Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

SUMBER PENERIMAAN DAERAH DAN KRITERIA PENETAPAN PAJAK

Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Publik II

Dosen Pengampu: Dra. Sudati Nur Sarfiah, MM.

Disusun Oleh :

Zaitun Harba Azizah 1510101004


Musanti 1510101016
Aldhella Arcy Desya 1510101029
Sulistiawan 1510101036
Gilang Bondoyudho 1510101040

S1 EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TIDAR
2018

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin-Nya penulis
dapat menyelesaikan paper yang berjudul “Migrasi Di Indonesia”.Sholawat serta salam
senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabat
dan para pengikutnya.

Kemudian penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :


1. Bapak Dr. HadiSasana, S.E., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Tidar.
2. Bapak Drs. Whinarko JP, M.Si selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas
Ekonomi Universitas Tidar.
3. Ibu Sudati Nur Sarfiah, MM. selaku dosen Ekonomi Publik II
4. Bapak Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tidar.
5. Orang tua penulis, yang telah mendidik, mengasuh penulis hingga saat ini dengan penuh
pengorbanan, memberikan doa, nasihat, cinta, kasih sayang, dan semangat yang tidak
pernah putus kepada penulis.
6. Semua keluarga yang selalu memberikan semangat dan menghibur setiap harinya.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian karya tulis ini, yang tidak dapat
disebutkan satu per satu
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Ekonomi Publik II.Semoga dengan adanya
makalah ini dapat memberikan kontribusi dalam menunjang pengetahuan para mahasiswa dan
pihak lain pada umumnya. Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah
ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan demi sempurnanya Makalah ini. Akhirnya penulis berharap mudah-
mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Magelang, 14 Mei 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi sumber Penerimaan daerah ................................................................. 3
2.2 Macam-macam Sumber Penerimaan Daerah ...................................................... 4
2.3 Kriteria Penetapan Pajak ................................................................................... 14
2.4 Kewenangan Pemungutan Pajak Daerah berdasarkan Undang-Undang .......... 16

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 19
3.2 Saran .................................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era otonomi daerah seperti sekarang ini, daerah mendapat kewenangan yang lebih besar
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Salah satu ciri dari kemapanan suatu
daerah dalam berotonomi adalah terletak pada kemampuan keuangannya. Untuk itu, daerah
harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya
sendiri, mengelola dan menggunakannya untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan daerahnya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah,
seperti yang dikemukakan Syamsi berikut: Faktor-faktor tersebut adalah: kemampuan
structural organisasinya, kemampuan aparatur daerah, kemampuan mendorong partisipasi
masyarakat dan kemampuan keuangan daerah, diantara faktor-faktor tersebut, faktor
keuangan merupakan faktor essensial untuk mengukur tingkat kemampuan daerah dalam
melaksanakan otonominya. Dikatakan demikian, karena pelaksanaan otonomi daerah yang
nyata dan bertanggungjawab harus didukung dengan tersedianya dana guna pembiayaan
pembangunansalah satunya dengan penetapan pajak .untuk menyelenggarakan pemerintahan
seperti diatas, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan
perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban
kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-
Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah harus didasarkan pada Undang-
Undang.

1.2 Rumusan Masalah


1) Bagaimana definis definisi sumber penerimaan daerah?
2) Apasajakah sumber penerimaan daerah?
3) Bagaimanakah kriteria penetapan pajak?
4) Bagaimanakah kewenangan pemungutan pajak daerah berdasarkan undang-undang?

1
1.2 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan disusunnya makalah ini antara lain:
1) Untuk mengetahui definisi sumber penerimaan daerah.
2) Untuk mengetahui sumber penerimaan daerah.
3) Untuk mengetahui kriteria penetapan pajak.
4) Untuk mengetahui kewenangan pemungutan pajak daerah berdasarkan undang-undang.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Keuangan Daerah dan Penerimaan Daerah


Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan
kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman
pengelolaan keuangan daerah, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.

Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,


pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan
daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

Penerimaan daerah merupakan keseluruhan uang yang masuk ke kas daerah. Hal ini harus
dibedakan dengan pengertian pendapatan daerah karena tidak semau penerimaan merupakan
pendapatan daerah. Yang dimaksud dengan pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah
yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih.Pendapatan daerah adalah semua hak
Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran
yang bersangkutan. (UU.No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah), pendapatan daerah
berasal dari penerimaan dari dana perimbangan pusat dan daerah, juga yang berasal daerah itu
sendiri yaitu pendapatan asli daerah serta lain-lain pendapatan yang sah.

3
2.2 Sumber penerimaan daerah
Berdasarkan Undang-undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pengertian pendapatan asli daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18 bahwa
“Pendapatan asli daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah
yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”
Menurut Herlina Rahman (2005:38) Pendapatan asli daerah Merupakan pendapatan daerah
yang bersumber dari hasil pajak daerah ,hasil distribusi hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dalam menggali pendanaan
dalam pelaksanaan otoda sebagai perwujudan asas desentralisasi.
Menurut Warsito (2001:128) Pendapatan Asli Daerah “Pendapatan asli daerah (PAD)
adalah pendapatan yang bersumber dan dipungut sendiri oleh pemerintah daerah. Sumber
PAD terdiri dari: pajak daerah, restribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah
(BUMD), dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah”.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil
pajak daerah, hasil retribusi Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan
kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai
mewujudan asas desentralisasi. (Penjelasan UU No.33 Tahun 2004). PAD (Pendapatan Asli
Daerah) bersumber dari:
a. Pajak Daerah
Pajak daerah adalah pajak yang di kelola oleh pemerintah daerah (baik pemerintah daerah
provinsi maupun pemerintah daerah kabupaten/kota) dan hasil di pergunakan untuk
membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan daerah (APBD). Tony Marsyahrul (2004:5).
Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberikan kewenangan
yang lebih luas untuk menggali potensi sumber-sumber penerimaan daerahnya dan kemudian
menentukan sendiri sumber penerimaan daerah yang sesuai dengan karakteristik daerahnya
masing-masing. Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan UU
Nomor 34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah yang merupakan penyempurnaan

4
dari UU Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan Nomor 66 Tahun 2001 tentang
Retribusi daerah. Berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, daerah di
berikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak, kabupaten/kota diberi peluang untuk
menggali potensi sumber-sumber keuangannya dan 28 jenis retribusi. Daerah dilarang
memungut jenis Pajak selain yang tersebut di atas (Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 28 Tahun
2009). Apabila ada Daerah menetapkan Perda dan melakukan pemunggutan Pajak Daerah
selain yang ditetapkan UU, maka Perda tersebut akan direkomendasikan untuk dapat
dibatalkan.
Macam-Macam Pajak Daerah
 Pajak Provinsi
Pajak provinsi adalah pungutan pajak yang di tetapkan oleh gubernur selaku kepala daerah
(tingkat 1) sebagai bagian dari pendapatan provinsi. Jenis-jenis pajak provinsi terdiri dari :
1. Pajak kendaraan bermotor.
2. Pajak kendaraan di atas air.
3. Bea balik nama kendaraan bermotor.
4. Bea balik nama kendaraan di atas air.
5. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
6. Pajak pengambilan dan pemanfaatan: air bawah tanah dan air permukaan.

 Pajak Kabupaten/Kota
Pajak kabupaten/kota adalah pungutan pajak yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota selaku
kepala daerah (tingkat II) sebagai bagian dari pendapatan kabupaten atau kota.Jenis jenis
pajak kabupaten / kota terdiri dari:
1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
7. Pajak Parkir;
8. Pajak Air Tanah;

5
9. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
10. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

b. Retribusi Daerah
Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau badan. Berdasarkan objeknya, retribusi dibagi menjadi tiga golongan,
yaitu:
1. Retribusi Jasa Umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati
oleh orang pribadi atau badan. Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
 Retribusi Pelayanan Kesehatan;
 Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
 Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
 Retribusi Pelayanan Pasar;
 Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
2. Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintahan daerah
dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh
sektor swasta. Jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:
 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
 Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
 Retribusi Pengolahan Limbah Cair;
 Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal;
 Retribusi Terminal;
3. Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan pemerintah daerah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan,
pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan
sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.Jenis-jenis Retribusi Perijinan
Tertentu:
 Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;

6
 Retribusi Ijin Gangguan;
 Retribusi Ijin Trayek

c. Hasil Pengolahan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan


Kekayaan Daerah yang dipisahkan adalah komponen kekayaan negara yang
pengelolaannya diserahkan kepada Badan Usaha Milik Daerah. Pengelolaan kekayaan Daerah
yang dipisahkan ini merupakan subbidang keuangan negara yang khusus ada pada negara-
negara nonpublik. Pemerintah melakukan investasi pada BUMD.BUMD atau lembaga
keuangan negara/daerah lainnya sehingga timbul hak dan kewajiban negara berkenaan dengan
investasi tersebut.Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan bagian dari
PAD daerah tersebut, yang antara lain bersumber dari:
 Bagian laba dari perusahaan daerah;
 Bagian laba dari lembaga keuangan bank (contoh Bank Daerah);
 Bagian laba atas penyertaan modal kepada badan usaha lainnya.

2. Dana Perimbangan
Sesuai dengan ketentuan UU No.33 Tahun 2004, dana perimbangan merupakan pendanaan daerah
yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana
Alokasi Khusus. Dana perumbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai
kewenangannya juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan
antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah.
Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah dan antara Pemerintahan Daerah. Dana Perimbangan dipisahkan menjadi beberapa jenis
jenis yaitu :
A. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah dan dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah
yang harus ditetapkan pemerintah sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri
Netto. Pengalokasian DAU kepada daerah menggunakan dasar alokasi dasar dan celah fiskal.
Cara perhitungan DAU atas dasar Alokasi Dasar berdasarkan jumlah gaji pegawai daerah
yang bersangkutan meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai

7
dengan peraturan penggajian Pegawai Negeri Sipil termasuk di dalamnya tunjangan beras dan
tunjangan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21). Sementara celah fiskal (fiscal gap) dihitung
dengan cara kebutuhan daerah (fiscal need) dikurangi potensi daerah (fiscal capacity).Fiscal
need merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar
umum yang diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks
Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks
Pembangunan Manusia. Sementara fiscal capacity adalah sumber pendanaan daerah yang
berasal dari PAD dan DBH.
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan
imbangan kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tetapi, jika imbangan
kewenangan ini tidak bisa dihitung secara kuantitatif, maka porsi DAU antara daerah Provinsi
dan Kabupaten/Kota dianggap masing-masing 10% dan 90%.
Alokasi DAU akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden dan disalurkan dengan cara
pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
Penyalurannya dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu per duabelas) dari
alokasi DAU daerah yang bersangkutan.

B. Dana Alokasi Khusus


Dana Alokasi Khusus (DAK) dimaksudkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan khusus di
daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional,
khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat
yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan
daerah.Oleh karena itu DAK setiap tahun selalu dialokasikan dalam APBN yang disesuaikan
dengan program yang menjadi prioritas nasional.Untuk menetapkan daerah tertentu yang akan
mendapatkan alokasi DAK, maka pemerintah menetapkan kriteria meliputi kriteria umum,
khusus dan teknis.
Kriteria umum ditetapkan dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang
dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil
Daerah. Kemampuan keuangan daerah yang dimaksuddihitung melalui indeks fiskal netto.
Daerah yang memenuhi krietria umum merupakan daerah dengan indeks fiskal
netto.Sementara kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-

8
undangan yang mengatur tentang kekhususan suatu daerah dan karakteristik daerah.
Karakteristik daerah yang dimaksud antara lain adalah daerah pesisir dan kepulauan, daerah
perbatasan dengan Negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah yang termasuk rawan
banjir dan longsor serta daerah yang termasuk daerah ketahanan pangan. Untuk kriteria teknis
meliputi standar kualitas/kuantitas konstruksi, serta perkiraan manfaat lokal dan nasional yang
menjadi indikator dalam perhitungan teknis.Kriteria teknis disusun berdasarkan indikator-
indikator kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK yang dirumuskan melalui indeks
teknis oleh menteri teknis terkait yang disampaikan kepada Menteri Keuangan.Bagi daerah
yang menerima DAK diwajibkan menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%
dari alokasi DAK. Dana pendamping tersebut harus dianggarkan dalam APBD. Namun bagi
daerah dengan kemampuan fiskal tertentu khususnya daerah yang penerimaan umum APBD
dan belanja pegawainya sama dengan nol atau negatif, tidak diwajibkan menyediakan dana
pendamping.Disamping dana pendamping, daerah penerima DAK dalam penggunaanya
diwajibkan mencantumkan alokasi dan penggunaannya dalam APBD.
Disamping itu DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan,
penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan dan perjalanan dinas Berbeda dengan DAU
yang pengalokasiannya ditetapkan dengan Peraturan Presiden, maka alokasi DAK per daerah
ditetapkan oleh Peraturan Menteri KeuanganNamun dalam hal penyalurannya sama dengan
DAU yaitu disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke
Rekening Kas Umum Daerah.Daerah penerima DAK juga diwajibkan untuk membuat dan
menyampaikan laporan triwulan yang memuat laporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan
DAK kepada Menteri Keuangan, Menteri teknis; dan Menteri Dalam Negeri. Penyampaian
laporan dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah triwulan yang
bersangkutan berakhir. Jika daerah tidak menyampaikan laporan, maka penyaluran DAK
dapat ditunda oleh pemerintah. Hasil dari laporan masing-masing daerah oleh Menteri teknis
akan disampaikan sebagai laporan pelaksanaan kegiatan DAK setiap akhir tahun anggaran
kepada Menkeu, Kepala Bappenas, dan Mendagri.Perhitungan alokasi DAK dilakukan
melalui dua tahap, antara lain Penentuan daerah tertentu penerima DAK dan Penentuan
besaran alokasi DAK masing-masing daerah.

9
C. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagi-
hasilkan kepada daerah berdasarkan angka prosentase yang telah ditetapkan dalam UU No.33
Tahun 2004.DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Di sektor pajak terdiri dari
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
dan Pasal 21. DBH sektor sumber daya alam berasal dari sektor kehutanan, pertambangan
umum, perikanan, pertambahan minyak bumi, pertambahan gas bumi, dan pertambangan
panas bumi.
Dana Bagi Hasil mempunyai beberapa prinsip, antara lain:
a) Harus ada Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP nya,
b) Besarannya adalah presentase tertentu dari PNBP (migas 84,5% pusat dan 15,5% daerah),
c) Alokasinya dalam APBN berdasarkan perkiraan PNBP dalam satu tahun, dan
d) Penyalurannya kepada daerah berdasarkan realisasi PNBP dalam satu tahun.
Dana Bagi Hasil Pajak, Sumber – sumber dana bagi hasil dari sektor pajak, antara lain
seperti Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri; PPh Pasal 21; Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB); dan Cukai Hasil Tembakau (dialokasikan sejak tahun 2009).
Pembagian sumber pajak dari PPh WPOPDN dan PPh 21 antara pemerintah pusat dan
daerah masing – masing adalah 80% dan 20%, kemudian untuk daerah masih dibagi lagi
untuk propinsi sebesar 8% dan bagian kabupaten/kota 12%. Dari yang diterima oleh Kab/Kota
tersebut masih dibagi lagi 8,4% untuk kab/ kota tempat wajib pajak terdaftar, 3,6% untuk
seluruh kab/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian sama besar.
Untuk pembagian penerimaan PBB, pemerintah pusat memperoleh 10% dan daerah
sebesar 90%. Perolehan untuk pemerintah pusat dibagi kembali secara merata untuk seluruh
kab/kota sebesar 6,5% dan sisanya 3,5% diberikan sebagai insentif kepada kab/kota yang
realisasi penerimaannya pada TA sebelumnya mencapai/ melampaui rencana yg ditetapkan.
Sedangkan 90% yang diterima daerah dibagi untuk propinsi sebesar 16,2%, kabupaten/ kota
bersangkutan sebesar 64,8%, dan biaya pemungutan PBB 9%.
Untuk penerimaan pajak dari sektor Bea Penerimaan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), sejak terhitung tahun 2011 sudah diberikan 100% sepenuhnya kepada kabupaten/

10
kota bersangkutan.Yang terakhir dari sektor pajak adalah Cukai Hasil Tembakau (CHT), pasal
66a UU nomor 39/2007 mengamanatkan pembagian DBH CHT dilakukan dengan persetujuan
menteri, dengan komposisi 30% untuk provinsi penghasil, 40% untuk kab/kota daerah
penghasil, dan 30% untuk kab/kota lainnya. Dan penggunaan dari sektor, yang ditetapkan
melaui Permekeu No. 84/PMK.07/2008 kemudian dirubah menjadi PMK 20/PMK.07/2009
adalah untuk peningkatan bahan baku industri hasil tembakau, pembinaan industri hasil
tembakau, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan
pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Dana Bagi Hasil SDA, memiliki beberapa sumber antara lain adalah Pertambangan
Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, Pertambangan Panas Bumi, Kehutanan, dan
Perikanan. Berdasarkan PP Nomor 55/2005 pasal (27), dasar penghitungan DBH SDA
ditetapkan oleh menteri teknis paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran
bersangkutan dilaksanakan. Dan menteri dalam negeri yang menetapkan daerah penghasil
SDA berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait paling lambat 60 (enam puluh) hari
setelah diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis. Ketetapan Mendagri itulah yang
menjadi dasar penghitungan DBH SDA oleh menteri teknis yang kemudian disampaikan
kepada Menteri Keuangan. Penetapan perkiraan alokasi DBH SDA dari Menkeu untuk
masing-masing daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya ketetapan dari
menteri teknis. Sedangkan perkiraan alokasi DBH SDA Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi
untuk masing-masing daerah ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah menerima
ketetapan dari menteri. Undang-undang nomor 33 tahun 2004 yang terkait dengan DBH SDA,
menyatakan bahwa adanya penambahan obyek dana bagi hasil SDA, yaitu DAK – DR
menjadi DBH Dana Reboisasi dan SDA Panas Bumi.
Kemudian adanya penegasakan mekanisme mengenai penetapan alokasi DBH SDA
dilakukan berdasarkan daerah penghasil dan dasar penghitungan, Jadwal penetapan, dan
penyaluran DBH SDA triwulan secara triwulanan. Untuk penambahan presentase sebesar
0,5% dari penerimaan pertambangan minyak bumi kepada daerah yang dihasilkan dari
wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga bagian pemerintah dari minyak bumi
menjadi 84,5% dan bagian daerah dari minyak bumi menjadi 15,5%. Tambahan DBH dari
pertambangan minyak bumi dan gas bumi untuk daerah sebesar 0,5% dialokasikan untuk

11
menambah anggaran pendidikan dasar dan dilaksanakan mulai tahun anggaran 2009. Dengan
pembagian untuk provinsi bersangkutan 0,1%, Kab/ Kota penghasil 0,2%, dan Kab/Kota
dalam provinsi bersangkutan 0,2%. Sedangkan realisasi penyaluran DBH dari sektor minyak
bumi dan gas bumi tidak melebihi 130% dari asumsi harga minyak bumi dan gas bumi dalam
APBN tahun berjalan; dan apabila melebihi 130%, penyalurannya dilakukan melalui
mekanisme DAU
Pola pembagian DBH Migas dalam UU No.33/2004 dan PP No 55/2005 terbagi menjadi
Minyak Bumi dan Gas Bumi. DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari
penerimaan negara SDA pertambangan minyak bumi dari wilayah Kab/Kota yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dengan rincian 3,1%
untuk provinsi bersangkutan, 6,2% untuk Kab/Kota penghasil, dan 6,2% dibagikan untuk
seluruh kab/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Untuk DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan negara SDA
pertambangan minyak bumi dari wilayah Provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lainnya dengan rincian 5,17% untuk provinsi bersangkutan,
dan 10,33% untuk seluruh kab/kota lainnya (non penghasil) dalam provinsi bersangkutan
DBH Gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara SDA pertambangan Gas bumi
dari wilayah Kab/Kota yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan
lainnya dengan rincian 6,1% untuk provinsi bersangkutan, 12,2% untuk Kab/Kota penghasil,
dan 12,2% dibagikan untuk seluruh kab/ kota lainnya (non penghasil) dalam provinsi yang
bersangkutan. DBH SDA Minyak Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara SDA
pertambangan Gas Bumi dari wilayah Provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lainnya dengan rincian 10,17% untuk provinsi bersangkutan,
dan 20,33% untuk seluruh kab/kota lainnya (non penghasil) dalam provinsi bersangkutan.
Sedangkan khusus untuk daerah NAD dan Papua (pengecualian), selain mendapatkan DBH
Migas juga mendapatkan tambahan DBH Migas yang merupakan bagian dari penerimaan
pemerintah provinsi dg ketentuan bahwa bagian dari pertambangan Minyak Bumi sebesar
55%, dan bagian dari pertambangan Gas Bumi 40%.

12
D. Pinjaman Daerah
Konsep dasar pinjaman daerah dalam PP 54/2005 dan PP 30/2011 pada prinsipnya
diturunkan dari UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, untuk memberikan alternatif sumber pembiayaan
bagi pemerintah daerah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman. Namun
demikian, mengingat pinjaman memiliki berbagai risiko seperti risiko kesinambungan fiskal,
risiko tingkat bunga, risiko pembiayaan kembali, risiko kurs, dan risiko operasional, maka
Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal nasional menetapkan batas-batas dan rambu-rambu
pinjaman daerah.
Selain itu, dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara bab V mengenai Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, serta
Pemerintah/Lembaga Asing disebutkan bahwa selain mengalokasikan Dana Perimbangan
kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah
kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian, pinjaman daerah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. sumber
pinjaman daerah :
 Pemerintah Pusat, berasal dari APBN termasuk dana investasi Pemerintah, penerusan Pinjaman
Dalam Negeri, dan/atau penerusan Pinjaman Luar Negeri;
 Pemerintah Daerah lain;
 Lembaga Keuangan Bank, yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
 Lembaga Keuangan Bukan Bank, yaitu lembaga pembiayaan yang berbadan hukum Indonesia dan
mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
 Masyarakat, berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum kepada masyarakat
di pasar modal dalam negeri.

E. Lain-lain Penerimaan yang Sah


Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah bertujuan memberi peluang kepada daerah
untuk memperoleh pendapatan selain Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan
Pinjaman Daerah. Lain-lain pendapatan daerah yang sah ini terdiri dari :

13
a. Hibah
Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing,
badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam
negeri atau perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan atau jasa,
termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.Hibah yang diberikan
kepada daerah adalah sebagai salah satu bentuk hubungan keuangan antara Pemerintah dan
Daerah untuk mendukung pelaksanaan kegiatan daerah dan dikelompokkan sebagai salah
satu komponen lain-lain pendapatan dalam APBD. Penerimaan ini bersifat tidak mengikat
karena tidak harus dibayar kembali oleh daerah.
b. Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat
bencana alam.
c. Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota
d. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah
e. Bantuan keuangan dari Provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.

2.3 Kriteria penetapan pajak


1. Penetapan Pajak
Daluwarsa penetapan pajak ditentukan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Penentuan masa 10 tahun ini sesuai dengan ketentuan daluwarsa penyimpanan buku-buku,
catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan pencatatan Wajib
Pajak.Mulai 1 Januari 2008, daluwarsa penetapan pajak ditentukan menjadi 5 (lima) tahun
sejak akhir Masa Pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
2. Ketetapan Pajak
Prinsip self-assessment dalam pemenuhan kewajiban perpajakan adalah bahwa Wajib
Pajak (WP) diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri, dan
melaporkan pajak yang terutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
sehingga penentuan besarnya pajak yang terutang dipercayakan pada WP sendiri melalui
Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikannya.

14
Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas kepada WP tertentu yang disebabkan
oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data yang tidak
dilaporkan oleh WP.
Surat ketetapan pajak berfungsi sebagai :
a. Sarana untuk melakukan koreksi terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan
hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materil dalam
memenuhi ketentuan perpajakan.
b. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.
c. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
d. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar
e. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.

Jenis-jenis Ketetapan Pajak


a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus
dibayar.
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan sebelumnya.
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar
daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang
dan tidak ada kredit pajak.

Surat tagihan pajak


Surat Tagihan Pajak (STP) diterbitkan dalam hal :
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah tulis dan atau
salah hitung;

15
c. WP dikenakan sanksi administrasi denda atau bunga; Pengusaha yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-undang PPN, tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikilkuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
d. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur
Pajak, dan
e. Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak
tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak.

Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan
Pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa.Mulai 1 Januari
2008, Surat Tagihan Pajak (STP) juga dapat diterbitkan dalam hal :
1) Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan
Faktur Pajak dikenai sanksi.
2) Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak
Masukan diwajibkan membayar kembali.

2.4 Kewenangan Pemungutan Pajak Daerah berdasarkan Undang-Undang


Sebagaimana telah disebutkan diawal untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut,
Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah
satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti
pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan
demikian, pemungutan Pajak Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang. Aspek
kewenangan secara tegas dipersyaratkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa:
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah

16
mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mengenai dasar
kewenangan pembentukan Peraturan Daerah diatur dalam:

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 yang
berbunyi: ”Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan
peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 25 huruf c,
Pasal 42 ayat (1) huruf a, dan Pasal 136 ayat (1)] yang masing-masing berbunyi sebagai
berikut: ”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Peraturan Daerah
yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD”;

”DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Peraturan Daerah yang di bahas
dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama”;
”Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan
bersama DPRD”.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 disebutkan bahwa:


“Terhadap jenis pajak selain yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
dilarang dilakukan pemungutan/atau penerbitan jenis pajak baru oleh Pemerintah
Daerah. Selain itu, jenis pajak dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai
dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi
dalam daerah kabupaten/kota otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis Pajak
yang dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah provinsi dan Pajak
untuk daerah kabupaten/kota.”

Sebelumnya pungutan Daerah yang berupa Pajak diatur dengan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, Daerah diberi kewenangan
untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 (empat) jenis Pajak provinsi dan 7 (tujuh)
jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk
menetapkan jenis Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam
UndangUndang. Undang-Undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum untuk

17
kesebelas jenis Pajak tersebut. Terkait. Selanjutnya, peraturan pemerintah menetapkan lebih
rinci ketentuan mengenai objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 11 (sebelas) jenis Pajak
tersebut.
Pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru pernah diterapkan, semula
diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Daerah, dalam kenyataannya tidak banyak
diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut. Berkaitan dengan
pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan
kewenangan perpajakan tersebut dilakukan dengan memperluas basis Pajak Daerah dan
memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Walaupun diberi kebebasan
tetap ada pengawasan dari Pemerintah Pusat. Dalam kenyataannya, pengawasan terhadap
Peraturan Daerah tersebut tidak dapat berjalan secara efektif. Banyak Daerah yang tidak
menyampaikan Peraturan Daerah kepada Pemerintah dan beberapa Daerah masih tetap
memberlakukan Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah. Tidak efektifnya
pengawasan tersebut karena Undang-Undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap
Daerah yang melanggar ketentuan tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat represif.
Peraturan Daerah dapat langsung dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari Pemerintah.

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, tidak ada jenis pungutan
Pajak baru yang dapat dipungut oleh Daerah kecuali yang tercantum dalam Undang-
Undang. Pemerintah Daerah memang punya kecenderungan untuk menciptakan berbagai
pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
bertentangan dengan kepentingan umum sehingga Pemerintah mengatasinya dengan
melakukan evaluasi pengawasan terhadap setiap Peraturan Daerah yang mengatur Pajak
tersebut. Undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk membatalkan
setiap Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Undang-Undang dan kepentingan umum.
Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak
ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerintah. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
kerja Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah yang mengatur Pajak.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan
daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Penerimaan daerah merupakan keseluruhan uang yang masuk ke kas daerah. Hal ini harus
dibedakan dengan pengertian pendapatan daerah karena tidak semau penerimaan merupakan
pendapatan daerah. (tercermin dalam pajak daerah, retribusi, dan hasil pengolahan kekayaan
daerah yang dipisahkan)

3.2 Saran

Segala sesuatu yang dipungut ataupun dihimpun dari masyarakat berupa pajak, hendaknya
dapat dialokasikan untuk pembangunan fasilitas publik yang bermanfaat bagi masyarakat
Besaran pajak yang dipungut ataupun disetorkan masyarakat hendaknya sejalan dengan
percepatan pembangunan fasilitas pubik yang memang diperlukan oleh masyarakat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Suparmoko. 1992. “Keuangan negara”. bpfe – yogyakarta : yogyakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai