Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN CHF

A. Pengertian
Keadaan jantung yang tidak sanggup memompakan darah secara
adekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh, sedangkan venous filling
pressurenya cukup baik, (Wholey & Wong, 2010).
Dewasa ini, CHF tidak hanya ditujukan pada mekanisme jantung, tetapi
juga suatu proses komplek yang mengatur fungsi jantung normal dan
abnormal (Daphne T. Hsu, 2009).
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan
sel-sel tubuh akan nutrient dan oksigen secara adekuat (Udjianti Wajan Juni,
2011 ).
Beberapa definisi gagal jantung ditujukan pada kelainan primer dari
sindrom tersebut, yaitu keadaan ketika jantung tidak mampu
mempertahankan sirkulasi yang cukup bagi kebutuhan tubuh meskipun
tekanan pengisian vena dalam keadaan normal. Namun beberapa definisi lain
menyatakan bahwa gagal jantung bukanlah suatu penyakit yang terbatas pada
satu sistem organ melainkan suatu sindrom klinis akibat kelainan jantung.
Keadaan ini ditandai dengan suatu bentuk respon hemodinamika, renal,
neural dan hormonal yang nyata. Di samping itu, gagal jantung merupakan
suatu keadaan patologis dimana kelainan fungsi jantung menyebabkan
kegagalan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan,
atau hanya dapat memenuhi kebutuhan jaringan dengan meningkatkan
tekanan pengisian (Muttaqin Arif, 2012).
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi dimana jantung sebagai
pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan
(Ruhyanudin Faqih, 2011).
B. Etiologi
Beberapa penyebabab CHF yaitu, (Daphne T. Hsu, 2009) :
1. Beban volume (volume overload), terutama shunt dari kiri ke kanan yang
dapat mengakibatkan hipertrophy pada ventrikel kanan karena untuk
mengkompensasi peningkatan volume darah.
2. Tekanan overload, terutama akibat dari luka obstruktif, seperti stenosis
katup atau penyempitan aorta.
3. Penurunan kontraktilitas terutama penurunan kontraktilitas miokardium,
yang diakibatkan oleh beberapa faktor seperti cardiomyopathy atau
myocardial ischemia.
4. Tingginya kebutuhan Cardiac Output, suatu kondisi saat kebutuhan tubuh
akan darah untuk oksigenasi melebihi cardiac output jantung (meskipun
volume darahnya mungkin saja normal), seperti pada saat sepsis,
hyperthyroidism, dan anemia berat. CHF pada anak bisa disebabkan
karena suatu hal yang bersifat cardiac maupun non cardiac. Gejala utama
heart failure yang disebabkan karena gangguan pada jantung telah
dipaparkan pada Tabel 1. Pada saat ini penyebab utama heart failure pada
anak di United States adalah Congenital Heart Disease struktural.
Cardiomyopathies merupakan penyebab utama heart failure pada anak
dengan struktur jantung normal. Sindrom heart failure mungkin bisa
muncul pada periode post operative setelah cardiopulmonary bypass
selama operasi perbaikan jantung congenital. Anak dengan heart failure
menunjukan presentase sebesar 10% sampai 33% dari seluruh data
gangguan jantung, (Daphne T. Hsu, 2009).
C. Patofisiologi
Secara teori gagal jantung dapat dibedakan kedalam dua tipe, (Wholey &
Wong, 2010):
1. Gagal jantung sisi kanan (right-sided failure)
Jantung kanan yang telah lemah, tidak kuat lagi memindahkan darah yang
cukup banyak dari susunan pembuluh darah venosa (vena kava, atrium,
dan ventrikel kanan) ke susunan pembuluh darah arteriosa (arteri
pulmonalis). Oleh karena itu, darah akan tertimbun di dalam ventrikel
kanan, atrium kanan, dan di dalam vena kava sehingga desakan darah
dalam atrium kanan dan vena tersebut meninggi. Makin tinggi desakan
darah dalam vena, vena makin mengembang (dilatasi). Penimbunan darah
venosa sistemik akan menyebabkan pembengkakan hepar atau
hepatomegali. Hepatomegali merupakan suatu gejala yang penting sekali
pada gagal jantung kanan. Kelemahan jantung kanan mula-mula
dikompensasi dengan dilatasi dinding jantung kanan, terutama dinding
ventrikel kanan. Adanya dilatasi dinding ventrikel akan menambah
keregangan miokardium sehingga akan memperkuat sistole yang berakibat
penambahan curah jantung. Adanya dilatasi dan juga sedikit hipertrofi
jantung akan menyebabkan pembesaran jantung atau disebut kardiomegali.
Upaya penambahan curah jantung karena kelemahan juga dilakukan
dengan menaikkan frekuensi jantung (takikardi). Pada akhirnya kelemahan
jantung kanan ini tidak dapat dikompensasi lagi, sehingga darah yang
masuk ke dalam paru akan berkurang dan ini tentunya akan merangsang
paru untuk bernapas lebih cepat guna mengimbangi kebutuhan oksigen,
akibatnya terjadi takipnea.
2. Gagal jantung sisi kiri (left-sided failure).
Jika darah dari atrium kiri untuk masuk ke ventrikel kiri pada waktu
diastole mengalami hambatan akan menyebabkan tekanan pada atrium
meninggi sehingga atrium kiri mengalami sedikit dilatasi. Makin lama
dilatasi ini semakin berat sehingga atrium kiri, disamping dilatasi juga
mengalami hipertrofi karena otot atrium ini terus menerus harus
mendorong darah yang lebih banyak dengan hambatan yang makin besar.
Oleh karena dinding atrium tipis, dalam waktu yang relatif singkat otot
atrium kiri tidak lagi dapat memenuhi kewajibannya untuk mengosongkan
atrium kiri. Pengosongan atrium kiri yang tidak sempurna ini ditambah
meningginya tekanan di dalamnya, menyebabkan aliran di dalamnya,
menyebabkan aliran darah dari paru ke dalam atrium kiri terganggu atau
terbendung. Akibatnya tekanan dalam vena pulmonalis meninggi, dan ini
juga akan menjalar ke dalam kapiler di dalam paru, ke dalam arteri
pulmonalis dan akhirnya ke dalam ventrikel kanan. Akhirnya atrium kiri
makin tidak mampu mengosongkan darah, bendungan dalam paru semakin
berat, terjadilah kongesti paru. Akibatnya, ruangan di dalam paru yang
disediakan untuk udara, berkurang dan terjadilah suatu gejala sesak napas
pada waktu bekerja (dyspnoe d’effort). Di sini, ventrikel kanan masih kuat
sehingga dorongan darah dari ventrikel kanan tetap besar, sedangkan
atrium kiri tetap tidak mampu menyalurkan darah, akibatnya bendungan
paru semakin berat sehingga akan terjadi sesak napas meskipun dalam
keadaan istirahat (orthopnea). Oleh karena yang lemah adalah atrium kiri
dan atau ventrikel kiri maka disebut gagal jantung kiri.
D. Pathway

Beban volume berlebihan, beban tekanan penurunan


overload, kontraktilitas
miokardium (AMI)
Volume
Luka obstruktif
darah

Penyempitan
hipertropi aorta

Cardiac output

Beban
jantung

CHF

Gagal pompa Gagal pompa


ventrikel kiri ventrikel kanan

Suplai darah Suplai O2 otak Backward Tekanan


Renal flow
jaringan failure diastol
RAA
Metabolisme LVED Tekanan
anaerob atrium kanan
Aldosteron
Tekanan Vena
Bendungan
Asidosis PulmonaLis
ADH vena sistemik
metabolik
Tekanan
Retensi Na dan Lien hepar
kapiler paru
Penimbunan H2O
asam laktat spen
Edem paru hepat
Kelebihan omeg
omega
fatigue volume cairan Reaksi basa alik
lik
vaskuler
Iritasi mukosa Mendesak
Intoleransi
paru diafragma
aktifitas
Reflek batuk Sesak
Resiko tinggi nafas
Gangguan
terhadap
pertukaran gas
kerusakan
integritas kulit
E. Klasifikasi
Ada empat parameter yang dapat digunakan untuk klasfikasi gagal jantung
yaitu (Wholey & Wong, 2010):
1. Fungsi miokardium.
2. Kapasitas fungsional; kemampuan untuk mempertahankan aktivitas
harian dan kapasitas latihan maksimal.
3. Outcome fungsional (mortalitas, kebutuhan untuk transplantasi).
4. Derajat aktivasi mekanisme kompensasi (contohnya respon
neurohormonal).
Klasifikasi Ross untuk gagal jantung sesuai NYHA, (Daphne T. Hsu,
2009):
Kelas I : Tidak ada pembatasan aktivitas fisik; aktivitas biasa tidak
menimbulkan kelelahan, dispnea, atau palpitasi.
Kelas II : Ada pembatasan ringan dari aktivitas fisik : aktivitas biasa
menimbulkan kelelahan, dispnea, palpitasi, atau angina.
Kelas III : Pembatasan pada aktivitas fisik : walaupun pasien nyaman saat
istirahat, sedikit melakukan aktivitas biasa saja dapat menimbulkan gejala.
Kelas IV : Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas. Gejala gagal jantung
timbul saat istirahat.

F. Manifestasi Klinik
1. Selama terjadi peningkatan kapasitas mekanisme kompensasi, anak akan
menunjukan tanda-tanda CHF karena penurunan kontraksi myocardial,
peningkatan preload, dan peningkatan afterload. Tanda dan gejala dari
CHF dapat dibagi dalam 3 kelompok, (Wholey & Wong, 2010 & Daphne
T. Hsu, 2009) : Gangguan fungsi otot jantung (Impaired Myocardial
Function), Tachycardia (tanda yang muncul paling awal, pada bayi HRnya
saat tidur >120 kali/menit sebagai dampak dari stimulasi saraf simpatis),
Berkeringat (yang tidak wajar), Penurunan produksi urine, Kelelahan,
Kelemahan, Kegelisahan, Anorexia, Pucat, ekstremitas dingin, Kelemahan
nadi perifer, Penurunan tekanan darah, Cardiomegaly
2. Pulmonary Congestion
Tachypnea (RR > 60 kali/menit; tachhypnea juga mungkin menimbulkan
hipoksemia karena oksigen tidak sampai ke alveoli untuk melakukan
pertukaran gas karena nafas yang cepat), Dyspnea, Retraksi (infant),
Intoleransi aktivitas, Orthopnea (diakibatkan oleh peningkatan aliran darah
dari ekstrimitas ke jantung dan paru-paru), Batuk (bengkak dan iritasi
mukosa mengakibatkan batuk persisten dan kering), Cyanosis (diakibatkan
karena gangguan pertukaran gas tetapi dapat diringankan dengan
administrasi oksigen), Wheezing ( diakibatkan karena terjadinya edema
pada mucosa bronchial akibat penyumbatan aliran nafas), Mendengkur,
Penurunan berat badan (anak dengan CHF mengalami peningkatan
metabolit rate dan membutuhkan tambahan kalori untuk tumbuh, kerja
jantung dan pernafasan membutuhkan semua energi anak sehingga dapat
mengakibatkan penurunan berat badan dan gangguan perkembangan).
3. Systemic Venous Congestion
Systemic Venous Congestion dari gagal jantung kanan (right-sided failure)
mengakibatkan peningkatan tekanan dan persediaan darah di sirkulasi
vena.
4. Hepatomegali (akibat dari adanya persediaan darah yang tertinggal di
sirkulasi porta dan transudasi cairan ke jaringan hepatic)
5. Edema peripheral, terutama periorbital (edema akibat retensi sodium dan
cairan mengakibatkan peningkatan tekanan sistemik. Tanda awalnya
adalah peningkatan berat badan. Namun selama cairan terus terakumulasi
hal tersebut akan mengakibatkan bengkak pada jaringan lunak seperti
daerah sacral, skrotum dan menghilangkan jaringan periorbital).
6. Asites (diakibatkan karena akumulasi cairan yang terlalu banyak)
G. Komplikasi
Menurut Patric Davay (2013), komplikasi gagal jantung kongestif adalah
sebagai berikut :
1. Efusi pleura
Di hasilkan dari peningkatan tekanan kapiler. Transudasi cairan terjadi
dari kapiler masuk ke dalam ruang pleura. Efusi pleura biasanya terjadi
pada lobus bawah darah.
2. Aritmia
Pasien dengan gagal jntung kongestif mempunyai risiko untuk mengalami
aritmia, biasanya disebabkan karena tachiaritmias ventrikuler yang
akhirnya menyebabkan kematian mendadak.
3. Trombus ventrikuler kiri
Pada gagal jntung kongestif akut dan kronik, pembesaran ventrikel kiri
dan penurunan kardiac output beradaptasi terhadap adanya pembentukan
thrombus pada ventrikel kiri. Ketika thrombus terbentuk, maka
mengurangi kontraktilitas dari ventrikel kiri, penurunan suplai oksigen
dan lebih jauh gangguan perfusi. Pembentukan emboli dari thrombus
dapat terjadi dan dapat disebabkan dari Cerebrivaskular accident (CVA).
4. Hepatomegali
Karena lobus hati mengalami kongestif dengan darah vena sehingga
menyebabkan perubahan fungsi hati. Kematian sel hati, terjadi fibrosis
dan akhirnya sirosis.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Electrocardiography (ECG) : didapatkan gambaran perpanjangan interval
QRS karena perubahan massa otot ventrikel yang akan meningkatkan
