Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional
dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli
anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut.
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral
yang dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia,
kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada. Anestesi memungkinkan pasien untuk
mentolerir tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak
tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang
ekstrim dan menghasilkan keadaan yang tidak menyenangkan.
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi
untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan
dilakukan operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum
mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis
pasien, anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.
Anestesi spinal atau subarachnoid adalah anestesi regional dengan tidakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal
atau subarachnoid juga disebut sebagai analgesik ataublok spinal intradural atau
blok intratekal. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis
obat yang digunakan, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen,
lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas,
kehamilan, dan penyebaran obat.
Berikut ini akan dilaporkan kasus pada pasien seorang wanita usia 28
tahun yang didagnosis dengan G1P0A0 + suspect Kehamilan Ektopik Terganggu
yang akan dilakukan tindakan laparatomi dengan teknik anestesi spinal di RSU
Anutapura Palu.
2

BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. A
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Usia : 28 Tahun
4. Berat Badan : 63 kg
5. Agama : Islam
6. Alamat : Jalan Sungai Manonda
7. Diagnosa Pra Anestesi: G1P0A0 + Susp. KET
8. Jenis Pembedahan: Laparatomy - Salphingectomy
9. Tanggal Operasi : 27/03/ 2017
10. Tempat Operasi : RSU Anutapura
11. Jenis Anestesi : Regional anestesi

B. EVALUASI PRA-ANESTESI (27/03/2017)


a. Anamnesis (Autoanamnesis)
 Keluhan Utama : Sakit perut bagian bawah tembus belakang
 Riwayat penyakit sekarang : Pasien dengan GIP0A0 Gravid 8 minggu masuk
RS dengan keluhan sakit perut bagian bawah tembus belakang yang dirasakan
sekitar beberapa jam sebelum masuk rumah sakit yang kian memberat saat
ini. Keluhan ini disertai dengan pengluaran darah dari jalan lahir berupa
bercak-bercak sejak kemarin berwarna merah kecoklatan dengan frekuensi
mengganti pembalut 4-5 kali sehari. Pasien juga mengeluhkan adanya mual
tetapi tidak muntah. Pasien tidak merasakan pusing dan nyeri ulu hati. Tidak
ada keluhan demam dan penglihatan kabur. BAK (+) seperti biasa, BAB (+)
seperti biasa.
 Riwayat Penyakit Dahulu : Kejang (-), Hipertensi (-), Penyakit Jantung
(-), Diabetes Mellitus (-).
3

 Riwayat Obstetri : Hamil sekarang.


 Riwayat Haid : Menarke pada usia 14 tahun, haid teratur tiap
bulan, lama haid 7-8 hari, frekuensi mengganti pembalut 2-3 x/hari
 Riwayat ANC : Kunjungan 1x
 Riwayat Imunisasi : Tidak ada
 Riwayat kontrasepsi : Tidak pernah menggunakan kontrasepsi
 Allergies : Pasien tidak mempunyai riwayat alergi makanan
dan obat-obatan.
 Medications : Ranitidin 1 amp/iv, Ketorolac 1 amp/iv
 Past Medical History : Tidak ada riwayat anestesi sebelumnya.

b. Pemeriksaan Fisik
 Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 80/60 mmHg
Nadi : 110 ×/menit
Respirasi : 28 ×/menit
Temperatur : 37,7 ºC
Skor Nyeri (VAS) :6
 B1 (Breath) dan Evaluasi Jalan Napas: Airway: clear,
gurgling/snoring/crowing:(-/-/-), potrusi mandibular (-), buka mulut (5 cm),
jarak mento/hyoid (7 cm), jarak hyothyoid (6,5 cm), leher pendek (-), gerak
leher (bebas), tenggorok (T1-1) faring hiperemis tidak ada, malampathy (I),
obesitas (-), massa (-), gigi geligi lengkap (tidak ada gigi palsu), sulit ventilasi
(-). Suara pernapasan: Vesikuler (+/+), suara tambahan (-). Riwayat asma (-),
alergi (-), batuk (-), sesak (-), masalah lain pada sistem pernapasan (-).
 B2 (Blood): Akral dingin, bunyi jantung SI dan SII murni regular. Masalah
pada sistem kardiovaskular (-)
 B3 (Brain): Kesadaran composmentis GCS 15 (E4V5M6), Pupil: isokor Ø 3
mm/3mm, RC +/+, RCL +/+. Defisit neurologis (-). Masalah pada sistem
neuro/muskuloskeletal (-).
4

 B4 (Bladder): BAK (+), volume: 60 cc/jam, warna: kuning jernih. Masalah


pada sistem renal/endokrin (-).
 B5 (bowel): Abdomen: tampak cembung, peristaltik (+) dbn, nyeri tekan
regio epigastrium, mual (-), muntah (-). Masalah pada sistem
hepato/gastrointestinal (-).
 B6 Back & Bone: Oedem pretibial (-).
 Lain-Lain: -

c. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal (27/03/2017)
Darah Rutin
Parameter Hasil Satuan Range
Normal
RBC 2.26 106/uL 4,7 - 6,1
Hemoglobin (Hb) 7.1 g/dL 14 - 18
Hematokrit (HCT) 20.9 % 42 - 52
PLT 254 103/uL 150- 450
WBC 36.5 103/uL 4,8 -10,8
HBsAg : Non reaktif
HCG test : Positif

d. Pemeriksaan Penunjang
EKG :-

C. PERSIAPAN PRE OPERATIF


Di Ruangan
Komunikasi Informasi dan Edukasi (+), surat persetujuan operasi (+), surat
persetujuan tindakan anestesi (+)
 Puasa: (+) 6 jam preop
 IVFD Gelofusin 1 kolf 30 tpm
 IVFD RL 20 tpm, 2 line
 Transfusi PRC 2 bag
5

Di Kamar Operasi
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin,
natrium bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Menyiapkan pasien di meja operasi, memasang alat pantau tanda vital,
tiang infus, pulse oxymetri
g. Evaluasi ulang status present pasien:
Tekanan darah : 80/60 mmHg
Nadi : 110 ×/menit
Respirasi : 28 ×/menit
Temperatur : 37,7 ºC

Tabel. Komponen STATICS


S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien.
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah
saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan
napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea
mudah dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

D. PLANNING
Laporan Anestesi Durante Operatif
 Anestesiologi : dr. Taufik Imran, Sp.An
 Jenis anestesi : Regional Anestesi, SAB L3-L4, LCS (+)
 Obat : Bupivacain HCl 0,5% 15 mg
6

 Lama anestesi : 13.40 – 14.50 (60 menit)


 Lama operasi : 13.50 – 14.40 (50 menit)
 Ahli Bedah : dr. Abd. Faris, Sp.OG/ dr. Mu’min
 Posisi anestesi: LLD
 Infus : 2 line di tangan kanan dan kiri
 Obat-obatan yang diberikan :
Obat premedikasi: (-)
Obat induksi : Inj. Bupivacaine HCl 0,5% 15 mg
 Maintenance anestesi :
- Inh. O2 2 lpm
a. Obat durante operatif :
- Ephedrine 10 mg
- Ranitidine 50 mg
- Ondansentron 8 mg

Pasien dalam posisi berbaring miring ke kiri (Left Lateral


Decubitus/LLD), kepala menunduk, dengan lutut menekuk (fleksi
maksimal), kemudian menentukan lokasi penyuntikkan di L3-L4, yaitu di
atas titik hasil perpotongan antara garis yang menghubungkan crista iliaca
dekstra dan sinistra dengan garis vertical tulang vertebra yang berpotongan
di vertebral lumbal IV. Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis
dengan kassa steril dan povidon iodine. Lalu dilakukan penyuntikkan di titik
L3-L4 paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan menggunakan
jarum spinal no.25G, kemudian jarum spinal dilepaskan hingga tersisa
kanulnya, lalu dipastikan bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir
melalui kanul (ruang subarachnoid), kemudian obat anestesi, yaitu
Bunascan® (BupivacaineHCl 0,5%) sebanyak 3 mL (15 mg) disuntikkan
dengan terlebih dahulu melakukan aspirasi untuk memastikan kanul spinal
masih tetap di ruang subarachnoid. Setelah Bupivacaine disuntikkan
setengah volumenya kembali dilakukan tindakan aspirasi LCS untuk
memastikan kanul tidak bergeser, lalu Bupivakain disuntikkan semua.
7

Setelah itu luka bekas suntian ditutup dengan kassa steril dan selanjutnya
pasien dibaringkan di meja operasi pada posisi supine.
Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan pemberian oksigen 2 liter
permenit. Selama operasi berlangsung, dilakukan pemantauan monitor
untuk tanda-tanda vital tiap 5 menit dan mencatatnya di lembaran follow up
anestesi. Medikasi yang diberikan selama pembedahan berlangsung yakni
Inj. Ephedrine 10 mg, Ranitidine 50 mg, dan Ondansentron 8 mg.

Tabel. Tanda-tanda vital selama operasi


Menit ke- Sistole (mmHg) Diastole (mmHg) Pulse (x/m)
0 (13.50) 120 75 135
5 (13.55) 80 50 138
10 (14.00) 80 50 135
15 (14.05) 80 55 130
20 (14.10) 80 55 135
25 (14.15) 90 60 133
30 (14.20) 95 60 132
35 (14.25) 100 60 133
40 (14.30) 100 65 135
45 (14.35) 100 65 135
50 (14.40) 110 65 135

Pemberian Cairan
a. Cairan masuk:
 Pre operatif : Kristaloid RL 1000 cc + Gelofusin 500 cc
 Durante operatif : Kristaloid RL 1000 cc + NaCl 0.9 % 100 cc
 Packed Red Cells : 250 cc
 Total input cairan : 2850 cc
b. Cairan keluar:
Durante operatif: Urin (+) 300 cc; perdarahan ± 1500 cc = 1800 cc
8

E. PERHITUNGAN CAIRAN
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Insensible Wate Loss (IWL)
IWL = 15 x 63kg
24
Total : 39,37 cc/jam (945 ml/24 jam)
2. Cairan defisit pengganti puasa (PP): lama puasa × maintenance
= 6 × 103 = 618 ml
3. Cairan defisit urin dan darah = urin + darah =
300 + 1500 = 1800 ml
b. Cairan masuk:
Kristaloid : Ringer Lactate 1000 cc + NaCl 0.9% 100cc
Packed Red Cells : 250 cc
Total cairan masuk : 1350 cc
c. Stress Operasi
Besar 8 cc×KgBB: 8×63 = 504 ml
d. Perhitungan cairan pengganti darah:
Jumlah perdarahan : ± 1500 cc
% perdarahan : 1500/4095 x 100 % = 36 %
Kristaloid 1500 cc x 3 = 4500 cc
e. Balance Cairan
Input Cairan:
Input Cairan: Autput Cairan:
Pre Operatif :
Ringer Laktat = 1000 cc
Gelofusin = 500 cc
Durante Operatif : IWL = 945 cc
Ringer Laktat = 1000 cc Urin = 300 cc
NaCl 0,9% = 100 cc Perdarahan = 1500 cc
Tranfusi PRC = 250 cc Defisit PP = 618 cc
Obat injeksi = ± 25 cc
AM = 315 cc (5 cc x 63
kg)
Hasil = 3.190 cc Hasil = 3.363 cc
9

Jadi Balance cairan Ny. A dalam 24 jam : Intake cairan – output cairan 3.190 cc
– 3.363 cc = - 173 cc.
Pada kasus didapatkan kenaikan suhu, maka untuk menghitung output
terutama IWL gunakan rumus :
IWL + 200 (suhu tinggi – 36,8°C), nilai 36,8 °C adalah konstanta
Andaikan suhu Ny. A adalah 37,7 °C, Maka Balance cairannya :
IWL Ny. A = 945 + 200 (37,7 °C – 36,8 .°C)
= 945 + 200 (0,9)
= 900 + 180 cc
= 1.080 cc
Nilai IWL kondisi suhu tinggi dalam penjumlahan kelompok Output :
IWL = 1.080 cc
Urin = 300 cc
Perdarahan = 1.500 cc
Defisit PP = 618 cc
Hasil = 3.498 cc
Jadi Balance cairannya dalam kondisi suhu febris pada Ny. A adalah :
3.190 cc – 3.498 cc = - 308 cc

F. POST OPERATIF
 GCS : E4V5M6
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 120×/menit
 RR : 26×/menit
 Temperatur : 37,4ºC
 Skor Nyeri (VAS): 5
10

BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini wanita usia 28 tahun didiagnosis dengan G1P0A0 dan suspect
Kehamilan Ektopik Terganggu. Kehamilan Ektopik adalah suatu kehamilan yang
pertumbuhan sel telur yang telah dibuahi tidak menempel pada dinding
endometrium kavum uteri, lebih dari 95 % kehamilan ektopik berada di saluran
telur (tuba falopi).
Kejadian kehamilan ektopik tidak sama di antara senter pelayanan kesehatan.
Hal ini bergantung pada kejadian salpingitis seseorang. Di Indonesia kejadian
sekitar 5 – 6 per seribu kehamilan. Patofisiologi terjadinya kehamilan ektopik
tersering karena sel telur sudah dibuahi dalam perjalanannya menuju
endometrium tersendat sehingga embrio seudah berkembang sebelum mencapai
kavum uteri dan akibatnya akan tumbuh di luar rongga Rahim. Bila kemudian
tempat nidasi tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan besarnya buah
kehamilan, akan terjadi rupture dan menjadi kehamilan ektopik yang terganggu.
Anestesi yang dilakukan pada pasien ini adalah anestesi regional yang biasa
disebut sub Arachnooid Blok (SAB) atau anestesi spinal. Teknik ini mudah,
awitannya cepat, dah harganya murah. Selain itu, pemilihan jenis anestesi regional
anestesi dengan teknik sub-arachnoid block (SAB) karena pembedahan dilakukan
didaerah abdomen, berada dibawah bagian yang dipersarafi oleh T4, yang
merupakan indikasi dilakukannya anestesi SAB.
11

Gambar 1. Saraf pada thorakal XII-Lumbal IV

Gambar 2. Saraf pada Lumbal IV-Sacral IV


12

Anestesi spinal atau biasa disebut blokade subarachnoidatau intratekal


merupakan anestesia blok yang luas. Anestesia spinal yang pertamakali dikerjakan
pada manusia padatahun 1899 oleh Bier, tetapi karena angka kematian yang
tinggi, teknik tersebut tidak populer. Tetapi setelah diketahui efek fisiologis dari
anestetik lokal didalam ruang subarakhnoid, kini bahaya tersebut dapat dicegah.
Sesudah penyuntikan intratekal yang dipengaruhi lebih dahulu yaitu saraf simpatis
dan parasimpatis diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan
dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar, dan
proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit
tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan yang
sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali pulih kembali.
Anestesi spinal atau subarakhnoid adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anestesi spinal
atau subarakhnoid disebut juga sebagai analgesik blokspinal intradural atau blok
13

intratekal. Untuk mencapai cairan serebrospinal maka jarum suntik akan


menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater, kemudian paling
akhir adalah ruang subarakhnoid.

Gambar 3. Tempat Penyuntikan

Anestetik lokal biasanya disuntikan ke dalam ruang subarakhnoid di antara


konus medularis dan bagian akhir dari ruang subarakhnoid untuk menghindari
kerusakan medula spinalis. Pada orang dewasa, obat anestetik lokal disuntikkan
ke dalam ruang subarakhnoid antara L2dan L5 dan biasanya antara L3dan L4.
Untuk mendapatkan blokade yang luas, obat harus berdifusi ke atas dan hal ini
bergantung pada banyak faktor, antara lain posisi pasien dan berat jenis obat.

Tabel. Konsentrasi dan Berat Jenis obat Anestetik Spinal

Obat Konsentrasi Berat Jenis


Prokain 1,5% dalam air 1,0052
2,5% dalam Dextrosa 5% 1,0203
Lidokain 2% plain 1,0004-1,0066
8% dalam 7,5% dekstrosa 1,0262-1,0333
Tetrakain 0,5% dalam dekstrosa 5% 1,0133-1,0203
0,5% dalam air 0,9977-0,9997
Bupivacain 0,5% dalam 8,25% dekstrosa 1,0277-1,0278
0,5% plain 0,9990-1,0058
14

Berat jenis cairan anestetik lokal dapat diubah-ubah dengan menukar


komposisinya. Berat jenis normal cairan serebrospinal adalah 1,007. Larutan
anestetik lokal dengan berat jenis yang lebih besar dari 1,007 disebut larutan
hiperbarik, hal ini dapat dicapai dengan jalan menambahkan glukosa ke dalam
larutan. Sebaliknya bila anestetik lokal dilarutkan ke dalam larutan NaCl
hipotonis atau air suling akan didapatkan larutan hipobarik.
Distribusi anestesia dapat diatur dengan mengatur posisi pasien dan
dengan memperhatikan berat jenis obat yang digunakan. Misalnya, bila
diperlukan anestesia bagian bawah tubuh, pasien harus dalam sikap duduk selama
penyuntikan larutan hiperbarik dan 5menit sesudahnya atau dengan posisilateral
decubitus, atau pasien dalam posisi berbaring dengan kepala lebih rendah
daripada kaki selama penyuntikan dengan larutan hipobarik.

Gambar 4. Posisi lateral decubitus


15

Gambar 5. Posisi duduk

Respon Fisiologis Pada Anestesia Spinal


Penyuntikkan obat anestesia lokal ke dalam ruangan subarakhnoid
menghasilkan respon fisiologis yang penting dan luas. Respon fisiologis yang
terjadi kadang dibingungkan dengan komplikasi dari teknik anestesia spinal.
Pemahaman terhadap etiologi dari efek fisiologis yang terjadi menjadi kunci
dalam manajemen pasien selama anestesia spinal dan mengerti indikasi dan
kontraindikasi dari anestesia spinal.
1. Efek Pada Kardiovaskular
Salah satu respon fisiologis yang penting terjadi pada anestesia spinal
adalah pada sistem kardiovaskular. Efek yang terjadi sama dengan pada
penggunaan kombinasi obat α-1 dan β-adrenergic blockers, dimana nadi
dan tekanan darah menjadi turun sehingga terjadilah hipotensi dan
bradikardi. Hal ini karena blok simpatis yang terjadi pada anestesia spinal.
Level blok simpatis mempengaruhi respon kardiovaskular pada anestesia
spinal, dimana semakin tinggi blok saraf yang terjadi semakin besar
pengaruhnya terhadap parameter kardiovaskular.
16

Hipotensi yang terjadi berhubungan dengan penurunan cardiac output


(CO)dan systemic vascular resistance (SVR). Blok simpatis menyebabkan
vasodilatasi baik pada arteri maupun vena, namun karena jumlah darah
pada vena lebih besar (kurang lebih 75% dari total volume darah) dan otot
dinding pembuluh darahnya lebih tipis dibandingkan dengan arteri, efek
venodilatasi yang terjadi lebih dominan. Akibat dari venodilatasi terjadi
redistribusi darah ke splanknik dan ekstremitas inferior yang menyebabkan
venous return atau aliran darah balik vena menuju jantung berkurang
sehingga COmenurun. Pada pasien muda yang sehat, SVR hanya menurun
15-18%, walaupun terjadi blok simpatis yang signifikan.
Bradikardi yang terjadi selama anestesia spinal terutama pada blok
tinggi disebabkan oleh blokade pada cardioacceleratorfibers yang terdapat
dari T1 sampai T4. Bradikardi juga terjadi sebagai respon terhadap
penurunan tekanan pada atrium kanan akibat pengisian atrium yang
berkurang menyebabkan penurunan peregangan pada reseptor kronotropik
yang terdapat pada atrium kanan dan vena-vena besar.
2. Efek Pada Respirasi
Perubahan variabel pulmonal pada pasien sehat selama anestesia
spinal mempunyai konsekuensi klinis yang kecil. Volume tidal tidak
berubah selama anestesia spinal tinggi, dan kapasitas vital hanya
berkurang sedikit dari 4,05 menjadi 3,73 liter.Penurunan kapasitas vital
lebih disebabkan oleh penurunan expiratory reserve volume (ERV) akibat
dari paralisis otot-otot abdomen yang penting pada ekspirasi paksa
diabandingkan dengan penurunan fungsi saraf frenikus atau diafragma.
Henti nafas yang terjadi pada anestesia spinal tidak berhubungan dengan
disfungsi saraf frenikus atau diafragma, namun disebabkan oleh
hipoperfusi pada pusat pernafasan di medula oblongata. Hal yang
mendukung pernyataan tersebut adalah kembalinya pernafasan pasien
apneu setelah mendapatkan resusitasi yang cukup baik secara farmakologi
ataupun dengan pemberian cairan untuk meningkatkan cardiac output dan
tekanan darah.
17

Hal yang penting diperhatikan dalam hubungannya dengan terjadinya


paralisis otot pernafasan pada anestesia spinal adalah otot-otot ekspiratori,
karena jika terjadi paralisis pada otot-otot tersebut, kemampuan batuk dan
pembersihan sekresi bronkus menjadi terganggu.
3. Efek Pada Gastrointestinal
Organ lain yang dipengaruhi selama anestesia spinal adalah traktus
gastrointestinal. Mual dan muntah terjadi pada 20% pasien yang
mendapatkan anestesia spinal dan hal ini berhubungan dengan terjadinya
hiperperistaltik gastrointestinal akibat dari aktivitas parasimpatis (vagus)
dan relaksasi dari spinkter yang terdapat pada traktus gastrointestinal.
Atropin efektif mengurangi mual dan muntah pada anestesia subarakhnoid
yang tinggi (sampai T5). Dilain pihak, kombinasi dari usus yang
berkontraksi dan relaksasi dari otot-otot abdominal memberi keuntungan
karena hal ini menyebabkan terciptanya kondisi yang bagus untuk operasi.
4. Efek Pada Fungsi Ginjal
Aliran darah ginjal seperti halnya aliran darah serebral dipelihara oleh
mekanisme autoregulasi dalam hubungannya dengan tekanan perfusi
arteri. Jika tidak terjadi hipotensi yang parah, aliran darah ginjal dan
produksi urin tidak berpengaruh selama anestesia spinal. Jika anestesia
spinal menyebabkan terjadinya penurunan tekanan perfusi arteri samapi
dibawah 50 mmHg, akan terjadi penurunan aliran darah ginjal dan
produksi urin secara bertahap. Walaupun begitu, jika tekanan darah sudah
kembali normal, maka fungsi ginjal juga akan kembali normal.
5. Efek pada Termoregulator
Hipotermia perioperatif yang terjadi pada anestesia spinal memiliki
pendekatan yang sama dengan yang terjadi pada anestesia umum. Tiga
mekanisme dasar yang menyebabkan terjadinya hipotermia selama
anestesia spinal antara lain redistribusi dari pusat panas ke perifer akibat
dari vasodilatasi oleh blok simpatis, hilangnya termoregulasi yang
berhubungan dengan penurunan ambang vasokontriksi dan menggigil
18

dibawah level yang terblok, dan peningkatan hilangnya panas dari


vasodilatasi yang terjadi dibawah level yang terblok.

Indikasi anestesi spinal :

1. Bedah ekstremitas bawah


2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah Obstetrik-Ginekologi
5. Bedah Urologi
6. Bedah abdomen bawah

Tabel. Kontraindikasi Anestesi Spinal


Absolut Relatif
Pasien menolak Infeksi sistemik
Infeksi pada tempat suntikan Infeksi sekitar tempat suntikan
Tekanan intracranial meningkat Kelainan psikis
Fasilitas resusitasi minim Bedah lama
Kurang pengalaman tanpa didampingi Penyakit jantung
konsulen anestesi
Hipovolemia ringan

Pada pasien ini dilakukan anestesi spinal dengan posisi lateral dekubitus.
Pemilihan posisi tersebut dikarenakan akan lebih membuat pasien terasa nyaman.
Pada dasarnya persiapan untuk anestesia spinal seperti persiapan pada
anestesia umum. Daerah sekitartempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sekali sehingga tak teraba tonjolan prosessus spinosus. Selain itu perlu
diperhatikan hal di bawah ini :
19

1. Informed consent.
2. Pemeriksaan fisik meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasiseperti infeksi. Perhatikan juga
adanya skoliosis atau kifosis.
3. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah penilaian hematokrit.
Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan
bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah. Sebelum dilakukan
operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status
fisik ASA dan resiko.
Peralatan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan
operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan
tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestesi spinal disiapkan. Jarumspinal
memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumernya dan ukuran 16G
sampai dengan 30G. Obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain,
tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis
yang ujungnya runcing sperti ujung bambu runcing (Quincke-Babcock atau
Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil
banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri pasca penyuntikan spinal.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alkohol, dan duk steril
juga harus disiapkan.

Tehnik anestesi spinal:


1. Posisi duduk atau posisi lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di
atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
2. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain memberikan kenyamanan pada pasien juga
20

supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar


prosessus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
3. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya beresiko
trauma terhadap medulla spinalis.
4. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
5. Beri anestesi lokal (jika perlu) pada tempat suntikan, misalnya dengan
lidokain 1-2% 2-3 ml.
6. Cara tusukan media atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau
29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah
sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock), irisan
jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur
miring bevel mengarah ke atas atau kebawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri pasca spinal.
Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi
jarum tetap baik.
7. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemorroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa kurang lebih 6 cm.

Komplikasi anestesi spinal adalah sebagai berikut :


1. Hipotensi berat akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan meberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia.
21

3. Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali


nafas.
4. Trauma pembuluh saraf.
Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain
hyperbaric dengan dosis 15 mg. Bupivacain adalah obat anastetik local yang
termasuk dalam golongan amino amida. Bupivacain diindikasikan pada anestesi
local termasuk anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidural dan anestesi
intratekal.
Bupivacain adalah obat anestetik lokal epidural yang umum digunakan
selama proses persalinan. Struktur mirip dengan lidokain dan merupakan anestetik
lokal yang mempunyai masa kerja yang panjang, dengan efek blokade terhadap
sensorik lebih besar daripada motorik.
Bupivacain bekerja dengan cara berikatan secara intraseluler dengan
natrium dan memblok influk natrium ke dalam inti sel sehingga mencegah
terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri
mempunyai serabut saraf yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung
mielin,maka bupivacain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai
selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. Bupivacain mempunyai
lama kerja obat yang lebih lama dibandingkan dengan obat anestesi lokal yang
lain. Pada pemberian dosis yang berlebihan dapat menyebabkan toksik pada
jantung dan sistem saraf pusat. Pada jantung dapat menekan konduksi jantung dan
rangsangan, yang dapat menyebabkan blok atrioventrikular, aritmia ventrikel, dan
henti jantung. Selain itu, kontraktilitas miokard dan depresi vasodilatasi perifer
terjadi, menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri. Efek
pada SSP mungkin termasuk eksitasi SSP (gugup, kesemutan di sekitar mulut,
tinitus, tremor, pusing, penglihatan kabur, dan kejang) diikuti oleh mengantuk,
hilangnya kesadaran, depresi pernapasan, dan apneu.
Bupivakain empat kali lebih kuat dibandingkan lidokain. Sekitar 90%-
95% obat ini berada dalam protein plasma maternal. Hal ini menyebabkan obat ini
lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan lidokain. Bupivakain merupakan agen
22

“masuk cepat, keluar lambat”. Hal inilah yang menjadi keuntungan yaitu
durasinya yang panjang dan blok motorik lama ketika kita memberikannya
sebagai konsentrasi analgesia. Penggunaan bupivacain untuk anestesi spinal
adalah 2-3 jam, dan memberikan reaksasi otot derajat sedang (moderate). Efek
blockade motorik pada otot perut menjadikan obat inisesuai untuk digunakan pada
operasi-operasi perut yang berlangsung 45-60 menit. Lama blockade motorik ini
tidak melebihi durasi anelgesiknya.
Ada beberapa Faktor yang dapat mempengaruuhi atau sebagai Penentu
Hemodinamik yaitu :
a) Pre load
Menggambarkan tekanan saat pengisian atrium kanan selama diastolic
digambarkan melalui Central Venous Pressure (CVP). Sedangkan pre load
ventricle kiri digambarkan melalui Pulmonary Arterial Pressure (PAP).
b) Contractility
Menggambarkan kekuatan otot jantung untuk memompakan darah ke
seluruh tubuh.
c) After load
Menggambarkan kekuatan/tekanan darah yang dipompakan oleh jantung.
After load dipengaruhi oleh sistemik vascular resistance dan pulmonary
vascular resistance.
Parameter Hemodinamik yang dapat di nilai yaitu nadi, tekanan darah,
elektrocardiografi. Hemodinamika digunakan pada pemantauan pasien pada setiap
tingkat anestesi, dari fase praanestesi, perianestesi maupun postanestesi.
Pemantauan tanda-tanda hemodinamika sangat penting terutama untuk perbaikan
pasien postoperatif karena dapat memastikan perfusi jaringan masih terjadi.
Pemantauan tanda-tanda hemodinamika mempunyai keuntungan yang signifikan
pada jangka waktu singkat dan jangka waktu lama. Penekanan diberikan pada
identifikasi awal pasien yang beresiko tinggi terjadinya imbalans suplai oksigen
dan kebutuhan oksigen serta kegagalan sistem kardiovaskuler secara total karena
waktu dan kualitas resusitasi merupakan pertimbangan penting untuk
menyelamatkan nyawa pasien.
23

Pada pasien ini sebelumnya telah dilakukan pemasangan IV line pada


tangan kanan dan tangan kiri, lalu masuk cairan kristaloid dan koloid. Setiap IV
line yang terpasang dimasukan kristaloid, koloid, dan transfusi darah (PRC) untuk
mengembalikan cairan yang hilang. pengambilan keputusan ini dikarenakan pada
tatalaksana shock hipovolemik circulation sangatlah penting, agar
mempertahankan hemodinamiknya tetap stabil dan mengejar kekurangan water
loss, agar perfusi ke organ dan jaringan tidak berkurang.
Selama operasi juga perlu dimonitoring kebutuhan cairan, dimana
perkiraan berat badan pasien adalah 63 kg, maka estimated blood volume = 65
cc/kgBB x 63 kg = 4095 cc (estimated blood volume untuk orang dewasa 60-
70cc/KgBB). Jumlah perdarahan yang terjadi durante operasi adalah sekitar 1500
cc (36 %). Pemberian transfusi darah diberikan sesuai dengan banyaknya darah
yang hilang. Diberikan apabila terjadi kehilangan darah 15-20% EBV. Pada
pasien ini didapatkan EBV sekitar 36% sehingga perlu dilakukan transfusi darah.
Kebutuhan cairan maintenance pada pasien ini 39,37 cc/jam (945 ml/24
jam) ditambah defisit puasa 618 cc, ditambah stress operasi (besar) 504 cc/jam,
ditambah perdarahan1500 cc (1 cc darah diganti dengan 3 cc cairan kristaloid)
sehingga total cairan pengganti yang dibutuhkan durante operasi adalah 4500 cc.
Selama operasi pasien diberikan obat golongan alpha dan beta adrenergic
agonis yaitu ephendrine 10 mg/iv untuk menaikkan tekanan darah intraoperatif,
antiemetic berupa ondansetron 8 mg/iv, dan H2 reseptor bloker Ranitidine 50
mg/iv.
Balance cairan Ny. A dalam 24 jam : Intake cairan – output cairan 3.190
cc – 3.363 cc = - 173 cc. Balance cairannya dalam kondisi suhu febris pada Ny. A
adalah : 3.190 cc – 3.498 cc = 308 cc
Setelah masa pasca bedah pasien perlu mendapatkan pemantauan di ruang
pulih sadar. Masalah pulih sadar pada anestesi tidak hanya dinilai asal pasien telah
sadar, tetapi ada hal-hal yang penting yang perlu diperhatikan. Pada pasien yang
dilakukan spinal anestesi, kriteria pemindahan pasien jika Skor Bromage pasien
2 maka pasien boleh pindah ke ruangan perawatan.
24

Pengukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur blok motor


adalah bromage skor. Pada skala ini intensitas blok motorik dinilai dengan
kemampuan pasien untuk menggerakkan ekstremitas bawah.
Tabel. Penilaian Skor Bromage
Kriteria Nilai Skor

Dapat memfleksikan kaki dan lutut 0


(None)
hanya dapat menekuk lutut tetapi 1
tidak dapat mengangkat kaki
(Partial)
Hanya dapat menggerakkan kaki 2
(Almost Complete)
Tidak dapat mengangkat kaki sama 3
sekali (Complete)
TOTAL
Keterangan : Pasien dapat dipindahkan ke bangsal atau ruang perawatan jika
skor kurang dari atau sama dengan 2.

Gambar 6. Skor Bromage

Setelah masa pasca bedah pasien langsung dibawah ke ruang perawatan


intensif untuk mendapatkan terapi dan pemantauan yang intensif.
25

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S, Winkjosastro H. Ilmu kebidanan. 4thed. Jakarta: PT Bina


Pustaka; 2010.
2. Yentis S, May A, Malhotra S, Bogod D, Brighouse D, Elton C. Analgesia
Anaesthesia and Pregnancy. 2nded. New York: Cambridge University Press;
2007.
3. Available from: URL : www.digilibunismus.ac.id diakses tanggal 24 Januari
2015.
4. Datta S. Obstetric Anesthesia Handbook. 4thed. New York: Springer Science
and Business Media; 2006.
5. Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar A, Arif A, Bahry B et all.
Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
6. Latief S A, Suryadi K A, Dachlan M R. Anestetik Inhalasi Petunjuk Praktis
Anestesiologi. 2nded. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI;
2002.
7. Mangku G. AnestesiInhalasi dan Buku Standar Pelayanan dan Tatalaksana
Anestesia-Analgesia dan Terapi Intensif. Denpasar: Bagian Anestesiologi dan
Reanimasi FK UNUD; 2002.
8. Boulton, BT. Blogg, CE. Anestesiologi. 10thed. Jakarta: EGC; 1994.

Anda mungkin juga menyukai