Anda di halaman 1dari 15

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Sindrom metabolik didefinisikan sebagai konstelasi yang saling

berhubungan dari berbagai faktor fisiologis, biokimia, klinis, dan metabolik yang

secara langsung meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes melitus

tipe 2 dan semua penyebab kematian (Kaur, 2014)

3.2 Etiologi

Etiologi sindrom metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu

hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari sindroma metabolik adalah

resistensi insulin (Shahab, 2007). Menurut Tenebaum (dalam Angraeni 2007),

penyebab sindroma metabolik adalah : Pertama, gangguan fungsi sel β dan

hipersekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin. Hal ini memicu

terjadinya komplikasi makrovaskuler (misalnya komplikasi jantung); Kedua,

kerusakan berat sel β menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin, sehingga

menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi mikrovaskuler

(misalnya nephropathy diabetica).

Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya

akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral

(Tjokroprawiro, 2006). Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak

visceral adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak

tersebut akan mensekresi produk-produk metabolik, diantaranya sitokin

proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk-

14
15

produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma

bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes,

penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan hipertensi (Shemiardji, 2004; Widjaya,

2004).

3.3 Epidemiologi

Penyakit kardiovaskular rmerupakan penyebab utama mortalitas dan

morbiditas di negara-negara maju. Sebanyak 40% dari kasus kematian disebabkan

oleh penyakit ini. The International Diabetes Federation meyakini bahwa

sindrom metabolik merupakan pemicu munculnya tandem pandemik global antara

DM tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. Secara global, insiden sindrom metabolik

meningkat dengan cepat. Data epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi

sindrom metabolik di dunia adalah 20-25% (Fattah, 2006).

Prevalensi sindrom metabolik sangat bervariasi, disebabkan karena

ketidakseragaman kriteria yang digunakan, perbedaan etnis/ras, umur, dan jenis

kelamin. Walaupun demikian, prevalensi sindrom metabolik cenderung meningkat

oleh karena meningkatnya prevalensi obesitas maupun obesitas sentral (Adrianjah

& adam, 2006).

Di Amerika, diperkirakan 61% (110 juta) orang dewasa mengalami

overweight dan obesitas (NCHS, 2001). Data dari survey populasi nasional yang

didemonstrasikan sejak tahun 1960 diperoleh bahwa prevalensi overweight (BMI

25-29,9 kg/m2) meningkat sedikit, yaitu dari 30,5% menjadi 34%, dimana

prevalensi obesitas (BMI 30 kg/m2) meningkat 2 kali, yaitu dari 12.8% menjadi
16

27%. Prevalensi obesitas meningkat secara progresif pada umur 20-50 tahun,

namun mengalami penurunan pada umur 60 tahun (NCHS, 2001 & Flegal, 1998).

Studi epidemiologi di Cina terhadap 2776 orang dewasa yang berumur 20-94

tahun, diperoleh prevalensi overweight dan obesitas adalah 29,5% dan 4,3% yang

sebagian besar adalah wanita. Lebih dari sepertiga responden memiliki kadar lipid

yang abnormal, TGT sebesar 10,8%, 9,8% mengalami diabetes tipe 2, hipertensi

58,4%, sekitar 21% dan 29,3% memiliki kolesterol total dan kadar trigliserida

yang tinggi. Prevalensi sindrom metabolik ditemukansebesar 10,2% (Jia, et all,

2002).

Penelitian San Antonio Hearth (1979-1982) menemukan prevalensi

sindrom metabolik 15,8% dari 1.125 orang Mexico-Amerika dan kulit putih yang

berusia antara 25-64 tahun yang sedikitnya ditemukan dengan dua faktor risiko

dan 4,8% dengan tiga faktor risiko dengan menggunakan kriteria WHO. Hasil

penelitian Framingham Off spring Study menemukan prevalensi pada pria sebesar

29,4% dari 1.144 pria dan 23,1% wanita berusia antara 26-82 tahun (Adrianjah &

adam, 2006).

Demikian juga penelitian terhadap urban Brazil ditemukan prevalensi

sindrom metabolik lebih tinggi pada pria muda dibanding wanita. Namun, seiring

dengan pertambahan umur, prevalensinya meningkat pada wanita (Marquezine, et

all, 2008). Di Indonesia, prevalensi sindrom metabolik terus meningkat seiring

dengan perubahan pola dan taraf hidup. Data dari Himpunan Studi Obesitas

Indonesia (HISOBI) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13%

(Fattah, 2006). Penelitian di Makassar yang melibatkan 330 orang pria berusia
17

antara 30-65 tahun dan menggunakan kriteria NCEP ATP III dengan ukuran

lingkar pinggang yang disesuaikan untuk orang Asia (menurut klasifikasi usulan

WHO untuk orang dewasa, yaitu ≥90 cm untuk pria dan ≥80 cm untuk wanita),

ditemukan prevalensi sebesar 33,9%. Prevalensi lebih tinggi yaitu sebesar 62,0%

ditemukan pada subyek dengan obesitas sentral (Adrianjah & adam, 2006; Ford,

2002).

3.4 Patofisiologi

Obesitas merupakan komponen utama kejadian sindrom metabolik, namun

mekanisme yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan

meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen

Species (ROS) meningkat, baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya

ROS di dalam sel adiposa dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi

oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam

sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif

menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi

terjadinya sindrom metabolik, hipertensi, dan aterosklerosis (Furukawa, 2004).

Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi penyakit,

antara lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien diabetes mellitus tipe 2,

biasanya terjadi peningkatan stres oksidatif, terutama akibat hiperglikemia. Stres

oksidatif dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel-

angiopati diabetik, dan pusat dari semua angiopati diabetik adalah hiperglikemia

yang menginduksi stres oksidatif melalui 3 jalur, yaitu; peningkatan jalur poliol,
18

peningkatan auto-oksidasi glukosa, dan peningkatan protein glikosilat (Majalah

Farmacia, 2007).

Gambar 3.1 Patofisiologi Resistensi Insulin dan Sindroma Metabolik

3.5 Kriteria Sindroma Metabolik

Hingga saat ini ada tiga definisi sindrom metabolik yang telah diajukan,

yaitu definisi WHO, NCEP ATP-III dan International Diabetes Federation (IDF).

Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama yang sama dengan penentuan

kriteria yang berbeda.


19

Tabel 3.1 Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik menurut WHO, NCEP-ATP III dan IDF

Criteria diagnosis
Kriteria diagnosis
ATP III : 3
Komponen WHO: IDF
komponen di
Resistensi insulin plus :
bawah ini
Obesitas Waist to hip ratio : Lingkar perut : Lingkar perut :
abdominal/ Laki-laki : > 0,9 Laki-laki: 102 cm Laki-laki: ≥90 cm
sentral Wanita : > 0,85 atau Wanita : >88 cm Wanita : ≥80 cm
IMB >30 Kg/m

Hiper- ≥150 mg/dl (≥ 1,7 ≥ 150 mg/dl (≥1,7 ≥ 150 mg/dl


trigliseridemia mmol/L) mmol/L)
Hipertensi TD ≥ 140/90 mmHg atau TD ≥ 130/85 mmHg TD sistolik ≥ 130 mmHg
riwayat terapi anti atau riwayat terapi TD diastolik ≥ 85 mmHg
hipertensi anti hipertensif

Kadar Toleransi gluksa ≥ 110 mg/dl GDP ≥ 100mg/dl


glukosadarah terganggu, glukosa puasa
tinggi terganggu, resistensi
insulin atau DM

Mikro- Rasio albumin urin dan


albuminuri kreatinin 30 mg/g atau
laju eksresi albumin 20
mcg/menit

Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet atas nama WHO menyampaikan

definisi sindrom metabolik dengan komponen-komponennya, antara lain : 1.

Gangguan pengaturan glukosa atau diabetes, 2. Resistensi Insulin, 3. Hipertensi,

4. Dislipidemia dengan trigliserida plasma >150 mg/dL dan kolesterol High

Density Lipoprotein (HDL-C) <35 mg/dL untuk pria; <39 mg/dL untuk wanita, 5.

Obesitas sentral (laki-laki: waistto-hip ratio >0,90; wanita: waist-to-hip ratio

>0,85) dani ndeks massa tubuh (IMT) >30 kg/m2; dan 6. mikroalbuminuria (Urea

Albumin Excretion Rate >20 mg/min atau rasio albumin/kreatinin> 30 mg/g).

Sindrom metabolik dapat terjadi apabila salah satu dari 2 kriteria pertama dan 2

dari empat kriteria terakhir terdapat pada individu tersebut. Jadi, kriteria WHO
20

(1999) menekankan pada adanya toleransi glukosa terganggu atau diabetes

mellitus, dan atau Resistensi Insulin yang disertai sedikitnya 2 faktor risiko lain,

yaitu hipertensi, dislipidemia, obesitas sentral dan mikroalbuminaria (Marti, 1998;

Adrianjah & adam, 2006).

Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien sindrom metabolik

adalah NCEP-ATP III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang

disepakati, antara lain: lingkar perut pria>102 cm atau wanita>88 cm;

hipertrigliseridemia (kadar serum trigliserida >50 mg/dL), kadar HDL-C <40

mg/dL untuk pria, dan <50 mg/dL untuk wanita; tekanan darah>130/85 mmHg;

dan kadar glukosa darah puasa >110 mg/dL. Suatu kepastian fenomena klinis

yang terjadi yaitu obesitas sentral menjadi indikator utama terjadinya SM sebagai

dasar pertimbangan dikeluarkannya diagnosis terbaru oleh IDF tahun 2005.

Seseorang dikatakan menderita sindrom metabolik bila ada obesitas sentral

(lingkar perut >90 cm untuk pria Asia dan lingkar perut >80 cm untuk wanita

Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut : 1. Trigliserida >150 mg/dL (1,7 mmol/L)

atau sedang dalam pengobatan untuk hipertrigliseridemia; 2. HDL-C: <40 mg/dL

(1,03 mmol/L) pada pria dan <50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita atau sedang

dalam pengobatan untuk peningkatan kadar HDL-C; 3. Tekanan darah:

sistolik>130 mmHg atau diastolik >85 mmHg atau sedang dalam pengobatan

hipertensi; 4. Gula Darah Puasa (GDP) >100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes

tipe 2. Hingga saat ini masih ada kontroversi tentang penggunaan kriteria

indikator sindrom metabolik yang terbaru tersebut (IDF, 2005)


21

Belum ada kesepakatan kriteria sindrom metabolik secara internasional,

sehingga ketiga definisi di atas merupakan yang paling sering digunakan. Kriteria

diagnosis NCEP-ATP III menggunakan parameter yang lebih mudah untuk

diperiksa dan diterapkan oleh para klinisi sehingga dapat dengan lebih mudah

mendeteksi sindrom metabolik. Hal yang menjadi masalah dalam penerapan

kriteria diagnosis NCEP-ATP III, adalah adanya perbedaan nilai “normal” lingkar

pinggang antara berbagai jenis etnis. Oleh karena itu, pada tahun 2000, WHO

mengusulkan lingkar pinggang untuk orang Asia ≥90 cm pada pria dan wanita

≥80 cm sebagai batasan obesitas sentral.

3.6 Faktor Risiko

Faktor risiko untuk sindrom metabolik adalah hal-hal dalam kehidupan

yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit secara dini. Ada berbagai

macam faktor risiko sindrom metabolik, antara lain adalah gaya hidup (pola

makan, konsumsi alkohol, rokok, dan aktivitas fisik), sosial ekonomi dan genetik

serta stres.

Gaya hidup

Meningkatnya obesitas yang merupakan komponen utama sindrom

metabolik tak lepas dari berubahnya gaya hidup, seperti life sedentarian, pola

konsumsi yang tidak seimbang, Studi yang dilakukan oleh Research Triangle

institute International, dan dibiayai oleh CDC's Division of Nutrition and Physical

Activity menggunakan latar belakang data dari survei nasional di Amerika yang

dilakukan 1980 dan 1990 ternyata menunjukkan hubungan prevalensi


22

obesitas/berat badan lebih dan jumlah jam yang dipakai anak-anak untuk nonton

TV (Arief, 2008).

Merebaknya restoran fast food turut menyumbang peningkatan berbagai

penyakit. Fast food jarang menyajikan makanan berserat. Menu yang tersaji

cenderung banyak mengandung garam, lemak dan kolesterol. Konsumsi lemak

Indonesia meningkat (10,4% dari total konsumsi energi pertahun dan 18,7% tahun

1990) (Badan pusat statistik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir

seluruh penduduk (99%) umur 15 tahun ke atas kurang mengkonsumsi sayur dan

buah. Lebih banyak penduduk kurang beraktivitas (84,9%) dibanding yang tidak

beraktivitas (9,1%) (Susenas 2004).

Aktivitas fisik juga memberikan efek yang menguntungkan terhadap

tekanan darah. Pada dasarnya, saat ini sudah diterima bahwa exercise pada level

moderate dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien dengan

hipertensi esensial ringan hingga sedang. Aktivitas fisik juga memberikan efek

yang signifikan terhadap kadar lipid darah. The Pawtucket Hearth Study grup

melaporkan bahwa aktivitas fisik berhubungan signifikan dengan peningkatan

kadar HDL kolesterol (Pitsavos,2006).

Dalam hubungannya dengan tekanan darah, penelitian yang dilakukan oleh

Paffenbarger di Amerika Serikat terhadap kelompok mahasiswa menemukan

bahwa insiden hipertensi 20 hingga 40% lebih rendah pada mereka yang

melakukan aktivitas olahraga sedikitnya 5 jam per minggu daripada mereka yang

kurang aktif (Hayens et al.,2003).


23

Gaya hidup merokok juga berpengaruh terhadap meningkatnya penyakit

kronis. Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study

menunjukkan bahwa mereka yang merokok 20 batang atau lebih perhari

mengalami penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki dan 14 % untuk

perempuan, dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok (Soeharto, 2004).

Yang terpenting dari rokok adalah jumlah batang rokok yang dihisap,

bukan lamanya waktu seseorang telah merokok (Soeharto, 2004). Orang yang

merokok > 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua

faktor utama risiko (hipertensi dan hiperkolesterol) (Anwar, 2004).

Kandungan yang terdapat pada rokok yaitu nikotin meyebabkan disfungsi

endotel akut pada perokok jangka panjang. 1 mg nikotin menyebabkan disfungsi

endotel di arteri brachial pada perokok kronis. Merokok sigaret menyebabkan

konstriksi immediate arteri koroner epicardial dan peningkatan resistensi vessel

tone di arteri koroner meskipun kebutuhan oksigen miokardial meningkat.

Mekanisme merokok menyebabkan disfungsi endotel terungkap. Stress oksidatif

memediasi efek yang kurang baik dari rokok yang mengandung banyak radikal

bebas seperti radikal superoxide anion dan hidroksil yang menurunkan NO (nitrit

oksida) yang dilepaskan dari endotelium. Nikotin menyebabkan disfungsi endotel

dengan peningkatan oksidatif stress. Studi eksperimental juga menunjukkan

bahwa merokok dapat merusak kerja insulin secara akut, pada subjek baik yang

sehat maupun pada pasien Non-insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

(Targher, 1999).
24

Genetik

Faktor keturunan mempengaruhi obesitas dan hal ini dihubungkan dengan

fenotip. Pada akhir tahun 2002, lebih dari 300 gene, penanda dan kromosom telah

dihubungkan dengan fenotip obesitas. Penelitian tentang gen ini telah

mengidentifikasi 68 Quantitative Trait Loci (QTLs) manusia dan 168 QTLs dari

hewan percobaan untuk obesitas.

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan gen obesitas menunjukkan

bahwa terdapat beberapa gen yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas. Gen

the beta-3 adrenergic receptor (ADBR3) adalah gen yang paling banyak di uji dan

telah menunjukkan hubungan dengan terjadinya obesitas. Gen-gen lain yang juga

telah diteliti dalam lima model penelitian berbeda yang dapat mempengaruhi

obesitas adalah gen LEPR, gen ADBR2, gen LEP,gen UCP2, Gen UCP3, gen

GNB3, gen LDLR, TNFRSFI B, POMC, APOB,APOD dsb (Bray, 2007).

Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5 – 70%. Pada beberapa orang

faktor genetik merupakan penentu utama, sedangkan pada orang lain faktor

lingkungan merupakan penentu utama, namun tanpa asupan berlebihan obesitas

tidak timbul, jadi peranan lingkungan memfasilitasi ekspresi berbagai gen

obesitas. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kemungkinan

seorang anak obesitas 40% bila salah seorang dari orangtuanya obesitas dan

sebesar 80% jika kedua orang tuanya obesitas serta 7% jika kedua orangtuanya

tidak obesitas (Garrows, 1988).


25

Sosial Ekonomi

Umumnya prevalensi obesitas lebih tinggi pada wanita dan orang dengan

sosial ekonomi rendah. Di negara-negara maju seperti Amerika dan Australia,

obesitas lebih banyak ditemukan pada mereka dengan sosial ekonomi rendah,

yaitu sekitar 6-12 kali lebih banyak dibanding mereka dengan sosial ekonomi

tinggi. Penelitian Sobal dan Stunkarrd menguji 144 penelitian yang

menghubungkan antara status sosial ekonomi dan obesitas pada tahun 1989

menyimpulkan bahwa, di negara maju kelompok wanita dengan status sosial

ekonomi rendah memiliki prevalensi obesitas 6 kali lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok wanita dengan sosial ekonomi status tinggi (Crawford et al,

2005).

Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian obesitas

lebih sering terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan

artinya kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi

tinggi. Prevalensi Obesitas di Afrika Utara sama tinggi dengan kejadian di

Amerika Serikat dan Mesir, 70% wanita da 48% pria mengalami overweight dan

obesitas. Penelitian efek obesitas terhadap penyakit kronik yang didiagnosis

dokter pada studi empiris di Afrika Utara dan Senegal ditemukan bahwa

responden di Afrika Utara lebih berpendidikan dan mempunyai akses yang lebih

baik terhadap penyimpanan air daripada di Senegal dengan GDP perkapita di

Afrika Utara lebih besar 6,6 kali dibandingkan di Senegal. Rata-rata BMI di

Afrika Utara adalah 27,3 dan di Senegal 22,9, dimana prevalensi obesitas di

Afrika Utara sebanyak 27,8% dan di Senegal hanya 6,5% (Misra, 2001).
26

Untuk negara maju, tingginya obesitas berhubungan secara terbalik dengan

status sosio-ekonomi, terutama untuk wanita tetapi tidak bagi laki-laki atau anak.

Namun bagi negara sedang berkembang tidak demikian terdapat hubungan positif

antara status sosio-ekonomi dengan obesitas bagi kedua gender. Seiring dengan

meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat, jumlah penderita kegemukan

(overweight) dan obesitas cenderung meningkat. Di Indonesia, masalah kesehatan

yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai muncul pada awal tahun 1990-an.

Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu,

terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola

aktifitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan

dan obesitas (Almatsier, 2004).

3.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan sindrom metabolik bertujuan untuk menurunkan risiko

penyakit kardiovaskular aterosklerosis dan risiko diabetes melitus tipe 2 pada

pasien yang belum diabetes. Apabila kondisi tersebut ada maka perlu diajukan

pengobatan untuk sindrom metabolik. penatalaksanaan sindrom metabolik terdiri

dari 2 pilar, yaitu tatalaksana penyebab (berat badan lebih/obesitas dan inaktivitas

fisik) serta tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid (Aru, 2006; John, 2004).

Penatalaksanaan agresif terhadap komponen-komponen sindrom metabolik dapat

mencegah atau memperlambat onset diabetes, hipertensi dan penyakit

kardiovaskular. semua pasien yang didiagnosis dengan sindrom metabolik

hendaklah dimotivasi untuk merubah kebiasaan makan dan latihan fisiknya

sebagai pendekatan terapi utama. penurunan berat badan dapat memperbaiki


27

semua aspek sindrom metabolik, mengurangi semua penyebab dan mortalitas

penyakit kardiovaskular. Namun kebanyakan pasien mengalami kesulitan dalam

mencapai penurunan berat badan. Latihan fisik dan perubahan pola makan dapat

menurunkan tekanan darah dan memperbaiki kadar lipid, sehingga dapat

emmperbaiki resistensi insulin.

The National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel II

(NCEP-ATP III) mendapatkan bahwa sindrom metabolik merupaka indikasi untuk

dilakukan intervensi terhadap gaya hidup yang ketat, meliputi diet, latihan fisik

dan intervensi farmakologik (AHA, 2010; John, 2004). Penurunan berat badan

secara bermakna dapat memperbaiki semua aspek dari sindrom metabolik.

Demikian pula peningkatan aktifitas fisik dan pengurangan asupan kalori akan

memperbaiki abnormalitas sindrom metabolik. Perubahan diet spesifik ditujukan

terhadap aspek-aspek tertentu dari sindrom metabolik seperti:

1. Mengurangi asupan lemak jenuh untuk menurunkan resistensi insulin

2. Mengurangi asupan garam untuk menurunkan tekanan darah

3. Mengurangi asupan karbohidrat dengan indeks glikemik tinggi untuk

menurunkan kadar glukosa darah dan trigliserida

Diet yang banyak mengandung buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian,

lemak tak jenuh dan produk-produk susu rendah lemak bermanfaat pada sebagian

besar pasien sindrom metabolik. Dokter keluarga efektif dalam membantu pasien

merubah gaya hidupnya melalui pendekatan individual untuk menilai adanya

faktor-faktor risiko spesifik, intervensi terhadap faktor-faktor risiko tersebut serta


28

membantu pasien dalam mengidentifikasi hambatan-hambatan yang dialami

dalam upaya merubah perilaku (Merentek, 2006)

Anda mungkin juga menyukai