Anda di halaman 1dari 8

Perbandingan Kekuatan Otot pada Pasien Stroke antara

Mengingat dan Tidak Diberikan Rentang Motion Exercise

Latar belakang: Hemiparesis adalah masalah umum yang dapat menyebabkan kecacatan. ROM
Latihan adalah latihan yang dilakukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki fungsi
Sistem muskuloskeletal dan merupakan salah satu terapi pada pasien stroke yang bertujuan
meningkat
Aliran darah serebral, minimnya cacat akibat stroke, sehingga bisa menghalau motorik sensoris
fungsi.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efek latihan ROM pada
Kekuatan otot ekstremitas pada penderita stroke
Metode: Penelitian ini merupakan percobaan kuasi dengan kelompok kontrol non ekuivalen
Desain. Teknik samplingnya adalah purposive sampling. Jumlah sampel adalah 20
responden. Uji statistik yang digunakan adalah uji Wilcoxon dan uji Mann-Whitney.
Hasil: Uji Wilcoxon pada kelompok kontrol menunjukkan nilai p pada ekstremitas atas adalah
p = 0,157 dan pada ekstremitas bawah adalah p = 0,083, berarti tidak ada kenaikan
Kekuatan otot pada kelompok kontrol dan pada kelompok eksperimen menunjukkan nilai p di atas
ekstremitas adalah p = 0,004 dan pada ekstremitas bawah adalah p = 0,005, artinya ada
peningkatan kekuatan otot pada kelompok eksperimen. Hasil uji Mann-Whitney
menunjukkan nilai p pada ekstremitas atas adalah p = 0,002 dan pada ekstremitas bawah adalah
p = 0,006, berarti ada perbedaan dalam peningkatan kekuatan otot antara
kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
Kesimpulan: Latihan ROM mempengaruhi peningkatan kekuatan otot pada penderita stroke
dengan hemiparesis Latihan ROM dapat digunakan sebagai intervensi keperawatan di
penyediaan asuhan keperawatan

Stroke adalah manifestasi neurologis yang umum dan mudah dikenali dari penyakit neurologis
lainnya karena onset mendadak dalam waktu singkat (Batticaca, 2012). Menurut National Stroke
Association (2009), stroke adalah salah satu penyakit kardiovaskular yang mempengaruhi arteri
utama yang mengarah ke dan terletak di otak. Stroke bisa terjadi bila suplai darah mengalir ke
otak terhambat atau saat suplai darah terganggu karena pecahnya arteri di otak (Batticaca, 2012).
Jika kejadian yang terjadi lebih dari 10 detik akan menyebabkan kerusakan permanen pada otak
(Feigin, 2007).
Menurut WHO, stroke adalah satu dari tiga penyebab utama kematian di dunia antara penyakit
berbahaya lainnya seperti kanker dan penyakit jantung. Di Amerika Serikat sekitar 5 juta orang
mengalami stroke, dan defisit neurologis akibat stoke, dan dua pertiga dari defisit ini parah (Perry &
Potter, 2006).
Menurut Departemen Riset Kesehatan Daerah Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun
2011, laporan tersebut menemukan bahwa di Indonesia, setiap 1000 orang, 8 di antaranya
mengalami stroke. Stroke adalah penyebab utama kematian pada semua umur, dengan proporsi
15,4%. Setiap tujuh orang yang meninggal di Indonesia, salah satunya adalah karena stroke (Depkes
RI, 2011, dikutip oleh Sikawin, Mulyadi & Palandeng, 2013).
Stroke bisa mengungkap gejala, atau mungkin saja (stroke tanpa gejala disebut silent stroke),
tergantung tempat dan ukuran kerusakan dan jenis stroke. Gejala stroke bisa bersifat fisik, psikologis
dan / atau perilaku. Gejala khas stroke adalah lengan lemah dan / atau kaki di satu sisi tubuh
mencapai hampir 80%, kehilangan sensasi wajah, kesulitan bicara atau ketidakmampuan (tanpa
masalah pendengaran) dan kesulitan menelan. Sekitar 90% pasien yang mengalami stroke,
mengalami onset kelemahan secara tiba-tiba (hemiparesis) atau kelumpuhan setengah tubuh
(NSA, 2009; Batticaca, 2012).
