BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kejadian stroke menyebabkan berkurangnya atau terhentinya aliran darah
yang mengakibatkan kematian sel-sel otak. Hal ini menjadikan serangan stroke
sebagai keadaan darurat medis. Seseorang yang diperkirakan mendapat serangan
stroke sebaiknya segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan evaluasi
dan penanganan secepatnya. Dengan demikian, kematian sel saraf otak yang
lebih banyak dapat dihindari. Pada saat mendapatkan penanganan medis,
awalnya dokter akan melakukan wawancara untuk mengetahui riwayat penyakit
serta melakukan pemeriksaan fisik kepada pasien. Setelah itu, dokter akan
melakukan pencitraan otak, dapat melalui CT scan, MRI, dan beberapa
pencitraan vaskular untuk memastikan jenis stroke yang diderita pasien. Pada
saat ini, pencitraan vaskular yang sudah berkembang antara lain digital
subtraction angiography (DSA), computed tomography angiography (CTA),
magnetic resonance angiography (MRA), dan transcranial color doppler
(TCD). Di sinilah peran modalitas radiologi dan seorang radiolog sangat
diperlukan (Williandry, 2014).
Seorang radiolog berperan besar dalam manajemen pasien dengan
stroke sehingga pengetahuan tentang anatomi dasar vaskular otak, manifestasi
klinis, dan gambaran radiologisnya sangat penting. CT scan non kontras sudah
tersedia di bagian gawat darurat dan sudah merupakan prasyarat untuk
perawatan pasien stroke akut di era terapi trombolitik. Computed tomography
(CT) scan adalah suatu pemeriksaan pencitraan canggih menggunakan sinar-X
yang dapat mengevaluasi kondisi otak. CT scan dapat dilakukan dengan cepat
serta peka dalam menilai adanya perdarahan otak sehingga dokter dapat segera
membedakan jenis stroke yang dialami pasien. Namun, pada banyak kasus
stroke iskemia awal (beberapa jam setelah serangan), CT scan tidak
menunjukkan adanya kelainan (Williandry, 2014).
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan suatu pemeriksaan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Seseorang yang terkena stroke maka jarigan otaknya akan mati
karena terjadi pengurangan aliran darah dan oksigen ke otak.
Sumber: Mayo Clinic, 2015
4
B. KLASIFIKASI STROKE
Para ahli mengklasifikasikan stroke menjadi beberapa macam.
Pengklasifikasian tersebut ada yang berdasarkan gambaran klinis, patologi
anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya. Dasar klasifikasi yang
berbeda-beda ini perlu karena setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan,
preventif dan prognosis yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa (Victor
M. Dan Ropper A.H., 2001). Klasifikasi modifikasi Marshall untuk stroke
adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
6
a. Stroke Iskemia
- Transient Ischemic Attack (TIA)
- Trombosit serebri
- Emboli serebri
b. Stroke Hemoragik
- Perdarahan intraserebral
- Perdarahan subarachnoid
2. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu:
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Stroke-in-evolution
c. Completed stroke
3. Berdasarkan sistem pembuluh darah:
a. Sistem karotis
b. Sistem vertebro-basiler
C. STROKE ISKEMIA
1. Definisi dan Epidemiologi
Stroke iskemia atau yang dikenal juga dengan stroke non-hemoragik
merupakan jenis stroke yang paling banyak yang diderita orang. Oleh
karena itu, kita sangat perlu untuk memahami apakah stroke iskemia itu dan
berbagai hal terkait dengannya.
2. Patofisiologi
Penyebab paling umum infark meliputi aterosklerosis arteri besar,
kardioembolisme, dan lakunar (Zimmerman, 2010). Sumber emboli dapat
berasal dari debris ateromatous, stenosis arteri, dan pembuntuan arteri atau
emboli yang berasal dari jantung kiri (fibrilasi atrial) (Herring, 2007). Saat
ini, ada beberapa klasifikasi stroke iskemia yang berbeda. Sebagai contoh,
klasifikasi yang dikembangkan di Institut Riset Ilmiah Neurologi dari Russian
Academy of Medical Science berikut ini (Kornienko dan Pronin, 2009).
a. Stroke aterotrombotik
Stroke jenis ini terjadi dalam beberapa tahap, dimulai dengan peningkatan
bertahap dari manifestasi klinis selama beberapa jam atau hari. Sering kali
dimulai saat tidur. Hal ini ditandai dengan adanya lesi aterosklerotik di
10
arteri sisi stroke. TIA sering mendahului onset stroke. Ukuran stroke
bervariasi dari kecil ke besar. Stroke aterotrombotik Bersama dengan
emboli arteri-arteri memegang peranan sebesar 47% dari semua kasus
stroke.
b. Stroke karena emboli jantung
Ditandai oleh kondisi awal yang akut, stroke ini menyerang pasien dalam
keadaan terbangun. Tanda-tanda neurologis fokal paling terlihat pada
awal munculnya penyakit. Lokasi yang paling sering yaitu area arteri
karotis tengah dan biasanya mengenai kortikal-subkortikal dan berukuran
sedang atau besar. Menurut data, ada komponen perdarahan khas untuk
jenis stroke ini. Jenis stroke ini memegang peranan sebesar 22% dari
semua kasus stroke yang ada.
c. Stroke hemodinamik
Bentuk stroke ini ditandai dengan onset akut. Daerah yang paling sering
diserang yaitu bidang yang sesuai dengan suplai darah. Ukurannya dapat
bervariasi dari besar sampai kecil. Sebuah komponen hemodinamik juga
hadir dalam bentuk penurunan tekanan darah dan curah jantung secara
tibatiba. Stroke hemodinamik terjadi kurang dari 15% dari semua kasus
stroke.
d. Infark lacunar
Infark lakunar adalah lesi kecil yang disebabkan oleh oklusi arteri
perforans (Zimmerman, 2010). Infark lakunar disebut juga "microstroke",
dengan ukuran mulai dari 1-1,5 cm. Hipertensi arteri sering mendahului
stroke. Lokasi yang paling sering diserang yaitu inti subkortikal, batang
otak, basal ganglia, kapsul internal, korona radiata dan sekitar white
matter dari centrum semiovale (Osborn, 2004; Kornienko dan Pronin,
2009; Zimmerman, 2010). Ada tanda-tanda neurologis fokal yang khas
dan dalam beberapa kasus hanya satu gejala timbul dengan tidak adanya
tanda-tanda otak secara umum. Terjadinya lakunar stroke sebesar 20%
dari semua kasus stroke.
