atas terlihat pencitraan T2WI (a), DWI (b)


menunjukkan perubahan sinyal di area lobus parietalis kiri (panah). DWI
menggambarkan volume lesi yang lebih baik. Gambar PWI (c, d).

G. PENCITRAAN PADA STROKE HEMORAGIK


1. Gambaran CT Scan dan CTA pada ICH
ICH akut akan tampak sebagai lesi hiperdens oval atau bulat pada
CT scan kepala tanpa kontras. ICH sering mengalami ekstensi ke
intraventrikel, terutama jika berasal dari ganglia basalis dan batang otak.
Pada fase hiperakut, densitas lesi akan berkisar antara 40-60 Hounsfield
Unit (HU) (Smith, et al., 2011). Pada fase ini, ICH mungkin sulit dibedakan
dengan parenkim otak normal (Smith, et al., 2006). Beberapa lesi mungkin
tampak heterogen, memberi gambaran swirl sign, dan menandakan
perdarahan aktif masih berlangsung. Setelah hematoma terbentuk dengan
41

sempurna dalam hitungan jam hingga hari, densitas akan naik menjadi 60-
80 HU. Dalam beberapa hari kemudian, lesi akan memiliki densitas 80-100
HU dan dikelilingi oleh edema peri-hematoma (Smith, et al., 2011). Hal ini
disebabkan oleh ekstrusi plasma dan retraksi bekuan darah. Edema
perihematoma sendiri dapat bertahan hingga 14 hari (Smith, et al., 2006).
Gambaran hiperdens ICH disebabkan oleh kandungan proteinnya yang
tinggi dan massa jenisnya yang berat (Wanke, 2007). Namun terkadang ICH
akut dapat tampak isodens atau bahkan hipodens. Hal ini disebabkan oleh
anemia atau gangguan koagulasi. Tanda lain ICH akibat gangguan
koagulasi adalah adanya fluid-fluid level (Smith, et al., 2011). Akan tetapi,
tanda ini dapat ditemukan pula pada ICH yang disebabkan oleh hipertensi,
tumor, trauma, dan AVM (Smith, et al., 2006).

Gambar 19. CT scan kepala tanpa kontras serial menunjukkan ICH pada
thalamus kanan pada fase akut (A) dengan atenuasi 65 HU (A), 8
hari kemudian (B) dengan atenuasi 45 HU, 13 hari kemudian (C)
dan 5 bulan kemudian (D).
Sumber: Smith, et.al., 2006
Setelah itu, seiring berjalannya waktu densitas ICH akan menurun,
rata-rata 0,7–1,5 HU/hari. Dalam 1–6 minggu, ICH akan menjadi isodens
terhadap parenkim otak (Smith, et al., 2011). Hal ini disebabkan oleh aktivitas
makrofag yang melakukan fagositosis terhadap produk darah, dimulai dari
bagian perifer hingga ke sentral. Dalam 4-9 hari, atenuasi ICH akan turun
menjadi sama dengan korteks normal dan dalam 2-3 minggu menjadi sama
dengan substansia alba normal. Terkadang ICH-nya sendiri tidak terlihat,
namun efek massa yang prominen menjadi petunjuk akan adanya ICH di
sekitar (Smith, et al., 2006).
Gambaran ini berpotensi untuk dikacaukan dengan abses pada
42

pemeriksaan CT scan dengan kontras akibat kerusakan BBB (Wanke,


2007). Hal ini disebabkan bahwa pada ICH subakut, memang terdapat
penyangatan pada perifernya (Smith, et al., 2006). Pada akhirnya, yang
tersisa dari sebuah ICH adalah fokus hipodens (37%), slit-like lesion (25%),
kalsifikasi (10%), atau terserap sempurna (27%) (Smith, et al., 2011).
Volume ICH dapat diperkirakan menggunakan rumus Broderick
yaitu ABC/2 (cc), di mana A adalah diameter terbesar hematoma, B adalah
diameter tegak lurus terhadap A, dan C adalah jumlah 10-mm-thickness CT
slice. Jika hematoma pada suatu slice CT > 75% hematoma terluas, slice CT
tersebut ikut dihitung dalam C. Namun, jika hematoma pada suatu slice CT
berukuran 25–75% hematoma terluas, slice CT tersebut dihitung setengah.
Slice CT dengan hematoma < 25% hematoma terluas tidak diikutkan dalam
perhitungan C (Ghandehari, 2012).
ICH yang mengalami resolusi umumnya akan memberikan
penyangatan cincin (ring enhancement) paska pemberian kontras pada 1–6
minggu sejak kejadian stroke dan akan menghilang setelah 2–6 minggu. Hal
ini terjadi akibat hipervaskularisasi dan disrupsi BBB (Ghandehari, 2012).
Pada CT perfusi, area yang mengalami ICH akan menunjukkan hipoperfusi
(tampak sebagai area dengan warna biru) (Choi, 2011).
Gambar 20. CT scan kepala tanpa
kontras menunjukkan ICH akut pada
pasien tanpa riwayat koagulopati.
Sumber: Smith, et.al., 2006
43

Gambar 21. CT scan kepala tanpa kontras.


Sumber: Choi, 2011

Jika kita perhatikan Gambar 21 terlihat bagian (a) yang menunjukkan ICH
(panah) pada thalamus kanan. Pada CT perfusi (CTP) (b), tampak area yang
terkena ICH hipoperfusi (panah).

Gambar 21. CT scan dengan kontras.


Sumber: Xu et al., 2013

Berdasarkan gambar di atas, bagian (a) menunjukkan ICH pada


ganglia basalis kiri. CTP menunjukkan cerebral blood volume (CBV, gambar
b), cerebral blood flow (CBF, gambar c), dan mean transit time (MTT,
44

gambar d). Tampak penurunan jumlah pada ketiga parameter (ditandai


dengan warna semakin biru/hitam) dari bagian perifer ICH ke bagian sentral
ICH.
Hipertensi adalah penyebab ICH tersering. ICH supratentorial dapat
dibagi menjadi lobar ICH (pusat area perdarahan terdapat pada whitegrey
matter junction) dan deep ICH (pusat area perdarahan pada ganglia basalis
dan thalamus). Jika area yang terlibat dalam ICH luas, meliputi lobar dan
deep, kemungkinan besar berasal dari deep (Smith, et al., 2006). Beberapa
tanda yang mendukung hipertensi sebagai penyebab ICH antara lain sebagai
berikut (Ghandehari, 2012).
2. Terdapat di area yang divaskularisasi oleh r. perforantes MCA atau a.
basilaris. Sekitar 2/3 terletak di basal nuklei dan sekitar 50% berkaitan
dengan IVH.
3. Terdapat di pons atau serebellum.
4. Disertai dengan infark lakuner atau white matter disease.
Apabila pasien berusia di bawah 70 tahun dan/atau memiliki ICH
bukan di tempat predileksi di atas, angiografi mungkin dibutuhkan untuk
menyingkirkan aneurisma. Ruptur aneurisma dapat menyebabkan ICH, meski
SAH lebih sering terjadi (Wanke, 2007). Ekstensi ke IVH sering terjadi
meskipun volume ICH asal sangat kecil sehingga jika menemui IVH saja,
seseorang harus benar-benar yakin tidak terdapat deep ICH. IVH primer dapat
muncul pada pasien dengan hipertensi, aneurisma AcomA, malformasi
vaskular, penyakit moya-moya, dan tumor intraventrikel (Smith, et al., 2006).
45

Gambar 22. ICH pada thalamus disertai ekstensi IVH


Sumber: Smith, et al., 2006

Gambar 23. Area khas untuk ICH yang disebabkan oleh hipertensi: thalamus (A),
batang otak (B), dan nukleus lentiformis (C).
Sumber: Smith, et al., 2006

