Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

AKUT LIMFOBLASTIK LEUKEMIA (ALL)

A. Pengertian

Leukemia lymphoblastic akut ( ALL atau juga disebut leukemia limfositik akut ) adalah
kanker darah dan sumsum tulang . Kanker jenis ini biasanya semakin memburuk dengan cepat
jika tidak diobati .ALL adalah jenis kanker yang paling umum pada anak-anak . Pada anak yang
sehat , sumsum tulang membuat sel-sel induk darah ( sel yang belum matang ) yang menjadi sel-
sel darah dewasa dari waktu ke waktu . Sebuah sel induk dapat menjadi sel induk myeloid atau
sel induk limfoid (National Cancer Institute, 2014).

Leukemia adalah keganasan organ pembuat darah, sehingga sumsum tulang didominasi
oleh limfoblas yang abnormal. Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan yang sering
ditemukan pada masa anak-anak (25-30% dari seluruh keganasan pada anak), anak laki lebih
sering ditemukan dari pada anak perempuan, dan terbanyak pada anak usia 3-4 tahun. Faktor
risiko terjadi leukimia adalah faktor kelainan kromosom, bahan kimia, radiasi faktor
hormonal,infeksi virus (Ribera, 2009).

ALL adalah sejenis kanker darah yang mempengaruhi sel-sel darah putih yang masih
muda. Sel-sel tersebut berkembang dalam kondisi yang terkendali di dalam sumsum tulang.
Perkembangan tersebut menghambat produksi sel-sel darah normal. Anak-anak yang mengidap
ALL rentan terhadap anemia, infeksi kambuhan, mudah memar dan berdarah karena sumsum
tulang mereka tidak memproduksi cukup sel darah merah, sel darah putih dan trombosit.

B. Etiologi

Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan
terjadinya leukemia yaitu :

1. Genetik

a. Keturunan
1) . Adanya Penyimpangan Kromosom

Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital, diantaranya pada


sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis
van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan
neurofibromatosis. Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan
informasi gen, misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak
stabil, seperti pada aneuploidy.

2). Saudara kandung

Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana kasus-kasus
leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran. Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan
insidensi leukemia yang sangat tinggi

b. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom dapatan,


misal : radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat
pada leukemia akut, khususnya ALL ,

2. Virus

Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan
leukemia pada hewan termasuk primata. Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA
dependent DNA polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan
enzim ini berasal dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia
pada hewan. (Wiernik, 1985). Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada
manusia adalah Human T-Cell Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell
Leukemia.

3. Bahan Kimia dan Obat-obatan

a. Bahan Kimia
Paparan kromis dari bahan kimia (misal : benzen) dihubungkan dengan peningkatan
insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. Selain benzen
beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain : produk – produk
minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik

b. Obat-obatan

Obat-obatan anti neoplastik (misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II) dapat
mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML. Kloramfenikol,
fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang
lambat laun menjadi AML

4. Radiasi

Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia (ANLL) ditemukan pada pasien-pasien
anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan
insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan
resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal : pembesaran
thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis .

5. Leukemia Sekunder

Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary
Acute Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia. Termasuk diantaranya penyakit
Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara. Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang
digunakan termasuk golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan
DNA

C. Manifestasi Klinis

Leukemia limfositik akut menyerupai leukemia granulositik akut dengan tanda dan gejala
dikaitkan dengan penekanan unsur sumsum tulang normal (kegagalan sumsum tulang) atau
keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di
sumsumtulang menyebabkan berkurangnya sel-sel normal di darah perifer dengan manifestasi
utama berupa infeksi, perdarahan, dan anemia. Gejala lain yang dapat ditemukan yaitu:
1. Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada

2. Anoreksia, kehilangan berat badan, malaise

3. Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel leukemia), biasanya terjadi
pada anak

4. Demam, banyak berkeringat pada malam hari(hipermetabolisme)

5. Infeksi mulut, saluran napas, selulitis, atau sepsis. Penyebab tersering adalah gramnegatif usus

6. Stafilokokus, streptokokus, serta jamur

7. Perdarahan kulit, gusi, otak, saluran cerna, hematuria

8. Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati

9. Massa di mediastinum (T-ALL)

10. Leukemia SSP (Leukemia cerebral); nyeri kepala, tekanan intrakranial naik,
muntah,kelumpuhan saraf otak (VI dan VII), kelainan neurologik fokal, dan perubahan
statusmental.

D. Patofisiologi

Pada pasien LLA terjadi proliferasi patologis sel-sel limfoid muda di sumsum tulang. Ia
akan mendesak sistem hemopoietik normal lainnya, seperti eritropoietik, trombopoietik dan
granulopoietik, sehingga sumsum tulang didominasi sel blast dan sel-sel leukemia hingga mereka
menyebar (berinfiltrasi) sampai ke darah tepi dan organ tubuh lainnya.

Kelainan sitogenetik yang sering ditemukan, teruatama pada pasien dewasa adalah:
t(9;22)/ translokasi kromosom 9 dan 22/ fusi gen BCR-ABL/ kromosom philadelphia (CML);
atau t(4;11)/ translokasi kromosom 4 dan 11/ ALL1-AF4. Jika terjadi translokasi semacam ini
maka ia akan mengaktifkan jalur proliferasi dan pertumbuhan sel secara abnormal sehingga
terjadi leukemia. Kelainan yang lain bisa pada karyotipe hipdiploid dan t(10;14), atau karena
hilangnya atau inaktivnya gen supresor tumor seperti p16 dan p15, Rb dan p53.
E. Klasifikasi

Pembagian ALL menurut sistem klasifikasi French American British (FAB) berdasarkan
atas morfologi :

L1: Limfoblast kecil, sitoplasma sedikit, dan nukleolus yang mencolok, merupakan kasus ALL
terbesar pada anak, mencakup 85%.

L2: Sel limfoblas lebih besar daripada L1. Gambaran sel menunjukkan adanya heterogenitas
ukuran dengan nukleolus yang menonjol serta sitoplasma yang banyak dan merupakan 14%
kasus ALL pada anak.

L3: Limfoblas besar, sitoplasma basofilik. Terdapat vakuola pada sitoplasma dan menyerupai
gambaran limfoma Burkitt, L3 mencakup 1% kasus ALL pada anak.

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang mengenai leukemia adalah :

1. Hitung darah lengkap menunjukkan normositik, anemia normositik.

2. Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 ml

3. Retikulosit : jumlah biasanya rendah

4. Jumlah trombosit : mungkin sangat rendah (<50.000/mm)

5. SDP : mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP yang imatur (mungkin
menyimpang ke kiri). Mungkin ada sel blast leukemia.

6. PT/PTT : memanjang

7. LDH : mungkin meningkat

8. Asam urat serum/urine : mungkin meningkat

9. Muramidase serum (lisozim) : penigkatabn pada leukimia monositik akut dan mielomonositik.

10. Copper serum : meningkat


11. Zinc serum : meningkat/ menurun

12. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih dari SDP pada
sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor eritroid, sel matur, dan
megakariositis menurun.

13. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan

G. Penatalaksanaan

1. Leukemia Limfoblastik Akut :

Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel


leukemik sehingga sel noramal bisa tumbuh kembali di dalam sumsum tulang. Penderita yang
menjalani kemoterapi perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu,
tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.

Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin memerlukan:


transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi
perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi. Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering
digunakan dan dosisnya diulang selama beberapa hari atau beberapa minggu. Suatu kombinasi
terdiri dari prednison per-oral (ditelan) dan dosis mingguan dari vinkristin dengan antrasiklin
atau asparaginase intravena. Untuk mengatasi sel leukemik di otak, biasanya diberikan suntikan
metotreksat langsung ke dalam cairan spinal dan terapi penyinaran ke otak. Beberapa minggu
atau beberapa bulan setelah pengobatan awal yang intensif untuk menghancurkan sel leukemik,
diberikan pengobatan tambahan (kemoterapi konsolidasi) untuk menghancurkan sisa-sisa sel
leukemik. Pengobatan bisa berlangsung selama 2-3 tahun. Sel-sel leukemik bisa kembali muncul,
seringkali di sumsum tulang, otak atau buah zakar. Pemunculan kembali sel leukemik di sumsum
tulang merupakan masalah yang sangat serius. Penderita harus kembali menjalani kemoterapi.
Pencangkokan sumsum tulang menjanjikan kesempatan untuk sembuh pada penderita ini. Jika
sel leukemik kembali muncul di otak, maka obat kemoterapi disuntikkan ke dalam cairan spinal
sebanyak 1-2 kali/minggu. Pemunculan kembali sel leukemik di buah zakar, biasanya diatasi
dengan kemoterapi dan terapi penyinaran.
2. Pengobatan Leukeumia Limfositik Kronik

Leukemia limfositik kronik berkembang dengan lambat, sehingga banyak penderita yang
tidak memerlukan pengobatan selama bertahun-tahun sampai jumlah limfosit sangat banyak,
kelenjar getah bening membesar atau terjadi penurunan jumlah eritrosit atau trombosit. Anemia
diatasi dengan transfusi darah dan suntikan eritropoietin (obat yang merangsang pembentukan
sel-sel darah merah). Jika jumlah trombosit sangat menurun, diberikan transfusi trombosit.
Infeksi diatasi dengan antibiotik.

Terapi penyinaran digunakan untuk memperkecil ukuran kelenjar getah bening, hati atau
limpa. Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid diberikan jika jumlah limfositnya
sangat banyak. Prednison dan kortikosteroid lainnya bisa menyebabkan perbaikan pada penderita
leukemia yang sudah menyebar. Tetapi respon ini biasanya berlangsung singkat dan setelah
pemakaian jangka panjang, kortikosteroid menyebabkan beberapa efek samping. Leukemia sel B
diobati dengan alkylating agent, yang membunuh sel kanker dengan mempengaruhi DNAnya.
Leukemia sel berambut diobati dengan interferon alfa dan pentostatin.

Penatalaksanaan lain:

1. Pelaksanaan kemoterapi

Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis pengobatan kanker ini
menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia. Tergantung pada jenis leukemia,
pasien bisa mendapatkan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat atau lebih.

Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan berbagai cara:

 Melalui mulut

 Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah balik (atau intravena)

 Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di dalam pembuluh darah
balik besar, seringkali di dada bagian atas - perawat akan menyuntikkan obat ke dalam
kateter, untuk menghindari suntikan yang berulang kali. Cara ini akan mengurangi rasa
tidak nyaman dan/atau cedera pada pembuluh darah balik/kulit.
 Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal – jika ahli patologi menemukan sel-sel
leukemia dalam cairan yang mengisi ruang di otak dan sumsum tulang belakang, dokter
bisa memerintahkan kemoterapi intratekal. Dokter akan menyuntikkan obat langsung ke
dalam cairan cerebrospinal. Metode ini digunakan karena obat yang diberikan melalui
suntikan IV atau diminum seringkali tidak mencapai sel-sel di otak dan sumsum tulang
belakang.

Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua fase yang digunakan untuk
semua orang.

a. Tahap 1 (terapi induksi)

Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh sebagian besar sel-sel
leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi induksi kemoterapi biasanya memerlukan
perawatan di rumah sakit yang panjang karena obat menghancurkan banyak sel darah normal
dalam proses membunuh sel leukemia. Pada tahap ini dengan memberikan kemoterapi kombinasi
yaitu daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase.

b. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)

Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi yang bertujuan
untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang
resisten terhadap obat. Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan kemudian.

c. Tahap 3 ( profilaksis SSP)

Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP. Perawatan yang
digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis yang lebih rendah. Pada tahap ini
menggunakan obat kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi
radiasi, untuk mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat

d. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)

Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi. Tahap ini biasanya
memerlukan waktu 2-3 tahun. Angka harapan hidup yang membaik dengan pengobatan sangat
dramatis. Tidak hanya 95% anak dapat mencapai remisi penuh, tetapi 60% menjadi sembuh.
Sekitar 80% orang dewasa mencapai remisi lengkap dan sepertiganya mengalami harapan hidup
jangka panjang, yang dicapai dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum tulang
dan SSP.

2. Terapi Biologi

Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi untuk
meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini diberikan melalui suntikan di
dalam pembuluh darah balik. Bagi pasien dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi
yang digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel leukemia.
Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel leukemia di dalam darah
dan sumsum tulang. Bagi penderita dengan leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang
digunakan adalah bahan alami bernama interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel
leukemia.

3. Terapi Radiasi

Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar berenergi tinggi
untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar pasien, sebuah mesin yang besar akan
mengarahkan radiasi pada limpa, otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-
sel leukemia ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh tubuh. (radiasi
seluruh tubuh biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum tulang.)

4. Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)

Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell). Transplantasi sel
induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat yang tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis
tinggi ini akan menghancurkan sel-sel leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam sumsum
tulang. Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat melalui tabung
fleksibel yang dipasang di pembuluh darah balik besar di daerah dada atau leher. Sel-sel darah
yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi ini. Setelah transplantasi
sel induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap di rumah sakit selama beberapa minggu.
Tim kesehatan akan melindungi pasien dari infeksi sampai sel-sel induk (stem cell) hasil
transplantasi mulai menghasilkan sel-sel darah putih dalam jumlah yang memadai.
5. Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia
yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat
tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.

6. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi


dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.

7. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp, metotreksat atau MTX)
pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin
(daunorubycine), sitosin, arabinosid, L-asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriamisin dan
sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-sama dengan prednison.
Pada pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis,
leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti-hati bila jumiah
leukosit kurang dari 2.000/mm3.

8. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama).

9. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel
leukemia cukup rendah (105 - 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik
dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan
agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik
dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan
akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan
dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.

10. Cara pengobatan.

Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalamannya. Umumnya pengobatan
ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk
mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut:

a. Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berba gai obat tersebut di atas,
baik secara sistemik maupun intratekal sampai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.

b. Konsolidasi

Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.

c. Rumat (maintenance)

Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat-dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya
dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa.

d. Reinduksi

Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan dengan
pemberian obat-obat seperti pada induksi selama 10-14 hari.

e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.

Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia
meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.4002.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal
dan leukemia serebral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.

f. Pengobatan imunologik

Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian
diharapkan penderita dapat sembuh sempurna.

H. Komplikasi

1. Perdarahan

Akibat defisiensi trombosit (trombositopenia). Angka trombosit yang rendah ditandai dengan:

a. Memar (ekimosis)
b. Petekia (bintik perdarahan kemerahan atau keabuan sebesar ujung jarum dipermukaan kulit)
Perdarahan berat jika angka trombosit < 20.000 mm3 darah. Demam dan infeksi dapat
memperberat perdarahan

2. Infeksi

Akibat kekurangan granulosit matur dan normal. Meningkat sesuai derajat netropenia dan
disfungsi imun.

3. Pembentukan batu ginjal dan kolik ginjal.

Akibat penghancuran sel besar-besaran saat kemoterapi meningkatkan kadar asam urat sehingga
perlu asupan cairan yang tinggi.

4. Anemia

5. Masalah gastrointestinal.

a. mual

b. muntah

c. anoreksia

d. diare

e. lesi mukosa mulut


ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian keperawatan

a. Identitas

Acute lymphoblastic leukemia sering terdapat pada anak-anak usia di bawah 15 tahun (85%) ,
puncaknya berada pada usia 2 – 4 tahun. Rasio lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada
anak perempuan.

b. Riwayat Kesehatan

1). Keluhan Utama : Pada anak keluhan yang sering muncul tiba-tiba adalah demam, lesudan
malas makan atau nafsu makan berkurang, pucat (anemia) dan kecenderungan terjadi
perdarahan.

2). Riwayat kesehatan masa lalu : Pada penderita ALL sering ditemukan riwayat keluarga yang
erpapar oleh chemical toxins (benzene dan arsen), infeksi virus (epstein barr, HTLV-1), kelainan
kromosom dan penggunaan obat-obatann seperti phenylbutazone dan khloramphenicol, terapi
radiasi maupun kemoterapi.

3). Pola Persepsi - mempertahankan kesehatan : Tidak spesifik dan berhubungan dengan
kebiasaan buruk dalam mempertahankan kondisi kesehatan dan kebersihan diri. Kadang
ditemukan laporan tentang riwayat terpapar bahan-bahan kimia dari orangtua.

4). Pola Nurisi : Anak sering mengalami penurunan nafsu makan, anorexia, muntah, perubahan
sensasi rasa, penurunan berat badan dan gangguan menelan, serta pharingitis. Dari pemerksaan
fisik ditemukan adanya distensi abdomen, penurunan bowel sounds, pembesaran limfa,
pembesaran hepar akibat invasi sel-sel darah putih yang berproliferasi secara abnormal, ikterus,
stomatitis, ulserasi oal, dan adanya pmbesaran gusi (bisa menjadi indikasi terhadap acute
monolytic leukemia)

5). Pola Eliminasi : Anak kadang mengalami diare, penegangan pada perianal, nyeri abdomen,
dan ditemukan darah segar dan faeces berwarna ter, darah dalam urin, serta penurunan urin
output. Pada inspeksi didapatkan adanya abses perianal, serta adanya hematuria.
6). Pola Tidur dan Istrahat : Anak memperlihatkan penurunan aktifitas dan lebih banyak waktu
yang dihabiskan untuk tidur /istrahat karena mudah mengalami kelelahan.

7). Pola Kognitif dan Persepsi : Anak penderita ALL sering ditemukan mengalami penurunan
kesadaran (somnolence) , iritabilits otot dan “seizure activity”, adanya keluhan sakit kepala,
disorientasi, karena sel darah putih yang abnormal berinfiltrasi ke susunan saraf pusat.

8). Pola Mekanisme Koping dan Stress : Anak berada dalam kondisi yang lemah dengan
pertahan tubuh yang sangat jelek. Dalam pengkajian dapt ditemukan adanya depresi, withdrawal,
cemas, takut, marah, dan iritabilitas. Juga ditemukan peerubahan suasana hati, dan bingun.

9). Pola Seksual : Pada pasien anak-anak pola seksual belum dapat dikaji.

10). Pola Hubungan Peran : Pasien anak-anak biasanya merasa kehilangan kesempatan bermain
dan berkumpul bersama teman-teman serta belajar.

11). Pola Keyakinan dan Nilai : Anak pra sekolah mengalami kelemahan umum dan
ketidakberdayaan melakukan ibadah.

12). Pengkajian tumbuh kembang anak.

c. Pemeriksaan Diagnostik

 Count Blood Cells : indikasi normocytic, normochromic anemia

 Hemoglobin : bisa kurang dari 10 gr%

 Retikulosit : menurun/rendah

 Platelet count : sangat rendah (<50.000/mm)

 White Blood cells : > 50.000/cm dengan peningkatan immatur WBC (“kiri ke kanan”)

 Serum/urin uric acid : meningkat

 Serum zinc : menurun

 Bone marrow biopsy : indikasi 60 – 90 % adalah blast sel dengan erythroid


 prekursor, sel matur dan penurunan megakaryosit

 Rongent dada dan biopsi kelenjar limfa : menunjukkan tingkat kesulitan tertentu

2. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan infiltrasi leukosit ke jaringan sistemik

2. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya daya tahan tubuh dan sistem imun.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh akibat anemia.

4. Resiko cedera perdarahan berhubungan dengan trombositopenia

3. Intervensi Keperawatan

1). Nyeri b.d infiltrasi leukosit ke jaringan sistemik

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pada klien nyeri akan berkurang.

Kriteria Hasil :

- Menyatakan nyeri berkurang dengan indikator 1-3 (tidak ada, ringan, sedang )

- Ekspresi wajah tenang.

- Tidak ada petunjuk non verbal tentang nyeri

- HR 60-100x/mnt, RR 16-24x/mnt, TD 120/80mmHg.

- Menerima medikasi nyeri sesuai yang diresepkan

- Mengambil peran aktif dalam pemberian analgetik.

- Skala nyeri 1-3 (tidak ada, ringan, sedang )


Intervensi Keperawatan :

1. Kaji karakteristik nyeri : lokasi, kualitas, frekuensi, dan durasi.

Rasional : Memberikan dasar untuk mengkaji perubahan pada tingkat nyeri dan mengevaluasi
intervensi.

2. Berikan terapi analgetik sesuai dengan instruksi dokter. Lakukan penilaian respon pasien
terhadap pemberian analgetik

Rasional : analgetik merupakan agen farmakologi yang berfungsi mengurangi rasa nyeri,
analgetik cenderung lebih efektif ketika diberikan secara dini pada siklus nyeri, respon pasien
memberikan informasi tambahan tentang nyeri klien.

3. Berikan dukungan emosional dan kekhawatiran pasien.

Rasional : mengurangi ketakutan dan ansietas akibat penyakit yang di derita. Ketakutan dan
ansietas akan meningkatkan persepsi nyeri.

4. Gunakan metode distraksi seperti relaksasi, teknik pernapsan dalam, mendengarkan musik,
dan imajinasi.

Raional : teknik pengalihan perhatian atau distraksi dapat membuat mengurangi nyeri yang
dirasakan pasien karena pasien tidak fokus terhadap nyeri yang dialaminya.

2). Resiko infeksi b.d menurunnya daya tahan tubuh yang berkaitan dengan sistem imun.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pada klien, klien akan terbebas dari gejala
infeksi.

Kriteria Hasil :

- Faktor resiko akan hilang ditunjukkan dengan status imun pasien


Intervensi Keperawatan :

1. Pantau tanda / gejala infeksi (misalnya suhu tubuh, denyut jantung, pembuangan, penampilan
luka, sekresi, penampilan urin, suhu kulit, lesi kulit, keletihan dan malaise, nilai leukosit).

Rasional : memberikan dasar untuk mengkaji perubahan jika terjadi kemungkinan infeksi

2. Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi (misalnya: usia lanjut, tanggap imun rendah,
malnutrisi).

Rasional : untuk menentukan intervensi selanjutnya

3. Instruksikan untuk menjaga higiene pribadi untuk melindungi tubuh terhadap infeksi baik
pada pasien maupun keluarga.

Rasional : higiene pribadi dapat melindungi tubuh untuk meminimalkan pajanan pada
organisme infektif.

4. Berikan terapi antibiotik bila diperlukan sesuai dengan instruksi dokter.

Rasional : diberikan sebagai profilaktik atau mengobati infeksi khusus

5. Pertahankan teknik isolasi, bila diperlukan.

Rasional : ruangan yang terisolasi dapat meminimalkan terpaparnya pasien dari sumber infeksi.

6. Lindungi pasien dari kontaminasi silang dengan tidak menugaskan perawat yang sama untuk
setiap pasien infeksi dan memisahkan pasien infeksi dalam kamar yang berbeda.

Rasional : kontaminasi silang dapat memperbesar resiko infeksi pada klien.

3). Intoleransi aktivitas b.d kelemahan secara menyeluruh akibat anemia.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pada klien, terjadi peningkatan toleransi
aktifitas.
Kriteria Hasil :

- Mentolenrasi aktivitas yang biasa dilakukan dan ditunjukan dengan daya tahan, penghematan
energi, dan perawatan diri : Aktivitas Kehidupan Sehari-hari (AKSI).

- Menunjukkan penghematan energi, ditandai dengan indikator 1-5 (tidak sama sekali, ringan,
sedang, berat, atau sangat berat), menyadari keterbatasan energi, menyeimbangkan aktivitas dan
istirahat.

- Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang kebutuhan oksigen, pengobatan, dan/atau


peralatan yang dapat meningkatkan toleransi terhadap aktivitas

Intervensi Keperawatan :

1. Kaji Tanda-tanda Vital serta pantau respons kardiorespirasi terhadap aktivitas (misalnya,
takikardia, disaritmia lain, dispnea, diaforesis, pucat, tekanan, hemodinamik, dan frekuensi
respirasi) pasien dan kadar Hb dalam darah.

Rasional : memberikan dasar untuk menentukan tingkat kemampuan klien

2. Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktifitas


sehari-hari.

Rasional : menentukan derajat dan efek ketidakmampuan.

3. Berikan lingkungan tenang dan perlu istirahat tanpa gangguan.

Rasional : menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler atau penyambungan
jaringan.

4. Pantau asupan nutrisi untuk memastikan keadekuatan sumber-sumber energi serta berikan
masukan protein dan kalori yang adekuat.

Rasional : nutrisi kalori dan proten yang cukup dapat membantu mengembalikan energi yang
hilang dan meningkatkan toleransi aktivitas.
5. Ajarkan pengaturan aktivitas dan teknik menajemen waktu untuk mencegah kelelahan.

Rasional : pengaturan aktivitas dan menejemen waktu dapat mengatur penggunaan energi
sehingga dapat mencegah kelelahan.

4). Resiko cedera perdarahan b.d trombositopenia

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pada klien, menunjukkan resiko cedera
menurun.

Kriteria Hasil:

- Menunjukkan pengendalian resiko dibuktikan dengan indikator ini 1-3 (tidak pernah, jarang,
kadang-kadang).

- Menghidari cedera fisik.

- Mempersiapkan lingkungan yang aman (misalnya, meniadakan ketidakteraturan dan tumpahan,


penempatan pegangan tangan, penggunaan tikar karet, serta pegangan tangan di kamar mandi).

- Tanda-tanda pendarahan berkurang. Ekimosis tidak ada/berkurang, peteki tidak ada, epistaksis
tidak ada atau jarang.

Intervensi Keperawatan :

1. Gunakan semua tindakan untuk mencegah perdarahan khususnya pada daerah ekimosis

Rasional : karena perdarahan memperberat kondisi pasien dengan adanya anemia.

2. Laporkan setiap tanda-tanda perdarahan serta pantau kadar trombosit dalamdarah (tekanan
darah menurun, denyut nadi cepat, dan pucat)

Rasional : untuk memberikan intervensi dini dalam mengatasi perdarahan.

3. Gunakan jarum yang kecil pada saat melakukan injeksi

Rasional : untuk mencegah perdarahan.


4. Ajarkan keluarga dan pasien yang untuk mengontrol perdarahan hidung.

Rasional : untuk mencegah perdarahan.

5. Menggunakan sikat gigi yang lunak dan lembut

Rasional : untuk mencegah perdarahan pada gusi.

6. Hindari obat-obat yang mengandung aspirin.

Rasional : karena aspirin mempengaruhi fungsi trombosit.


DAFTAR PUSTAKA

Aster, Jon. 2007. Sistem Hematopoietik dan Limfoid dalam Buku Ajar Patologi Edisi 7.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC

Atul, Mehta dan A. Victor Hoffbrand. 2009. At a Glance Hematologi.Edisi 2. Jakarta:


Erlangga

Baldy, Catherine M. 2011. Komposisi Darah dan Sistem Makrofag-Monosit dalam


Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC

Carpenito, Lynda Juall. (2012.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.


(terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Landier W, Bhatia S, Eshelman DA, Forte KJ, Sweeney T, Hester AL, et al.Development
of risk-based guidelines for pediatric cancer survivors: the Children'sOncology Group Long-
Term Follow-Up Guidelines from the Children's OncologyGroup Late Effects Committee and
Nursing Discipline. J Clin Oncol. Dec 152004;22(24):4979-90.

Smeltzer Suzanne C. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC;.2. Tucke
PATHWAY

Anda mungkin juga menyukai