Dampak utama stroke adalah penurunan mobilisasi fisik hemiplegi, seperti hemiplegy dan
hemiparesis. Gejala lain yang mungkin muncul adalah hilangnya penglihatan sebagian, pusing,
penglihatan ganda, ucapan kabur, gangguan keseimbangan dan yang paling parah adalah
kelumpuhan permanen (Batticaca, 2012).
Hemiparesis adalah kelemahan otot di satu sisi tubuh, yang menyebabkan kelemahan atau
ketidakmampuan bergerak satu sisi tubuh. Kelemahan dapat mempengaruhi otot lengan, tangan,
kaki dan wajah. Penderita mungkin mengalami kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari seperti
makan, berpakaian, mandi dan meraih benda (NSA, 2009). Hemipar pada lengan, tangan, wajah,
dada, kaki atau kaki dapat menyebabkan: kehilangan keseimbangan, sulit berjalan, kemampuan
terganggu untuk memahami benda, penurunan gerak presisi, kelelahan otot, dan kurangnya
koordinasi (NSA, 2009).
Dengan bertambahnya kejadian stroke dan kecacatan, jika latihan ROM tidak diimplementasikan
sedini mungkin akan terjadi penurunan kekuatan otot, atrofi otot, kontraktur dan luka decubitus.
Padahal, di rumah sakit, kejadian seperti itu sering terjadi meski sudah mendapat kontrol petugas
kesehatan rumah sakit (Irfan, 2010).

Latihan ROM adalah terapi rehabilitatif yang bertujuan memperbaiki atau mempertahankan
fleksibilitas dan kekuatan otot. Penyediaan rangkaian latihan gerak awal dapat meningkatkan
kekuatan otot karena bisa merangsang unit motor sehingga semakin banyak unit motor yang
terlibat, akan terjadi peningkatan kekuatan otot (Irfan, 2010).
Secara teori, tidak diketahui secara khusus tentang intensitas latihan ROM. Menurut Perry dan
Potter (2008), latihan ROM dilakukan 2 kali sehari, dengan minimal pengulangan 8 kali dalam setiap
gerakan. Latihan ROM dapat dilakukan pada semua sendi atau hanya pada bagian seperti leher, jari
tangan, lengan, siku, bahu, lutut, kaki dan pergelangan kaki yang diduga memiliki penyakit sebagai
satu kelemahan ekstremitas.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mawarti dan Farid tentang efek latihan ROM pasif
untuk meningkatkan kekuatan otot pada penderita stroke (2012), menunjukkan bahwa ada efek
signifikan latihan ROM pasif untuk meningkatkan kekuatan otot pada penderita stroke. Penelitian ini
juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sikawin, Mulyadi dan Palandeng, tentang efek
latihan ROM terhadap kekuatan otot pada penderita stroke (2013), menunjukkan pengaruh latihan
ROM untuk kekuatan otot pada penderita stroke.
Pelaksanaan latihan ROM harus disesuaikan dengan kondisi pasien, untuk pasien dengan stroke
akibat trombosis dan emboli jika tidak ada komplikasi lain yang dapat dimulai setelah 2 sampai 3 hari
setelah serangan dan jika terjadi perdarahan subaracnoid setelah 2 minggu, trombosis atau emboli
adalah Tidak ada infark miokard tanpa komplikasi lain yang dimulai setelah minggu ke-3 dan jika
tidak ada aritmia yang dimulai pada hari ke 10. Implementasi dilakukan secara rutin dalam praktik
waktu antara 45 menit yang dibagi menjadi tiga sesi dan setiap sesi diberi waktu istirahat 5 menit,
namun saat pasien terlihat lelah, ada perubahan wajah dan tidak ada peningkatan penting dalam
tanda vital setiap latihan. , maka harus segera dihentikan (Black & Hawks, 2009).
Kekuatan otot umumnya dibutuhkan untuk melakukan aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan oleh
seseorang adalah hasil dari peningkatan ketegangan otot sebagai respons motor. Kekuatan otot bisa
digambarkan sebagai kemampuan otot untuk menahan beban baik beban eksternal maupun internal
(Irfan, 2010).
Kekuatan otot dapat diukur pada rentang gerak dengan meminta pasien untuk menarik atau
menahan tahanan yang diberikan oleh perawat. Perawat dapat membandingkan kedua kekuatan
otot anggota badan dan harus diingat bahwa tungkai dominan biasanya akan menunjukkan kekuatan
yang lebih besar (Paternostro-Sluga, 2008).
Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang adalah rumah sakit pendidikan Kelas B dan rujukan di Sumatera
Tengah. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh para peneliti pada tanggal 18 September 2014,
mobilisasi stroke dengan latihan ROM di unit neurologi RS Dr. M. Djamil Padang merujuk pada
rehabilitasi medis dan fisioterapi yang dilakukan oleh petugas. Rujuk pasien ke rehabilitasi medis
oleh dokter jika hemodinamik pasien dan juga kondisi umum pasien baik tentang hari ketiga atau
keempat pengobatan. Ada 5 orang di rawat inap pasien di unit neurologi, 4 pasien memiliki
kelemahan satu

Sisi dan satu pasien mengalami kelumpuhan di satu sisi, satu pasien belum terjadwal fisioterapi, 2
pasien sudah dijadwalkan melakukan fisioterapi namun belum diimplementasikan dan tidak
mengetahui alasan mengapa belum diimplementasikan, dan 2 pasien telah melakukan fisioterapi
sesuai dengan Jadwal itu tiga kali seminggu, namun pasien mengeluh selalu mengantri dan
menunggu waktu yang lama untuk fisioterapi karena jumlah fisioterapis terbatas, dimana seperti
yang disediakan hanya di pagi hari.
Latihan ROM yang dilakukan di unit neurologi kira-kira tiga kali seminggu selama setengah jam oleh
fisioterapis, menurut para peneliti belum optimal untuk mengembalikan kekuatan otot yang lemah.
Pelemahan kekuatan otot pada pasien dengan pasangan pasca stroke sangat hati-hati dalam proses
rehabilitasi, proses rehabilitasi dini dan reguler, semakin besar kemungkinan kemungkinan
peningkatan fisiologi tubuh dan penurunan komplikasi setelah stroke.
OBJEKTIF
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efek latihan ROM terhadap kekuatan otot ekstrem
pada pasien stroke.
METODE
Jenis penelitian adalah studi eksperimental kuasi dengan kelompok kontrol non ekuivalen
(Notoatmojo, 2010; 2012). Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang mengalami hemiparesis,
dibandingkan yang diamati untuk kekuatan otot sebelum dan sesudah latihan ROM dua kali sehari
selama tujuh hari.
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Responden dalam penelitian ini adalah
pasien dengan stroke yang telah melewati fase kritis dan memenuhi kriteria inklusi pasien stroke
yang mengalami serangan hemiparesis pertama, pasien diobati pada hari ke 3 sampai hari ke 14
setelah serangan stroke akut, komposisi mentis cooperatif (GCS 13- 15), berusia 20-60 tahun, tidak
mengalami gangguan proses berpikir dan fungsi penglihatan dan pendengaran.
Sampel dalam penelitian ini adalah 20 responden dibagi menjadi dua kelompok: kelompok kontrol
dan kelompok eksperimen, masing-masing kelompok terdiri dari 10 responden. Kelompok kontrol
tidak diberi berbagai latihan gerak, sementara kelompok eksperimen diberi latihan gerak pasif dan
aktif selama 7 hari dua kali sehari (Perry & Potter, 2008; 2011; Irfan, 2010).
Latihan ROM dilakukan secara pasif dan aktif, pada gerakan ekstremitas atas, yaitu: (1) Gerakan
pundak: fleksi, ekstensi, hiperekstensi, penculikan, adduksi, rotasi, rotasi eksternal dan
sirkumduksi. (2) Gerakan siku: fleksi dan ekstensi. (3) Gerakan lengan bawah: supinasi dan
pronasi. (4) Gerakan pergelangan tangan dan jari: fleksi, ekstensi, hiperekstensi, penculikan dan
penambahan. (5) Gerakan jempol: fleksi, ekstensi, penculikan, adduksi dan oposisi. Dan gerakan
ekstremitas bawah, yaitu: (1) Gerakan pinggul: fleksi, ekstensi, hiperekstensi, penculikan, adduksi,
rotasi, rotasi eksternal dan sirkumduksi. (2) Gerakan lutut: fleksi dan ekstensi. (3) Pergerakan
pergelangan kaki: dorsofleksi dan plantar. (4) Gerakan kaki: inversi dan eversi. (5) Pergerakan

jari kaki: fleksi, ekstensi, penculikan, adduksi (Irfan, 2010; Potter & Perry, 2011; Saputra, 2013).
Penilaian klinis kekuatan otot dinilai dengan mengklasifikasikan kemampuan pasien untuk
mengontrak otot sukarela melawan gravitasi dan terhadap pemeriksa perlawanan. Sebagai
alternatif, pasien diminta untuk melakukan perpanjangan atau fleksi penuh terhadap penolakan dari
pemeriksa. Kekuatan otot yang dikategorikan dari 0 (tidak ada bukti kekerasan) sampai 5 (lengkap
atau sepenuhnya), penilaian yang dilakukan pada tiga sendi terakhir rata-rata adalah ekstremitas
atas adalah tangan, siku dan bahu, dan ekstremitas bawah adalah kaki, lutut dan panggul. Skala yang
digunakan adalah Skala Dewan Riset Medis (Medical Research Council Scale / MRCS) (Paternostro-
Sluga, 2008; Irfan, 2010).
Penelitian ini menggunakan empat prinsip etika penelitian oleh milton (1999) di Notoadmodjo
(2012), yaitu: (1) Menghormati martabat manusia dengan menggunakan informed consent yang
meliputi: penjelasan tentang manfaat penelitian, penjelasan kemungkinan risiko dan
ketidaknyamanan yang ditimbulkan, penjelasan tentang manfaatnya, persetujuan responden
tersebut dapat mengundurkan diri sebagai objek penelitian setiap saat, dan menjamin anonimitas
dan kerahasiaan identitas dan informasi yang diberikan oleh responden. (2) Menghormati
kerahasiaan dan kerahasiaan subjek penelitian dengan menggunakan pengkodean sebagai identitas
responden. (3) Keadilan dan transparansi dengan menjelaskan prosedur penelitian meliputi
pemilihan sampel, pendistribusian kelompok belajar menggunakan sistem amplop dipilih langsung
oleh responden, sehingga tidak ada perbedaan dalam kesempatan untuk menjadi kelompok
eksperimen atau kelompok kontrol. (4) Hitung manfaat dan kerugian yang diakibatkan oleh usaha
meminimalisasi dampak buruk terhadap responden dalam menjalani komunikasi yang baik, saling
percaya antara peneliti, responden dan keluarga. Penelitian dilakukan pada bulan November 2014,
di unit neurologi Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang. Kekuatan otot dalam analisis menggunakan
mean, standar deviasi, nilai maksimal dan minimum. Uji statistik yang digunakan adalah uji Wilcoxon
untuk melihat pengaruh pretest-posttest pada kedua kelompok (Dahlan, 2012; Sunyoto & Setiawan,
2013), dan uji Mann-Whitney untuk melihat perbedaan yang terjadi antara kedua kelompok (Dahlan,
2012 ).
HASIL
Karakteristik responden dalam penelitian ini diketahui bahwa lebih dari separuh responden adalah
kelompok kontrol wanita sebanyak 6 orang (60%). Kondisi berbeda ditemukan pada kelompok
eksperimen, dimana lebih dari separuh jenis kelamin pria sebanyak tujuh orang (70%). Berdasarkan
kelumpuhan sisi yang diketahui bahwa lebih dari separuh responden kontrol dan kelompok
eksperimen mengalami kelumpuhan pada sisi kanan sebanyak tujuh orang (70%), dan berdasarkan
umur diketahui pada kelompok kontrol yang separuh orang dewasa setengah baya 9 orang (90%)
dan semua responden pada kelompok eksperimen dari 10 orang dewasa paruh baya (100%).
diskusi

Responden pada kelompok kontrol tidak mengalami peningkatan kekuatan otot karena beberapa hal
seperti pelaksanaan fisioterapi tidak teratur atau teratur dan dipengaruhi oleh komorbiditas. Dalam
penelitian ini, mayoritas kelompok responden berusia> 50 tahun yaitu ada tujuh responden, dan
komorbiditas seperti diabetes mellitus dan penyakit jantung yaitu 2 responden yang menderita
diabetes melitus dan orang yang menderita penyakit jantung.
Menurut Kozier dan Olivery (1995) yang dikutip oleh Williams, dkk. (2010) bahwa usia penderita
stroke lebih tinggi, pemulihannya akan lebih lama dari penderita stroke usia muda karena seiring
bertambahnya usia, semakin tinggi penurunan fungsi organ secara keseluruhan sehingga akan
memberikan efek pemulihan yang berbeda antara penderita stroke muda dengan usia lebih jauh.
Faktor umur diketahui memiliki hubungan yang signifikan dengan peningkatan fungsi neurologis.
Pasien lansia seringkali tidak dapat mengikuti program rehabilitasi, seperti yang dilakukan pada
pasien stroke dengan usia lebih muda karena intoleransi yang dialami oleh mereka dalam kegiatan
olah raga (Petrina, 2007).

Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hayes, dkk., (2003) mengenai pengaruh jenis
kelamin dan usia penderita stroke iskemik, ditemukan bahwa hampir separuh pasien stroke lansia
(43%) mengalami defisit neurologis sedang sampai berat, demikian bahwa pasien memiliki
ketergantungan dalam Activity Daily Living (ADL).
Selain usia dan komorbiditas, perbedaan gender ikut dalam proses pemulihan pasca stroke. Pada
kelompok kontrol yang sebagian besar terdiri dari responden wanita adalah 6 orang (60%). Jender
diketahui memiliki hubungan dengan pemulihan pasca stroke. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Oh, Yu, Spirit, dan Lee (2009) tentang perbedaan gender dalam tingkat kematian dan
hasil pasien stroke di Korea. Studi ini menyimpulkan bahwa stroke wanita memiliki harapan hidup
lebih lama dibandingkan pria, namun memiliki status fungsional pasca stroke lebih buruk dibanding
pria.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Maimurahman dan Fitria (2012)
mengenai efektivitas ROM kekuatan otot ekstrem pada penderita stroke, akibatnya terdapat
perbedaan yang signifikan dalam tingkat kekuatan otot sebelum dan sesudah latihan ROM dengan
Nilai p adalah 0,003 dengan nilai z -3.000. Dan seperti juga penelitian yang dilakukan oleh Mawarti
dan Farid (2012) tentang efek latihan ROM pasif untuk meningkatkan kekuatan otot pada
penderita stroke dengan hemiparesis dapat disimpulkan bahwa ada latihan ROM pasif yang
signifikan 2 kali sehari untuk kekuatan otot pada penderita stroke dengan hemiparesis. dengan p-
value adalah 0,000.
Latihan ROM adalah terapi rehabilitatif yang bertujuan untuk memperbaiki atau mempertahankan
kekuatan dan fleksibilitas otot. Memberikan rangkaian gerak gerak awal dapat meningkatkan
kekuatan otot karena bisa merangsang unit otot sehingga semakin banyak unit otot yang terlibat,
akan terjadi peningkatan kekuatan otot (Irfan, 2010).
Temuan ini didukung oleh teori plastisitas otak adalah kemampuan otak untuk melakukan
reorganisasi dalam bentuk interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas adalah sifat yang menunjukkan
kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi dengan persyaratan fungsional, mekanisme ini
mencakup perubahan kimiawi, saraf penerimaan, perubahan struktur dan pengorganisasian neuron
syaraf otak (Irfan, 2010).
Latihan ROM berguna dalam menjaga fleksibilitas sendi otot dengan gerakan otot baik secara aktif
maupun pasif. Latihan ROM bisa diberikan ke semua sendi tubuh atau hanya bagian sendi tubuh.
Gerakan aktif dihasilkan oleh kekuatan internal dan sementara gerak pasif dihasilkan oleh kekuatan
eksternal. Bila otot tidak bisa berkontraksi atau relaksasi otot secara sukarela untuk melakukan
gerakan, dengan kata lain gerak pasif adalah gerak yang bergerak oleh orang lain (Soeparman, 2004;
Black & Hawks, 2009).
Pada kelompok eksperimen, sebagian besar diperoleh kekuatan otot meningkat setelah diberi
rentang latihan gerak sebanyak 8 orang, ada 3 responden mengalami peningkatan kekuatan otot
dengan selisih nilai kekuatan otot dengan nilai 2. Dalam kasus ini Para periset berasumsi bahwa
faktor yang mempengaruhi kekuatan otot tidak hanya rentang gerak gerak, namun banyak faktor
yang mendukung peningkatan tungkai

Kekuatan otot adalah kelumpuhan, usia, terapi diberikan selama perawatan terapi seperti O2, serta
pemberian cairan hipertonik.
Pada kelompok eksperimen mayoritas responden mengalami kelumpuhan di sisi kanan sebanyak
tujuh orang. Kelumpuhan merupakan salah satu faktor risiko peningkatan kekuatan otot pada
kelompok eksperimen. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Whitall, Waller,
Silver dan Macko (2000) yang menyimpulkan bahwa ada perbedaan antara fungsi motorik dasar
klien yang memiliki lesi di belahan dominan dan non-dominan. Dari hasil penelitiannya ditemukan
bahwa ada keuntungan yang jelas untuk fungsi motor klien selama latihan pada klien yang memiliki
lesi di belahan bumi dominan (parese yang dominan) dibandingkan dengan belahan bumi yang tidak
dominan (parese dominan) . Oleh karena itu, pendekatan saat melakukan latihan pada klien dengan
kebutuhan spesifik hemiparese oleh hemiparese samping yang dialami oleh klien.
Parese (kelemahan) pada tangan yang tidak dominan tidak begitu sulit bagi pasien, karena aktivitas
sehari-hari pasien masih bisa dilakukan oleh tangan dominan yang sehat. Karena itu, pada akhirnya
perawatan klien kurang dialami parese tangan karena semua aktivitas bisa dilakukan oleh tangan
dominan yang sehat. Hal ini tentunya akan memperburuk kondisi parental yang dialami oleh tangan
yang tidak dominan. Namun, sebaliknya terjadi jika pengalaman parese dominan. Pada saat pasien
memiliki tangan dominan parese, maka klien akan berusaha melatih parese tangan untuk kembali
bisa melakukan ketrampilan yang sebelumnya bisa dilakukan dengan tangan. Oleh karena itu ada
perbedaan motivasi antara klien yang memiliki parese dominan dan non-dominan. Hal ini dapat
mempengaruhi proses rehabilitasi pasien stroke (Whitall, Waller, Silver & Macko, 2000).
Selain latihan ROM dan kelumpuhan samping, faktor usia mempengaruhi peningkatan kekuatan
otot yang terkait dengan proses rehabilitasi. Proses rehabilitasi pasien stroke adalah proses
belajar motorik yang merupakan sekumpulan proses yang mempengaruhi latihan motorik
keadaan internal sistem saraf pusat. Latihan ROM yang dilakukan dengan ingatan jangka panjang
tentang keterampilan motorik dan belajar lebih jauh lebih mudah bagi pasien untuk memiliki
keterampilan motorik yang pernah ada dalam studi pertama (Mudie dan Matyas, 2000). Usia tua
diketahui memiliki kemampuan ingatan jangka panjang yang kurang usianya dibanding usia muda,
jadi ini berdampak pada kemampuan pemulihan.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bagg, Pombo dan Hopman (2002), usia
tersebut sangat mempengaruhi kemampuan fungsional penderita stroke, yang dikaitkan dengan
kemampuan pasien muda yang lebih baik dalam melakukan rehabilitasi dan pemulihan proses
jaringan otak pada usia muda. usia lebih cepat dibandingkan dengan lansia.
Research Bagg, Pombo dan Hopman (2002) juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ones,
Yalcinkaya, Toklu dan Caglar (2009) yang menemukan bahwa usia berkontribusi terhadap
keterampilan motorik pasien stroke. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa umur memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap keterampilan motorik pasien stroke. Ini karena kemampuan
pasien muda dalam latihan lebih baik bila dibandingkan dengan pasien yang lebih tua.

Terapi O2 dalam penanganan pasien stroke akut dalam mempertahankan oksigenasi serebral dan
cairan hipertonik seperti manitol dan 0,9% garam normal yang dapat mengurangi edema, sehingga
mencegah peningkatan tekanan intrakranial sehingga mengurangi dampak stroke dengan
melindungi daerah iskemik sehingga tidak untuk menjalani infark (Mansjoer, 2000).
Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sikawin, Mulyadi dan Palandeng, (2013)
tentang efek latihan ROM pada kekuatan otot pada penderita stroke, penelitian menunjukkan
bahwa ada latihan ROM yang signifikan pada kekuatan otot pada pasien stroke setelah ROM selama
satu minggu. dengan nilai p adalah 0,003.
Latihan ROM bermanfaat dalam menjaga fleksibilitas sendi otot dengan gerakan otot baik secara
aktif maupun pasif. Dimana pasien yang secara aktif memindahkan sendi ekstremitas tanpa bantuan
dari luar atau orang lain seperti perawat, sedangkan untuk gerakan pasif pasien dibantu oleh
perawat untuk menggerakkan tungkai. Rentang latihan gerak bisa diberikan ke seluruh sendi tubuh
atau hanya bagian sendi tubuh. Gerakan aktif dihasilkan oleh kekuatan internal dan sementara gerak
pasif dihasilkan oleh kekuatan eksternal. Bila otot tidak bisa berkontraksi atau relaksasi otot secara
sukarela untuk melakukan gerakan, dengan kata lain gerak pasif adalah gerak yang bergerak oleh
orang lain (Soeparman, 2004; Black & Hawks (2009).
Mekanisme kontraksi dapat meningkatkan otot sukarela pada ekstremitas. Latihan pasif ROM dapat
menyebabkan rangsangan yang meningkatkan aktivitas kimia, neuromuskular dan otot, aktivitas
akan terus meningkat dengan adanya rangsangan dari luar dan dari dalam. Otot sukarela dari
ekstremitas mengandung pewimen aktin dan myosin yang memiliki sifat kimia dan interaksi antara
satu dengan lainnya. Proses interaksi diaktifkan oleh ion kalsium, dan adeno triphospot (ATP),
selanjutnya dipecah menjadi adenosine difosfat (ADP) untuk memberi energi pada ekstraksi
kontraksi otot. Melalui stimulasi neuromuskuler akan meningkatkan rangsangan otot-otot
ekstremitas saraf yang merangsang saraf parasimpatis terutama untuk produksi asetilkolin, sehingga
terjadi kontraksi. Mekanisme melalui muskuluis terutama otot sukarela di ekstremitas akan
meningkatkan metabolisme mitokondria untuk menghasilkan ATP yang digunakan oleh otot
ekstremitas sukarela sebagai energi untuk kontraksi dan meningkatkan tonus otot sukarela di
ekstremitas (Guyton, 2007).
Berdasarkan uraian di atas bahwa latihan ROM dapat meningkatkan kekuatan ekstremitas atas dan
bawah pada pasien stroke di unit neurologi RS Dr. M. Djamil Padang. Selama tujuh hari di fase akut
telah diberikan perubahan kekuatan otot pada bagian atas dan ekstremitas bawah pada penderita
stroke. Kursus ini akan meningkatkan otot kedua bila dilakukan lebih dari tujuh hari misalnya, dua
minggu atau empat minggu sejak masa golden recovery pasien stroke berada di bulan pertama
sampai enam bulan (Pinzon, 2012).
Bagian tubuh bisa menjadi latihan ROM pasif dan aktif yaitu leher, jari tangan, lengan, siku, bahu,
pergelangan kaki, kaki dan pergelangan kaki akan mengurangi komplikasi stroke.
sehingga proses penyembuhan setelah stroke akan lebih cepat sehingga pasien merasa lebih
nyaman.
KESIMPULAN
Ada perbedaan signifikan dalam kekuatan otot rata-rata antara kelompok kontrol dan kelompok
eksperimen dengan nilai p pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah adalah 0,002 dan 0,006,
yang berarti latihan ROM dapat meningkatkan kekuatan otot ekstremitas pada pasien stroke.
Periset menyarankan bahwa: 1) Latihan ROM dapat digunakan sebagai intervensi keperawatan
dalam penyediaan asuhan keperawatan; 2) Latihan ROM harus dilakukan lebih awal dan
diprogram di setiap layanan keperawatan institusi baik oleh perawat atau bekerja sama dengan
keluarga setelah keluarga pertama diajari tentang rentang gerak latihan; 3) Membuat jadwal
prosedur tetap (SOP) dan ROM jadwal yang jelas seperti frekuensi 2 kali sehari setiap pagi dan
sore; 4) Memberikan pelatihan dan bimbingan kepada perawat tentang pelaksanaan latihan ROM
baik secara pasif maupun aktif pada pasien stroke; 5) Kebutuhan untuk penelitian lebih lanjut
tentang efek latihan ROM untuk kekuatan otot pada pasien dengan homogenitas stroke sampel
sehingga dapat meningkatkan penelitian.

Anda mungkin juga menyukai