Anda di halaman 1dari 26

GERD

GERD

Definisi

Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang


sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini
berdampak buruk pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan
morbiditas yang bermakna. Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal
Reflux Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan
berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra-
esofagus dan/atau komplikasi. Komplikasi yang berat yang dapat timbul adalah
Barret’s esophagus, striktur, adenokarsinoma di kardia dan esofagus

Anatomi

1. Rongga Mulut 1
Merupakan bagian pertama dari sistem pencernaan. Strukturnya meliputi gigi
geligi atas dan bawah, palatum lunak (palatum durum) dan palatum lunak
(paltum mole) bagian ujung dari palatum lunak pada bagiam midposterior
disebut palatine uluva, lidah membentuk bagian dasar rongga mulut yang pada
bagian posterior berhubungan dengan pharing. Rongga mulut memiliki organ-
organ assesoris yang berupa kelenjar-kelenjar ludah antara lain kelenjar parotis,
sub mandibularis/submaxilaris dan sublingualis.

2. Esofagus 1
Esofagus merupakan saluran otot yang memiliki panjang 25 cm dan diameter 2
cm dimulai dari laringopharing (setinggi kartilao cricoid atau setinggi C5/6)
menyambung pada lambung setinggi T11. Esofagus terletak diantara vertebra
thoracal dan trachea, dimana vertebra thoracal terletak dibagian posterior
esofagus sedangkan trachea terletak dianterior esofagus. Jantung terletak persis
dibagian anterior esofagus bagian distal. Oleh karena letaknya tersebut esofagus
memiliki beberapa karakteristik antara lain memiliki dua penyempitan/indentasi
dan satu dilatasi. Indentasi pertama akibat pendesakan pada esofagus oleh
archus aorta dan yang kedua pendesakan oleh bronchus utama kiri. Sebuah
dilatasi terjadi persis sebelum esofagus melewati diafragma setinggi T10.
Setelah melalui diafragma bagian esofagus yang terletak di rongga abdomen
disebut cardiac antrum, panjangnya sekitar 1-2 cm dan memiliki bentuk
melengkung tajam ke arah kiri intuk bersambungan dengan lambung.
Persambungan antara esofagus dengan lambung disebut esofagogastric junction
atau orifisium cardiac. Umumnya persambungan esofagus dengan lambung inu
letaknya sangat berdekatan dengan diafragma oleh karena itu mengalami
pergerakanmengikuti pergerakan nafas. Esofagus merupakan organ yang
tersusun atas otot sirkular dan longitudinal. Pada proses menelan otot-otot ini
mengalami gerak peristaltik yaitu suatu gerak kontraksi otot seperti gelombang
yang berkelanjutan, sehingga makanan yang ada didalamnya terdorong.

3. Lambung1
Lambung terletak diantara esofagus dan usus halus.merupakan dilatasi terbesar
dari saluran pencernaan. Ketika dalam keadaan kosong lambung dalam keadaan
kempis dan ketika menerima makanan maka bentknya akan mengembang.
Struktur lambung meliputi esofagogastrik junctin merupakan persambungan
antara esofagus dengan lambung atau disebut juga dengan orifisium cardiac.
Pada bagian ini terdapat otot sirkular yang disebut dengan cardiac sphingter
yang mengatur makanan melewati orifisium cardiac. Orifisium cardiak juga
mengacu pada lubang pada ujung akhir esofagus menuju lambung. Lambung
memiliki tiga bagian utama yaitu fundus, body (corpus) dan pilorus portion.
Fundus merupakan bagian yang menggembung pada sisi superior-lateralis
lambung. Sedangkan bagian bawah fundus merupakan bagian terbesar lambung
yang disebut dengan body/corpus. Bagian ini memiliki dua lengkukng pada
masing-masing sisi medial dan lateral. Sisi medial memiliki lengkung yang lebih
pendek disebut kurvatura minor, sedangkan sisi lateral disebut kurvatura mayor.
Bagian utama yang ketiga dari lambung disebut pilorus portion. Pilorus portion
memiliki tiga bagian yaitu pilorus antrum, pilorus canal dan orifisium pilorus
yang merupakan sebuah lubang pada bagian akhir dari distal lambungsebelum
ke duodenum.

4. Duodenum1
Duodenum merupakan bagian akhir dari sistem pencernaan atas. Panjangnya
sekitar 20-24 cm merupakan bagian dari usus halus yang terpendek dan terlebar.
Bentuknya seperti huruf “C” terletak berdekatan dengan pangkreas. Duodenum
memiliki bagian-bagian yaitu bulbus duodenal, superior portion, desenden
duodenal, horizontal portion, asenden portion dan fleksura duodenojejunal. Pada
bagian fleksura duodenojejunal malekat otot yang disebut ligamentum Treitz.

Vaskularisasi

1. Vaskularis oesophagus:

a. Suplai arteri oesophagus pars abdominalis dipercabangkan dari


a.gastrica sinistra, sedangkan oesophagus pars cervical dari
a.thiroidea inferior dan oesophagus pars thoracalis dari
aa.bronchiales.

b. System vena sesuai dengan suplai arterinya kecuali pada pars


thoracalis mengalir ke dalam v.azygos dan v.hemiazygos, pada
oesophagus pars abdominalis venanya mengalir ke dalam system
portal melalui v.gastrica sinistra. Plexus venosus oesophageal
adalah tempat anastomosis antara system azygos dan gastrica
sinistra.
2. Vaskularisasi gaster:

a. Suplai arteri, pada curvatura minor di dalam omentum minus


terdapat a.gastrica sinistra yang merupakan cabang terkecil dari
a.coeliaca dan a.gastrica dextra cabang dari a.hepatica communis.
Kedua arteriae ini beranastomose kira-kira pertengahan
curvatura minor , sedangkan pada curvatura major mempunyai
suplai aa.gastrica breves yang endarahi fudus dan pars cardiac
gaster, a. Gastroomentalis sinistra yang mendapat suplai dari
a.gastrica dextra cabang dari
a.gastroduodenalis.

b. System vena anlog dengan arterinya di mana vv.gastricae breves


dan plexus esophageal mengalir ke dalam v.lienalis. v.gastrica
sinistra dan plexus esophageal mengalir ke dalam v.porta.
sedangkan v.gastrica dextra setelah menerima v.prepylorica
selanjutnya mengalir ke dalam v.porta setinggi pars superior
duodeni. Aliran v.gastroomentalis dextra mengalir ke dalam
v.gastroduodenalis.

3. Vaskularisasi duodenum:

a. Suplai arteri duodenum pars superior dari a.gastroduodenalis


yang dicabangkan oleh a.hepatica communis. Selain itu terdapat
arteri yang mendarahi sisi posterior dari duodenum pars
superior yaitu a.retroduodenalis cabang a.gastroduodenalis.
sedangkan bagian duodenum yang lain mendapat suplai dari
a.pancreaticoduodenalis inferior cabang dari a.mesenterica
superior.

b. System vena, pars superior duodenum melalui gastroduodenalis


bermuara kedalam v.porta. Bagian duodenum yang lain mengalir
ke dalam v.mesenterica superior melalui v.pancreaticoduodenalis
inferior. Oleh karena bagian ini terletak retroperitoneal sekunder,
venae ini beranastomose dengan vena sistemik melalui
anastomosis transperitoneal (v.retzius).

Persarafan

1. Inervasi oesophagus:

a. Para sympathies dari N.vagus yang membentuk plexus


oesophageal yang di distal menyatu membentuk truncus vagalis
anterior dan posterior.

b. Sympathies berasal dari N.splanchnicus thoracalis dan


N.splanchnicus major. Saraf sympathies ini membawa rangsang
nyeri dari oesophagus yang sakit akhirnya dirasakan di daerah
thoracal bawah dari regio epigastrica.

2. Inervasi gaster:

a. Para sympathies berfungsi untuk gerak motilitas (pengosongan


gaster dan sekretomotor kelenjar). Gaster mendapat suplai dari
n.vagus sinistra (anterior) dan n.vagus dextra (posterior)
masing-masing melalui truncus vagalisnya. N.vagus sinistra
memberi percabangan untuk hepar yang bersama a.hepatica dan
v.porta untuk mencapai plexus hepaticu. Cabang untuk gaster
sendiri berupa cabang-cabang pada fundus dan corpus pada
paries anterior,cabang yang paling panjang disebut n.latarget
anterior yang mencapai antrum dan pylorus. N.vagus dextra
seperti yang sebelah sinistra selain memberi suplai ke gaster
akan memberikan cabang ke plexus coeliacus. Cabang-cabang ke
gaster terdapat diparies posterior pada fundus dan corpus,
bedanya n.latarget posterior hanya mencapai antrum pyloricum.

b. Sympathies serabut afferensnya membawa impuls nyeri


sedangkanefferensnya mempunyai inhibisi terhadap motilitas
dan sekrei kelenjar tetapi menyebabkan kontraksi terhadap
m.sphincter pyloricus. Selain itu juga memberikan pengaruh
terhadap vasokontriksi arteri. Nervus sympathies ini berasal dari
nn.spinales thoracal 5-12 mencapai gaster melalui
n.splanchnicus major, n.splanchnicus minor dan selanjutnya ke
plexus coeliacus.

3. Inervasi duodenum:

a. Parasympathies, dari n.vagus melalui plexus coeliacus yang


mempengaruhi peristaltic dan sekresi kelenjar duodenum.

b. Sympathies, dari n.splanchnicus major, ganglion coeliacus dan


plexus coeliacus afferens sympathies membawa rangsang nyeri
melalui n.splanchnicus ke rangkaian ganglion sympathicus
melalui ramus communicans albus menuju n.spinalis T 7-9.

Histologi

1) Mulut Memiliki bagian: bibir, gigi, lidah dan kelenjar ludah. Rongga mulut
dilapisi oleh tunica mucosa yang mengandung epitel berlapis menanduk
dan mengelupas. Dibawah lapisan epitel terdapat lamina propria, yang
membentuk banyak lekuk atau papilla seperti halnya pada kulit.

2) Bibir Terdiri dari dua daerah, bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar
sama seperti kulit di daerah lain wajah. Epidermis terdiri atas jaringan
epitel berlapis banyak, menanduk dan mengelupas, ditumbuhi bulu dan
berkelenjar peluh. Di bagian dermis terdapat akar bulu, kelenjar dan
kelenjar minyak bulu. Bagian dalam mengandung tunica mucosa yang
mengandung jaringan epitel berlapis dan mengelupas, tetapi tidak
menanduk. Pada lamila propria terdapat banyak kelenjar lendir, yang
salurannya bermuara ke rongga mulut. Di bawah lapisan lendir terdapat
lapisan otot. Tepat pada batas kulit luar dengan lendir bibir bagian dalam
terdapat daerah merah, karena banyak mengandung pembuluh kapiler.
Histologi rongga mulut sama seperti bibir bagian dalam. Lapisan dekat
permukaan terdiri dari tunica mucosa, di bawahnya tunica submucosa.
Pada lapisan submucosa terdapat kelenjar lendir. Sekitar kelenjar itu
terdapat lamina propria tunica mucosa oleh jaringan rapat serat
elastis.Didaerah langit-langit tak ada tunica submucosa. Di daerah langit-
langit lunak, di bawah tunica mucosa terdapat lapisan otot lurik dan
jaringan ikat fibrosa. Di daerah langit-langit lunak dekat rongga hidung,
jaringan epitel tunica mucosa terdiri dari sel batang berlapis semu, yang
lapisan luarnya bersilia, menumpu pada lamina basalis yang tebal.
Lidah Terdiri atas otot lurik yang letaknya menurut tiga arah dan tegak
lurus sesama. Lapisan otot diselaputi oleh tunica mucosa. Di bagian atas
lidah tidak terdapat tunica submucosa, hanya dibagian bawah. Permukaan
lidah bagian atas memiliki tonjolan yang disebut papillae. Ada 4 macam
papillae, yaitu:
1) Filiform (terdapat di daerah belakang lidah), 2) Fungiform
(tersebar di antara filiform dan ternayak berada di ujung lidah),
3) Circumvallate (jumlahnya sedikit, terdapat dalam satu barisan
melintang pada pangkal lidah), dan
4) Foliate (terdapat di daerah pinggiran pangkal lidah).
Pada umumnya papilla mengandung kuncup rasa (taste bud). Tiap kuncup
rasa mengandung dua macam sel yang utama, yaitu sel penyokong dansel
epitel saraf. Kedua macam sel memiliki mikrovili yang umumnya
bergabung mengacu ke arah lobang rasa, yang pada periode pra-ME
(mikroskop elektron) disebut bulu rasa. Cabang saraf vagus masuk lidah
dan bercabang halus mencapai setiap kuncup rasa. Tonsil liah kecil-kecil
dan banyak, terletak di dasar lidah dan diselaputi oleh epitel berlapis yang
menelupas. Tiap tonsil memiliki ceruk, dan sepanjang pinggir ceruk itu
tertanam nodul-nodul limfa. Lidah berfungsi membantu mengatur
penempatan makanan hingga dapat digilas oleh geraham, dalam hal ini
dapat dikatakan makanan mengalami pencernaan secara mekanik.
3) Kelenjar ludah
Kelenjar ludah berguna untuk memudahkan menelan dan mencerna. Ada
dua macam ludah yang dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar, yaitu kelenjar
parotis, kelenjar ludah bawah rahang (glandula submaxilaris) dan
kelenjar bawah lidah (glandula sublingualis). Glandula parotis
menghasilkan ludah berbentuk air, infeksi pada parotis disebut parotitis
(penyakit gondong). Glandula sub-maxilaris dan glandula lingualis
keduannya menghasilkan getah yang mengandung air dan lendir, selain
itu berguna sebagai pelindung selaput mulut terhadap panas, dingin,
asam dan basa.
4) Kerongkongan (oesophagus)
Kerongkongan disebut juga oesophagus, dari kata oisob = bawa, dan
phagelon = mekanan. Menghubungkan mulut dengan lambung. Terdiri
dari 4 lapisan:
1) Tunica mucosa Terdiri ataskaringan epitel, yang terdiri dari sel-sel
berlapis banyak dan mengelupas, tetapi tidak menanduk. Di beawah
lamina propria ada lapisan tambahan, disebut tunica muscularis-mucosa,
terdiri atas serat-serat otot polos yang letak-letaknya memanjang dan
melingkar. Lamina propria membentuk tonjolan-tonjolan rendah,
sehingga tuniac ini jadi bergelombang. Jika makanan lewat gelombang itu
hilang dan umen membuka besar.
2) Tunica submukosa Terdiri dari jaringan ikat dengan serat kolagen dan
elastis, dengan banyak pembuluh darah serta urat saraf.
3) Tunica muscularis Terdiri dari dua lapisan otot polos: bagian luar
berupa serat otot memanjang, bagian dalam berupa serat otot melingkar.
Kedua lapisan otot ini pada beberapa tempat tidak kentara bedanya. Serat
itu 1/3 bagian dari anterior (pangkal) kerongkongan sebagin besar terdiri
atas oto lurik, di bagian tengah gabungan otot lurik dan otot polos, dan
1/3 bagian posterior (ujung) terdiri semata-mata dari otot polos.
4) Tunica serosa Terdiri dari jaringan ikat renggang yang mengandung
banyak jaringan lemak, pembuluh drah dan urat saraf. Lapisan ini relatif
tebal jika dibandingkan dengan saluran pencernaan yang di posteriornya.
5) Lambung (ventrikulus)
Lambung (ventrikulus), merupakan kantung besar dibawah kiri rusuk
terakhir, terdiri atas tiga bagian, bagian atas yang berdekatan dengan hati
disebut kardiak, di tengah membulat disebut fundus, dan bagian bawah
dekat usus disebut pilorus. Seluruh bagian dalam lambung menghasilkan
asam chlorida. Akibat gerak peristaltik makanan diubah menjadi seperti
bubur getah lambung dinamakan chym. Lingkungan asam dalam lambung
dapat membunuh kuman-kuman yang turut masuk ke dalam, sihingga
menggiatkan kerja getah lambung. Getah lambung
mengandung pepsinongen yang belum aktif bekerja, oleh asam cholrida
pepsinogen tersebut diaktifkan menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim
yang dapat mengubah protein menjadi molekul-molekul yang lebih kecil
disebut peptor. Selain itu berfungsi mengatur pengeluaran makanan dari
lambung masuk ke dalam usus. Pengturan dimungkinkan oleh kedua
bagian otot pilorus. Otot pilorus bagian lambung akan mengendur apabila
kena rangsangan asam, berarti protein telah dicernakan. Otot pilorus
bagian usus dua belas jari akan mengerut bila kena asam sebaliknya
mengendur apabila kena rangsang basa. Dengan demikian makanan dapat
masuk ke usus dua belas jari sedikit demi sedikit.

Epidemiologi

Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan
dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum
yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi GERD di Asia. Tidak ada predileksi gender, namun pada didapatkan
laki-laki lebih sering menderita esophagitis & heartburn disbanding perempuan.
(2:1-3:1) dan laki-laki juga banyak ditemukan menderita Barret’s esophagus
yang merupakan komplikasi dari GERD. (10:1),

GERD didefinisikan sebagai mengalami heartburn atau regurgitasi minimal


setiap minggu. Studi dilakukan terhadap subyek yang sedang menjalani medical
check-up.

Etiologi dan Patogenesis


Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu
yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi
penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus (Makmun, 2009).

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada
individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau
muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila
tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg) (Makmun,2009).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :

1). Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat,

2). Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan,

3). Meningkatnya tekanan intra abdomen.

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD


menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah anti
refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan
faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam
timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan
terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric
outlet dan delayed gastric emptying.

Faktor-Faktor Anatomi
Gangguan hambatan anatomik normal dengan hernia hiatus dianggap sebagai
etiologi utama refluks gastroesofageal dan esofagitis. Faktor utama dalam
mendiskripsikan gejala pada pasien hernia hiatus adalah tekanan LES. Ukuran
hernia hiatus sebanding dengan frekuensi sementara relaksasi LES. Pasien
dengan hipotensi tekanan LES dan hernia hiatus besar memungkinkan untuk
mengalami refluks gastroesofageal, serta peningkatan mendadak tekanan
intraabdominal dibandingkan dengan pasien dengan hipotensi LES dan tidak
mengalami hernia hiatus.

Klirens Esophageal
Masalah pada pasien GERD bukan karena memproduksi terlalu banyak asam,
tetapi asam yang dihasilkan menghabiskan terlalu banyak waktu kontak dengan
mukosa esofagus. Hal tersebut dikarenakan gejala ataupun tingkat keparahan
kerusakan yang dihasilkan oleh refluks gastroesofageal yang sebagian besar
tergantung pada durasi kontak antara isi lambung dan mukosa esofagus. Waktu
kontak tersebut tergantung pada tingkat di mana esofagus mampu
membersihkan bahan berbahaya, serta frekuensi refluks. Menelan merupakan
kontribusi klirens esofagus dengan meningkatkan aliran liur. Air liur
mengandung bikarbonat yang merupakan buffer bahan sisa lambung pada
permukaan esofagus. Produksi air liur menurun dengan bertambahnya usia,
sehingga lebih sulit untuk mempertahankan pH netral intraesophageal. Oleh
karena itu kerusakan esofagus yang disebabkan oleh refluks terjadi lebih sering
pada orang tua, dan juga pada pasien dengan sindrom Sjogren atau xerostomia.

Resistensi Pada Mukosa


Dalam mukosa esofagus dan submukosa ada lendir sekresi glands. Lendir
disekresikan oleh kelenjar berfungsi sebagai perlindungan esofagus. Bikarbonat
bergerak dari darah ke lumen dapat menetralkan asam refluxate di
kerongkongan. Bila mukosa berulang kali terkena refluxate di GERD, atau jika ada
cacat dalam pertahanan mukosa normal, ion hidrogen akan berdifusi ke mukosa,
menyebabkan pengasaman seluler dan nekrosis, yang pada akhirnya
menyebabkan esophagitis. Secara teoritis, resistensi mukosa tidak hanya untuk
lendir esofagus, tetapi juga untuk sambungan erat epitel, perputaran epitelial sel,
keseimbangan nitrogen, aliran darah mukosa, jaringan prostaglandin, dan asam-
basa jaringan. Air liur juga sebagai faktor pertumbuhan epidermal untuk
merangsang pembaharuan sel

Pengosongan Lambung
Waktu pengosongan lambung yang tertunda dapat menyebabkan
gastroesophageal reflux. Volume lambung berkaitan dengan volume material
yang tertelan, kecepatan sekresi lambung, kecepatan pengosongan lambung
serta jumlah dan frekuensi refluks duodenum ke dalam lambung. Faktor-faktor
yang dapat meningkatkan atau menurunkan pengosongan lambung seperti
merokok dan makanan tinggi lemak sering dikaitkan dengan refluks
gastroesophageal. Makanan berlemak dapat meningkatkan postprandial refluks
gastroesophageal dengan meningkatnya volume lambung, tertundanya laju
pengosongan lambung, dan menurunnya tekanan LES. Tertundanya pengosongan
lambung dapat menyebabkan regurgitasi menyusui yang dapat mengakibatkan
komplikasi GERD pada bayi seperti gagal tumbuh dan aspirasi paru.

Komposisi Refluks
Komposisi, pH, dan volume refluxate adalah faktor agresif penting dalam
menentukan konsekuensi dari refluks gastroesophageal. Pada hewan, asam
memiliki dua efek utama ketikarefluks ke kerongkongan. Pertama, jika pH
refluxate kurang
dari 2, esophagitis mengakibatkan denaturasi protein. Pepsinogen diaktifkan
menjadi pepsin pada pH ini dan mungkin juga menyebabkan esofagitis.
Duodenogastric reflux esophagitis, atau "basa esophagitis, "mengacu pada
esofagitis yang disebabkan oleh refluks empedu dan cairan pankreas.
Peningkatan konsentrasi empedu lambung disebabkan oleh duodenogastric
refluks sebagai hasil dari gangguan motilitas umum, clearance lebih lambat dari
refluxate atau setelah surgery.

Asam empedu memiliki efek langsung mengiritasi mukosa esofagus dan efek
tidak langsungnya yaitu meningkatkan permeabilitas ion hidrogen dari mukosa.
Presentase pH esofagus dibawah 4 lebih besar pada pasien komplikasi
dibandingkan dengan pasien berpenyakit ringan. Kombinasi dari asam, pepsin
dan atau empedu merupakan refluks poten dalam memproduksi kerusakan
esofageal.
Gejala Klinis

1. Gejala khas : Dapat diperburuk oleh kegiatan yang memperburuk


gastroesophageal reflux seperti posisi telentang , membungkuk , atau makan
makanan tinggi lemak .
• Mulas
• kurang Air ( hipersalivasi )
• bersendawa
• Regurgitasi

2. Gejala atipikal : Dalam beberapa kasus , gejala-gejala extraesophageal mungkin


satu-satunya gejala yang hadir , sehingga lebih sulit untuk mengenali GERD
sebagai penyebabnya , terutama ketika studi endoskopi yang normal.
• asma nonallergic
• Batuk kronis
• Suara serak
• Faringitis
• Nyeri dada
• erosi gigi

3. Gejala Peringatan : Gejala-gejala ini mungkin menunjukkan komplikasi GERD


seperti Barrett esophagus , striktur esofagus , atau kanker kerongkongan .
• Nyeri terus menerus
• Disfagia
• odynophagia
• penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
• Tersedak

Diagnosis

Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD adalah :

a. Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih
oleh evaluasi pasien dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa
PRGE tidak selalu disertai kerusakan mukosa yang dapat dilihat secara
mikroskopik dan dalam keadaan ini merupakan biopsi. Endoskopi
menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan berguna pula untuk
pengobatan (dilatasi endoskopi).
b. Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan
kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Di samping itu hanya
sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan refluks barium secara spontan
pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat, gambar
radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak,
atau penyempitan lumen.

Tes Provokatif

1. Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa


esofagus terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1
% yang dialirkan ke esofagus. Tes Bernstein yang negatif tidak memiliki
arti diagnostik dan tidak bisa menyingkirkan nyeri asal esofagus.
Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada asal esofagus menurut
kepustakaan berkisar antara 80-90%.
2. Tes Edrofonium. Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium
yang disuntikan intravena. Dengan dosis 80 µg/kg berat badan untuk
menentukan adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat dari
rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk memastikan
nyeri dada asal esofagus.
3. Pengukuran pH dan tekanan esofagus
Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada
tidaknya RGE, pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap
diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk memastikan hubungan nyeri dada
dengan RGE adalah menggunakan alat yang mencatat secara terus
menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik
esofagus. Selama rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada
yang dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan dan
pH esofagus/gangguan motorik esofagus. Dewasa ini tes tersebut
dianggap sebagai gold standar untuk memastikan adanya PRGE.
4. Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy
Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan
esofagus dan sifatnya non invasif (Djajapranata, 2001).
5. Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan
mukosa esofagus, erosi, dan striktur.
6. Tes PPI
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada
pasien yang diduga menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang
selama satu minggu. Tes ini mempunyai sensitivitas 75%.
7. Manometri esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi
pada pasien NERD. Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan
peristaltik/motilitas esofagus.

8. Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan.
Tetapi bukan untuk memastikan NERD
9. Kuesioner untuk memastikan gejala GERD
Patofisiologi

Faktor kunci pada perkembangan GERD adalah aliran balik asam atau substansi
berbahaya lainnya dari perut ke esofagus. Pada beberapa kasus, refluks
gastroesofageal dikaitkan dengan cacat tekanan atau fungsi dari sfinkter
esofageal bawah (lower esophageal sphincter/LES). Sfinkter secara normal
berada pada kondisi tonik (berkontraksi) untuk mencegah refluks materi
lambung dari perut, dan berelaksasi saat menelan untuk membuka jalan
makanan ke dalam perut. Penurunan tekanan LES dapat disebabkan oleh (a)
relaksasi sementara LES secara spontan, (b) peningkatan sementara tekanan
intraabdominal, atau (c) LES atonik.
Masalah dengan mekanisme pertahanan mukosa normal lainnya, seperti faktor
anatomik, klirens esofageal (waktu kontak asam dengan mukosa esofageal yang
terlalu lama), resistensi mukosa, pengosongan lambung, epidermal growth factor,
dan pendaparan saliva, juga dapat berkontribusi pada perkembangan GERD.
Faktor agresif yang dapat mendukung kerusakan esofageal saat refluks ke
esofagus termasuk asam lambung, pepsin, asam empedu, dan enzim pankreas.
Dengan demikian komposisi, pH dan volume refluksat serta durasi pemaparan
adalah faktor yang paling penting pada penentuan konsekuensi refluks
gastroesofageal.

Tatalaksana

Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala


pasien, mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks esofageal,
mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka, dan mencegah
berkembangnya komplikasi.
Terapi diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah
refluks dan / atau mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas
refluks atau kerusakan mukosa. Secara spesifik, yaitu:
1 Mengurangi keasaman dari refluksat.
2 Menurunkan volume lambung yang tersedia untuk direfluks.
3 Meningkatkan pengosongan lambung.
4 Meningkatkan tekanan LES.
5 Meningkatkan bersihan asam esofagus.
6 Melindungi mukosa esophagus.
Terapi GERD dikategorikan dalam beberapa fase, yaitu:
Fase I: mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan
antasida dan/atau OTC antagonis reseptor H2 (H2RA) atau penghambat pompa
proton (PPI).
Fase II: intervensi farmakologi terutama dengan obat penekan dosis tinggi.
Fase III: terpai intervensional (pembedahan antirefluks atau terapi endoluminal).

TERAPI NON FARMAKOLOGI


1. Modifikasi Gaya Hidup
• Mengangkat kepala saat tidur (meningkatkan bersihan esofageal). Gunakan
penyangga 6-10 inchi di bawah kepala. Tidur pada kasur busa.
• Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES (lemak, coklat,
kopi, kola, teh bawang putih, bawang merah, cabe, alkohol, karminativ
(pepermint, dan spearmint))
• Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi mukosa esofagus
(makanan pedas, jus jeruk, jus tomat dan kopi)
• Makan makanan yang tinggi protein (meningkatkan tekanan LES)
• Makan sedikit dan menghindari tidur segera setelah makan (jika mungkin 3
jam) (menurunkan volume lambung)
• Penurunan berat badan (mengurangi gejala)
• Berhenti merokok (menurunkan relaksasi spontan sfingter esofagus).
• Menghindari minum alkohol (meningkatkan amplitudo sfinter esofagus,
gelombang peristaltik dan frekuensi kontraksi).
• Menghindari pakai pakaian yang ketat.
• Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat menurunkan
tekanan LES (Antikolinergik, barbiturat, benzodiazepin (misalnya
diazepam), kafein, penghambat kanal kalsium dihidropiridin, dopamin,
estrogen, etanol, isoproterenol, narkotik (meperidin, morfin), nikotin
(merokok) nitrat, fentolamin, progesteron dan teofilin).
• Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat mengiritasi
secara langsung mukosa esofagus (tetrasiklin, quinidin, KCl, garam besi,
aspirin, AINS dan alendronat).
2. Pendekatan Intervensi
Pembedahan Antirefluks
Intervensi bedah adalah alternatif pilihan bagi pasien GERD yang
terdokumentasi dengan baik. Tujuan pembedahan antirefluks adalah untuk
menegakkan kembali penghalang antirefluks, yaitu penempatan ulang LES, dan
untuk menutup semua kerusakan hiatus terkait. Operasi ini harus
dipertimbangkan pada pasien yang
• gagal untuk merespon pengobatan farmakologi;
• memilih untuk operasi walaupun pengobatan sukses karena pertimbangan
gaya hidup, termasuk usia, waktu, atau biaya obat-obatan;
• memiliki komplikasi GERD (Barret’s Esophagus/BE, strictures, atau esofagitis
kelas 3 atau 4); atau
• mempunyai gejala tidak khas dan terdokumentasikan mengalami refluks pada
monitoring pH 24-jam.

Terapi Endoluminal
Beberapa pendekatan endoluminal baru untuk pengelolaan GERD baru saja
dikembangkan. Teknik-teknik ini meliputi endoscopic gastroplastic plication,
aplikasi endoluminal radiofrequency heat energy (prosedur Stretta), dan injeksi
endoskopik biopolimer yang dikenal sebagai Enteryx pada penghubung
gastroesofageal.

TERAPI FARMAKOLOGI
1. Antasida dan Produk Antasida-Asam Alginat
Digunakan untuk perawatan ringan GERD. Antasida efektif mengurangi gejala-
gejala dalam waktu singkat, dan antasida sering digunakan bersamaan dengan
terapi penekan asam lainnya. Pemeliharaan pH intragastrik di atas 4 dapat
menurunkan aktivasi pepsinogen menjadi pepsin, sebuah enzim proteolitik.
Netralisasi cairan lambung juga dapat mengarah pada peningkatan tekanan LES.
Produk antasid yang dikombinasikan dengan asam alginiat adalah agen penetral
yang tidak ampuh dan tidak meningkatkan tekanan LES, namun membentuk
larutan yang sangat kental yang mengapung di atas permukaan isi lambung.
Larutan kental ini diperkirakan sebagai pelindung penghalang bagi
kerongkongan terhadap refluks isi lambung dan mengurangi frekuensi refluks.
2. Penekanan Asam dengan Antagonis Reseptor H 2 (simetidin, famotidin,
nizatidin, dan ranitidin)
Terapi penekanan asam adalah pengobatan utama GERD. Antagonis reseptor H 2
dalam dosis terbagi efektif dalam mengobati pasien GERD ringan hingga sedang.
Kemanjuran antagonis reseptor H2 dalam perawatan GERD sangat bervariasi dan
sering lebih rendah dari yang diinginkan. Respons terhadap antagonis reseptor
H2 tampaknya tergantung pada (a) keparahan penyakit, (b) regimen dosis yang
digunakan, dan (c) durasi terapi.
3. Proton Pump Inhibitor (PPI) (esomeprazol, lansoprazol, omeprazol,
pantoprazol, dan rabeprazol)
PPI lebih unggul daripada antagonis reseptor H 2 dalam mengobati pasien GERD
sedang sampai parah. Ini tidak hanya pada pasien erosif esofagtis atau gejala
komplikasi (BE atau striktur), tetapi juga pasien dengan GERD nonerosif yang
mempunyai gejala sedang sampai parah. Kekambuhan umumnya terjadi dan
terapi pemeliharaan jangka panjang umumnya diindikasikan.
PPI memblok sekresi asam lambung dengan menghambat H +/K+-triphosphatase
adenosin lambung dalam sel parietal lambung. Ini menghasilkan efek
antisekretori yang mendalam dan tahan lama yang mampu mempertahankan pH
lambung di atas 4, bahkan selama lonjakan asam setelah makan.
PPI terdegradasi dalam lingkungan asam sehingga diformulasi dalam tablet atau
kapsul pelepasan tertunda. Pasien harus diinstruksikan untuk meminum obat
pada pagi hari, 15 sampai 30 menit sebelum sarapan untuk memaksimalkan
efektivitas, karena obat ini hanya menghambat secara aktif sekresi pompa
proton. Jika dosisnya dua kali sehari, dosis kedua harus diberikan sekitar 10
hingga 12 jam setelah dosis pagi hari dan sebelum makan atau makan makanan
ringan.
4. Agen Promotilitas
Khasiat dari agen prokinetik cisaprid, metoklopramid, dan bethanechol telah
dievaluasi dalam pengobatan GERD. Cisapride memiliki khasiat yang sebanding
dengan antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien esofagitis ringan, tetapi
cisaprid tidak lagi tersedia untuk penggunaan rutin karena efek aritmia yang
mengancam jiwa bila dikombinasikan dengan obat-obatan tertentu dan penyakit
lainnya.
Metoklopramid, antagonis dopamin, meningkatkan tekanan LES, dan
mempercepat pengosongan lambung pada pasien GERD. Tidak seperti cisapride,
metoklopramid tidak memperbaiki bersihan esofagus. Metoklopramid dapat
meredakan gejala GERD tetapi belum ada data substantial yang menyatakan
bahwa obat ini dapat memperbaiki kerusakan esofagus.
Agen prokinetik juga telah digunakan untuk terapi kombinasi dengan antagonis
H2-reseptor. Kombinasi dilakukan pada pasien GERD yang telah diketahui atau
diduga adanya gangguan motilitas, atau pada pasien yang gagal pada pengobatan
dengan penghambat pompa proton dosis tinggi.
5. Protektan Mukosa
Sucralfat, garam aluminium dari sukrosa oktasulfat yang tidak terserap,
mempunyai manfaat terbatas pada terapi GERD. Obat ini mempunyai laju
pengobatan yang sama seperti antagonis reseptor H2 pada pasien esofagitis
ringan tapi kurang efektif dari pada antagonis reseptor H 2 dosis tinggi pada
pasien dengan esofagitis refrakter. Berdasarkan data yang ada, sukralfat tidak
direkomendasikan untuk terapi.

Komplikasi

a) Refluks esofagitis : nekrosis epitel esofagus menyebabkan luka di dekat


persimpangan dari lambung dan kerongkongan.
b) Striktur : penyempitan terus-menerus dari esophagus yang disebabkan
oleh refluks akibat peradangan.
c) Barrett esophagus: perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner
metaplastik.
d) Adenokarsinom: bentuk yang jarang dari kanker
e) Perdarahan
f) Aspirasi

Pencegahan

1. Hindari penggunaan pakaian yang terlalu ketat terutama di sekitar perut,


karena ini juga bisa meningkatkan gejala GERD.
2. Obesitas atau kegemukan adalah lebih cenderung menderita penyakit
GERD dan gejala terkait. Dengan demikian, jika anda memiliki berat badan
berlebih, segera lakukan penurunan berat badan dengan memulai gaya
hidup dan pola makan yang lebih sehat.
3. Penderita penyakit GERD dianjurkan untuk makan lebih kecil dan lebih
sering makan daripada makan besar tiga kali sehari. Makanan terakhir
kali harus diambil minimal 4 jam sebelum tidur. Dan jangan lupa, jangan
langsung berbaring setelah makan, karena hal ini dapat memperburuk
gejala penyakit GERD itu sendiri.
4. Jauhi dan hindari konsumsi beberapa jenis makanan dan minuman,
diantaranya : alkohol, kopi, cokelat, tomat, atau makanan yang
mengandung lemak tinggi, atau makanan yang pedas.
5. Meninggikan posisi ujung kepala saat tidur, yaitu sekitar 20 cm (8 inchi),
cara ini dipercaya cukup efektif untuk membantu mengurangi gejala
penyakit GERD.
6. Bagi penderita penyakit GERD, diasarankan untuk menghentikan
konsumsi obat-obatan untuk menetralisir dan mengurangi kadar asam
tersebut, seperti : nitrat, antikolinergik, antidepresan trisiklik, NSAIDs,
dan obat sejenisnya. Gunakanlah obat-obatan yang mampu menetralisir
dan mengurangi kadar asam lambung, yaitu : antasid, Alginates (alternatif
untuk antasid), dan sejenisnya.
7. Jangan berbaring setelah makan. Menunggu setidaknya tiga jam setelah
makan sebelum berbaring atau tidur.
8. Tinggikan kepala tempat tidur Anda
9. Tidak merokok. Merokok menurunkan kemampuan esophageal sphincter
bagian bawah untuk berfungsi dengan baik.

Prognosis

Penyakit GERD dapat teratasi dengan baik tergantung dari ketepatan


pengobatan dan tidak terlambat berobat serta belum menimbulkan
komplikasi.

Anda mungkin juga menyukai