11
3. Diagnosis
Metode neuroimaging selalu memainkan peranan penting pada
diagnosis stroke, termasuk dalam mengeksklusi patologi otak atau dalam
estimasi lesi yang dapat diakses melalui pembedahan (Kornienko dan
Pronin, 2009).
Berdasarkan pemeriksaan CT dan MRI, biasanya stroke dibagi
menjadi tiga tahap yaitu akut, subakut, dan kronis. Ada beberapa
inkonsistensi di antaranya dan perubahan patologis dalam jaringan otak.
Namun secara umum, perubahan yang didiagnosis dengan penggunaan CT
dan MRI mirip dengan perubahan makroskopik. Keduanya memiliki karakter
yang sama dan perkembangan dalam proses terjadinya penyakit sesuai
dengan tiga tahap utama yang disebutkan di atas (Kornienko dan Pronin,
2009). Berikut ini penjelasannya.
a. Fase superakut dan stroke akut
CT memainkan peranan yang jauh lebih signifikan dalam diagnosa
stroke daripada MRI karena mayoritas pasien stroke yang dirawat di unit
perawatan intensif rumah sakit lebih mudah untuk melakukan CT scan
daripada MRI. Meskipun pada pemeriksaan CT mendeteksi perubahan
iskemia akut, namun tugas utama pemeriksaan CT adalah untuk
menghilangkan adanya perdarahan dan patologi otak lainnya (seperti
tumor, malformasi dan perdarahan, yang semuanya dapat memiliki
manifestasi klinis yang sama dengan stroke iskemia). Fase stroke akut
memiliki batas waktu tertentu, maksimal 2 hari. Potensi CT dalam
mendeteksi stroke akut tergantung pada jumlah waktu yang berlalu sejak
onset stroke. Selama jam pertama, pemeriksaan CT tanpa kontras akan
menampilkan gambar otak normal lebih dari 50% kasus (Kornienko dan
Pronin, 2009).
Tanda-tanda patologis yang terlihat dalam 12 jam pertama setelah
onset stroke yaitu meningkatnya intensitas sepanjang arteri yang terkena
dampak (hiperdens lebih sering divisualisasikan di cabang-cabang arteri
serebral tengah, atau MCA yang disebut gejala atau fenomena MCA),
12
4. Watershed infark
Watershed infark adalah lesi iskemia yang terjadi di lokasi dengan
karakteristik di persimpangan antara dua wilayah arteri utama (Johnson dan
Kubal, 1999). Menurut literatur, lesi ini berperan sekitar 10% dari semua
infark otak. Patofisiologinya belum sepenuhnya dapat dijelaskan, tetapi
hipotesis sementara yang diterima menyatakan bahwa penurunan perfusi di
daerah distal dari wilayah vaskular dapat menyebabkan rentan terhadap
infark. Pada pencitraan yang paling sering terlihat yaitu infark perbatasan
zona arteri lentikulostriata dan arteri serebri media (Mangla et al., 2011).
D. STROKE HEMORAGIK
1. Definisi dan Epidemiologi
Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan ke dalam jaringan
otak (disebut hemoragia intraserebrum atau hematom intraserebrum) atau
perdarahan ke dalam ruang subarachnoid, yaitu ruang sempit antara
permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut hemoragia
subarachnoid). Stroke hemoragik merupakan jenis stroke yang paling
mematikan dan merupakan sebagian kecil dari keseluruhan stroke yaitu
sebesar 10-15% untuk perdarahan intraserebrum dan sekitar 5% untuk
perdarahan subarachnoid (Felgin, V., 2006).
Stroke hemoragik dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami rupture sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarachnoid
atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat
menyebabkan perdarahan subarachnoid adalah aneurisma sakular dan
malformasi arteriovena (MAV) (Price, SA, Wilson, LM, 2006).
Morbiditas yang lebih parah dan mortalitas yang lebih tinggi
terdapat pada stroke hemoragik dibandingkan stroke iskemia. Hanya 20%
pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya (Nasissi,
Denise, 2010). Stroke hemoragik memegang peranan sebesar 15% sampai
16
20% dari semua jenis stroke (Lumbantobing, SM, 2003). Sementara itu,
perdarahan intra serebral terhitung sekitar 10 - 15% dari seluruh stroke dan
memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi daripada infark serebral (Nasissi,
Denise, 2010).
2. Klasifikasi
Terdapat dua bentuk stroke hemoragik, yaitu intracerebral
hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH). Kedua bentuk ini
memiliki etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, dan gambaran radiologis
yang berbeda (Yates, 2014).
a. Intracerebral Hemorrhage (ICH)
Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral.
Hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol merupakan penyebab utama
stroke hemoragik. Penyebab lainnya adalah pecahnya aneurisma,
malformasi arterivena, angioma kavernosa, alkoholisme, diskrasia darah,
terapi antikoagulan, dan angiopati amiloid (Setyopranoto, I., 2011).
Antara 30–40 orang per 10.000 orang per tahun terserang stroke ICH
(Yates, 2014). Perdarahan intraserebral (ICH) adalah perdarahan primer
yang berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan
disebabkan oleh trauma. Sebesar 70% kasus ICH terjadi di kapsula interna,
20% terjadi di fosa posterior (batang otak dan serebelum) dan 10% di
hemisfer (di luar kapsula interna). ICH terutama disebabkan oleh
hipertensi (50-68%) (Harsono, 2003).
Angka kematian untuk perdarahan intraserebrum hipertensif sangat
tinggi, mendekati 50%. Perdarahan yang terjadi di ruang supratentorium
(di atas tentorium cerebeli) memiliki prognosis yang baik apabila volume
darah sedikit. Namun, perdarahan ke dalam ruang infratentorium di daerah
pons atau cerebellum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk karena
cepatnya timbul tekanan pada struktur–struktur vital di batang otak (Price,
SA, Wilson, L.M., 2006.).
18
3. Etiologi
Ada banyak faktor yang berperan dalam menentukan seseorang terkena
stroke atau tidak. Beberapa faktor tersebut antara lain sebagai berikut.
19
a. Usia
Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke. Sekitar 30%
dari stroke terjadi sebelum usia 65 tahun; 70% terjadi pada mereka yang
65 tahun ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk setiap 10
tahun di atas 55 tahun (Sotirios A.T., 2000).
b. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan 2/3 kasus ICH. Area yang sering terkena adalah
thalamus, ganglia basalis, pons, serebellum (Liebeskind, 2014). Area-area
ini merupakan area yang mendapatkan vaskularisasi dari r. perforantes
MCA atau a. basilaris (Wanke, 2007). Sebagai respon terhadap tekanan
darah yang tinggi, arteri-arteri kecil ini akan mengalami hiperplasia tunika
intima, hialinisasi tunika intima, dan degenerasi tunika media, yang
meningkatkan risiko nekrosis fokal pada dinding vascular dan akhirnya
ruptur. Peneliti lain mengusulkan bahwa stres hemodinamik pada arteri
kecil akan mengakibatkan terbentuknya mikro-aneurisma, yang disebut
Charcort-Bouchard aneurisma. Mikro-aneurisma inilah yang dianggap
menjadi penyebab ICH lobar pada pasien dengan hipertensi tanpa
kelainan vaskular (Smith, et al., 2011).
c. Riwayat stroke sebelumnya
d. Alkohol
e. Narkoba
Penggunaan kokain dan phenylcyclidine terkait dengan stroke hemoragik,
meskipun keduanya tidak memiliki sifat anti-koagulan (Magistris, 2013).
f. Koagulopati dan penggunaan anti-koagulan/trombolitik
Koagulopati pada pasien dengan gagal hati ataupun karena genetik dapat
menyebabkan terjadinya ICH. Pasien dengan status slow metabolizer
terhadap warfarin berisiko menderita ICH jika diberikan terapi warfarin.
Status ini disebabkan oleh polimorfisme pada gen CYP2C9 (Liebeskind,
2014).
g. Cerebral amyloidosis
Cerebral amyloidosis (CA) sering mengenai pasien manula. CA
20
dibedakan dengan yang lain yaitu dengan CT scan, etiologi ini harus
dipikirkan jika menemukan SAH yang terletak tepat di anterior mesensefalon,
sementara petunjuk untuk etiologi lain tidak ditemukan. Selain itu, dapat
ditemukan perluasan ke bagian anterior sisterna ambien atau ke bagian basal
fissura Sylvii. Entitas klinis ini memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan SAH akibat ruptur aneurisma arteri (Smith, et al., 2011).
n. Trombosis sinus venosus
Trombosis vena intraserebral atau sinus dural diperkirakan terjadi 3–
4/1.000.000 orang, dengan 75% kasus terjadi pada wanita. Sekitar 39% dari
seluruh trombosis ini berakibat pada perdarahan (Smith, et al., 2011).
o. Hipertensi dalam kehamilan
Meskipun sangat jarang, terdapat laporan kasus bahwa hipertensi dalam
kehamilan dapat menyebabkan SAH. Hal ini mungkin disebabkan oleh
kenaikan tekanan darah mendadak selama kehamilan/persalinan yang disertai
dis-autoregulasi vaskular otak sehingga menyebabkan ruptur arteri pial yang
relatif halus (Zak, et al., 2007).
4. Patofisiologi
Kedua jenis stroke hemoragik cukup berbeda dalam hal patofisiologi.
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan
subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih sebesar 20 % adalah
stroke hemoragik dan masing-masing 10% untuk perdarahan subarachnoid dan
perdarahan intraserebral (Caplan, 2000).
Pada ICH, perdarahan terjadi di dalam parenkim otak. Hal ini diperkirakan
terjadi akibat bocornya darah dari pembuluh yang rusak akibat hipertensi kronis.
Tempat predileksi antara lain thalamus, putamen, serebellum, dan batang otak.
Selain hipoperfusi, parenkim otak juga terkena kerusakan akibat tekanan yang
disebabkan oleh efek massa hematoma atau kenaikan tekanan intrakranial (TIK)
secara keseluruhan (Liebeskind, 2014). ICH memiliki tiga fase, yaitu perdarahan
awal, ekspansi hematoma, dan edema peri-hematoma. Perdarahan awal
disebabkan oleh faktor-faktor risiko di atas. Prognosis sangat dipengaruhi oleh
23
kedua fase berikutnya. Ekspansi hematoma, yang terjadi dalam beberapa jam
setelah fase perdarahan awal terjadi, akan meningkatkan TIK yang pada
gilirannya akan merusak BBB (Blood Brain Barrier). Peningkatan TIK
berpotensi menyebabkan herniasi. Kerusakan BBB ini menyebabkan fase
berikutnya yaitu pembentukan edema peri-hematoma. Fase terakhir ini dapat
terjadi dalam beberapa hari setelah fase pertama terjadi dan merupakan
penyebab utama perburukan neurologis, akibat penekanan bagian otak normal
(Magistris, 2013).
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola yang berdiameter 100–
400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah
tersebut yaitu berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya
aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah
yang tiba-tiba menyebabkan pecahnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya
darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriola dan
pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini
mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000).
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemia akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang
terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena
ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000).
Perdarahan subarachnoid terjadi akibat pembuluh darah di sekitar permukaan
otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid.
Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma
sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM) (Caplan,
2000). SAH mengakibatkan banyak hal. Selain peningkatan TIK, SAH
mengakibatkan vasokonstriksi akut, agregasi platelet, dan kerusakan
mikrovaskular. Hal ini mengakibatkan penurunan bermakna perfusi otak dan
iskemia (Liebeskind, 2014).
24
5. Manifestasi Klinis
Terdapat beberapa kontelasi klinis yang mengarah ke stroke. Namun
demikian, seiring pasien dengan sepsis, syncope, atau kejang akibat kelainan
ekstrakranial lainnya yang berpotensi sulit dibedakan dengan stroke, jika
presentasi penyakit tersebut atipikal. Terdapat sebuah system skor yang
dirancang untuk membantu klinisi guna memilah kasus stroke dari non-stroke,
yaitu skor ROSIER. Skor yang nilainya berkisar antara –2 hingga +5 ini
memiliki sensitivitas 92%, spesifisitas 86%, nilai duga positif 88%, dan nilai
duga negatif 91%. Jika seorang pasien memiliki skor > 0, besar kemungkinannya
kontelasi klinis yang dialami disebabkan oleh stroke (Magistris, 2013).
Tabel 3. Daftar kontelasi klinis stroke (A) dan skor ROSIER (B)
Tidak ada satu pun manifestasi klinis yang dapat membedakan antara kedua
subtipe stroke dengan meyakinkan. Meskipun demikian, manifestasi sistemik
seperti mual muntah, sakit kepala, kejang, hipertensi maligna, dan penurunan
kesadaran merupakan tanda peningkatan TIK sehingga lebih mengarahkan
diagnosis ke stroke hemoragik (Liebeskind, 2014). Reaksi Cushing (hipertensi,
bradikardia, dan irregularitas pernapasan) merupakan tanda peningkatan TIK yang
penting. Dibandingkan SAH yang mendadak, manifestasi klinis ICH membutuhkan
waktu hingga hitungan jam untuk muncul (gradual). Namun tetap lebih dramatis
daripada stroke iskemia (Magistris, 2013). Meskipun demikian, manifestasi klinis
yang saling tumpang tindih sering terjadi dan sering kali pasien datang dengan
manifestasi atipikal (Smith, et al., 2011).
