Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pertusis adalah suatu penyakit akut saluran pernapasan yang banyak menyerang anak
balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah satu tahun yang disebabkan
infeksi Bordetella pertusis. Seperti halnya penyakit infeksi saluran pernapasan akut lainnya,
pertusis sangat mudah dan cepat penularannya. Tindakan penanggulangan penyakit ini antara
lain dilakukan dengan pemberian imunisasi. WHO menyarankan sebaiknya anak pada usia satu
tahun telah mendapatkan imunisasi dasar DPT sebanyak 3 dosis dengan interval sekurang-
kurangnya 4 minggu dan booster diberikan pada usia 15 - 18 bulan dan 4 - 6 tahun untuk
mempertahankan nilai proteksinya.
Pertusis akhir-akhir ini dikenal sebagai salah satu penyakit yang tergolong sebagai
reemerging disease.8 Fenomena ini terjadi di negara maju seperti Canada, Australia, dan
Amerika Serikat.9–13 Beberapa negara berkembang seperti Singapura, Slovenia, dan
Cekoslowakia juga menemukan fenomena serupa. Secara global diperkirakan sebanyak 17,6 juta
kasus pertusis timbul di dunia, 90% di antaranya terjadi di negara berkembang dan 279.000
pasien meninggal pada tahun 2003.
Di Indonesia, penyakit ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian pada anak balita.
Secara konvensional pencegahan penyakit ini dilakukan dengan pemberian imunisasi dasar pada
bayi usia 3 bulan dengan selang waktu di antara dosis satu bulan sebanyak 3 dosis. Booster
diberikan pada anak usia 3 dan 5 tahun. Sejak tahun 1975, Indonesia telah mengikuti PPI dengan
pemberian imunisasi dasar DPT 3 dosis pada anak usia 3-14 bulan dengan interval 1-3 bulan.
Pada pelaksanaannya masih banyak hambatan, mengingat secara geografis Indonesia beriklim
tropis dan terdiri dari beribu-ribu pulau dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai, sedang
syarat mutlak keberhasilan program adalah tingginya persentase populasi target yang harus
dicakup yaitu sebesar 80% atau lebih, sehingga sirkulasi kuman patogen dapat diputuskan.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
• Nama : Anak A.
• Jenis kelamin : Perempuan
• Umur : 2 bulan
• Agama : Islam
• Alamat : Jl. Kamboja Gg. Selamat
• Suku : Minang
• Tanggal masuk RS : 10 Juli 2018
• No. RM : 13.70.XX

2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 10 Juli 2018
a. Keluhan Utama : Batuk dan kebiruan di daerah bibir dan jari-jari
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien di bawa ke instalasi gawat darurat RSUD Mandau Duri dengan keluhan batuk
lebih kurang 2 minggu. Orang tua Os mengaku setiap batuk Os membiru terutama di
daerah bibir dan jari jari kaki dan tangan. Muntah -, mencret -,demam -, sesak nafas -.
Keluarga sudah membawa anak berobat ke Sp.A, didiagnosa dengan Pertusis dan
diberi obat Cefixime drop 2x0.5cc dan ada obat racik. Riwayat biru bila menyusui -,
Riwayat membiru saat menangis -
Riwayat Imunisasi : BCG
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan yang sama (-), Riwayat alergi obat (-), Riwayat kejang (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat hipertensi (-), Riwayat diabetes mellitus (-), Riwayat stroke (-), Riwayat
trauma (-), Riwayat epilepsi (-), Riwayat gangguan jiwa (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis GCS= E4M6V5=15
Nadi : 156x/ menit, irama reguler
Suhu Badan : 36,8 0 C
Pernafasan : 48x / menit, irama reguler
Berat Badan : 4 kg

2
Kulit : Warna sawo matang, ikterik (-), turgor kulit kembali
normal
Kepala : Normosefali, rambut hitam, ubun-ubung cekung -
Mata : cekung -, pupil bulat isokor, refleks cahaya +/+ .
Mulut : Sianosis +
Tenggorok : Faring hiperemis -, Tonsil T1-T1
Thoraks : Simetris, Retraksi (+) minimal
Pemeriksaan jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 1 cm medial dari linea midklavikularis
sinistra
Perkusi :
Batas jantung atas : ICS III garis sternalis kiri
Batas jantung kanan : ICS IV, 1 cm lateral linea sternalis kanan
Batas jantung kiri : ICS VI, 1 cm lateral linea midclavikularis kiri
Auskultasi : BJ 1 BJ 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksan paru
Inspeksi : Gerakan nafas simetris
Palpasi : Vocal fremitus simetris,
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki +/+, wheezing -/-

Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Soepel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : BU (+) meningkat
Pemeriksaan Ekstremitas : Sianosis + di ujung-ujung jari, akral hangat +, CRT< 2dtk

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Hb: 10,6
 Hematokrit: 31.5
 Leukosit: 17.410
 Hitung jenis
 Basofil : 0%
 Eosinofil : 0%
 Neutrofil : 35%
 Limfosit : 57%
 Monosit : 8%
 Trombosit: 489.000,
 GDS : 145

3
Kesan : Bronchopneumonia
5. DIAGNOSA
Pertusis + Bronkopneumonia

6. PENATALAKSANAAN
Tata laksana di IGD
 O2 1L/i
 Suction

Konsul dr. Kristina Sp.A


 Rawat ruang isolasi jangan digabung dengan pasien Tetanus
 Cek darah rutin + GDS
 Rontgen Thoraks
 IVFD D5 ¼ NS 10 tpm mikro
 O2 nasal 2L/i
 Inj. Vicillin 4x100 mg
 Azitromisin 1x40 mg
 Mercotin drop 3 x 2 tetes
 ASI dilanjutkan. Jika sedang batuk, anak tidak boleh di beri ASI

7. PROGNOSA
 Ad vitam : ad bonam
 Ad functionam : ad bonam
 Ad sanationam : ad bonam

8. FOLLOW UP
Tanggal 11-07-2018 Tanggal 13-07-2018
S : Batuk mulai berkurang, biru -, S : Batuk +, biru -, sesak -
Demam -, Minum ASI + minum ASI +, dahak + kental

O : HR : 118x/i, RR : 38x/i, T: 36,7 O : HR : 120x/i, RR : 34x/i, T : 36.5


4
Thoraks : Simetris, Retraksi - Paru : Vesikuler, Ronchi +/+
Paru : Ronchi +/+, Wheezing -/- Wheezing -/-
A : Pertusis + BP A : Pertusis + BP+ Candidiasis Oral
P : IVFD D5% ¼ NS 8 tpm mikro P : IVFD D5% ¼ NS 5 tpm mikro
O2 Nasal 1-2 l/i Inj. Vicillin 4x 100mg
ASI diperbanyak Claritromisin syr 2x 1.5ml
Inj. Vicillin 4x 100mg Mercotin drop 3x2 tetes
Azitromisin 1 x 40mg Nebul NaCl 0.9% 4.5 ml +
Mercotin drop 3x2 tetes ventolin 0.5 ml/12 jam
Nystatin drop 3x0.5 ml
Tanggal 12-07-2018
S : Batuk +, biru -, demam -, minum ASI +, Tanggal 14-07-2018
dahak + kental S : batuk berkurang, sesak -, biru -
O : HR : 118x/i, RR : 38x/i, T: 36,7 O : HR : 130x/i, RR : 40x/i, T 36.6
Thoraks : Simetris, Retraksi - Thoraks : simetris, retraksi -
Paru : Ronchi +/+, Wheezing -/- Paru : Rochi +/+ berkurang
Bibir : Bercak warna putih Wheezing -/-
A : Pertusis + BP + Candidiasis Oral A : Pertusis+BP+ Candidiasis Oral
P : IVFD D5% ¼ NS 8 tpm mikro P : Aff Infus
O2 Nasal 1-2 l/i Inj. Vicillin 4x100 mg
Inj. Vicillin 4x 100mg Claritromisin 2x1.5 ml
Claritromisin syr 2x 1.5ml Mercotin drop 2x2 tetes
Mercotin drop 3x2 tetes Nystatin drop 3x 0.5ml
Nebul NaCl 0.9% 4.5 ml+ventolin 0.5 ml/12 jam Nebul NaCl 0.9% 5 ml/12jam
Nystatin drop 3x0.5 ml
Tanggal16-07-2018
S : Batuk sesekali, sesak -, biru -, minum ASI +
O : HR : 120x/i, RR : 36x/i, T : 36.7
Thoraks : Simetris, Retraksi –
Paru : Vesikuler +, Ronchi -/-, Wheezing -/-
A : Pertusis + BP + Candidiasis Oral
P : Pasien Boleh Pulang, Rawat Jalan
ASI diperbanyak
Claritromisin 2x1.5 ml
Mercotin 2 x 1 tetes

5
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussisquinta, violent cough, dan
di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah
pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670.Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping
cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak).
Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit
infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang
belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.

ETIOLOGI
Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou,
kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media buatan.
Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis, B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan
B. avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis.

7
Untuk melakukan biakan B. pertusis, diperlukan suatu media pembenihan yang
disebut bordet gengou (potato blood glycerol agar) yang ditambah penisilin G 0,5 ug/ml
untuk menghambat pertumbuhan organism lain. Dengan sifat – sifat pertumbuhan kuman
aerob murni, membentuk asam, tidak membentuk gas pada media yang mengandung glukosa
dan laktosa, sering menimbulkan hemolisis.
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase dalam
biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau 4). Strain 1
berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif. Bordetella pertusis
dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C selama setengah jam, tetapi bertahan pada
suhu rendah (00 – 100C).
Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :
 Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis promoting factor,
Islet activating protein (IAP).
 Adenilat siklase luarsel.
 Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin-HA).
 Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).

DISTRIBUSI DAN INSIDENS


Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan dapat menyerang semua umur
mulai 2 minggu sampai 77 tahun dan terbanyak pada penderita di bawah 1 tahun, di mana
makin muda usia makin berbahaya. Banyak peneliti melaporkan bahwa pertusis bervariasi
sepanjang tahun mengikuti musim beberapa Negara. Di amerika serikat dapat di jumpai
sepanjang tahun dengan puncaknya di akhir musim panas.
Pertusis lebih sering menyerang anak wanita dari pada anak pria. Banyak peneliti
mengemukakan bahwa bayi kulit lebih hitam pada usia muda mempunyai insinden lebih
tinggi daripada bayi kulit putih, diduga perbedaan rasial ini dihubungkan dengan tingkat
kekebalan.

8
PATOGENESIS

9
Bordetella pertusis setelah dikeluarkan melalui sekresi udara pernafasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik.
Filamentous hemaglutinin (FHA), Lymphositosis promoting factor (LPF)/ pertusis
toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan Bordetella pertusis pada silia.
Setelah terjadi perlekatan Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar
keseluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada
pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan
menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping
cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertusis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya
berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada
daerah aktifasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan magrofag ke
daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur sintesis
protein di dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel
target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan
serotonin, efek memblokir beta adrenergik dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan
menurunkan konsengtrasi gula darah
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus Pneumonia, H. influenza dan Staphylococcus aureus). Penumpukan mukos
akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan
sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya
apnue saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf
pusat, apakah akibat pengaruh toksin langsung atakah sekunder akibat anoksia. Terjadi
perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal
ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan kontraksi
otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis
trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan siliostasis, dan diakhiri

10
dengan kematian sel. Pertusis lipopolysacharida (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal
patogenesis penyakit ini. Kadang – kadang Bordetella pertusis hanya menyebakan infeksi
yang ringan, karena tidak menghasilkan tosin pertusis.

MANIFESTASI KLINIK
Masa inkubasi pertusis 6 – 10 hari (rata – rata 7 hari), dimana perlangsungan penyakit
ini 6 – 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung 3 stadium yaitu
stadium kataralis (prodromal, preparoksimal), stadium akut paroksismal (paroksismal,
spasmodik), dan stadium konvalesens. Manisfestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik,
umur dan status imunisasi. Gejala pada anak yang berumur <2 tahun yaitu batuk paroksismal
(100%), whoops (60 – 70%), emesis (66 – 80%), dispnue (70 – 80%) dan kejang (20 – 25%).
Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih
pendek, kejang jarang pada anak >2tahun. Suhu jarang >38,40C pada semua golongan umur.
Penyakit yang disebabakan Bordetella parapertusis atau Bordetella bronkiseptika pada semua
golongan umur lebih ringan daipada Bordetella pertusis dan juga lama sakit lebih pendek.
Ketiga stadium pertusis diuraikan dibawah ini.

Stadium Katalaris (1 – 2 minggu)


Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas atas yaitu timbulnya rinore
(pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan
dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat
ditegakan karena sukar dibedakan dengan common cold.
Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet dan
penderita sangat infeksius, namun tidak tampak sakit. Pada tahap ini kuman paling mudah di
isolasi. Selama masa ini penyakit sering tidak dapat dibedakan dengan coomon cold.
Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari dan menjadi
semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket. Pada bayi lendir dapat
viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat
dan iritabel.

Stadium Paroksimal (2 – 4 minggu)

11
Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk yang
berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik napas pada akhir serangan
batuk. Batuk dengan sering 5 – 10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernapas dan pada
akhir serangan batuk anak menarik napas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar bunyi
melengking (whoop) dan diakhiri dengan muntah.
Pada anak –anak yang lebih tua, bunyi whoop ini sering tidak terdengar. Juga pada
bayi yang lebih muda serangan batuk hebat tidak di sertai bunyi whoop, tetapi penderita
sering dalam keadaan lemas, lelah, apneu, sianosis, muntah.
Batuk paroksimal dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa
adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat. Selama serangan , muka penderita
menjadi merah atau sianotis, mata tampak menonjol, lidah menjulur keluar dan gelisah. Pada
akhir serangan, penderita sering sekali memuntahkan lendir kental. Batuk mudah
dibangkitkan oleh stres emosional (menangis,sedih,gembira) dan aktifitas fisik.
Juga pada serangan batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas di kepala dan
leher, bahkan terjadi petekie di wajah, perdarahan subkonjungtiva dan sklera bahkan ulserasi
frenulum lidah.
Walaupun batuknya khas, tetapi d luar serangan batuk, anak akan keliatan seperti
biasa. Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan frekuen, kemudian
menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3 minggu dan berangsur –angsur menurun sampai
whoop dan muntah menghilang.

Stadium Konvalesen (1 – 2 minggu)


Ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah – muntah di mana puncak serangan
paroksimal berangsur – angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa
waktu dan akan menghilang sekitar 2 – 3 minggu. Pada beberapa penderita akan timbul

12
serangan batuk paroksimal kembali dengan gejala whoop dan muntah – muntah. Episode ini
terjadi berulang – ulang untuk beberapa bulan malahan bisa sampai 1 – 2 tahun.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat kontak dengan pasien
pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula
ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik
tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pada pemerikssan laboratorium didapatkan
leukositosis 20.000 – 50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral
dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis,
oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi Bordetella pertusis dari
sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium
kataral 95 – 100%, stadium parosismal 94% pada minggu ketiga dan menurun sampai 20%
untuk waktu berikutnya. Serologi untuk antobiodi toksin pertusis. Tes serologi berguna untuk
stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan.
Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum Igm, IgG dan IgA terhadap FHA dan PT
menggambarkan respon imun primer baik disebabakan oleh penyakit atau vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setealah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lain
yaitu toraks dapat memperlihatkan infiltrate perihiler, atelektasis atau empisema.

KOMPLIKASI
Pada saluran pernapasan
 Bronkopneumonia merupakan komplikasi berat yang paling sering terjadi dan
menyebabkan kematian pada anak di bawah 3 tahun terutama bayi yang lebih kecil
dari 1 tahun. Gejala ditandai dengan batuk,sesak napas, panas. Pada foto thoraks
terlihat bercak – bercak infiltrate tersebar.
 Otitis media. Karena batuk – batuk hebat, kuman masuk ke tuba eustachi kemudian
masuk ke telinga tengah sehingga menyebabkan otitis media.
 Bronchitis. Batuk mula – mula kering, setelah beberapa hari timbul lendir jernih
kemudian menjadi purulen. Pada auskultasi terdengar suara pernapasan kasar atau
ronki kasar atau ronki kering.

13
 Atelektasis. Timbul karena lendir kental yang dapat menyumbat bronkioli.
 Emfisema pulmonum. Terjadi oleah karena batuk – batuk yang hebat sehingga alveoli
pecah.
 Bronkiektasis. Terjadi karena pelebaran bronkus akibat tersumbat oleh lendir yang
kental dan dapat disertai dengan infeksi sekunder.
 Kolaps alveoli paru akibat baatk paroksimal yang lama pada anak – anak sehingga
dapat menyebabkan hipoksia berat pada bayi dapat menyebabkan kematian yang tiba
– tiba.
Pada Sistem Saraf Pusat
Terjadi kejang karena :
 Hipoksi dan anoksia akibat apnue yang lama.
 Perdarahan subarachnoid yang massif.
 Enselopati akibat atrofi kortikal yang difus.
 Gangguan elektrolit karena muntah.
Komplikasi – komplikasi yang lain
 Hemoptisis, akibat batuk yang hebat sehingga menyebabakan tekanan venous
meningkat dan kapiler pecah.
 Epitaksis.
 Hernia.
 Prolaps rekti.
 Malnutirsi karena anoreksia dan infeksi sekunder.

PENGOBATAN
Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena
kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi.Eritromisin, 40-50 mg/kg/24
jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari
merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparatestolat tetapi
etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicinetilsuksinat yang diberikan
dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam
dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicinestolatdiberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam
dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin,
Claritomisin,Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi
14
sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul
daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan
kemanjuran yang terbukti
Kortikosteroid
Beberapa peneliti menggunakan :
 Betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam
 Hidrokortison suksinat (Solukortef) intramuskuler dengan dosis 30mg/kg.bb/24jam,
kemudian diturunkan secara perlahan – lahan da diberhentikan pada hari ke 8.
 Prednisolon oral 2,5 – 5 mg/hari.
 Dari beberapa peneliti ternyata bahawa kortikosteroid berfaedah dalam pengobatan
pertusis terutama pada bayi dengan serangan paroksimal.
Salbutamol
Beberapa peneliti menganjurkan bahwa salbutamol efektif terhadap pengobatan pertusis
dengan cara kerja sebagai berikut :
 Beta 2 adrenergik stimulant
 Mengurangi parokosismal
 Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop
 Mengurangi frekunensi apnue
Dosis yang dianjurkan 0,3 – 0,5mg/kg.bb/hari, dibagi dalam 3 dosis.
Terapi suportif
 Lingkungan perawatan yang tenang
 Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan
makanan yang berbentuk cair.
 Bila penderita muntah – muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit secara
parenteral.
 Pembersihan jalna napas.
 Oksigen, terutama pad asernagan baatuk yang hebat yang disertai sianosis.

PENCEGAHAN DAN KONTROL

15
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini ialah dengan imunisasi. Banyak laporan
mengemukakan bahwa terdapat penurunan kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan
program imunisasi.
Imunisasi pasif
Dapat diberikan Human Hiperimmune Globulin, ternyata beberapa penelitian diklinik
tidak efektif sehingga akhir – akhir ini tidak lagi diberikan sebagai pencegahan atau
pengobatan pertusis.
Imunisasi aktif
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan
jarak 8 minggu.Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteria dan
tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat
dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun
tidak rutin diimunisasi.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens infeksi
pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperansebagai sumber infeksi B.pertussis pada
bayi-bayi non imun.Vaksin pertusismonovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol
epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti
eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas, mengantuk,
dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko
terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per
oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas, kelainan
neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang.Riwayat keluarga
adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi
pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis.Kontraindikasi untuk pemberian
vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang
demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high
picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak
dapat diterangkan 40.5 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.

Kontak dengan penderita :


Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu
dengan pertussis.Eritromisin50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14
hari.Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan
16
eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi
eliminasi B. pertussisdari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala penyakit1,11,12.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi
sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan.Jika ada kontak
tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat
eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu
terjadi epidemi.

PROGNOSIS
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik.
Pada bayi resiko kemtaian (0,5 – 1 %) disebabkan enselopati. Pada observasi jangka panjang,
apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective


therapy8 (2): 163–73.
2. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology
17
of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection.
Pediatrics :115:1422-1427.Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059. Accessed on May 14th 2014.
3. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone,
Philadelphia. p.2701. Available at http://www.uptodate.com/contents/microbiology-
pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3. Accessed on
May 13rd 2014.
4. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Available at
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html. Accessed on May 13rd 2014.
5. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar
I.K.AnakFKUI :Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997.
Jilid 2. h: 564-566.
6. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria,
and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and
acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33.Available at
https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview. Accessed on
May 15th 2014.
7. Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson
Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, 2000. Hal : 960 – 965
8. Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis.
Edisi 2, Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 2008. Hal
331 – 337.
9. Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB., Ismoedijanto,
Soedjatmiko (Ed.). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi –
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2008:144-151.

18

Anda mungkin juga menyukai