Sekitar 10% ICH bersifat sekunder, dalam arti memiliki kelainan yang
mendasari terjadinya ICH. Hal ini penting diingat karena stroke hemoragik
sekunder ini berpotensi terulang dan berpotensi disembuhkan (Almandoz,
2011). Penelitian membuktikan bahwa mortalitas terapi konservatif pada
pasien dengan ICH yang didasari oleh ruptur aneurisma (salah satu penyebab
ICH sekunder) mencapai 80% (Smith, et al., 2011). Karena pentingnya hal
ini untuk dikenali maka sebuah sistem skoring telah dikembangkan, yaitu
sistem skoring secondary ICH (SICH) (Almandoz, 2011).
Sistem skoring SICH menggunakan gambaran perdarahan pada CT
scan kepala tanpa indikasi kontras, umur dan jenis kelamin pasien, serta latar
belakang klinis. Terdapat tiga kategorisasi gambaran perdarahan pada CT
san, yaitu probabilitas tinggi, probabilitas sedang, dan probabilitas rendah.
Probabilitas tinggi diberikan jika perdarahan itu menampakkan salah satu dari
tanda seperti pelebaran vaskular sekitar lesi, kalsifikasi sekitar lesi, sinus
venosus yang hiperdens, dan vena kortikal yang hiperdens. Probabilitas
rendah diberikan jika lesi perdarahan tidak memenuhi satu pun tanda
probabilitas tinggi dan terletak pada tempat predisposisi ICH primer, yaitu
batang otak, thalamus, dan ganglia basalis. Probabilitas sedang terletak di
antara probabilitas tinggi dan rendah. Gangguan koagulasi didefinisikan
46

sebagai salah satu dari gangguan seperti International Normalization Ratio


(INR) > 3, activated Pro-Thrombine Time (aPTT) > 80 detik, trombosit <
50.000, dan terapi antiplatelet harian (Almandoz, 2011).
Tabel 6. Sistem Skoring SICH

Sumber: Almandoz, 2011

Bagian (A) pada gambar 24 merupakan CT scan kepala tanpa kontras dari
seorang wanita berumur 59 tahun dengan riwayat hipertensi dan pemakaian
aspirin harian menunjukkan ICH pada lobus temporoparieto-occipital kanan
(skor SICH = 3). Potongan aksial (B) dari maximum intensity projection CTA
menunjukkan adanya AVM pada regio temporo-parieto-occipital kanan
(mata panah) dengan feeding artery berasal dari PCA kanan (panah putih) dan
draining vein ke sinus transversus kanan (panah hitam).
47

Gambar 24. CT scan kepala tanpa kontras dari seorang wanita berumur 59 tahun.
Sumber: Almandoz, 2011

Gambar 25. CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria berumur 27 tahun.
Sumber: Almandoz, 2011

Bagian (A) pada gambar di atas merupakan CT scan kepala tanpa kontras dari
seorang pria berumur 27 tahun tanpa riwayat hipertensi maupun pemakaian
antiplatelet yang menunjukkan ICH pada lobus occipital kiri (skor SICH = 4).
Potongan aksial (B) CTA menunjukkan sebuah additional shadow pada
segmen distal MCA kiri, sesuai dengan pseudo-aneurisma.
48

Gambar 26. CT scan kepala tanpa kontras dr seorang wanita berumur 59 tahun.
Sumber: Almandoz, 2011

Bagian (A) pada gambar di atas merupakan CT scan kepala tanpa


kontras dari seorang wanita berusia 59 tahun tanpa riwayat hipertensi dan
gangguan koagulasi yang menunjukkan ICH pada ganglia basalis kanan
disertai pelebaran vaskular medial lesi (mata panah) (skor SICH = 5). CTA
(B) menegaskan bahwa itu adalah vaskular. Hubungan vaskular yang melebar
dengan ICH tampak jelas pada potongan koronal (C) dengan draining vein ke
sinus rektus kanan dan vena serebri interna kanan. Jika seorang pasien dengan
stroke hemoragik memiliki skor SICH tinggi, kemungkinan kelainan vaskular
yang menjadi dasar etiologi perlu dipikirkan dan perlu dilakukan pemeriksaan
CTA. Namun jika skor SICH rendah, yang perlu dipertimbangkan adalah
risiko radiasi dari CTA (Choi, 2011). Adanya fokus penyangatan berarti
risiko 91% untuk ekspansi hematoma yang berarti prognosis yang lebih
buruk. Fokus penyangatan ini diberi nama ‘spot sign’. Tanda yang baru
dilukiskan dalam waktu dekat ini memiliki spesifisitas 85-89%, nilai duga
negatif 76-96%, dan ratio kemungkinan positif 2,7-8,5 (Magistris, 2013).
Tidak ada ketentuan pasti kapan CTA ini harus dilakukan, tapi beberapa
peneliti berpikir jeda waktu 3 jam setelah onset stroke hemoragik sebagai
waktu terbaik untuk melakukan CTA (Smith, et al., 2011).
49

Gambar 27. CTA dari seorang pasien dengan ICH.


Sumber: Magistris, 2013

Gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:


A. CT scan tanpa kontras menunjukkan ICH pada putamen kiri dan kapsula
interna kiri limb posterior.
B. Setelah penambahan kontras tampak penyangatan kecil (panah hitam),
sesuai dengan spot sign.
C. CT scan beberapa saat kemudian menunjukkan penambahan penyangatan
(panah putih) sesuai dengan ekstravasasi.
D. CT scan tanpa kontras beberapa hari kemudian menunjukkan ekspansi
hematoma hingga intraventrikel.

Penelitian lain menunjukkan pasien dengan spot sign memiliki masa


tinggal di rumah sakit (length of stay) 10 hari lebih lama dibandingkan mereka
yang tidak menunjukkan spot sign. Pasien dengan spot sign ini juga memiliki
angka mortalitas dalam 90 hari (90-day mortality rate) yang lebih tinggi
(40,5%) dibandingkan mereka yang tidak memiliki spot sign (13.4%)
(Magistris, 2013).
Beberapa peneliti lain menetapkan kriteria batasan yang lebih kaku
untuk spot sign. Dua kriteria pertama (Tabel 7) membantu memisahkan spot
sign sesungguhnya dari kalsifikasi pleksus khoroid, AVM atau aneurisma
(Almandoz, 2011). Pada pasien dengan skor SICH tinggi, kriteria spot sign
yang kaku ini harus benar-benar dipegang dan sebuah titik hiperdens harus
dipastikan dengan benar apakah merupakan sebuah spot sign karena dampak
terapi dan prognostik yang berbeda. Kriteria ketiga (Tabel 7) membantu
50

memisahkan spot sign dari komponen hematoma dan image noise. Setelah
itu, para peneliti ini membentuk sistem skoring yang dapat digunakan untuk
menentukan nilai duga terhadap ekspansi hematoma pada ICH primer. Pasien
dengan risiko tinggi untuk ekspansi hematoma perlu mendapatkan terapi
hemostatik secepatnya (Almandoz, 2011).
Tabel 7. Kriteria yang lebih kaku untuk spot sign (A). Kemudian dapat
dihitung skor spot sign (B) yang akan dipakai untuk menentukan risiko
ekspansi hematoma (C).

2. Gambaran MRI pada ICH


Gambaran ICH pada MRI lebih kompleks karena dipengaruhi oleh tingkat
oksidasi hemoglobin dan kadar protein. Faktor ekstrinsik seperti pulse
sequence dan field strength juga berpengaruh (Wanke, 2007).
51

Terdapat 5 fase perubahan yang dialami oleh hemoglobin dalam eritrosit yang
terdapat dalam sebuah hematoma. Hal yang perlu diingat adalah terdapat
perbedaan antar individu berapa lama waktu yang diperlukan hemoglobin
untuk menempuh kelima fase ini. Bahkan sesama haemoglobin dalam satu
hematoma memiliki jangka waktu yang berbeda-beda dan hal itu
menunjukkan proses dinamis yang tidak berjalan homogen dalam sebuah
hematoma. Fase tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut (Smith, et
al., 2011):
1. Hiperakut: oksihemoglobin intraseluler
2. Akut: deoksihemoglobin intraseluler
3. Subakut awal: methemoglobin intraseluler
4. Subakut akhir: methemoglobin ekstraseluler
5. Kronis: hemosiderin/ferritin ekstraseluler
Tabel 8. Lima fase perubahan pada stroke hemoragik

Sumber: Smith, et al., 2006

Gambar 28. Perbandingan ICH akut pada MRI sekuens T1 (A), T2 (B) dan
Gradient Recalled Echo (GRE) (C).
52

BAB III
PENUTUP

Kejadian stroke menyebabkan berkurangnya atau terhentinya aliran darah yang


mengakibatkan kematian sel-sel otak. Hal ini menjadikan serangan stroke sebagai
keadaan darurat medis. Setelah pasien stroke mendapatkan penananganan medis
awal, dokter akan melakukan pencitraan otak, dapat melalui CT scan, MRI, dan
beberapa pencitraan vaskular untuk memastikan jenis stroke yang diderita pasien.
Tujuan utama pencitraan kepala di instalasi gawat darurat adalah untuk
membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemia dan lesi otak lainnya.
Diharapkan pencitraan dapat menentukan vaskular yang terlibat, perfusi otak, area
penumbra, dan prognosis pasien. Semua ini dilakukan dalam waktu yang singkat,
tanpa menghalangi proses diagnostik lain dan/atau terapi yang berjalan secara
bersamaan.
Pengetahuan tentang tanda-tanda klasik iskemia awal atau gambaran perdarahan
di computed tomography (CT) tanpa kontras diperlukan untuk studi pencitraan yang
memuaskan. Pada stroke iskemia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk
pencitraan menggunakan MRI yaitu MRI konvensional, FLAIR imaging, diffusion-
weighted imaging, perfusion-weighted imaging, dan time of flight. Temuan pada
CT dan MRI berubah dengan cepat pada minggu awal setelah infark. Biasanya
gambaran stroke iskemia pun dapat kita lihat berdasarkan waktu, misalnya infark
hiperakut (0–6 jam), infark akut (6 jam sampai 3 hari), infark subakut fase awal (36
jam – 5 hari), infark subakut fase akhir (5–14 hari), infark kronis (lebih dari 2
minggu), dan di situlah terlihat perubahan yang terjadi.
ICH akut akan tampak sebagai lesi hiperdens oval atau bulat pada CT scan
kepala tanpa kontras. Volume ICH dapat diperkirakan menggunakan rumur
Broderick: yaitu ABC/2 (cc), di mana A adalah diameter terbesar hematoma, B
adalah diameter tegak lurus terhadap A, dan C adalah jumlah 10-mm-thickness CT
slice. Gambaran ICH pada MRI lebih kompleks karena dipengaruhi oleh tingkat
oksidasi hemoglobin dan kadar protein.
53

DAFTAR PUSTAKA

Almandoz, J., 2011. Advanced CT Imaging in the Evaluation of Hemorrhagic Stroke.


Neuroimag Clin N Am, Volume 21, pp. 197–200.

Anzalone N., Tartaro A. 2005. Intracranial MR Angiography. In: Schneider G, Prince M.R,
Meaney J.F.M, Ho V.B (eds) Magnetic Resonance Angiography. Italia. Springer.pp.
103-112.

Caplan LR. 2000. Caplan’s Stroke: A Clinical Approach. 3rd ed. Butterworth-Heineman.
Boston.

Choi, P., 2011. Differentiating between Hemorrhagic Infarct and Parenchymal


Intracerebral Hemorrhage. Radiology Research and Practice, pp. 1–12.

Depkes. 2012. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2007. Epi., Info. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI. Hal 122-124

Felgin, V, 2006. Stroke. PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.

Galcary Herald, 2014. Stroke treatment shouldn’t hinge on a stroke of luck: The Calgary
Stroke Program. Available at: http://calgaryherald.com/health/stroke-treatment-
shouldnt-hingeon-
a-stroke-of-luck-the-calgary-stroke-program. Garg, A., 2011.

Gasco, J. et al. 2009. Hemorrhagic Stroke with Intraventricular Extension in The Setting
of Acute Posterior Reversible Encephalopathy Syndrome (PRES): Case Report.
Neurocirugía, Volume 20, pp. 57–61.

van Gijn, J., Kerr, R. & Rinkel, G., 2007. Subarachnoid Hemorrhage. Lancet 2007,
Volume 369, p. 306–18.

Goldstein, L.B., Adams, R., Alberts, M.J., Appel, L.J., Brass, L.M., Bushnell, C.D.,
Culebras, A., DeGraba, T.J., Gorelick, P.B., Guyton, J., hart, R.G., Howard, G., Kelly-
Hayes, M., Nixon, J.V. dan Sacco, R.L. 2006. Primary Prevention of Ischemic Stroke:
A Guideline From the American Heart Association / American Stroke Association
Stroke Council. Stroke.37:1583-1633.

Hankey GJ. 2002. Stroke: Your Questions Answered. Edinburg: Churchill Livingstoke.

Hardie K., Hankey G.J., Jamrozik K., Broadhurst R.J., Anderson C. 2004. American Heart
Association/American Stroke Association. Ten Years Risk of First Recurrent Stroke
and Disability After First Ever Stroke in the Perth Community Stroke Study. Stroke.
AHA Journal; 35: 731-735.

Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press,Edisi Kedua,
Yogyakarta.

Harold P. Adams J, et al. 2007. Guidelines for the Early Management of Adults With
Ischemic Stroke. Circulation, 115, 478-534.
54

Herring W, 2007. Recognizing some comman causes of intracranial pathology. In: Herring
W (ed.) Learning Radiology Recognizing the Basics. Philadelphia: Elsevier-Mosby

Horton M, et al. 2013. Refinement of Imaging Predictors of Recurrent Events Following


Transient Ischemic Attack and Minor Stroke. PLOS ONE, 8

Hoyert D.L., Xu J. 2012. NVSS. Deaths: Preliminary Data for 2011. National Vital
Statistics Report;61(6):1-4.

Kornienko VN & Pronin IN, 2009. Diagnostic Neuroradiology, Rusia, Springer, 101-60.

Koenig M, Klotz E, Luka B, Venderink DJ, Spittler JF, Heuser L. 1998. Perfusion CT of
The Brain: Diagnostic Approach for Early Detection of Ischemic Stroke. Radiology
209(1), 85–93.

Joe Niekro Foundation.2015 What is a Hemorrhagic Stroke? Available at:


http://www.joeniekrofoundation.com/understanding/what-isa-hemorrhagic-stroke/.

Liao MM, 2011. Transient Iischemic Attack and Cerebrovascular Accident. In:
Markovchick VJ, et al. (eds.) Emergency Medicine Secrets. Elsevier.

Liebeskind, D. S., 2014. Hemorrhagic Stroke. [Online] Available at: http://


emedicine.medscape.com/article/1916662.

Lucas EMd, et al. 2008. CT Protocol for Acute Stroke: Tips and Tricks for General
Radiologists. RadioGraphics, 28, 1673–87.

Lumbantobing, SM, 2003. Bencana Peredaran Darah di Otak. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.

Magistris, F. B. S. M. J., 2013. Intracerebral Hemorrhage: Pathophysiology and


Diagnosis, MUMJ, 10(1), pp. 15–22.

Mangla R, et al. 2011. Border Zone Infarcts: Pathophysiologic and Imaging


Characteristics. RSNA, 31, 1201–14.

Marks MP, 2008. Cerebral Ischemia and Infarction. In: Atlas SW (ed.) MRI of the Brain
and Spine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Mayo Clinic Staff, 2015. Tests and Procedures, SPECT Scan, Mayo Clinic, Available at:
http://www.radiologyinfo.org/en/gallery/index.cfm?image=836.

Moeller, T. B., & Reif, E. 2000. Normal Findings in CT and MRI. Stuttgart- New York:
Thieme.

Misbach J., Kalim H. 2011. Stroke Mengancam Usia Produktif [Online].


Jakarta.Available:http://medicastore.com/ stroke/ Stroke_ Pembunuh_
No_3_di_Indonesia.php. 2011.
55

Nasissi, Denise. 2010. Hemorrhagic Stroke. Emedicine Medscape. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview].

Noerjanto M., 20012. Masalah-masalah Dalam Diagnosis Stroke Akut. In: Management
Acute Stroke Temu regional Neurologi Jateng-DIY ke-XIX. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro: 1-15.

Nouira, S. e. a., 2008. Accuracy of Two Scores in the Diagnosis of Stroke Subtype in a
Multicenter Cohort Study. Annals of Emergency Medicine, 53(3), pp. 373–378.

Osborn A.G, Blaser S.I, Salzman K, et al. 2004. Diagnostic Brain Imaging. Canada.
Amirsys. pp.I.4.4–I.4.10.

Patestas M.A, Gartner L.P., 2006. Vascular Supply of The Central Nervous System. In:
Patestas M.A, Gartner L.P (eds) A Textbook of Neuroanatomy. Australia. Blackwell
Publishing. pp. 99–117.

Price, SA, Wilson, LM, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC,Jakarta.

Ralph L., Adams R., Albers G., Alberts M.J., Benavente O., Furie K.,et al., 2006. American
Heart Association/American StrokeAssociation. Guideline for Prevention of Stroke in
Patients with Ischemic Stroke or Transient Ischemic Attack. Stroke. AHA
Journals;37:577-617.

Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2 Ed/7. Jakarta : EGC.

Setyopranoto, I., 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185/Vol.38 no.4/Mei-
Juni 2011.

Sherin, A. K. A. R. S. S. N. H. S. G. Z. M., 2011. Comparability and Validity of Siriraj


Stroke and Allen Stroke Score in Differentiation of Acute Ischaemic and Hemorrhage
Stroke. JPMI, 25(3), pp. 206–216.

Sheta, Y. A.-S. A.-G. a. M. E.-M., 2012. Accuracy of Clinical Sub-typing of Stroke in


Comparison to Radiological Evidence. British Journal of Science, 6(2).

Siswanto Y. 2010. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stroke Berulang (Studi
Kasus RS DR. Kariadi Semarang). Semarang: Universitas Diponegoro.

Smith, E., Rosand, J. & Greenberg, S. M., 2006. Imaging of Hemorrhagic Stroke. Magn
Reson Imaging Clin N Am, Volume 14, p. 127–140.

Smith, S. D., Eskey & J., C., 2011. Hemorrhagic Stroke. Radiol Clin N Am, pp. 27–45.

Smithuis R, 2008. Brain Ischemia - Vascular territories [Online]. Radiology department


of the Rijnland Hospital in Leiderdorp, the Netherlands. Available at:
http://www.radiologyassistant.nl/en/p484b8328cb6b2/brain-ischemia-vascular-
territories.html
56

Srinivasan A, et al. 2006. State-of-the-Art Imaging of Acute Stroke. RadioGraphics, 26,


S75–S95.

Soertidewi L., Misbach J. 2007. Epidemiologi Stroke. Jakarta: Universitas Indonesia.

Stroke Association. 2013. Stroke Statistics. London.

Teasdale EM & Aitken S, 2009. Vascular Imaging in Ischaemic Stroke and TIA. An Atlas
and Practical Guide Multidetector CT In Neuroimaging. United Kingdom: Atlas
Medical Publishing Ltd.

Thurnher, M., 2008. Brain Ischemia - Imaging in Acute Stroke. Radiology Assistant.
Department of Radiology, Medical University of Vienna. Available at:
http://www.radiologyassistant.nl/en/
p483910a4b6f14/brain-ischemia-imaging-in-acute-stroke.html

Turanjanin N, et al. 2012. Frequency of Ischémie Stroke Subtypes in Relation to Risk


Factors for Ischémie Stroke. HealthMED, 10,3463–8.

UF Health, 2015. Stroke Background. UF Health. Center for Translational Research in


Neurodegenerative Disease. College of Medcine. Available at:
http://ctrnd.med.ufl.edu/research/stroke/strokebackground/.

Victor M., Ropper A.H., 2001. Principles of Neurology. 7th ed. New York: The Mc Graw-
Hill Companies Inc.: 1608-1624.

Wanke, F. F. M., 2007. Imaging of Intracranial Hemorrhage: A Review Article. Iran. J.


Radiol., 4(2), pp. 65–76.

William L.S., Yilmaz E.Y., Yunez A.M.L. 2000. Retrospective Assesment of Initial Stroke
Severity With the NIH Stroke Scale. Stroke. 31:858-62.

Williandry, M. 2014. Deteksi Stroke Awal dengan CT Scan dan MRI. Available at:
http://rspondokindah.co.id/en/health-articles/detail/2/deteksi-stroke-awal-dengan-ct-
scan-dan-mri#sthash. bH2FZipN.dpuf.

Xu, H. et al. 2013. CT Perfusion Imaging Predicts One-Month Outcome in Patients with
Acute Spontaneous Hypertensive Intracerebral Hemorrhage. Advances in Computed
Tomography, Volume 2, pp. 107–111.

Yates, P., 2014. Cerebral Microbleeds: a Review of Clinical, Genetic and Neuroimaging
Association. Frontiers in Neurology, Volume 4, pp. 1–13.

Zak, I. T., Dulai, H. S. & Kish, K. K., 2007. Imaging of Neurologic Associated with
Pregnancy and the Post Partum Period. RadioGraphics, Volume 27, p. 95–108.

Zimmerman RD, 2010. Vascular Diseases of the Brain. In: Yousem DM & Grossman RI
(eds.) The Requisities Neuroradiology Philadelphia: Mosby Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai