Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perdarahan spontan, yaitu nontraumatik, pada parenkim otak (perdarahan
intraserebral) atau kompartemen meningeal di sekitarnya (perdarahan
subarachnoid, dan perdarahan subdural) berperan pada 15-2-% stroke klinis.
(Baehr & Frotscher, 2012).
Perdarahan intraventrikular merupakan bentuk dari perdarahan
intraserebral yang jarang dijumpai, dilaporkan sebesar 0,31% dari seluruh kasus
stroke dan sebesar 3,3% dari kasus perdarahan intraserebral. Prevalensi
perdarahan intraventrikuler bervariasi, yaitu sekitar 2%-7%. Hampir sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh Flint dkk, dari 551 kasus stroke perdarahan
dilaporkan perdarahan intraventrikular dijumpai pada 15 pasien (2,7%) (Arboix
et al., 2012).
Perluasan darah ke dalam ventrikel terjadi pada 30% - 45% penderita
perdarahan spontan intraserebral (Broderick et al., 2007; Steiner et al., 2006;
Tuhrim et al., 1995). Perdarahan intraventrikular meningkatkan risiko kematian
yang bermakna dan volume perdarahan berhubungan secara langsung terhadap
kecenderungan kematian. Volume IVH > 20 mL sering menyebabkan kematian
(Tuhrim et al., 1995). Hwang melaporkan bahwa volume IVH sebesar 6 cc pada
saat penderita masuk Rumah Sakit akan meningkatkan kecenderungan untuk
mendapatkan hasil akhir yang buruk. Hal ini menunjukan bahwa meskipun IVH
dalam jumlah yang sedikit dapat menyebabkan gangguan pada sistem ventrikel,
hipertensi intrakranial, berkurangnya perfusi otak, dan cedera otak sekunder yang
bermakna (Hallevi et al., 2012).
Perdarahan intraventrikular dapat terjadi dalam setiap rentang usia, dengan
puncak usia antara 40-60 tahun, dan rasio angka kejadian pada pria : wanita
adalah 1,4 : 1. Gambaran klinis pada kasus perdarahan intraventrikular yang
pernah dilaporkan adalah nyeri kepala (42,9%), muntah (42,9%) dan kelemahan
(14,2%). Durasi onset gejala pada perdarahan intraventrikular berlangsung
singkat, dimana onset < 1 hari dijumpai sebesar 75% dan onset 1-7 hari sebesar
25% (Giray et al., 2009; Chiewvit et al., 2009).
Diagnosis klinis dari perdarahan intraventrikular primer sangat sulit dan
jarang dicurigai sebelum dilakukan pemeriksaan Computed Tomography Scan
(CT Scan) kepala. Computed Tomography Scan dapat membantu dalam
penegakan diagnosa stroke hemoragik dan dalam membedakan antara perdarahan
intraserebral, perdarahan subarakhnoid, perdarahan subdural dan perdarahan
intraventrikular. Gambaran CT Scan kepala dari perdarahan intraventrikular
primer adalah terdapatnya darah yang berupa gambaran hiperdens, hanya terdapat
dalam sistem ventrikel tanpa adanya ruptur atau laserasi dinding ventrikel.
Luasnya perdarahan di sistem ventrikel pada gambaran CT Scan kepala dapat
dinilai dengan beberapa sistem salah satunya adalah Modified Graeb Score
(mGS) (Hinson et al., 2010).
Modified Graeb Score merupakan skala semikuantitatif untuk menghitung
volume perdarahan intraventikular. Pemeriksaan ini dapat diandalkan dalam
menentukan prognosis yang dapat diaplikasikan secara cepat dalam praktik klinis
sehari-hari dan dapat digunakan dalam penelitian (Morgan et al., 2013).
Tindakan operasi dengan mengangkat bekuan darah yang berada didalam
ventrikel dapat mengurangi inflamasi, hidrosefalus dan defisit fungsional pada
penderita yang mengalami perdarahan intraserebral (Mayfrank et al., 2000; Pang
et al, 1986; Wagner et al., 1999). Pemasangan External Ventricular Drain (EVD)
dapat memberikan manfaat pada penderita yang memiliki IVH yang berat,
meskipun masih kontroversial (Nishikawa et al., 2009). IVH merupakan kondisi
yang dinamis dan perjalanan IVH ini tergantung dari beberapa faktor seperti Mean
Arterial Pressure (MAP), volume ICH pada awal serangan, dan pengobatan yang
diberikan (Tuhrim et al., 1995).
1.2. Tujuan
1. Memahami alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat
Darurat khususnya pada kasus Perdarahan Spontan Intraventrikular
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di
bidang kedokteran
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Departemen Anestesi & Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara

1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai aspek penatalaksanaan awal pada pasien Perdarahan Spontan
Intraventrikular yang berlandaskan teori sehingga dapat ditatalaksana dengan
sebaik mungkin sesuai kompetensinya pada tingkat pelayanan primer.
BAB 2

2.1. Definisi Stroke Perdarahan Intraventrikular


Stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan
fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung lebih dari
24 jam atau menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskular (Sacco et al., 2013).
Stroke hemoragik adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat
disfungsi neurologis yang disebabkan oleh kumpulan darah setempat pada
parenkim otak atau sistem ventrikular yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco
et al., 2013).
Perdarahan intraventrikular dapat terjadi secara primer atau berhubungan
dengan perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoid maupun cedera otak
traumatik. Definisi perdarahan intraventrikular primer dikemukakan pertama kali
oleh Sanders pada tahun 1881, yaitu terdapatnya darah hanya dalam sistem
ventrikular atau yang berkembang sampai 15 mm dari dinding ventrikel, tanpa
adanya ruptur atau laserasi pada dinding ventrikel. (Tucker et al., 2011; Giray et
al., 2009; Srivastava et al., 2014).
Perdarahan intraventrikular primer disebut juga sebagai perdarahan
intraserebral non-traumatik yang terbatas pada sistem ventrikel, sedangkan
perdarahan intraventrikular sekunder muncul akibat perdarahan yang berasal dari
parenkim maupun rongga subarakhnoid yang meluas ke sistem ventrikel (Hameed
et al., 2005; Tucker et al., 2011).

2.2. Epidemiologi
Berdasarkan data dari National Centre of Health Statistic (NCHS),
prevalensi terjadinya stroke di AS yang berusia ≥ 20 tahun dilaporkan sebanyak
7.000.000 jiwa per tahun (3,0%). Data yang diambil dari Centres for Disease
Control and Prevention (CDC) menunjukkan 2,7% laki-laki dan 3,3% wanita
yang berusia ≥ 18 tahun memiliki riwayat stroke, dimana sebesar 2,3% stroke
terjadi pada ras kulit putih non-hispanik, 4,0% pada ras kulit hitam non-hispanik,
1,6% pada Asian/Pasific islander, 2,6% pada ras hispanis, 6,0% pada American
Indian/Alaska native dan 4,6% ras campuran. Menurut data yang diambil dari
National Institutes of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) sebanyak
795.000 penduduk mengalami stroke baik baru maupun berulang setiap tahunnya,
610.000 penduduk merupakan kasus serangan pertama dan 185.000 merupakan
kasus berulang. Dari keseluruhan jenis stroke, 87% merupakan iskemik, 10%
merupakan perdarahan intraserebral dan 3% merupakan perdarahan subarakhnoid
(Roger et al., 2011).
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
dilaporkan sebesar 7 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan tertinggi terdapat di Sulawesi Utara (10,8%), diikuti D.I Yogyakarta
(10,3%), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing sebesar 9,7 per mil.
(Kementerian kesehatan, 2013).
Dari 562 pasien stroke pada 25 RS di Sumatera Utara, didapatkan jenis
kelamin perempuan sebanyak 296 (52,7%) dan laki-laki sebanyak 266 (47,3%).
Rerata usia adalah 59 (20–95) tahun. Keluhan utama penurunan kesadaran
didapati sebanyak 198 (35,3%), hemiparesis sinistra sebanyak 134 (23,8%) dan
hemiparesis dekstra sebanyak 133 (23,7%) (Rambe et al., 2013).
Perdarahan intraventrikular terjadi pada 30%-50% kasus perdarahan
intraserebral spontan. Perdarahan intraventrikular primer merupakan kasus yang
jarang dan dilaporkan sebesar 3% dari semua perdarahan intraserebral spontan
(Staykov et al., 2009; Hameed et al., 2005).
Stroke perdarahan memiliki morbiditas dan mortalitas tertinggi pada setiap
subtipe stroke. Dari 750.000 kasus stroke di AS, 15% diantaranya adalah
perdarahan intraserebral dan 5% merupakan perdarahan subarakhnoid. Sekitar
45% merupakan perdarahan intraserebral spontan dan 25% dari perdarahan
subarakhnoid meluas ke ventrikel. Pasien dengan perdarahan intraserebral dan
perdarahan intraventrikular memiliki tingkat mortalitas sebesar 50%80%. Pasien
dengan perdarahan intraventrikular dua kali lebih sering menyebabkan outcome
yang buruk dan hampir tiga kali lebih sering menyebabkan kematian
dibandingkan tanpa perdarahan intraventrikular. Perdarahan intraventrikular
sekunder menyebabkan kematian pada 32% sampai 43% kasus (Hinson et al,
2010; Morgan et al., 2013).
Sebuah penelitian meta-analisis yang dilakukan di Cina menyatakan bahwa
perdarahan intraventrikular merupakan faktor risiko yang telah terbukti terhadap
buruknya prognosis, dan mortalitasnya diperkirakan mencapai 50%-80%.
Perdarahan intraventrikular sekunder dan perdarahan supratentorial spontan
memiliki mortalitas dan prognosis buruk rata-rata sebesar 72% dan 86%.
Outcome sering diperberat dengan adanya hidrosefalus akut, efek massa dari
darah di ventrikel dan hidrosefalus kronik (Li et al., 2013).

2.3. Faktor Risiko


Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-faktor
yang dipertimbangkan sebagai faktor risiko yang kuat terhadap timbulnya stroke.
Faktor risiko timbulnya stroke tersebut diantaranya : (Sjahrir, 2003; Goldstein et
al., 2006)
I. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Ras dan suku bangsa
d. Faktor keturunan
e. Berat badan lahir rendah
II. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Perilaku
1. Merokok
2. Diet tidak sehat : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol,
kurang asupan buah
3. Penyalahgunaan alkohol
4. Obat-obatan : narkoba (kokain), antikoagulan, antiplatelet,
amfetamin, pil kontrasepsi
5. Kurang aktifitas gerak
b. Fisiologis
1. Penyakit hipertensi
2. Penyakit jantung
3. Diabetes mellitus
4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus
5. Gangguan ginjal
6. Kegemukan
7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan
8. Kelainan anatomi pembuluh darah
9. Stenosis karotis asimptomatik

2.4. Etiologi
Etiologi dari perdarahan intraventrikular bervariasi dan pada beberapa
pasien tidak diketahui penyebabnya. Caplan et al (2009) menyatakan bahwa
perdarahan intraventrikular primer tersering berasal dari perdarahan akibat
hipertensi pada arteri parenkim yang sangat kecil dari jaringan yang sangat dekat
dengan sistem ventrikular.
Etiologi lain yang mendasari perdarahan intraventrikular diantaranya adalah
anomali pembuluh darah serebral, malformasi pembuluh darah termasuk angioma
kavernosa dan aneurisma serebri yang merupakan penyebab tersering pada usia
muda. Pada orang dewasa, perdarahan intraventrikular disebabkan karena adanya
penyebaran perdarahan akibat hipertensi primer dari struktur periventrikel.
Perdarahan intraventrikular juga dapat terjadi pada trauma dan tumor yang
biasanya melibatkan pleksus koroideus (Hinson et al, 2010).

Tabel 2.1. Etiologi Perdarahan Intraventrikular Primer


Primary Intraventricular Hemorrhage
Head trauma
Insertion/removal of a ventricular catheter
Intraventricular vascular malformation, aneurysm, tumor
Bleeding diasthesis (polycythemia vera, hemophilia C, thrombocytopenia)
Moyamoya disease
Arteritis
Anticoagulation
Dural arteriovenous fistula
Unknown
Secondary Intraventricular Hemorrhage
Extension of intracerebral hematoma or subarachnoid hemorrhage caused by :
Hypertension
Cerebral aneurysm
Head trauma
Arteriovenous malformation
Vasculitis
Coagulation disorder
Hemorrhagic transformation of an ischemic infarct
Tumor
Extension of germinal matrix hematoma (premature infants)
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage Chapter 46. In :
Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third Edition. Cambridge University
Press. NewYork.

2.5. Patofisiologi
Perdarahan intraventrikular primer merupakan perdarahan yang terbatas
pada sistem ventrikuler yang bersumber dari intraventrikel atau lesi yang
bersebelahan dengan ventrikel, contohnya trauma intraventrikular, aneurisma,
malformasi pembuluh darah dan tumor yang biasanya melibatkan pleksus
koroideus. Sekitar 70% dari perdarahan intraventrikular sekunder terjadi akibat
perluasan dari perdarahan intraparenkim atau perdarahan subarakhnoid ke dalam
sistem ventrikel (Hanley et al., 2009).
Sistem ventrikel otak merupakan low-pressure pathway yang berfungsi
dalam pergerakan cairan serebrospinal. Sistem ini sering pecah akibat darah yang
masuk melalui defek pada dinding arteri dan akibat tindakan pembedahan pada
kasus perdarahan intraserebral spontan. Defek pada pembuluh darah yang dapat
menyebabkan perdarahan pada otak diantaranya adalah aneurisma, arteriovenous
malformation, small vessel microaneurysm, profil koagulopati atau peningkatan
tekanan darah (Hanley et al, 2009).
Setelah perdarahan inisial terjadi, tiga risiko utama yang akan
mempengaruhi kejadian selanjutnya yaitu rebleeding, vasokonstriksi dan
hidrosefalus. Sekali dinding luar pembuluh darah yang abnormal rusak, pembuluh
darah ini akan rentan terhadap rebleeding. Perdarahan kemudian akan mengancam
hidup karena terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan sejumlah darah yang
terdapat dalam sistem cairan serebrospinal. Darah dalam sistem ini dapat
menyumbat membran absorbtif dan akan menyebabkan hidrosefalus serta dilatasi
seluruh sistem ventrikular (Caplan, 2009).

2.6. Gambaran Klinis


Sindroma klinis perdarahan intraventrikular menyerupai gejala perdarahan
subarakhnoid yaitu nyeri kepala yang mendadak, kaku kuduk, muntah dan letargi.
Pada saat yang sama didapatkan peningkatan refleks dan respon plantar yang
simetris. Bila perdarahan terutama terdapat pada satu ventrikel, akan dijumpai
tanda fokal yang asimetris (Caplan, 2009). Beberapa gambaran klinis dari
perdarahan intraventrikular yang sering dijumpai diantaranya adalah : (Tabel 2.2)

Tabel 2.2. Gambaran Klinis Pada Perdarahan Intraventrikular


Gejala dan Tanda Klinis Frekuensi (%)
Penurunan kesadaran 77-92
Mual/muntah 42-80
Nyeri kepala 69-77
Agitasi 20
Koma 20-35
Kejang 7-23
Iritasi meningeal 12-33
Defisit nervus kranialis 8-47
Hemiparesis 8-33
Refleks ekstensor plantar 12-40
Refleks tendon dalam yang asimetris 27
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage Chapter 46. In :
Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third Edition. Cambridge University
Press. NewYork.

Gambaran klinis pada perdarahan intraventrikular dapat berbeda


tergantung dari jumlah perdarahan dan daerah kerusakan otak disekitarnya. Pada
perdarahan intraventrikular yang berat dijumpai tanda penurunan kesadaran,
kejang baik fokal maupun general dan tanda-tanda kompresi batang otak
(Paciaroni et al., 2012).

2.7. Pemeriksaan Diagnostik Pencitraan


Rekomendasi pemeriksaan diagnostik pencitraan menurut Misbach, et al
(2011) pada pasien dengan kecurigaan stroke adalah segera melakukan CT Scan
kepala (ESO, Class I) atau pilihan alternatif dengan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) otak (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A). Jika ada fasilitas MRI ≥
1,5 T, gunakan sekuens Diffusion Weighted Imaging (DWI) dan T2 weighted
gradient echo (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A).
Pemeriksaan CT Scan merupakan strategi utama yang efektif pada
pencitraan pasien stroke akut tetapi tidak sensitif untuk perdarahan lama. Secara
umum, CT Scan kurang sensitif dibandingkan MRI, tetapi keduanya sama-sama
spesifik untuk mendeteksi adanya perdarahan atau tidak (Misbach et al., 2011).

2.8. Tatalaksana Neuroanestesi pada Perdarahan Intra Ventrikular


Cepatnya perubahan neurologis dan hilangnya kesadaran pada pasien
dengan perdarahan intra serebral (PIS) dapat menyebabkan gangguan pada reflex
untuk tetap mempertahankan jalan napas. Kegagalan dalam mempertahankan
jalan napas ini mengakibatkan komplikasi seperti terjadinya aspirasi, hipoksemia
dan hiperkarbia. Sehingga dibutuhkan segera tindakan untuk mempertahankan
jalan napas dengan melakukan pemasangan pipa endotrakheal, dengan
menggunakan tehnik Rapid Sequence Induction (RSI) dengan obat dengan onset
cepat dan lama kerja singkat seperti propofol, suksinilkolin. Pada pasien dengan
tekanan intrakranial (TIK) meningkat dipertimbangkan pemberian premedikasi
dengan menggunakan lidokain intravena pada tindakan RSI (Satriyanto & Saleh,
2015).
Cairan resusitasi kristaloid isotonik atau koloid di indikasikan sebagai
cairan pengganti intravena pada pasien dengan tanda-tanda syok. Pemberian
cairan hipotonik dan cairan yang mengandung dekstrose harus dihindari.
Peningkatan tekanan darah yang ekstrem setelah PIS harus diterapi dengan agresif
tapi dengan hati-hati untuk mengurangi risiko terjadi perluasan hematoma
tersebut, dengan tetap mempertahankan tekanan perfusi serebral (cerebral
perfusion pressure/CPP). Penurunan tekanan darah yang terlalu agresif setelah PIS
dapat menjadi predisposisi terjadinya penurunan yang hebat tekanan perfusi
serebral dan terjadi iskemik yang selanjutnya dapat meningkatkan TIK berlanjut
terjadi kerusakan saraf (Butterworth J.F., Mackey D.C., Wasnick J.D., 2013).
Penyebaran hematoma dapat terjadi karena perdarahan yang menetap atau
perdarahan kembali dari satu arteriole yang ruptur. Beberapa peneliti melaporkan
bahwa perluasan hematoma berasal dari perdarahan yang ada masuk ke daerah
penumbra yang iskemik sekitar hematoma. Namun penelitian oleh Brott dkk.,
mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang memperlihatkan antara
perkembangan hematoma dan tingkat tekanan darah, tetapi penggunaan obat
antihipertensi mungkin telah menutupi efek negatif terhadap hubungan ini.
Tingkat tekanan darah mempunyai hubungan dengan peningkatan TIK dan
volume hematoma tetapi ini sulit untuk menjelaskannya, apakah hipertensi yang
menyebabkan perluasan hematoma atau ini hanya respon terhadap peningkatan
TIK yang terjadi dari bertambahnya volume perdarahan intraventrikular guna
mempertahankan CPP. Secara umum American Heart Association (AHA) telah
membuat Guidelines bahwa tekanan darah sistolik lebih dari 180mmHg atau MAP
lebih dari 130mmHg harus di terapi dengan infus obat antihipertensi terus
menerus seperti labetalol, esmolol, atau nicardipin. Sedangkan terapi oral dan
sublingual sudah tidak dipilih lagi. Meskipun belum ada penelitian kapan waktu
yang tepat pemindahan terapi antihipertensi intravena ke terapi peroral, proses ini
umumnya dimulai setelah 24 sampai 72 jam setelah kondisi pasien stabil
(Satriyanto & Saleh, 2015).

Pada pasien koma, direkomendasikan menggunakan monitor TIK dan


titrasi vasopresor untuk mempertahankan CPP antara 70-90mmHg. Pada
umumnya tidak masalah dengan tingginya tekanan darah, tetapi MAP harus tidak
boleh berkurang 15–30% selama 24 jam pertama. Penelitian pada keadaan darurat
terhadap pengontrolan TIK yang berhubungan dengan pasien yang stupor dan
koma atau adanya suatu tanda-tanda yang menggambarkan adanya herniasi batang
otak (yaitu pupil anisokor atau motor posturing), untuk itu dilakukan tindakan
untuk menurunkan segera TIK sebelum dilakukan tindakan pembedahan, maka
dilakukanlah suatu tindakan meliputi (Misbach et al., 2011) :
1. Tinggikan posisi kepala 20o-30o.
2. Posisi pasien hendaklah menghindari penekanan vena jugular.
3. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik.
4. Hindari hipertermia.
5. Jaga normovolemia.
6. Osmoterapi atas indikasi :
a. Manitol 0,25-0,50 gr/KgBB, selama > 20 menit, diulang setiap 4-6
jam dengan target ≤310 mOsm/L (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence C). Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari
selama pemberian osmoterapi.
b. Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.
7. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (PCO2 35-40 mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.

Observasi pasien di ICU paling sedikit 24 jam pertama setelah kejadian


merupakan suatu tindakan yang sangat direkomendasi, karena resiko penurunan
neurologis sangat tinggi selama periode ini dan karena mayoritas pasien dengan
perdarahan batang otak dan serebelar telah menekan tingkat kesadaran dan
memerlukan bantuan ventilator. Penilaian yang dilakukan di ICU untuk memantau
fungsi kardiovaskuler yang optimal pada pasien PIS termasuk tekanan pembuluh
darah arteri invasif, CVC, dan monitor kateter arteri pulmonal (Satriyanto &
Saleh, 2015).

Pemasangan drainase eksternal ventrikel dilakukan pada pasien dengan


penurunan kesadaran (GCS skor< 8), tanda akut hidrosephalus atau efek masa
intrakranial berdasarkan CT scan, dan untuk meminimalkan TIK serta mengurangi
resiko terjadinya ventilator associated pneumonia (VAP) pada pasien yang
menggunakan ventilator maka kepala pasien ditinggikan 30o. Kebutuhan cairan
isotonik seperti NaCl 0,9% sekitar 1ml/kg/jam, harus diberikan pada pasien PIS
sebagai standar cairan agar mendapatkan kondisi yang euvolemik dan diuresis
setiap jam harus lebih dari 0,5 cc/kgbb. Pemberian cairan NaCl 0,45% atau
dextrose 5% dalam air dapat memperberat edema serebral dan meningkatkan TIK
karena terjadi perbedaan osmolaritas, yang menyebabkan cairan berpindah ke
jaringan otak yang cedera (Satriyanto & Saleh, 2015).
Demam yang terjadi setelah PIS memperlihatkan adanya hubungan dengan
outcome yang buruk, dan hal ini harus diterapi secara agresif. Hipertermi dapat
memperburuk iskemia otak yang telah mengalami cedera dengan melepaskan
neurontransmiter eksitotoksik, proteolisis, radikal bebas dan produksi sitokin,
blood-brain barrier compromise dan apoptosis. Selain itu juga terjadi hiperemia,
bertambahnya edema otak dan meningkatkan TIK. Standar umum untuk pasien
dengan suhu lebih dari 38,3o C, di terapi dengan acetaminophen dan cooling
blankets (Satriyanto & Saleh, 2015).
Hiperglikemi adalah suatu prediktor yang poten terhadap kematian dalam
30 hari, pada pasien diabetik atau non-diabetik dengan PIS. Efek merusak dari
hiperglikemi telah dilakukan penelitian pada sindrom vaskuler yang akut. Pada
pasien stroke iskemik kejadian hiperglikemi 20–40% dari pasien dan ini
dihubungkan dengan infark yang meluas, outcome fungsional yang jelek, tinggal
di rumah sakit menjadi lebih lama, tingginya biaya perawatan dan meningkatnya
resiko kematian (Satriyanto & Saleh, 2015).
Tatalaksana atau manajemen anestesi yaitu dengan melakukan tindakan
resusitasi akut pada pasien PIS sesuai dengan aturan umum yaitu “ABC”, Airway
atau jalan napas, Blood pressure atau tekanan darah dan Cerebral perfusion atau
perfusi serebral. Jalan napas harus selalu bebas, karena pada pasien dengan GCS
kurang atau sama dengan 8 atau tidak dapat mempertahankan jalan napas harus
dilakukan intubasi. Keadaan saturasi yang baik adalah tidak cukup dan tidak
mencerminkan tekanan parsial dari karbon dioksida di arteri (PaCO2 ), jadi
walaupun saturasi normal, satu hal yang harus dipastikan bahwa pasien ini tidak
mengalami hiperkarbi karena ini dapat memperburuk hipertensi intracranial
(Rincon & Mayer, 2008).
Sebaiknya dilakukan pemasangan CVC dan jalur arteri, guna mengontrol
tekanan darah yang baik dan agresif, dimana hipertensi dan hipotensi harus
dihindari. Tekanan perfusi otak adalah perbedaan tekanan yang bertanggung
jawab terhadap cerebral blood flow (CBF) atau aliran darah serebral dan ini
menyebabkan terjadinya iskemi otak. Tekanan perfusi otak didefinisikan sebagai
Mean Arterial Pressure (MAP) atau tekanan arteri rerata dikurangi Intracranial
Pressure atau tekanan intrakranial (TIK) dengan persamaan CPP=MAP–TIK
(Rincon & Mayer, 2008).
Definisi peningkatan tekanan intrakranial adalah jika TIK melebihi 20
mmHg selama 5 menit. Tujuan pengobatan adalah menurunkan TIK kurang dari
20 mmHg dan CPP 60–70mmHg. Hipertensi intrakranial dapat diterapi dengan
membuat drainase cairan cerebrospinal (shunt), menurunkan volume otak atau
cerebral blood volume (CBV) atau dengan sedasi dan menurunkan metabolisme
otak , serta mencegah semua hal yang dapat meningkatkan TIK seperti melakukan
induksi atau laringoskopi dengan smooth dan gentle sehingga hemodinamik tidak
bergejolak, mencegah pasien batuk, meninggikan kepala dan menempatkan kepala
pada posisi yang netral. Pengobatan terhadap volume otak bertujuan untuk
menurunkan TIK dengan menggunakan tehnik osmoterapi yaitu dengan
pemberian manitol 0,25 sampai 0,5 gram/kgBB setiap 4 jam dan furosemid 10mg
setiap 2 sampai 8 jam. Osmolaritas serum dan konsentrasi sodium harus dipantau
ketat dengan target osmolaritas kurang dari 310mOsm/L dan normonatremia.
Pemberian cairan berguna untuk mempertahankan status euvolemia atau sedikit
“kering” untuk menghindari berkembangnya edema otak (Satriyanto & Saleh,
2015).
Hipokarbi (PaCO2 25–35mmHg) menurunkan TIK dengan mekanisme
vasokonstriksi cerebral dan tindakan ini sangat efektif pada kasus kritis dengan
cara melakukan hiperventilasi. Pada hiperventilasi yang ekstrim atau berlebihan
(PaCO2 < 20mmHg) dapat menyebabkan iskemi dengan menurunkan aliran darah
ke otak, sehingga hiperventilasi tidak digunakan untuk waktu yang lama, karena
menjadi tidak efektif terhadap penyesuaian metabolik pada alkalosis respiratorik
dan rawan terjadi rebound peningkatan TIK saat kembali pada normokapni.
Sedasi dan paralisis dengan pelumpuh otot dapat mengurangi peningkatan TIK
dan ini juga bekerja mencegah agitasi dan mengejan serta menurunkan
metabolisme otak. Bila TIK masih tetap tinggi dapat dilakukan barbiturate koma.
Outcome pasien PIS akan lebih baik, jika pasien dirawat khusus di ICU. Beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa mortalitas setelah PIS dihubungkan dengan
rendahnya skor PIS. Skor PIS merupakan prediktor yang tepat, berdasarkan hasil
yang dinilai adalah mortalitas dalam waktu 30 hari.

Tabel 2.3. Penentuan Skor PIS


Komponen Skor
GCS 3–4 2
5 – 12 1
13 – 15 0
Volume PIS (cm3) ≥ 30 1
< 30 0
IVH Ya 1
Tidak 0
Infratentorial PIS Ya 1
Tidak 0
Umur (tahun) ≥ 80 1
< 80 0
Dikutip dari : Satriyanto M.D., Saleh S.C., 2015. Tatalaksana Anestesi pada Pendarahan
Intraserebral Spontan Non Trauma. Departemen Anestesiologi dan Reanimasi, Rumah
Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya
Rentang skor PIS adalah 0 sampai 5 dan PIS skor dari kohort itu
didistribusikan di antara berbagai kategori. Tidak ada pasien dengan skor PIS 0
yang meninggal, sedangkan semua pasien dengan skor PIS lebih dari 5 akan
meninggal. Dalam 30 hari, tingkat kematian bagi pasien PIS dengan skor 1, 2, 3
dan 4 adalah 13%, 26%, 72%, dan 97%, masing-masing. Tidak ada pasien dalam
kohort PIS memiliki skor PIS lebih dari 6 karena tidak ada pasien dengan PIS
infratentorialmemiliki volume hematoma lebih dari 30cm3 . Mengingat bahwa
tidak ada pasien dengan PIS skor 5 bertahan hidup, sedangkan skor PIS 6
berhubungan dengan risiko kematian sangat tinggi. Terapi pada pasien PIS dapat
dilakukan secara medis seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya dan dengan
terapi pembedahan. Tindakan pembedahan dapat berupa pemasangan ventrikel
drainase ataupun dengan pembedahan kraniotomi evakuasi perdarahan. Namun
tidak semua pasien PIS dapat menjalani kraniotomi ini, adapun pasien yang tidak
perlu dilakukan tindakan kraniotomi adalah pasien dengan perdarahan yang
sedikit (volume 10–20 cc) atau defisit neurologis yang minimal dan pasien dengan
skor GCS < 4.8. Sedangkan pasien yang dapat dilakukan tindakan pembedahan
adalah 1) pasien dengan perdarahan serebelar dengan diameter >3 cm (volume
>14cc) dengan gangguan neurologis yang buruk atau telah ada penekanan di
batang otak dan hidrosephalus karena sumbatan di ventrikel, yang harus segera
menjalani evakuasi perdarahan sesegera mungkin, 2) PIS yang berhubungan
dengan kelainan struktur seperti aneurisma, AVM atau angioma kavernosa dapat
dioperasi jika pasien mempunyai outcome yang bagus dan lesi dari struktur
vascular tersebut dapat dijangkau dengan pembedahan, 3) Pasien muda dengan
perdarahan lobar yang moderate atau luas yang secara klinis memburuk. Tindakan
kraniotomi merupakan tindakan pembedahan pada pasien dengan PIS dan telah
banyak dilakukan penelitian untuk hal ini. Beberapa penelitian memperlihatkan
pada pasien dengan perubahan kesadaran dengan pembedahan mengurangi resiko
kematian tanpa memperbaiki fungsionalnya dan pada evakuasi yang sangat awal,
mengalami perbaikan selama 3 bulan (Satriyanto & Saleh, 2015).

Anda mungkin juga menyukai