Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kematian jantung mendadak (SCD) adalah kematian akibat kehilangan fungsi


jantung. Korban mungkin atau mungkin tidak memiliki didiagnosa penyakit jantung.
Waktu dan cara kematian yang tak terduga. Hal ini terjadi dalam beberapa menit setelah
gejala muncul. Alasan yang mendasari paling umum untuk pasien mati mendadak dari
serangan jantung adalah penyakit jantung koroner (buildups lemak dalam arteri yang
memasok darah ke otot jantung). Sehingga pembuluh darah sempit, otot jantung bisa
berhenti karena kekurangan suplai darah.

Dari 90 % korban dewasa sudden cardiac death (SCD), dua atau lebih dari korban
disebabkan karena arteri koroner utama menyempit oleh lemak. Sedangkan dua-pertiga
dari korban ditemukan bekas luka dari serangan jantung sebelumnya. Ketika kematian
mendadak terjadi pada orang dewasa muda, kelainan jantung lainnya merupakan
penyebab yang lebih mungkin. Adrenalin dilepaskan selama aktivitas fisik atau olahraga
yang sering menjadi pemicu munculnya SCD. Dalam kondisi tertentu, berbagai obat
jantung dan obat lainnya, serta penyalahgunaan obat terlarang dapat menyebabkan irama
jantung abnormal yang juga dapat menyebabkan kematian SDC.

Serangan tiba-tiba jantung (SCA) adalah suatu kondisi dimana jantung tiba-tiba
dan tak terduga berhenti berdetak. Ketika ini terjadi, darah berhenti mengalir ke otak dan
organ vital lainnya. SCA biasanya menyebabkan kematian jika tidak dirawat dalam
beberapa menit.

SCA tidak sama dengan serangan jantung . Serangan jantung terjadi ketika darah
mengalir ke bagian dari otot jantung tersumbat. Selama serangan jantung, jantung
biasanya tidak tiba-tiba berhenti berdetak. SCA, bagaimanapun mungkin dapat terjadi
setelah atau selama pemulihan dari serangan jantung.

Penangkapan mendadak Jantung (SCA) adalah penyebab utama kematian di


Amerika Serikat, mengklaim sebuah 325.000 kematian setiap tahun. SCA membunuh
1.000 orang per hari atau satu orang setiap dua menit. Dan paling sering terjadi pada

1
pasien dengan penyakit jantung, terutama mereka yang telah gagal jantung
kongestif.Sebanyak 75 persen orang yang meninggal karena tanda-tanda menunjukkan
SCA serangan jantung sebelumnya. Delapan puluh persen memiliki tanda-tanda penyakit
arteri koroner. SCAs dicatat 10.460 (75,4 persen) dari seluruh 13.873 kematian penyakit
jantung pada orang berusia 35-44 tahun, dan proporsi penangkapan jantung yang terjadi
out-of-rumah sakit meningkat dengan usia, dari 5,8 persen pada orang usia 0-4 tahun
61,0 persen pada orang usia lebih dari 85 years.

Orang yang memiliki penyakit jantung akan meningkatkan risiko untuk


SCA. Namun, kebanyakan SCA terjadi pada orang yang tampak sehat dan tidak memiliki
penyakit jantung atau faktor risiko lain untuk SCA. Seorang yang memiliki riwayat
keluarga dengan penyakit jantung atau ada anggota keluarga yang pernah meninggal
mendadak perlu mewaspadai terjadinya cardiac arrest. Upaya pencegahan lain adalah
dengan menjalankan gaya hidup sehat dan rutin berolahraga.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana konsep dasar dari henti jantung ?

2. Bagaiman penaganan yang tepat dari henti jantung ?

3. Bagaimana asuhan keperawatn pada henti jantung ?

1.3 Tujuan

1. Untuk menetahui bagaiman konsep dasar drai henti jantung.

2. Untuk mengetahui penanganan cepat dari henti jantung.

3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada henti jantung.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Henti jantung Suatu kegagalan jantung dalam memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan tubuh (Purnawan Junadi, 1982).

Kegagalan jantung kongestif adalah suatu kegagalan pemompaan (di mana cardiac
output tidak mencukupi kebutuhan metabolik tubuh), hal ini mungkin terjadi sebagai
akibat akhir dari gangguan jantung, pembuluh darah atau kapasitas oksigen yang terbawa
dalam darah yang mengakibatkan jantung tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen
pada erbagai organ (Ni Luh Gede Yasmin, 1993).

Henti jantung adalah suatu keadaan dimana jantung berhenti sehingga tidak dapat
memompakan darah keseluruh tubuh. Ini disebabkan oleh beberapa penyakit jantung
yang diderita pasien.

Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau proses
kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala. Sekitar 93
persen SCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian terjadi akibat timbulnya
gangguan irama jantung yang menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Jantung tiba-tiba
mati (juga disebut Sudden Cardiac Arrest) adalah kematian yang tiba-tiba akibat
hilangnya fungsi hati (perhentian jantung). Korban mungkin atau tidak ada diagnosis
penyakit jantung. Waktu dan cara kematian yang tidak terduga. Itu terjadi beberapa
menit setelah gejala muncul. Yang paling umum yang alasan pasien mati mendadak dari
perhentian jantung adalah penyakit jantung koroner (fatty buildups dalam arteries bahwa
pasokan darah ke otot jantung).

Mati jantung mendadak harus didefinisikan dengan hati-hati. Dalam konteks


waktu, kata “mendadak” batasan dahulu adalah kematian dalam waktu 24 jam setelah
timbulnya kejadian klinis yang menyebabkan henti jantung (cardiac arrest) yang fatal;
batas waktu ini untuk kepentingan klinis dan epidemiologic dipersingkat menjadi 1 jam
atau kurang yang terdapat di antara saat timbulnya keadaansakit terminal dan kematian.

3
2.2 Etiologi

Faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan terjadinya henti jantung dapat berupa :

1. Usia

Insiden henti jantung dapat meningkat seiring dengan betambahnya usia bahkan dengan
pasien yang bebas dari serangan jantung tiba-tiba (SCA: sudden cardiac arrest).

2. Jenis kelamin

Tampaknya pria mempunyai resiko lebih tinggi terkena serangan jantung tiba-tiba
(SCA) dibandingkan dengan wanita yang lebik beresiko mengalami henti jantung atau
CAD yang mendasari.

3. Merokok

Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan insiden SCD (ada
efek aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas miokardium ventrikel). Tetapi
menurut pengertian Framingham, peningkatan resiko akibat merokok hanya terlihat
pada pria. Yang menarik, peningkatan resiko ini menurun pada pasien yang berhenti
merokok. Merokok juga meningkatkan insiden CAD yang tampil pada kebanyakan
pasien yang menderita henti jantung.

4. Penyakit jantung yang mendasari :

a. Penyakit arteri koronaria

Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien CAD mempunyai


frekuensi SCD Sembilan kali pasien dengan usia yang sama tanpa CAD yang
jelas.The Multicenter Post Infarction Research Group mengevaluasi beberapa
variable pada pasien yang menderita MI. Kelompok ini berkesimpulan bahwa
pasien pasca MI dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang kurang dari 40%, 10 atau
lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per jam, sebelum MI dan ronki dalam
masa periinfark mempunyai peningkatan mortalitas (1-2 tahun) dibandingkan
dengan pasien tanpa masalah ini. Jelas pasien CAD (terutama yang menderita MI)
dengan resiko SCD yang lebih besar.

4
b. Sinroma prolaps katup mitral (MVPS)

Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan tingginya


insiden aritmia ventrikel yang dapat di induksi, terutama pada pasien dengan
riwayat sinkop atau prasinkop. Terapi anti aritmia pada pasien ini biasanya akan
mengembalikan gejalanya.

c. Hipertrofi septum yang asimetik (ASH)

Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan ventrikel yang
bisa menyebabkan kematian listrik atau hemodinamik (peningkatan obstruksi
aliran keluar). Riwayat VT atau bahkan denyut kelompok ventrikel akan
meningkatkan risiko SCD.

d. Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)

Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu jalur tambahan
atau AF dengan respon ventrikel sangat cepat (juga karena hantaran jalur tambahan
antegrad) menimbulkan frekuensi ventrikel yang cepat, yang dapat menyebabkan
VF dan bahkan kematian mendadak.

e.Sindrom Q-T yang memanjang

Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik mempunyai


peningktan resiko SCD. Kematian sering timbul selama masa kanak-kanak.
Mekanisme ini bisa berhubungan dengan kelainan dalam pernafasan simpatis
jantung yang memprodisposisi ke VF.

5. Faktor-faktor lainya :

a. Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic merupakan


predisposisi SCD.
b. Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar kolesterol serum dan
SCD yang telah ditemukan.
c. Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada wanita ditemukan
peningkatan insiden SCD yang menyertai intoleransi glukosa.
d. Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas dalam
mengurangi insiden SCD.

5
e. Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan resiko SCD pada
pria, bukan wanita.

6. Riwayat aritmia

a. Aritmia supraventrikel

Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia supraventrikel disertai
dengan peningkatan insiden SCD. Pasien CAD yang kritis juga beresiko, jika aritmia
supraventrikel menimbulkan iskemia miokardium. Tampak bahwa iskemia dapat
menyebabkan tidak stabilnya listrik, yang mengubah sifat elektrofisiologi jantung
yang menyebabkan VT terus-menerus atau VF. Tetapi sering episode iskemik ini
asimtomatik.

b. Aritmia ventrikel

Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak terus-menerus


menpunyai peningkatan insiden SCD dibandingkan pasien dengan VPC tersendiri.
Kombinasi VT yang tidak terus-menerus dan disfungsi ventrikel kiri disertai tingginya
resiko SCD. Pasien CAD dan VT spontan mempunyai ambang VT yang lebih rendah
dibandingkan pasien CAD dan tanpa riwayat VT. Sehingga pasien CAD dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan VF atau VT terus-menerus yang spontan
mempunyai insiden SCD tertinggi.

Faktor-faktor pencetus terjadinya henti jantung dapat berupa :

1. Aktivitas

Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis 59 pasien yang
meninggal mendadak memperlihatkan bahwa setengah dari kejadian ini timbul selama
atau segera setelah gerak badan. Tampak bahwa gerak badan bisa mencetuskan SCD,
terutama jika aktivitas berlebih dan selama tidur SCD jarang terjadi.

2. Iskemik

Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh (iskemia dalam
distribusi arteri koronaria noninfark) mempunyai insiden aritmia ventrikel yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien iskemia yang terbatas pada zona infark. Daerah
iskemia yang aktif disertai dengan tidak stabilnya listrik dan pasien iskemia pada

6
suatu jarak mempunyai kemungkinan lebih banyak daerah beresiko dibandingkan
pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.

3. Spasme arteri koronaria

Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat menimbulkan


brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau AF. Semua aritmia dapat menyokong
henti jantung. Tampak bahwa lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang
menyertai spasme arteri koronaria, lebih besar resiko SCD. Tetapi insiden SDC pada
pasien spasme arteri koronaria berhubungn dengan derajat CAD obsruktif yang tetap.
Yaitu pasien CAD multipembuluh darah yang kritis ditambah spasme arteri koronaria
lebih mungkin mengalami henti jantung dibandingkan pasien spase arteri koronaria
tanpa obstuksi koronaria yang tetap.

2.3 Patofisiologi

Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun,


umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti
jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran
oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi
akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan
oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas
normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5
menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac death).

Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi yang


mendasari terjadinya cardiac arrest :

1. Penyakit jantung koroner

Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang umumnya dikenal
sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu penyebab dari cardiac
arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-
otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat sebuah materia(plak) yang
terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk
sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai
oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat terjadi infark.
Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi jaringan parut.

7
Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari jantung,
meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.

2. Stess fisik

Sterss fisik tertentu dapat menyebabakan sistem konduksi jantung gagal berfungsi,
diantaranya :

a. Pendarahan yang banyak akibat luka trauma atau pendarahan dalam.

b. Sengatan listrik

c. Kekurangan oksigen akibat tersendak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan


asma yang berat.

d. Kadar magnesium dan kalium yang redah

e. Latihan yang berlebihan, adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang
mengalami gangguan jantung

f. Stress fisik seperti tersendak, penjeratan dapat menyebabkan vegal refleks

3. Kelainan bawaan

Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.


Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga ini
mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest. Beberapa orang lahir
dengan defek di jantung mereka yang dapat mengganggu bentuk(struktur) jantung dan
dapat meningkatkan kemungkinan terkena SCA.

4. Perubahan struktur jantung

Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat
menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya dapat
mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran jantung
akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung kronik. Infeksi dari jantung juga
dapat menyebabkan perubahan struktur dari jantung.

5. Obat-obatan

Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker, kokain,


digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan adanya

8
materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh dari
keluarga atau teman pasien, memeriksa medical record untuk memastikan tidak
adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada laboratorium
toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.

6. Temponade jantung

Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung sehingga tidak
mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga mengakibatkan
kematian.

7. Tension pnumothoraks

Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura. Udara akan
terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan dalam paru. Hal
ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung
akan terdesak dan pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan,
sehingga membatasi aliran balik ke jantung.

2.4 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis cradiac arrets :

1. Organ-organ tubuh mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen,
ternasuk otak.

2. Hyfoxcia serebral atau ketidakadaan oksigen pada otak, menyebabkan kehilangan


kesadaran (collaps)

3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit,
selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.

4. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).

5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat
terasa pada arteri.

6. Tidak ada denyut jantung.

9
2.5 Pemeriksaan diagnostik

1. Elektrokardiogram

Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika dipasang
EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh lainnya missal
tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat
menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak
melakukan impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah
terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan,
yang meningkatkan risiko kematian mendadak.

. Adapun penampakan dalam rekam jantung yaitu sebagai berikut:

Gambar 1. EKG ritme sinus normal

Terdapat tiga fase perubahan selama terjadi proses henti jantung yaitu:
1. Fase elektrik (0-5 menit) --> fase 5 menit awal saat mulai terjadi impuls elektrik tidak
normal dan menyebabkan aritmia dari kontraksi otot jantung.
2. Fase sirkulasi (5-10 menit) --> fase dimana mulai terlihat akibat dari ketidakcukupan
jantung dalam memenuhi kebutuhan darah seluruh tubuh. Dengan kata lain terjadi
hipoksia jaringan.
3. Fase metabolic (> 10 menit) --> ini merupakan fase yang kurang difahami. Namun
pada fase ini mulai diproduksinya toksin akibat sel-sel yang mengalami hipoksia dan
toksis tersebut beredar mengikuti aliran darah (EMS, 2008).
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Beberapa
sebab dapat menyebabkan ritme denyut jantung menjadi tidak normal, dan keadaan ini
sering disebut aritmia. Selama aritmia, jantung dapat berdenyut terlalu cepat atau terlalu

10
lambat atau berhenti berdenyut. Empat macam ritme yang dapat menyebabkan pulseless
cardiac arrest yaitu Ventricular Fibrillation (VF), Rapid Ventricular
Tachycardia (VT), Pulseless Electrical Activity (PEA) dan asistol (American Heart
Association (AHA), 2005).
Kematian akibat henti jantung paling banyak disebabkan oleh ventricular fibrilasi
dimana terjadi pola eksitasi quasi periodik pada ventrikel dan menyebabkan jantung
kehilangan kemampuan untuk memompa darah secara adekuat. Volume sekuncup
jantung (cardiac output) akan mengalami penurunan sehingga tidak bisa mencukupi
kebutuhan sistemik tubuh, otak dan organ vital lain termasuk miokardium jantung
(Mariil dan Kazii, 2008).

Gambar 2. EKG ventricular fibrilasi

Ventrikular takikardia (VT) adalah takidisritmia yang disebabkan oleh kontraksi


ventrikel simana jantung berdenyut > 120 denyut/menit dengan GRS kompleks yang
memanjang. VT dapat monomorfik (ditemukan QRS kompleks tunggal) atau polimorfik
(ritme irregular dengan QRS yang bervariasi baik amplitudo dan bentuknya) (deSouza
dan Wart, 2009).

11
Gambar 3. EKG ventricular tachycardia

Adapun asistol dapat juga menyebabkan SCA. Asistol adalah keadaan dimana tidak
terdapatnya depolarisasi ventrikel sehingga jantung tidak memiliki cardiac output.
Asistol dapat dibagi menjadi 2 yaitu asistol primer (ketika sistem elektrik jantung gagal
untuk mendepolarisasi ventrikel) dan asistol sekunder (ketika sistem elektrik jantung
gagal untuk mendepolarisasi seluruh bagian jantung). Asistol primer dapat disebabkan
iskemia atau degenerasi (sklerosis) dari nodus sinoatrial (Nodus SA) atau sistem
konduksi atrioventrikular (AV system) (Caggiano, 2009).

Gambar 3. EKG asystole

Sedangkan ritme lain yang dapat menyebabkan SCA adalah Pulseless Electrical
Activity(PEA). Kondisi jantung yang mengalami ritme disritmia heterogen tanpa diikuti
oleh denyut nadi yang terdeteksi. Ritme bradiasistol adalah ritme lambat, dimana pada
kondisi tersebut dapat ditemukan kompleks yang meluas atau menyempit, dengan atau
tanpa nadi juga dikatakan sebagai asistol (Caggiano, 2009).

12
2. Tes darah

a. Pemeriksaan enzim jantung

Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung


terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac
arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting
apakah benar-benar terjadi serangan jantung.

b. Elektrolit jantung

Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang


ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah
mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls
listrik. Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan
sudden cardiac arrest.

c. Test obat

Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk


menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan
obat-obatan terlarang.

d. Tesr hormon

Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai


pemicu cardiac arrest.

3. Imaging test

a. Pemeriksaan foto thorax

Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah.
Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.

b. Pemeriksaan nuklir

Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi


masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti

13
thallium disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat
mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan paru-paru.

c. Ekokardiogram

Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran


jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah
jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau
pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.

4. Electrical system (electrophysiological) testing adn mapping

Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda belum
ditemukan. Dengan jenis tes ini, dokter mungkin mencoba untuk menyebabkan
aritmia, sementara dokter memonitor jantung Anda. Tes ini dapat membantu
menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian kateter dihubungkan
denga electrode yang menjulur melalui pembuluh darah ke berbagai tempat di area
jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik
melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk
merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin memicu -
atau menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan dokter untuk mengamati
lokasi aritmia.

5. Ejection fraction testing

Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest
adalah seberapa baik jantung Anda mampu memompa darah. Dokter dapat
menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi
ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari
ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70
persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac
arrest. Dokter Anda dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti
dengan ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda,
pengobatan nuklir scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT)
scan jantung.

14
6. Coronary chaterization (angiogram)

Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi


penyempitan atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh
darah yang tersumbat merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama
prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung
panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri
di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-
ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara
kateter diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan
angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.

2.6 Penatalaksanaan

1. Respon awal

Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar


disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada
tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat
menentukan dengan segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat
membawa kematian. Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang singkat
setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah stridor yang berat
dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing atau makanan. Jika
keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat mengeluarkan benda yang
menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara kuat dengan tangan
terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan sepertiga
bawah kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi
tindakan ini juga dikhawatirkan dapat mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi
ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan untuk menggunakan pukulan prekordial hanya
pada pasien yang dimonitor; rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga
selama respons inisial adalah membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing
yang di dalam mulut dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan jika terdapat
indikasi mencurigakan adanya benda asing yang terjepit di daerah orofaring. Jika
terdapat kecurigaan akan adanya henti respirasi (respiratory arrest) yang mendahului
serangan henti jantung, pukulan prekordial kedua dapat dilakukan setelah saluran napas
dibersihkan.

15
2. Tindakan dukungan kehidupan dasar (bassic life support)

Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner


(RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan kehidupan dasar
yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan intervensi yang
definitive dapat dilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan RKP terdiri atas tindakan
untuk menghasilkan serta mempertahankan fungsi ventilasi paru dan tindakan kompresi
dada. Respirasi mulut ke mulut dapat dilakukan bila tidak tersedia perlengkapan
penyelamat yang khusus misalnya pipa napas orofaring yang terbuat dari plastic,
obturator esophagus, ambu bag dengan masker. Teknik ventilasi konvensional selama
RKP memerlukan pengembangan paru yang dilakukan dengan menghembuskan udara
pernapasan sekali setiap 5 detik, kalau terdapat dua orang yang melakukan resusitasi
dan dua kali secara berturut, setiap 15 detik kalau yang mengerjakan ventilasi maupun
kompresi dinding dada hanya satu orang.

Kompresi dada dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kompresi jantung


memungkinkan jantung untuk mempertahankan fungsi pemompaan dengan pengisian
serta pengosongan rongga-rongganya secara berurutan sementara katup-katup jantung
yang kompeten mempertahankan aliran darah ke depan. Telapak yang satu diletakkan
pada sternum bagian bawah, sementara telapak tangan yang lainnya berada pada
permukaan dorsum tangan yang di sebelah bawah. Sternum kemudian ditekan dengan
kedua lengan penolong tetap berada dalam keadaan lurus. Penekanan ini dilakukan
dengan kecepatan kurang lebih 80 kali per menit. Penekanan dilakukan dengan
kekuatan yang cukup untuk menghasilkan depresi sternum sebesar 3 hingga 5 cm, dan
relaksasi dilakukan secara tiba-tiba. Teknik RKP konvensional ini sekarang sedang
dibandingkan dengan teknik baru yang didasarkan pada ventilasi dan kompresi
simultan. Sementara aliran arteri karotis yang dapat diukur dapat dicapai dengan RKP
konvensional, data eksperimental dan pemikiran teoritis mendukung bahwa aliran dapat
dioptimalkan melaui kerja pompa yang dihasilkan oleh perubahan tekanan pada seluruh
rongga torasikus, seperti yang dicapai dengan kompresi dan ventilasi simultan. Namun,
tidak jelas apakah teknik ini menyebabkan impedansi aliran darah koroner dan apakah
peningkatan aliran karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen pada perfusi
serebral.

Langkah-langkah penting dalam resusitasi kardiopulmoner :

16
a. Pastikan bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka.
b. Mulailah resusitasi respirasi dengan segera.
c. Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang jakun (Adam’s
apple) atau kartilago tiroid.
d. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung. Lakukan
penekanan sebanyak 60 kali per menit dengan satu kali penghembusan
udara untuk mengembangkan paru setelah setiap 5 kali penekanan dada.
(Isselbacher: 228).

3. Tindakan dukungan kehidupan lantuj (advanve life suppport)

Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat,


mengendalikan aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika (tekanan darah
serta curah jantung) dan memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang dilakukan untuk
mencapai tujuan ini mencakup:

a. Tindakan intibasi dengan endotracheal tube

b. Defibrilasi/ kardioversi dan atau pemasangan pacu jantung

c. Pemasangan infus

Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan bila O2 tidak tersedia dengan segera,
dapat memulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis dengan segera. Kecepatan
melakukan defibrilasi atau kardioversi merupakan elemen penting untuk resusitasi yang
berhasil. Kalau mungkin, tindakan defibrilasi harus segera dilakukan sebelum intubasi
dan pemasangna selang infuse. Resusitasi kardiopulmoner harus dikerjakan sementara
alat defibrillator diisi muatan arusnya. Segera setelah diagnosis takikardia atau fibrilasi
ventrikel ditentukan, kejutan listrik sebesar 200-J harus diberikan. Kejutan tambahan
dengan kekuatan yang lebih tinggi hingga maksimal 360-J, dapat dicoba bila kejutan
pertama tidak berhasil menghilangkan takikardia atau fibrilasi ventrikel. Jika pasien
masih belum sadar sepenuhnya setelah dilakukan reversi, atau bila 2 atau 3 kali
percobaan tidak membawa hasil, maka tindakan intubasi segera, ventilasi dan analisis
gas darah arterial harus segera dilakukan. Pemberian larutan NaHCO3 intravena yang
sebelumnya diberikan dalam jumlah besar kini tidak dianggap lagi sebagai keharusan
yang rutin dan bisa berbahaya bila diberikan dalam jumlah yang lebih besar. Namun,
pasien yang tetap mengalami asidosis setalah defibrilasi dan intubasi yang berhasil

17
harus diberikan 1 mmol/kg NaHCO3 pada awalnya dan tambahan 50% dosis diulangi
setiap 10-15 menit.

Setelah upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah upaya ini


berhasil atau tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan intravena dan pemberian
ini diulang dalam waktu 2 menit pada pasien-pasien yang memperlihatkan aritmia
ventrikel yang persisten atau tetap menunjukkan fibrilasi ventrikel. Penyuntikan
lidokain ini diikuti oleh infuse lidokain dengan takaran 1-4 mg/menit. Jika lidokain
tidak berhasil mengendalikan keadaan tersebut, pemberian intravena prokainamid
(dosis awal 100mg/5 menit hingga tercapai dosis total 500-800mg, diikuti dengan
pemberian lewat infuse yang kontinyu dengan dosis 2-5mg/menit). Atau bretilium
tosilat (dosis awal 5-10mg/kg dalam waktu 5 menit; dosis pemeliharaan (maintanance)
0,5-2 mg/menit), dapat dicoba. Untuk mengatasi fibrilasi ventrikel yang per sisten,
preparat epinefrin (0,5-1,0 mg) dapat diberikan intravena setiap 5 menit sekali selama
resusitasi dengan upaya defibrilasi pada saat-saat diantara setiap pemberian preparat
tersebut. Obat tersebut dapat diberikan secara intrakardial jika cara pemberian intravena
tidak dapat dilakukan. Pemberian kalsium glukonat intravena tidak lagi dianggap aman
atau perlu untuk pemakaian yang rutin. Obat ini yang hanya digunakan pada pasien
dengan hiperkalemia akut dianggap sebagai pencetus VF resisten, pada keadaan adanya
hipokalsemia yang diketahui, atau pada pasien yang menerima dosis toksik antagonis
hemat kalsium.

Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol ditangani
dengan cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi syok dari luar
tidak memiliki peranan. Pasien harus segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner
diteruskan dan harus diupayakan untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta
asidosis. Epinefrin dan atau atropine diberikan intravena atau dengan penyuntikan
intrakardial. Pemasangan alat pacing eksternal kini sudah dapat dilakukan untuk
mencoba menghasilkan irama jantung yang teratur, tetapi prognosis pasien pada bentuk
henti jantung ini umumnya sangat buruk. Satu pengecualian adalah henti jantung
asistolik atau bradiaritmia sekunder terhadap obstruksi jalan napas. Bentuk henti
jantung ini dapat memberikan respons cepat untuk pengambilan benda asing dengan
maneuver Heimlich atau, pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Dengan intubasi dan
penyedotan sekresi yang menyumbat di jalan napas.

18
4. Perawatan pacsa resusitasi

Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti
jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat
responsive terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan (life support) dan mudah
dikendalikan setelah kejadian permulaan. Pemberian infuse lidokain dipertahankan
dengan dosis 2-4 mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan. Dalam perawatan
rumah sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya untuk waktu
yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang terjadi dengan cepat setelah defibrilasi
atau kardioversi. Dalam fibrilasi ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan
abnormalitas hemodinamika menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat
membawa kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang
berhasil diresusitasi, angka rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi
oleh ketidak stabilan hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh
kemampuan untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan
gangguan elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan
peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil dan
kurang responsive terhadap intervensi.

Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang
menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien yang berhasil
diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari
serangan henti jantung tersebut. Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system
saraf pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai angka
kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah henti jantung di rumah sakit.
Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir henti jantung yang buruk akibat
penyebab bukan jantung adalah pasien dengan obstruksi jalan nafas transien, gangguan
elektrolit, efek proaritmia obat-obatan dan gangguan metabolic yang berat, kebanyakan
mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi dengan
cepat dan dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.

5. Penatalaksanaan jangka panjang

Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas spesialisasi


klinis karena perkembangan system penyelamatan emergency berdasar-komunitas.
Pasien yang tidak menderita kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang

19
mencapai stabilitas hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik yang
ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan agresif ini
dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata statistikdari tahun 1970
mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti jantung di luar rumah sakit diikuti
oleh angka henti jantung rekuren 30 persen pada 1 tahun, 45 persen pada 2 tahundan
angka mortalitas total hampir 60 persen pada 2 tahun. Perbandingan historis
mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan intervensi yang baru.
Tetapi seberapa besar perbaikannya idak diketahui karena kurangnya uji intervensi
bersamaan yang terkendali.

Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit adalah
MI akut dan transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien lain yang
menderita henti jantung selama fase akut MI yang nyata. Untuk hampir semua kategori
pasien, bagaimanapun, uji diagnostic ekstensif dilakukan menentukan etiologi,
gangguan fungsional dan ketidakstabilan elektrofisiologik sebagai penuntun
penatalaksanaan selanjutnya. Secara umum, pasien yang mempunyai henti jantung di
luar rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik kronik, tanpa MI akut, dievaluasi
untuk menetukan apakah iskemia transien atau ketidakstabilan elektrofisologik
merupakan penyebab yang lebih mungkin dari peristiwa ini. Jika terdapat alas an untuk
mencurigai suatu mekanisme iskemik, pembedahan anti-iskemik atau Intervensi medis
(seperti angiografi, obat) digunakan untuk mengurangi beban iskemik. Ketidakstabilan
elektrofisiologik paling baik diidentifikasi dengan menggunakan stimulasi elektris
terprogram untuk menentukan apakah VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada
pasien. Jika ya, informasi ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi
efektifitas obat untuk pencegahan kekambuhan. Informasi ini juga dapat digunakan
untuk menentukan kecocokan untuk pembedahan antiaritmik dengan tuntunan peta.
Menggunakan teknik ini untuk menegakkan terapi obat pada pasien dengan fraksi
ejeksi 30 persen atau lebih, angka henti jantung rekuren adalah kurang dari 10 persen
selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil akhir tidak sebaik untuk pasien fraksi dengan
fraksi ejeksi dibawah 30 persen, tetapi tetap lebih baik dibandingkan riwayat alami
yang tampak dari kelangsungan hidup setelah henti jantung. Untuk pasien yang
keberhasilan dengan terapi obat tidak dapat diidentifikasi dengan teknik ini, pengobatan
empirik dengan amiodaron, penanaman defibrillator/kardioverter (ICD, implantable
cardioverter/defibrillator) dalam tubuh, atau pembedahan antiaritmia (seperti bedah

20
pintas koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap sebagai pilihan. Sukses
pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup prosedur dan kembali
pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa terapi obat, adalah lebih baik dari 90
persen bila pasien dipilih untuk kemampuan dipetakan dalam ruang operasi. Terapi
ICD juga dikembangkan menjadi sistem yang lebih menarik, termasuk kemampuan
untuk memacu lebih baik dibandingkan mengejutkan (shock out) beberapa aritmia pada
pasien terpilih. Susunan Intervensi tersedia untuk pasien ini, digunakan dengan pantas,
menunjukkan perbaikan perbaikan yang berlanjut pada hasil akhir jangka panjang.

21
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

HENTI JANTUNG

3.1 Pengkajian

Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawatdarurat sangat tergantung


dari kecepatann dan ketepatan dalaam memberikan pertolongan. Semakin cepat pasien
di temukan mak semakin cepat pula pasien tersebut mendapakan
pertolongan sehiongga terhindar dari kecacatan atau kematian. Kondisi kekurangan
oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapta di sebabkan oleh
akibat dari terganggunya sistem pernapasan. Apabila pasien tidak mendapakan
pertolongan sesegera mungkin, dan apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan
menyebabkan kerusakan otak pemanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan
kematian. Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita gawat darurat sangat
penting dilakukan efektif dan efisien.

Tahap kegiatan dalam penaggulanganpenderita gawat darurat telah


mengantisipasi hal tersebut. Pertolongan kepada paseien gawat darurat dilakukan
dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-
masalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilkukan survei sekinder.

Tahap kegiatan meliputi :

a. Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai kontrol
servikal.

b. Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar


oksigen adekuat.

c. Sirculation, mengecek sistem sirkulasidisertai kontrol perdarahan.

d. Disability, mengecek satus neurologis.

e. Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia.

Survei primer bertujuan untuk mengetahuidengan segera kondisi yang


mengancam nyawa pasien. Survei primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan
22
prioritas. Tetapi dalam prateknya dilakukan secara bersama dalam tempo waktu yang
singkat (kurang dari 10 detik). Apabila teridentifiaksi henti nafas dan henti jantung
maka resusitasi harus segera dilakukan.

Apabila menemukan pasien dalam keadaan tidak sadar maka pertama kali
amankan lingkungan pasien atau bila memungkinkan pindahkan pasien ke tempat
yang aman. Selanjutnya posisikan pasien ke dalam posisi netral (terlentang) untuk
memudahkan pertolongan.

1. Airway

Jalan nafas adalah yang pertama kali harus dinilai untuk mengkaji kelancaran
nafas. Keberhasilan jalan nafas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
proses ventilasi (pertukaran gas antara atmosfer dengan paru-paru. Jalan nafas
seringkali mengalami obstruksi akibat benda asing, serpihan tulang akibat fraktur
pada wajah, akumulasi sekret dan jatuhnya lidah ke belakang.

Selama memeriksa jalan nafas harus melakukan kontrol servikal, barangkali


terjadi trauma pada leher. Oleh karena itu langkah awal untuk membebaskan jalan
nafas adalah dengan melakukan manuver head tilt dan chin lift.

Data yang berhubungan dengan satus jalan nafas adalah :

- Sianosis (mencerminkan hipoksemia)

- Retraksi interkosta (menandakan peningkatan upaya nafas)

- Pernafasan cuping hidung

- Bunyi nafas abnormal (menandakan ada sumbatan jalan nafas)

- Tidak ada hembusan udara (menandakan obstruksi jalan nafas atau henti nafas)

2. Breathing

Kebersihan jalan nafas tidak menjamin bahwa pasien dapat bernafas secara
adekwat. Inspirasi dan eksprasi penting untuk terjadinya pertukaran gas, terutama
masuknya oksigen yang diperlukan untuk metabolisme tubuh. Inspirasi dan ekspirasi
merupakan tahap ventilasi pada proses respirasi. Fungsi ventilasi mencerminkan
fungsi paru, dinding dada dan diafragma.

23
Pengkajian pernafasan dilakukan dengan mengidentifikasi :

- Pergerakan dada

- Adanya bunyu nafas

- Adanya hembusan atau aliran udara

3. Cirulation

Sirkulasi yang adekwat menjamin distribusi oksigen ke jaringan dan


pembuangan karbondioksida sebagai sisa metabolisme. Sirkulasi tergantung dari
fungsi sistem kardiovaskuler.

Status hemodinamika dapat dilihat :

- Tingkat kesadaran

- Nadi

- Warna kulit

Pemeriksaan nadi dilakukan pada arteri besar seperti pada arteri karotis dan
arteri femoral.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan suplai oksigen


ke otak.

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan pompa jantung


menurun.

3. Nyeri akut berhubungan dengan penurunan kadar O2 ke jantung

4. pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran


5. resiko jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadarean

3.3 INTERVENSI
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan suplai
oksigen ke otak

24
2. . Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan pompa jantung
menurun.
NOC ;
1. Cardiac PumP effectiveness
2. Circulatiaon Status
3. Vital sign Status

Kriteria Hasil :

1. Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, respirasi)


2. Dapat mentolereansi aktivitas, tidak ada kelelahan
3. Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada asites
4. Tidak ada penurunan kesadaran

NIC :

1. Evaluasi adanya nyeri dada (intensitas, lokasi, durasi)


2. Cacat adanya distritmia jantung
3. cacat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac output
4. monitor status kardiovaskular
5. monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung
6. monitor adanya perubahan tekanan darah
7. anjurkan untuk menurunkan stress

3. pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran


NOC :
1. Respiratory status : Ventilation
2. Respiratory status : AirWay patency
3. Vital sign Status

Kriteria Hasil :

1. mendemostrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspnea (mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
2. menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan, dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
apnormal

25
3. Tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)

NIC :

1. Berikan bronkodilator bila perlu


2. berikan pelembab udara kassa basah NaCl lembab
3. monitor respirasi dan status O2 Oxygen Therapy
4. bersihkan mulut hidung dan secret trakea
5. pertahankan jalan nafas yang paten
6. atur peralatan oksigenasi
7. monitor aliran oksigen
8. monitor TD, Nadi, Suhu, dan RR
4. Nyeri Akut berhubungan dengan penurunan kadar O2 ke jantung

NOC
1. Pain level
2. Pain control
3. Comfort level

Kriteria hasil :
1. Mampu mengontrol nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala,intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

NIC
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui nyeri pasien
4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
5. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri farmakologi, non farmakologi dan
interpersonal
7. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
8. Ajarkan tentang teknik non farmakologis
9. Kolaborasikan dengan dokter tentang pemberian obat analgetik

26
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Cardiac arrest atau henti jantung adalah suatu keadaan diaman jantung berhenti
sehingga tidak dapat memompakan darah keseluruh tubuh. Ini disebabkan oleh beberapa
penyakit yang diderita pasien. Henti jantung jika tidak di tangani secara cepat akan
mengakibatkan suplai oksigen yang paling utama ke otak, jika tidak terpenuhi akan
mengakibatkan pada tidak terpenuhinya oksigen ke seluruh tubuh. Ketiak pasien yang terkena
henti jantung tidak ditangani dengan cepat dalam jangka waktu yang lama maka akan
berakibat kematian pada pasien.

Jadi peliharalah jantung kita dan sayangi jantung kia untuk hidup yang lebih baik.

B. Saran

Sekian makalah ini kami buat dan kami susun sesuai dengan format yang ada. Terima
kasih kepada pihak dan sumber yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini,sehingga dapat terselesaikan sampai batas waktu yang telah ditentukan. Jika dalam
penyusunan makalah ini terdapat kesalahan mohon kritik dan saran yang besifat membangun.
Semoga makalah ini menjadi lebih bermanfaat unuk para mahasiswa pada umumnya dan
untuk teman sejawat perawat pada khususnya.

Sekian makalah ini Saya susun dan terima kasih.

27
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, arif.2009. penghantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem


kardiovaskuler. Jakarta : salemba medika

Smeltzer, suzanne C. & Bare, brenga G. 2001.buku ajar keperawatan medikal bedah
(Brunner & suddarth). Jakarta : EGC

Dr. Nugroho, Taufan. 2011. Asuhan keperawatanmaternitas, anak, bedah, dan


penyakit dalam . yogyakarta : Nuhu medika

28

Anda mungkin juga menyukai