25
Salah satu sistem skoring yang sering digunakan untuk membantu membedakan
kedua subtipe stroke hemoragik adalah sistem skor Siriraj. Sistem skoring ini telah
tervalidasi di berbagai pusat pelayanan kesehatan dan cukup dapat diandalkan
untuk membedakan kedua subtipe stroke dalam keadaan Computed Tomography
(CT) scan tidak tersedia. Skor lain yang cukup sering digunakan adalah skor Allen
(Nouira, 2008). Penelitian lain menyimpulkan bahwa sistem skoring Siriraj lebih
sederhana sekaligus lebih akurat daripada Allen dalam menentukan subtipe stroke
(Sherin, 2011). Jika tersedia, CT scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)
harus menjadi patokan dalam membedakan kedua subtipe stroke (Sheta, 2012).
Tabel 4. Skor Skoring Siriraj
Jika kita perhatikan gambar di atas maka terlihat bagian I adalah internal carotid
artery (ICA), bagian II yaitu middle cerebral artery (MCA), dan bagian III
adalah anterior cerebral artery (ACA). Sementara itu, nomor 1 menunjukkan
medial frontobasal artery, nomor 2 yaitu callosomarginal artery, nomor 3 yaitu
pericallosal artery.
dan peran kunci CT tanpa kontras adalah deteksi perdarahan atau penyakit lain
yang mirip stroke (misalnya neoplasma dan malformasi arteri) yang bisa menjadi
penyebab defisit neurologis (Harold P. Adams et al., 2007). Peran kedua CT
tanpa kontras yaitu mendeteksi tandatanda iskemia yang disebabkan karena
infark. Temuan utama pada CT adalah daerah hypoattenuating di kortikal-
subkortikal dalam suatu wilayah vaskular (Lucas et al., 2008).
Gambar 12 menggambarkan wilayah (raster) dari ACA, arteri serebri media
(MCA) dan arteri serebri posterior. CT scan (bawah) menunjukkan infark pada
wilayah arteri tersebut (Lucas et al., 2008).
Gambar 12. Infark pada wilayah arteri ACA, arteri serebri media (MCA) dan
arteri serebri posterior.
Sumber: Lucas et al., 2008
ditemukan adanya defisit neurologis baru atau komplikasi jantung setelah injeksi
bahan kontras pada tingkat aliran tinggi (Koenig et al., 1998).
Pada stroke akut, inti jaringan infark irreversible dikelilingi oleh daerah
perifer atau disebut penumbra yang menerima suplai darah kolateral dari arteri
yang tidak terkena dan arteri di wilayah leptomeningeal. Sel-sel di penumbra
berpotensi diselamatkan dengan rekanalisasi awal. Penelitian terbaru telah
menunjukkan bahwa terapi trombolitik intravena mungkin bermanfaat bagi
pasien di luar 3 jam pertama. Pasien dipilih secara hati-hati berdasarkan temuan
perfusi mismatch. Beberapa penulis telah melaporkan ambang batas untuk infark
inti ketika CBV kurang dari 2 L/ menit dan untuk jaringan iskemia ketika MTT
mencapai lebih dari 145% (Lucas et al., 2008).
Gambar 13. Stroke akut (6 jam evolusi) pada wanita 46 tahun dengan
hemiplegia kiri.
Sumber: Lucas et al., 2008
MTT diubah dan CBF di daerah frontotemporal kanan, sugestif iskemia, dan
subkortikal berkurang daerah dengan penurunan CBV, sugestif dari inti infark.
Perhatikan area peningkatan CBF dan CBV di nucleus caudatus kanan dan inti
lentikular, yang mewakili tahap pertama dari iskemia otak (kompensasi dengan
suplai dari cadangan serebrovaskular). Bagian (f) Gambar MR aksial T2-weighted
menunjukkan hiperintens daerah frontoparietal kanan dan nucleus caudatus yang
berkaitan dengan infark akhir di bidang iskemia.
2. Gambaran MRI
Pada stroke iskemia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk
pencitraan menggunakan MRI yaitu MRI konvensional, FLAIR imaging,
diffusion-weighted imaging, perfusion-weighted imaging, dan time of flight.
Berikut ini penjelasannya.
Evaluasi rutin pasien stroke iskemia (terutama di tahap infark subakut dan
kronis) biasanya mencakup beberapa bentuk T1-weighted dan T2-weighted spin
echo atau fast spin echo dan tambahan gradient echo imaging untuk perdarahan.
T1-weighted imaging (waktu pengulangan 400–600 ms, waktu gema 20–35 ms)
umumnya dilakukan untuk memberikan definisi anatomi dan deteksi
methemoglobin dalam perdarahan subakut. T2-weighted imaging (waktu
pengulangan >2.500 ms, waktu gema 80–120 ms) digunakan untuk menunjukkan
letak dari cedera parenkim, direpresentasikan sebagai daerah dengan kadar air
meningkat. Fluid attenuated inversion recovery (FLAIR) baru-baru ini telah
diadopsi untuk menggantikan proton density weighted imaging dan untuk
mempercepat pemeriksaan fast spin echo konvensional, khususnya untuk area
otak yang berdekatan dengan ventrikel dan sulkus kortikal (Marks, 2008).
Temuan pada pencitraan konvensional dalam perkembangan infark serebral
dapat dikenali dengan baik dan memiliki stereotip serupa dengan yang terlihat
pada CT. Perubahan ini terlihat pada iskemia parenkim yang ditandai dengan
peningkatan kadar air jaringan. Hal ini meningkatkan cairan dalam jaringan
sehingga terjadi pemanjangan T1 dan waktu relaksasi T2. Perubahan sinyal T2,
meskipun lebih sensitif terhadap akumulasi air jaringan daripada gambar T1-
33
weighted, namun sering kali masih normal dalam 8 jam pertama setelah infark.
Secara bertahap selama tahap akut, T2-weighted akan menjadi lebih hiperintens
di wilayah iskemia, terutama selama 24 jam pertama. Pada 24 jam, kira-kira 90%
dari pasien yang mengalami infark akan menunjukkan perubahan dalam weighted
dibandingkan dengan perubahan T1-weighted yang hanya sekitar 50%. Perubahan
sinyal ini terlihat pada 24 jam pertama dan yang terbaik terlihat di grey matter dan
baik divisualisasikan dalam struktur grey matter bagian dalam seperti thalamus
atau basal ganglia. Sering kali white matter tidak menunjukkan perubahan yang
cukup dalam jangka waktu 24 jam pertama. Fast spin echo juga dapat
menunjukkan thrombosis atau aliran lambat dilihat sebagai hilangnya kekosongan
dalam arteri lingkaran Willis dan arteri yang melintasi ruang subarachnoid dalam
sulki kortikal. Perubahan sinyal ini dalam arteri dapat dikenali segera setelah
kejadian tromboemboli dimulai dan mungkin mendahului akumulasi air dalam
parenkim (Marks, 2008).
Perubahan morfologi yang bersamaan dengan perkembangan edema
vasogenik yang terjadi kemudian, sering akan terlihat dengan spin echo imaging.
Peningkatan hasil edema vasogenik di otak terutama di daerah korteks sebagai
pembengkakan girus atau pendataran sulkus dapat dilihat pada kedua T1- dan T2–
weighted imaging. Hal ini dapat divisualisasikan pada hari pertama, tetapi menjadi
lebih jelas setelah awal terjadinya infark (> 24 sampai 48 jam). Perubahan sinyal
pada T1 dan T2 juga menjadi lebih jelas dalam periode ini karena daerah infark
akut menjadi lebih jelas. Jika daerah otak yang terpengaruh besar, selama periode
ini efek massa dengan herniasi dapat terlihat (memuncak pada 3 sampai 4 hari
setelah infark). Hal ini juga harus dicatat bahwa fast spin echo telah menggantikan
teknik conventional spin echo di sebagian besar pusat kesehatan. Teknik ini
kurang sensitif terhadap T2 karena beberapa pulsa 180 derajat. Oleh karena itu,
dengan fast spin echo imaging, deteksi perdarahan akut berkurang berdasarkan
sensitivitas yang lebih rendah terhadap perubahan kerentanan magnetik. Hal ini
penting untuk melengkapi evaluasi MRI pasien stroke dengan pencitraan gradient
echo yang sangat sensitif terhadap variasi kerentanan yang menyertai perdarahan
intraparenkim (Gambar 14 dan Gambar 15) (Marks, 2008).
34
Jika kita perhatikan Gambar 14 terlihat FLAIR (A), T2-weighted fast spin
echo (B), dan gradient echo (C). Perdarahan yang luas hanya terlihat gambar
gradient echo (CT tidak ditampilkan, tidak menunjukkan bukti perdarahan).
Gambar diffusion-weighted (D) dan diffusion coefficient maps (E) menunjukkan
difusi terbatas pada posterior terhadap lesi perdarahan yang heterogen, konsisten
dengan infark akut. Tujuan teknik difusi di daerah perdarahan akut adalah untuk
menyelidiki jaringan nonhemorrhagic yang berdekatan dengan perdarahan, dalam
hal ini adalah jelas dalam distribusi vaskular arteri besar (arteri serebri, divisi
posterior).
terbentuk kavitasi kistik yang merupakan sebagian besar berupa jaringan sisa,
terutama terlihat pada infark yang lebih besar. Seiring waktu berjalan, lesi terus
menyusut dengan perubahan atrofi menjadi lebih jelas dan infark itu sendiri
menjadi kurang jelas (Marks, 2008).
a. Gambaran FLAIR
Sekuens ini sering digunakan dalam evaluasi pasien dengan stroke
iskemia untuk menguatkan hasil MRI konvensional T1- dan T2– weighted
imaging. Gambar FLAIR sinyal CSF nol didasarkan seperti gambar cairan di
T1. FLAIR telah sangat membantu dalam evaluasi parenkim otak dan telah
terbukti lebih sensitif untuk mendeteksi infark bila dibandingkan dengan
pencitraan T2WI dalam evaluasi stroke. Barubaru ini, FLAIR imaging telah
digunakan dalam evaluasi fase hiperakut stroke (< 6 jam setelah timbulnya
gejala). Sekuens FLAIR tidak mampu mendeteksi infark dalam periode waktu
yang akut dengan banyak sensitivitas yang tinggi. Hal ini juga telah
menunjukkan bahwa Teknik ini dapat menunjukkan pembuluh darah yang
tersumbat atau pembuluh darah dengan aliran berkurang akan tampak
hiperintens sehingga terlihat kontras tinggi untuk hipointens terhadap CSF
sekitarnya. Namun, jika dibandingkan secara langsung dengan teknik baru
seperti DWI, teknik FLAIR telah terbukti nyata kurang sensitif dibandingkan
DWI. Di luar periode waktu hiperakut, periode akut, dan jangka waktu
subakut (infark kurang dari 10 hari) sekuens FLAIR menunjukkan lebih baik
dari T2WI FSE. Keterbatasan lebih lanjut dari FLAIR dibandingkan dengan
pencitraan T2WI adalah kurangnya spesifisitas hipointens pada perdarahan
akut, yang pada FLAIR mirip sebagai daerah kistik yang mengandung air
(Marks, 2008).
37
Gambar 16. Infark iskemia dari kortikal dan subkortikal sebelah kanan (hari
ke-3). Pada serangkaian pencitraan T2WI (a) dan FLAIR (b).
Sumber: Marks, 2008
b. Gambaran Diffusion-Weighted
Dengan munculnya DWI MRI scan pada saat ini maka teknologi ini
dapat digunakan untuk mendeteksi iskemia serebral akut dalam awal 6 jam
setelah onset gejala (Mirsen, 2014). Pengembangan Teknik MRI baru ini
mampu menilai perubahan iskemia hiperakut di tingkat parenkim seperti
DWI dan PWI yang sebagian besar disebabkan oleh pengembangan
kecepatan tinggi T2. Teknik T2* merupakan Teknik sensitif yang bisa
memetakan perubahan gerak proton dan pola perfusi serebral secara jelas.
Metode kecepatan tinggi ini sangat penting dalam mengurangi artefak gerak
(Marks, 2008).
DWI telah merevolusi evaluasi MRI pada tahap awal atau infark
hiperakut karena sensitivitas yang tinggi terhadap infark dinyatakan tidak
tampak dan sudah menjadi sekuens pencitraan rutin pada pasien stroke. Hal
ini menggunakan teknik untuk pemetaan kontras proton yang mencerminkan
lingkungan air di mikrovaskular. DWI sensitif terhadap gerakan translasi atau
difusi air jarak pendek. Proton yang berpindah akan memperoleh perubahan
fase dan mengakibatkan kehilangan sinyal (atau gambar lebih gelap) pada
gambar DWI. Gambar yang diperoleh responsif terhadap perfusi berbasis
38
kapiler. Untuk gerakan yang lebih cepat menggunakan kekuatan gradien lebih
rendah dan untuk gerakan lambat difusional menggunakan kekuatan gradien
yang lebih tinggi (Marks, 2008).
Pada umumnya, gambar DWI dan gambar ADC dibaca bersama-sama
dan dapat dibandingkan dengan gambar konvensional yang digunakan dalam
protokol. Nilai tambah gambar ADC ditemukan dalam kasus hiperintens pada
DWI. Hal ini dapat disebabkan oleh salah satu (atau keduanya) yaitu difusi
yang terbatas dan perubahan T2. Dalam kasus ini yang kadang-kadang
merupakan sinyal hanya tinggi karena T2 pada DWI maka peta ADC harus
dilihat karena peta ADC menunjukkan secara kontras berdasarkan perbedaan
difusi. Di sisi lain, jika tidak ada hiperintens terlihat di DWI, maka tidak ada
infark akut dan tidak perlu untuk peta ADC, karena peta ADC sendiri
memiliki sensitivitas yang sangat rendah dan akurasi untuk infark akut.
Kebanyakan infark non akut tidak menunjukkan hiperintens pada DWI,
meskipun terjadi pemanjangan T2 di wilayah infark. Selain itu, dalam kasus-
kasus tertentu, kontras aditif yang diberikan oleh perubahan T2 akan
meningkatkan penemuan infark akut pada DWI dibandingkan dengan peta
ADC (Marks, 2008).
Gambar 17. Iskemia akut pada genu korpus kallosum kanan (24 jam setelah
serangan iskemia).
Sumber: Marks, 2008
Jika kita perhatikan gambar terlihat T2WI (a) dan T1WI (b) gambar DWI
(c) menunjukkan fokus perubahan sinyal. Pergeseran ringan dan kompresi
anterior horn dari ventrikel lateral kanan terlihat. Infark lacunar lama terlihat
dalam kapsul eksternal kanan. Studi difusi (c) menunjukkan karakteristik
hiperintens yang menyingkirkan kemungkinan dari tumor.
39
c. Gambaran Perfussion-Weighted
Pencitraan perfusi otak dapat dilakukan dengan menggunakan agen
kontras berbasis kerentanan atau teknik berputar pada pelabelan arteri.
Pencitraan perfusi menggunakan agen kontras paramagnetik saat ini lebih
banyak digunakan. Gambar yang diperoleh setelah injeksi bolus dari agen
kontras akan mendeteksi perubahan intensitas gambar saat melewati pembuluh
darah kapiler. Agen kontras magnetik seperti disprosium atau gadolinium-
DTPA akan menimbulkan pemendekan T2* dan menghasilkan kehilangan
sinyal dalam jaringan perfusi. Agen-agen ini tetap dalam ruang intravaskular
ketika penghalang darah otak yang utuh merangsang gradien medan magnet
lokal di tempat pembuluh darah kapiler. Suatu sinyal yang hilang diamati
ketika agen kontras bergerak masuk dan keluar dari jaringan. Aliran darah otak
regional dan waktu transit yang relatif juga dapat dihitung. Namun, aliran
darah otak regional tidak dapat dihitung secara akurat, kecuali profil
konsentrasi pasokan arteri pada jaringan yang dikenal. Satu atau lebih dari peta
hemodinamik ini kemudian dapat ditampilkan bersama dengan urutan
pencitraan lainnya (Marks, 2008).
Selain injeksi agen kontras, pencitraan aliran darah dapat dilakukan
oleh pelabelan magnetis proton air. Hal ini menyediakan metode yang sama
sekali non-invasif untuk pencitraan perfusi menggunakan air jaringan dan agen
kontras endogen. Meskipun PWI secara luas dianggap penting untuk triase
stroke terapi, harus disadari bahwa PWI yang dilakukan dengan teknik berbeda
dapat menunjukkan volume berbeda pula secara signifikan dari jaringan yang
terkena. Oleh karena itu, perbandingan ukuran lesi pada PWI dengan gambar
DWI mungkin berbeda secara signifikan dengan mengubah metodologi perfusi
(Marks, 2008).
40
Gambar 18. Iskemia akut di cabang terminal dari arteri serebri kiri tengah
saat 12 jam setelah onset.
Sumber: Marks, 2008
sempurna dalam hitungan jam hingga hari, densitas akan naik menjadi 60-
80 HU. Dalam beberapa hari kemudian, lesi akan memiliki densitas 80-100
HU dan dikelilingi oleh edema peri-hematoma (Smith, et al., 2011). Hal ini
disebabkan oleh ekstrusi plasma dan retraksi bekuan darah. Edema
perihematoma sendiri dapat bertahan hingga 14 hari (Smith, et al., 2006).
Gambaran hiperdens ICH disebabkan oleh kandungan proteinnya yang
tinggi dan massa jenisnya yang berat (Wanke, 2007). Namun terkadang ICH
akut dapat tampak isodens atau bahkan hipodens. Hal ini disebabkan oleh
anemia atau gangguan koagulasi. Tanda lain ICH akibat gangguan
koagulasi adalah adanya fluid-fluid level (Smith, et al., 2011). Akan tetapi,
tanda ini dapat ditemukan pula pada ICH yang disebabkan oleh hipertensi,
tumor, trauma, dan AVM (Smith, et al., 2006).
Gambar 19. CT scan kepala tanpa kontras serial menunjukkan ICH pada
thalamus kanan pada fase akut (A) dengan atenuasi 65 HU (A), 8
hari kemudian (B) dengan atenuasi 45 HU, 13 hari kemudian (C)
dan 5 bulan kemudian (D).
Sumber: Smith, et.al., 2006
Setelah itu, seiring berjalannya waktu densitas ICH akan menurun,
rata-rata 0,7–1,5 HU/hari. Dalam 1–6 minggu, ICH akan menjadi isodens
terhadap parenkim otak (Smith, et al., 2011). Hal ini disebabkan oleh aktivitas
makrofag yang melakukan fagositosis terhadap produk darah, dimulai dari
bagian perifer hingga ke sentral. Dalam 4-9 hari, atenuasi ICH akan turun
menjadi sama dengan korteks normal dan dalam 2-3 minggu menjadi sama
dengan substansia alba normal. Terkadang ICH-nya sendiri tidak terlihat,
namun efek massa yang prominen menjadi petunjuk akan adanya ICH di
sekitar (Smith, et al., 2006).
Gambaran ini berpotensi untuk dikacaukan dengan abses pada
42
Jika kita perhatikan Gambar 21 terlihat bagian (a) yang menunjukkan ICH
(panah) pada thalamus kanan. Pada CT perfusi (CTP) (b), tampak area yang
terkena ICH hipoperfusi (panah).
Gambar 23. Area khas untuk ICH yang disebabkan oleh hipertensi: thalamus (A),
batang otak (B), dan nukleus lentiformis (C).
Sumber: Smith, et al., 2006
Sekitar 10% ICH bersifat sekunder, dalam arti memiliki kelainan yang
mendasari terjadinya ICH. Hal ini penting diingat karena stroke hemoragik
sekunder ini berpotensi terulang dan berpotensi disembuhkan (Almandoz,
2011). Penelitian membuktikan bahwa mortalitas terapi konservatif pada
pasien dengan ICH yang didasari oleh ruptur aneurisma (salah satu penyebab
ICH sekunder) mencapai 80% (Smith, et al., 2011). Karena pentingnya hal
ini untuk dikenali maka sebuah sistem skoring telah dikembangkan, yaitu
sistem skoring secondary ICH (SICH) (Almandoz, 2011).
Sistem skoring SICH menggunakan gambaran perdarahan pada CT
scan kepala tanpa indikasi kontras, umur dan jenis kelamin pasien, serta latar
belakang klinis. Terdapat tiga kategorisasi gambaran perdarahan pada CT
san, yaitu probabilitas tinggi, probabilitas sedang, dan probabilitas rendah.
Probabilitas tinggi diberikan jika perdarahan itu menampakkan salah satu dari
tanda seperti pelebaran vaskular sekitar lesi, kalsifikasi sekitar lesi, sinus
venosus yang hiperdens, dan vena kortikal yang hiperdens. Probabilitas
rendah diberikan jika lesi perdarahan tidak memenuhi satu pun tanda
probabilitas tinggi dan terletak pada tempat predisposisi ICH primer, yaitu
batang otak, thalamus, dan ganglia basalis. Probabilitas sedang terletak di
antara probabilitas tinggi dan rendah. Gangguan koagulasi didefinisikan
46
Bagian (A) pada gambar 24 merupakan CT scan kepala tanpa kontras dari
seorang wanita berumur 59 tahun dengan riwayat hipertensi dan pemakaian
aspirin harian menunjukkan ICH pada lobus temporoparieto-occipital kanan
(skor SICH = 3). Potongan aksial (B) dari maximum intensity projection CTA
menunjukkan adanya AVM pada regio temporo-parieto-occipital kanan
(mata panah) dengan feeding artery berasal dari PCA kanan (panah putih) dan
draining vein ke sinus transversus kanan (panah hitam).
47
Gambar 24. CT scan kepala tanpa kontras dari seorang wanita berumur 59 tahun.
Sumber: Almandoz, 2011
Gambar 25. CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria berumur 27 tahun.
Sumber: Almandoz, 2011
Bagian (A) pada gambar di atas merupakan CT scan kepala tanpa kontras dari
seorang pria berumur 27 tahun tanpa riwayat hipertensi maupun pemakaian
antiplatelet yang menunjukkan ICH pada lobus occipital kiri (skor SICH = 4).
Potongan aksial (B) CTA menunjukkan sebuah additional shadow pada
segmen distal MCA kiri, sesuai dengan pseudo-aneurisma.
48
Gambar 26. CT scan kepala tanpa kontras dr seorang wanita berumur 59 tahun.
Sumber: Almandoz, 2011
memisahkan spot sign dari komponen hematoma dan image noise. Setelah
itu, para peneliti ini membentuk sistem skoring yang dapat digunakan untuk
menentukan nilai duga terhadap ekspansi hematoma pada ICH primer. Pasien
dengan risiko tinggi untuk ekspansi hematoma perlu mendapatkan terapi
hemostatik secepatnya (Almandoz, 2011).
Tabel 7. Kriteria yang lebih kaku untuk spot sign (A). Kemudian dapat
dihitung skor spot sign (B) yang akan dipakai untuk menentukan risiko
ekspansi hematoma (C).
Terdapat 5 fase perubahan yang dialami oleh hemoglobin dalam eritrosit yang
terdapat dalam sebuah hematoma. Hal yang perlu diingat adalah terdapat
perbedaan antar individu berapa lama waktu yang diperlukan hemoglobin
untuk menempuh kelima fase ini. Bahkan sesama haemoglobin dalam satu
hematoma memiliki jangka waktu yang berbeda-beda dan hal itu
menunjukkan proses dinamis yang tidak berjalan homogen dalam sebuah
hematoma. Fase tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut (Smith, et
al., 2011):
1. Hiperakut: oksihemoglobin intraseluler
2. Akut: deoksihemoglobin intraseluler
3. Subakut awal: methemoglobin intraseluler
4. Subakut akhir: methemoglobin ekstraseluler
5. Kronis: hemosiderin/ferritin ekstraseluler
Tabel 8. Lima fase perubahan pada stroke hemoragik
Gambar 28. Perbandingan ICH akut pada MRI sekuens T1 (A), T2 (B) dan
Gradient Recalled Echo (GRE) (C).
52
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Anzalone N., Tartaro A. 2005. Intracranial MR Angiography. In: Schneider G, Prince M.R,
Meaney J.F.M, Ho V.B (eds) Magnetic Resonance Angiography. Italia. Springer.pp.
103-112.
Caplan LR. 2000. Caplan’s Stroke: A Clinical Approach. 3rd ed. Butterworth-Heineman.
Boston.
Depkes. 2012. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2007. Epi., Info. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI. Hal 122-124
Galcary Herald, 2014. Stroke treatment shouldn’t hinge on a stroke of luck: The Calgary
Stroke Program. Available at: http://calgaryherald.com/health/stroke-treatment-
shouldnt-hingeon-
a-stroke-of-luck-the-calgary-stroke-program. Garg, A., 2011.
Gasco, J. et al. 2009. Hemorrhagic Stroke with Intraventricular Extension in The Setting
of Acute Posterior Reversible Encephalopathy Syndrome (PRES): Case Report.
Neurocirugía, Volume 20, pp. 57–61.
van Gijn, J., Kerr, R. & Rinkel, G., 2007. Subarachnoid Hemorrhage. Lancet 2007,
Volume 369, p. 306–18.
Goldstein, L.B., Adams, R., Alberts, M.J., Appel, L.J., Brass, L.M., Bushnell, C.D.,
Culebras, A., DeGraba, T.J., Gorelick, P.B., Guyton, J., hart, R.G., Howard, G., Kelly-
Hayes, M., Nixon, J.V. dan Sacco, R.L. 2006. Primary Prevention of Ischemic Stroke:
A Guideline From the American Heart Association / American Stroke Association
Stroke Council. Stroke.37:1583-1633.
Hankey GJ. 2002. Stroke: Your Questions Answered. Edinburg: Churchill Livingstoke.
Hardie K., Hankey G.J., Jamrozik K., Broadhurst R.J., Anderson C. 2004. American Heart
Association/American Stroke Association. Ten Years Risk of First Recurrent Stroke
and Disability After First Ever Stroke in the Perth Community Stroke Study. Stroke.
AHA Journal; 35: 731-735.
Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press,Edisi Kedua,
Yogyakarta.
Harold P. Adams J, et al. 2007. Guidelines for the Early Management of Adults With
Ischemic Stroke. Circulation, 115, 478-534.
54
Herring W, 2007. Recognizing some comman causes of intracranial pathology. In: Herring
W (ed.) Learning Radiology Recognizing the Basics. Philadelphia: Elsevier-Mosby
Hoyert D.L., Xu J. 2012. NVSS. Deaths: Preliminary Data for 2011. National Vital
Statistics Report;61(6):1-4.
Kornienko VN & Pronin IN, 2009. Diagnostic Neuroradiology, Rusia, Springer, 101-60.
Koenig M, Klotz E, Luka B, Venderink DJ, Spittler JF, Heuser L. 1998. Perfusion CT of
The Brain: Diagnostic Approach for Early Detection of Ischemic Stroke. Radiology
209(1), 85–93.
Liao MM, 2011. Transient Iischemic Attack and Cerebrovascular Accident. In:
Markovchick VJ, et al. (eds.) Emergency Medicine Secrets. Elsevier.
Lucas EMd, et al. 2008. CT Protocol for Acute Stroke: Tips and Tricks for General
Radiologists. RadioGraphics, 28, 1673–87.
Lumbantobing, SM, 2003. Bencana Peredaran Darah di Otak. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Marks MP, 2008. Cerebral Ischemia and Infarction. In: Atlas SW (ed.) MRI of the Brain
and Spine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Mayo Clinic Staff, 2015. Tests and Procedures, SPECT Scan, Mayo Clinic, Available at:
http://www.radiologyinfo.org/en/gallery/index.cfm?image=836.
Moeller, T. B., & Reif, E. 2000. Normal Findings in CT and MRI. Stuttgart- New York:
Thieme.
Noerjanto M., 20012. Masalah-masalah Dalam Diagnosis Stroke Akut. In: Management
Acute Stroke Temu regional Neurologi Jateng-DIY ke-XIX. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro: 1-15.
Nouira, S. e. a., 2008. Accuracy of Two Scores in the Diagnosis of Stroke Subtype in a
Multicenter Cohort Study. Annals of Emergency Medicine, 53(3), pp. 373–378.
Osborn A.G, Blaser S.I, Salzman K, et al. 2004. Diagnostic Brain Imaging. Canada.
Amirsys. pp.I.4.4–I.4.10.
Patestas M.A, Gartner L.P., 2006. Vascular Supply of The Central Nervous System. In:
Patestas M.A, Gartner L.P (eds) A Textbook of Neuroanatomy. Australia. Blackwell
Publishing. pp. 99–117.
Price, SA, Wilson, LM, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC,Jakarta.
Ralph L., Adams R., Albers G., Alberts M.J., Benavente O., Furie K.,et al., 2006. American
Heart Association/American StrokeAssociation. Guideline for Prevention of Stroke in
Patients with Ischemic Stroke or Transient Ischemic Attack. Stroke. AHA
Journals;37:577-617.
Setyopranoto, I., 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185/Vol.38 no.4/Mei-
Juni 2011.
Siswanto Y. 2010. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stroke Berulang (Studi
Kasus RS DR. Kariadi Semarang). Semarang: Universitas Diponegoro.
Smith, E., Rosand, J. & Greenberg, S. M., 2006. Imaging of Hemorrhagic Stroke. Magn
Reson Imaging Clin N Am, Volume 14, p. 127–140.
Smith, S. D., Eskey & J., C., 2011. Hemorrhagic Stroke. Radiol Clin N Am, pp. 27–45.
Teasdale EM & Aitken S, 2009. Vascular Imaging in Ischaemic Stroke and TIA. An Atlas
and Practical Guide Multidetector CT In Neuroimaging. United Kingdom: Atlas
Medical Publishing Ltd.
Thurnher, M., 2008. Brain Ischemia - Imaging in Acute Stroke. Radiology Assistant.
Department of Radiology, Medical University of Vienna. Available at:
http://www.radiologyassistant.nl/en/
p483910a4b6f14/brain-ischemia-imaging-in-acute-stroke.html
Victor M., Ropper A.H., 2001. Principles of Neurology. 7th ed. New York: The Mc Graw-
Hill Companies Inc.: 1608-1624.
William L.S., Yilmaz E.Y., Yunez A.M.L. 2000. Retrospective Assesment of Initial Stroke
Severity With the NIH Stroke Scale. Stroke. 31:858-62.
Williandry, M. 2014. Deteksi Stroke Awal dengan CT Scan dan MRI. Available at:
http://rspondokindah.co.id/en/health-articles/detail/2/deteksi-stroke-awal-dengan-ct-
scan-dan-mri#sthash. bH2FZipN.dpuf.
Xu, H. et al. 2013. CT Perfusion Imaging Predicts One-Month Outcome in Patients with
Acute Spontaneous Hypertensive Intracerebral Hemorrhage. Advances in Computed
Tomography, Volume 2, pp. 107–111.
Yates, P., 2014. Cerebral Microbleeds: a Review of Clinical, Genetic and Neuroimaging
Association. Frontiers in Neurology, Volume 4, pp. 1–13.
Zak, I. T., Dulai, H. S. & Kish, K. K., 2007. Imaging of Neurologic Associated with
Pregnancy and the Post Partum Period. RadioGraphics, Volume 27, p. 95–108.
Zimmerman RD, 2010. Vascular Diseases of the Brain. In: Yousem DM & Grossman RI
(eds.) The Requisities Neuroradiology Philadelphia: Mosby Elsevier.