lama aktivitas ventrikel. Meningginya gelombang R karena peningkatan
massa otot jantung yang dilalui potensial listrik. Adanya massa otot yang
semakin menebal maka kesempatan repolarisasi akan diberikan pada
endocardium terlebih dahulu. Keadaan ini akan mengakibatkan gambaran
RS – T mengalami depresi dan gelombang T terbalik pada sadapan 5 dan
6. Pada sadapan 1 dan 2 tampak adanya gambaran gelombang S yang
sangat dalam dan didapatkan R yang meninggi melebihi 20 mm.
2. Sonogram (echocardiogram) dapat menunjukkan dimensi pembesaran
ventrikel, perubahan dalam fungsi/ struktur katup atau area penurunan
kontraktilitan ventrikuler.
3. Kateterisasi jantung : tekanan abnormal merupakan indikasi dan
membantu membedakan gagal jantung kanan maupun kiri dan stenosis
katup maupun insufisiensi. Juga mengkaji patensi arteri koroner. Zat
kontras yang disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran
abnormal dan ejeksi fraksi/ perubahan kontraktilitas.
4. X-ray Thoraks : ditemukan adanya pembesaran jantung yang disertai
adanya pembendungan cairan di paru karena hipertensi pulmonal. Tempat
adanya infiltrate precordial kedua paru dan efusi pleura.
5. Laboratorium secara umum dapat ditemukan penurunan Hb dan
hematokrit karena adanya hemodilusi. Jumlah leukosit meningkat, bila
sangat meninggi mungkin disebabkan oleh adanya infeksi endokarditis
yang akan memperberat jantung. Keadaan asam basa tergantung pada
keadaan metabolism, masukan kalori, keadaan paru dan fungsi ginjal.
Kadar natrium darah sedikit menurun walaupun kadar natrium total
bertambah. Berat jenis urine meningkat. Enzim hepar mungkin meningkat
dalam kongesti hepar. Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis
respiratorik ringan atau hipoksia dengan peningkatan pCO2. BUN dan
kreatinin menunjukkan penurunan perfusi ginjal. Albumin/ transferin
serum mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau
penurunan sintesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti.
Kecepatan sedimentasi menunjukkan adanya inflamasi akut.
6. Ultrasonography (USG) : didapatkan gambaran cairan bebas dalam
rongga abdomen dan gambaran pembesaran hepar dan lien. Pembesaran
hepar dan lien kadang sulit diperiksa secara manual saat disertai asites
(Doenges Marilyn E., dkk., 2009)
I. Penatalaksanaan
1. Terapi farmakologi
a. Digitalis glycosides, yang memperbaiki kontraktilitas.
b. Angiotensin-converting Enzyme (ACE) inhibitor, yang menurunkan
afterload pada jantung sehingga memudahkan kerja jantung untuk
memompa.
c. Diuretik Loop (bumetamid, furosemid) meningkatkan ekskresi natrium
dan cairan ginjal dengan tempat kerja pada ansa henle asenden, namun
efeknya bila diberikan secara oral dapat menghilangkan pada gagal
jantung berat karena absorbsi usus. Diuretik ini menyebabkan
hiperurisemia.
d. Diuretik Thiazide (bendroflumetiazid, klorotiazid, hidroklorotiazid,
mefrusid, metolazon). Menghambat reabsorbsi garam di tubulus distal
dan membantu reabsorbsi kalsium.
2. Terapi non farmakologi
a. Nutrition and Exercise in Pediatric Heart Failure
Support nutrisi paling tidak sangat penting sebagai terapi medis,
terlebih pada infant. Hal ini dikarenakan pada anak yang mengalami
penyakit jantung, pertumbuhannya akan terganggu.
Aktivitas irregular yang berlebihan pada anak penderita gagal jantung
maupun penyakit jantung pada umumnya, akan memperparah kondisi
jantungnya. Latihan fisik yang regular dan teratur, berdasarkan
penelitian, dapat meningkatkkan fungsi jantung pada anak penderita
penyakit jantung bawaan.
b. Comprehensive Hearth Failure Programs (Program Gagal Jantung
yang Komprehensif)
Intervensi medis dan operasi secara spesifik dapat meningkatkan
outcome positive terhadap gagal jantung. Tapi, bagaimana secara
keseluruhan perawatan medis diatur dan diberikan kepada pasien
dengan kondisi yang kompleks seperti gagal jantung kronis juga akan
mempengaruhi outcome dari gagal jantung.
Pada orang dewasa, menejemen penyakit gagal jantung adalah sebuah
kompenen kunci perawatan dan menurunkan tingkat hospitalisasi,
membimbing untuk meningkatkan daya juang.
Program ini sangat beragam, meliputi pendidikan pada pasien dan
keluarga secara ekstensive, pengaturan pola makan, olah fisik dan
konseling rehabilitasi rokok, pelaksanaan program terencana dan
review pengobatan, follow up secara intensive oleh perawat educator
jantung yang telah terlatih, dan home visit. Pada beberapa pasien anak,
perawatan komprehensif ini dapat meningkatkan efek menguntungkan
pada outcome penyakit. (Daphne T. Hsu, 2009 ).
c. Terapi Bedah
Operasi dan Terapi Alat Pacemaker dan Terapi Defibrillator Implant
Ini direkomendasikan untuk anak dengan gagal jantung dan penyakit
jantung bawaan. Indikasi Pacemaker yaitu pada anak dengan gagal
jantung karena penyakit jantung bawaan termasuk bradikardi
simptomatik, tidak terkontrolnya kesinkronan atrioventikular atau
intraatrial re-entrant tachyarrhytmias. Defibrilator jantung implant
direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan takhikardi
ventrilkel yang dapat didokumentasikan atau pingsan, kebanyakan
setelah memperbaiki TPF, prosedur atrial switch, atau prosedur
Fontan, (Daphne T. Hsu, 2009 ).
d. Transplantasi Jantung
Ini merupakan pilihan terakhir pada gagal jantung stase terakhir pada
anak yang tidak bisa disembuhkan dengan operasi dan terapi medis.
Presentase anak yang bisa bertahan hidup dalam 1 tahun pertama
setelah transplatasi jantung sebanyak 85%. Secara keseluruhan, yang
dapat bertahan hidup hingga 20 tahun setelah transplatasi sebanyak
40%, (Daphne T. Hsu, 2009 ).
J. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal pada proses asuhan keperawatan dimana
pengkajian mencakup data-data pasien sehingga dapat mengidentifikasi,
menganalisa masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan fisik, mental,
sosial dan lingkungan (Doenges, 2009).
1. Aktivitas/istirahat
Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia, nyeri
dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat atau aktifitas.
Tanda : Gelisah, perubahan status mental misalnya letargi, tanda-tanda
vital berubah pada aktivitas.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya,
penyakit jantung, bedah jantung, endokarditis, anemia, syok septik,
bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen.
Tanda : TD : mungkin rendah (gagal pemompaan), tekanan nadi :
mungkin sempit, menunjukan penurunan volume sekuncup, irama jantung
: disritmia, misal fibrilasi atrium, kontraksi ventrikel prematur/takikardia,
blok jantung, frekuensi jantung : takikardia, nadi apikal : PMI mungkin
menyebar dan merubah posisi secara inferior ke kiri, bunyi jantung : S3
(gallop) adalah diagnostik, S4 dapat terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah,
murmur sistolik dan diastolik dapat menandakan adanya stenosis katup
atau insufisiensi, nadi : nadi perifer berkurang, perubahan dalam kekuatan
denyutan dapat terjadi nadi sentral mungkin kuat, misal nadi jugularis,
karotis, abdominal terlihat, warna : kebiruan, pucat, atau sianotik,
punggung kuku pucat atau sianotik dengan pengisian kapiler lambat, hepar
: pembesaran/dapat teraba, refleks hepatojugularis, bunyi napas : krekels,
ronkhi, edema mungkin dependen, umum atau pitting khususnya pada
ekstremitas.

3. Integritas Ego
Gejala : Ansietas, khawatir dan takut, stres yang berhubungan dengan
penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis).
Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, misalnya : ansietas, marah,
ketakutan dan mudah tersinggung.
4. Eliminasi
Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari
(nokturia), diare/konstipasi.
Tanda : Abdomen keras, asites.
5. Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambahan berat badan
signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa
sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah diproses, lemak, gula dan
kafein, penggunaan diuretik.
Tanda : Penambahan berat badan cepat, distensi abdomen (asites) serta
edema (umum, dependen, tekanan dan pitting).
6. Hygiene
Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas perawatan diri.
Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7. Neurosensori
Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
Tanda : Letargi, kusut pikir, disorientasi, perubahan perilaku, mudah
tersinggung.
8. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas,
sakit pada otot.
Tanda : Tidak tenang, gelisah, fokus menyempit (menarik diri), perilaku
melindungi diri.

9. Pernapasan
Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan bantal,
batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis,
penggunaan bantuan pernapasan, misal oksigen.
Tanda: Pernapasan : takipnea, napas dangkal, penggunaan otot aksesori
pernapasan, batuk : kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus
menerus dengan/tanpa pembentukan sputum, sputum : mungkin bersemu
darah, merah muda/berbuih (edema pulmonal), bunyi napas : mungkin
tidak terdengar, fungsi mental : mungkin menurun, kegelisahan, letargi,
warna kulit : pucat atau sianosis.
10. Keamanan
Gejala : Perubahan dalam fungsi mental, kehilangan kekuatan/tonus otot,
kulit lecet.
Tanda : Kehilangan keseimbangan.
11. Interaksi sosial
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa
dilakukan.
Tanda : Tidak mau bergaul, mengurung diri di rumah.
12. Pembelajaran/pengajaran
Gejala : Menggunakan/lupa menggunakan obat-obat jantung, misalnya:
penyekat saluran kalsium.
Tanda: Bukti tentang ketidakberhasilan untuk meningkatkan.
K. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan tahap kedua dari proses keperawatan yang
mana didukung oleh penyebab serta tanda-tanda dan gejalanya. Diagnosa
keperawatan yang muncul pada klien dengan CHF menurut Doenges (2009)
yaitu :
1. Aktivitas intoleran berhubungan dengan ketidakseimbangan antar suplai
oksigen, kelemahan umum, tirah baring lama/immobilisasi.
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH
dan retensi natrium/air.
3. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membran kapiler-alveolus
4. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan.
L. Intervensi Keperawatan
Merupakan tahap ketiga proses keperawatan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan klien berdasarkan diagnosa keperawatan yaitu prioritas masalah,
menetapkan tujuan, menetapkan kriteria hasil, mengidentifikasi tindakan
keperawatan yang tetap untuk mencapai tujuan.
1. Aktivitas intoleran berhubungan dengan ketidakseimbangan antar suplai
oksigen, kelemahan umum, tirah baring lama/immobilisasi.
a. Tujuan : Klien dapat melakukan aktifitas yang di inginkan
b. Kriteria hasil : Berpartisipasi pada aktivitas yang di inginkan,
memenuhi perawatan diri sendiri, mencapai peningkatan toleransi
aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya kelemahan
dan kelelahan.
c. Intervensi :
1) Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya
bila klien menggunakan vasodilator, diuretik dan penyekat beta.
Rasional : hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena
efek obat (vasodilasi), perpindahan cairan (diuretik) atau pengaruh
fungsi jantung.
2) Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi,
disritmia, dispnea berkeringat dan pucat.
Rasional : penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk
meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas dapat
menyebabkan peningkatan segera frekuensi jantung dan kebutuhan
oksigen juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.
3) Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.
Rasional : dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung
daripada kelebihan aktivitas.
4) Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas (kolaborasi)
Rasional : peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja
jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan
fungsi jantung dibawah stress, bila fungsi jantung tidak dapat
membaik kembali.
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH
dan retensi natrium/air.
a. Tujuan : Tidak terjadi kelebihan volume cairan
b. Kriteria hasil : Klien akan mendemonstrasikan volume cairan stabil
dengan keseimbangan masukan dan pengeluaran, bunyi nafas
bersih/jelas, tanda vital dalam rentang yang dapat diterima, berat
badan stabil dan tidak ada edema, menyatakan pemahaman tentang
pembatasan cairan individual.
c. Intervensi :
1) Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat hari
dimana diuresis terjadi.
Rasional : pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena
penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis
sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah
baring.
2) Pantau/hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selama
24 jam.
Rasional: terapi diuretik dapat disebabkan oleh kehilangan cairan
tiba-tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/asites masih
ada.
3) Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler
selama fase akut.
Rasional : posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan
menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
4) Pantau TD dan CVP (bila ada).
Rasional : hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan
kelebihan cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan
kongesti paru, gagal jantung.
5) Kaji bising usus, catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen
dan konstipasi.
Rasional : kongesti viseral (terjadi pada GJK lanjut) dapat
mengganggu fungsi gaster/intestinal.
6) Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi) : diuretik, tiazid.
Rasional : diuretik meningkatkan laju aliran urine dan dapat
menghambat reabsorpsi natrium/klorida pada tubulus ginjal.
Tiazid meningkatkan diuresis tanpa kehilangan kalium
berlebihan.
7) Konsultasi dengan ahli diet.
Rasional : perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang
memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.
3. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membran kapiler-alveolus.
a. Tujuan : Tidak terjadi gangguan pertukaran gas
b. Kriteria hasil : Klien akan mendemonstrasikan ventilasi dan
oksigenisasi adekuat pada jaringan ditunjukkan oleh oksimetri dalam
rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan, berpartisipasi
dalam program pengobatan dalam batas kemampuan/situasi.
c. Intervensi :
1) Pantau bunyi nafas, catat krekles.
Rasional: menyatakan adanya kongesti paru/pengumpulan secret
menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lanjut.
2) Ajarkan/anjurkan klien batuk efektif, nafas dalam.
Rasional: membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran
oksigen.
3) Dorong perubahan posisi.
Rasional: membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.
4) Kolaborasi dalam Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri.
Rasional: hipoksemia dapat terjadi berat selama oedem paru.
5) Berikan obat/oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional : meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar, yang dapat
memperbaiki/ menurunkan hipoksemia jaringan.
4. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan.
a. Tujuan : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
b. Kriteria hasil : Klien akan mempertahankan integritas kulit,
mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit.
c. Intervensi :
1) Pantau kulit, catat penonjolan tulang, adanya edema, area
sirkulasinya terganggu/pigmentasi atau kegemukan/kurus.
Rasional : kulit beresiko karena gangguan sirkulasi perifer,
imobilisasi fisik dan gangguan status nutrisi.
2) Pijat area kemerahan atau yang memutih.
Rasional: meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia
jaringan.
3) Ubah posisi sering ditempat tidur/kursi, bantu latihan rentang gerak
pasif/aktif.
Rasional: memperbaiki sirkulasi waktu satu area yang mengganggu
aliran darah.
4) Berikan perawatan kulit, minimalkan dengan kelembaban/ekskresi.
Rasional: terlalu kering atau lembab merusak kulit/mempercepat
kerusakan.
5) Hindari obat intramuskuler.
Rasional : edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat
absorbsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit/terjadinya
infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marylinn E. et al. (2009). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Alih bahasa I
Made Kariasa. Jakarta. EGC.

Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai