Anda di halaman 1dari 51

KEBIJAKAN PROGRAM IMUNISASI

TERKAIT
PENANGGULANGAN KLB DIFTERI

dr. Prima Yosephine, MKM ‬


Kasubdit Imunisasi
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Kementerian Kesehatan

1
LANDASAN HUKUM
UUD 1945
Pasal 28B ayat 2: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh & berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan & diskriminasi.
Pasal 28 H ayat 1:Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir & batin, bertempat tinggal & mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan

UU Perlindungan Anak No.35 Tahun 2014


“Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak - haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009
•Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dg ketentuan utk mencegah terjadinya penyakit yg dapat dihindari melalui imunisasi
•Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak

UU Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014


“Pemerintah Daerah harus memperioritaskan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dengan berpedoman pada
Standar Pelayanan Minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat”

Hukum Pemberian Imunisasi di Indonesia :


WAJIB
PERMENKES NO. 12 TAHUN 2017
Pasal 33
Seseorang atau sekelompok orang yang
melakukan tindakan menghalang-halangi
penyelenggaraan Imunisasi Program dapat
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
3
Tujuan Penyelenggaraan Imunisasi

Menurunkan kesakitan, kecacatan & kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi
dengan menggunakan vaksin

Tuberculosis Difteri Pertusis Tetanus Polio Campak Hepatitis B

Hemophillus Pneumonia Human Papiloma Rubella Japanese Diare Rotavirus


Influenzae type B Virus Ensefalitis DENGUE
EVALUASI PROGRAM IMUNISASI
TAHUN 2015 - 2016
2015 2016 2017 2018 2019
No. Indikator
Targe
Target Real % Target Real % Target Target
t
% kab/kota yang
mencapai 80 %
1 75 66 88 80 80.4 100.5 85 90 95
imunisasi dasar
lengkap
% anak usia 0
sampai 11 bulan
2 yang mendapat 91 86.9 95.5 91.5 91.6 100.1 92 92,5 93
imunisasi dasar
lengkap
% anak usia 12-24
bulan mendapat
3 35 40 51 127.5 45 55 70
imunisasi DPT-HB-
Hib lanjutan
Per 2 Februari 2017
DPT-HB-Hib 1, 2016 DPT-HB-Hib 1, 2017
Nasional: 95,0% Nasional: 57,7%

DPT-HB-Hib 3, 2016 DPT-HB-Hib 3, 2017


Nasional: 93,1% Nasional: 55,7%
DPT-HB-Hib Baduta, 2016
Nasional: 37,1%

DPT-HB-Hib Baduta, 2017


Nasional: 37,2%

Data s.d. 2 November 2017


Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap (IDL), Indonesia 2016

Belum Lapor

Cakupan <80%

Cakupan 80% - <91,5%


Secara nasional, cakupan imunisasi
sudah mencapai target yang ditetapkan

NAMUN…….

DISPARITAS MASIH ADA !!!!!

Per 2 Februari 2017


Top 10 countries with most under- and un-vaccinated
children (DTP3), in 2016
4,000,000

3,000,000

2,000,000

1,000,000
undervaccinated
0 unvaccinated

Source: WHO/UNICEF coverage estimates 2016 revision, July 2017.


Immunization Vaccines and Biologicals, (IVB), World Health Organization.
194 WHO Member States. Date of slide: 15 July 2017.
Number of Children Under/unvaccinated
(Riskesdas 2013)
Reasons for unvaccinated
35.0

30.0 28.8
26.3
25.0 21.9
20.0
16.3
15.0

10.0
6.8 6.7
5.0

0.0
Fear of Refusal of Immunization Parents Child illness not knowing
fever the family post too far busy Post for
immunization

*) From the unvaccinated: 8,7 per cent


Resource: Riskesdas 2013
Drop-Out DPT 1-DPT 3

Data s.d. 2 November 2017


STRATEGI
1. Peningkatan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata serta terjangkau :
 Sweeping dan Drop-out Follow Up (DOFU)
 Backlog Fighting (BLF)
 Crash Program

2. Peningkatan kualitas pelayanan imunisasi melalui :


- Petugas yang kompeten
- Peralatan & logistik yang memenuhi standar

3. Komitmen Bersama Pimpinan daerah terutama terkait pembiayaan imunisasi

4. Penggerakan Masyarakat untuk Mau dan Mampu menjangkau pelayanan imunisasi 


Pemberdayaan organisasi kemasyarakatan, Organisasi Profesi & Lintas Sektor-Lintas
Program
DIFTERIA KULIT & MUKOSA

Tumpukan
nanah dan
membran
pada dasar
tukak

15
Setelah India, Indonesia
dan Nepal adalah
negara dengan kasus
Difteri tertinggi di
SEARO!!

Review of the Epid of Diphtheria 2006 – 2016,


US CDC
Background
Throughout history, diphtheria has been one of the most
feared infectious diseases globally causing devastating
epidemics with high case-fatality rates, mainly affecting
children.

Diphtheria remains a significant health problem in countries


with poor routine vaccination coverage or pockets of
unimmunized.

From 2011–2015, India had the largest number of reported


cases (18 350 cases) followed by Indonesia and
Madagascar (3203 and 1633 cases, respectively).

2| Summary of Key Points from WHO Position Paper, Diphtheria Vaccines, August 2017 17
Diphtheria toxoid vaccines
Diphtheria toxoid-containing vaccines are among the oldest
vaccines in current use and are highly effective in preventing
diphtheria.

Diphtheria toxoid is available combined with tetanus toxoid (Td) as


well with other antigens such as pertussis (DTwP/DTaP/Tdap) plus
hepatitis B, haemophilus influenzae type b (Hib) and inactivated
polio vaccine (IPV) as pentavalent or hexavalent vaccines.

Administered as 3-dose primary vaccination schedule in infancy.


Booster doses are needed to ensure continuing protection.

One of the safest vaccines available. Severe reactions are rare,


and to date no anaphylactic reactions attributable to the diphtheria
component have been described. However, local reactions at the
site of injection are common.

4| Summary of Key Points from WHO Position Paper, Diphtheria Vaccines, August 2017 18
WHO Position

All children worldwide should be immunized against


diphtheria. Recent diphtheria outbreaks in several
countries reflect inadequate vaccination coverage and
have demonstrated the importance of sustaining high
levels of coverage in childhood immunization
programmes.

Every country should seek to achieve timely vaccination


with a complete primary series plus booster doses.
Those who are unimmunized are at risk regardless of
the setting.

5| Summary of Key Points from WHO Position Paper, Diphtheria Vaccines, August 2017
19
WHO Position
Vaccination Schedule
A primary series of 3 doses of diphtheria toxoid-containing is
recommended, with the first dose as early as 6 weeks of age,
and the third dose completed by 6 months of age.
– 4 week interval between doses.

3 booster doses of diphtheria toxoid-containing vaccine during


childhood and adolescence should be given in combination
with tetanus toxoid, using the same schedule: at 12-23 months
of age, 4-7 years of age, and 9-15 years of age.
National vaccination schedules can be adjusted within the age
limits specified above to enable programmes to tailor their
schedules based on local epidemiology, the timing of
vaccination doses and other scheduled interventions, and on
any other programmatic issues.

6| Summary of Key Points from WHO Position Paper, Diphtheria Vaccines, August 2017
20
WHO Position
Catch-up Vaccination
At any age, opportunities should be taken to provide or complete the 3-
dose diphtheria toxoid-containing vaccine series for those who were
not vaccinated, or incompletely vaccinated, during infancy.
Two subsequent booster doses using Td or Tdap combination
vaccines are needed with an interval of at least 1 year between doses.
Opportunities for catch-up vaccination: delivery with other vaccinations
such as human papillomavirus vaccination (HPV) for adolescents,
during routine vaccination on entry into military services or other
institutions with similar requirements, screening of vaccination status at
school entry.
To further promote immunity against diphtheria, the use of Td rather
than tetanus toxoid is recommended during pregnancy to protect
against maternal and neonatal tetanus in the context of prenatal care,
and when tetanus prophylaxis is needed following injuries.

7| Summary of Key Points from WHO Position Paper, Diphtheria Vaccines, August 2017 21
WHO Position
Special Populations
Vaccination during pregnancy is not necessary to
protect neonatal infants against diphtheria, but
diphtheria- containing vaccines combined with pertussis
and tetanus can be used to protect young infants
against tetanus and pertussis.

Diphtheria toxoid-containing vaccines can be used in


immunocompromised persons including HIV-infected
individuals.

All health-care workers should up to date with


immunization as recommended in their national
immunization schedules.

8| Summary of Key Points from WHO Position Paper, Diphtheria Vaccines, August 2017
22
WHO position
Vaccine co-administration
Diphtheria toxoid-containing vaccine can be co-administered
with Bacillus Calmette–Guérin, HPV, Hib, IPV, oral poliovirus,
pneumococcal, meningococcal, rotavirus, measles, mumps
and rubella vaccine and meningococcal conjugate vaccines.

CRM-conjugate vaccines (such as Hib, pneumococcal and


meningococcal vaccines) can be administered with or before,
but not after, diphtheria toxoid-containing vaccine in the
routine vaccination programme.

When 2 vaccines are given during the same visit, they should
be injected in different limbs. When 3 vaccines are given, 2
can be injected in the same limb (2.5cm apart) and the third
should be injected in the other limb.

9| Summary of Key Points from WHO Position Paper, Diphtheria Vaccines, August 2017 23
KLASIFIKASI KASUS DIFTERI
Ada 4 jenis kasus difteri:
1. Kasus klinis: orang dengan gejala Difteri dan dengan hasil
laboratorium apus tenggorok negatif
2. Kasus Konfirmasi: orang dengan gejala Difteri dan dengan hasil
laboratorium apus tenggorok positif terhadap Corynebacterium
Diphteriae
3. Kasus Kontak: orang dengan kontak erat dengan kasus klinis atau
konfirmasi
4. Kasus Karier: orang yang tudak menunjukkan gejala Difteri tapi hasil
laboratorium apus tenggorok positif terhadap Corynebacterium
Diphteriae
KLB DIFTERI
• Suatu wilayah dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan 1 (satu)
kasus difteri klinis yaitu orang dengan gejala Laringitis, Naso
faringitis atau Tonsilitis ditambah pseudomembran putih kea
buan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, l
aring dan tonsil dan dilaporkan dalam 24 jam
• Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Ke
sehatan Provinsi atau Menteri dapat menetapkan daerah dal
am keadaan KLB apabila suatu daerah memenuhi salah sat
u kriteria KLB (Permenkes 1501 Tahun 2010 tantang Jenis P
enyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah d
an Upaya Penanggulangan)
PENYEBAB KLB
Adanya Immunity Gap (kesenjangan/kekosongan kekebalan) dalam
populasi. Hal ini akibat adanya akumulasi kelompok yang rentan
terhadap difteri yang tidak mendapat/tidak lengkap mendapat
imunisasi.
Faktor Resiko
• Akumulasi Kelompok Rentan Yang Tidak Mendapat Imunisasi
Berdasarkan cakupan imunisasi difteri dalam 10 tahun terakhir, tren cakupan imunisasi
difteri nasional pada bayi walaupun selalu >90%, namun masih terdapat populasi bayi yang
tidak mendapat imunisasi.

Difteri (+) = cakupan imunisasi inadekuat

• Kepadatan Penduduk
Kepadatan rumah yang lebih dari lima penghuni meningkatkan resiko terjadinya penularan.
Kejadian KLB difteri sering terjadi pada daerah dengan kepadatan penduduk tinggi.

• Mobilisasi Penduduk
Hampir diseluruh wilayah KLB difteri mobilitas penduduk sangat mudah baik antara
kabupaten, antar kecamatan dan antar desa.
KASUS DAN KEMATIAN DIFTERI PER PROVINSI
JANUARI – NOVEMBER 2017
PROVINSI KAB/KOTA JUMLAH KASUS KEMATIAN
ACEH 9 76 3
BANTEN 8 57 3
JAWA TIMUR 33 265 11
GORONTALO 1 1 0
BABEL 2 3 2
KALIMANTAN BARAT 1 3 1
KALIMANTAN TENGAH 1 1 0
LAMPUNG 1 1 0
PAPUA 1 1 0
SULAWESI SELATAN 1 3 0
Saat ini sudah 714 kasus
SULAWESI TENGGARA
SULAWESI TENGAH
1
1
4
1
0
0
RIAU 2 8 0
SUMATERA BARAT 3 17 0
SUMATERA SELATAN 2 2 0
SUMATERA UTARA 1 2 0
JAWA TENGAH 4 12 0
DKI JAKARTA 4 13 2
JAMBI 4 4 0
JAWA BARAT 15 117 10
TOTAL 95 591 32
KABUPATEN/KOTA DENGAN KASUS DIFTERI
JANUARI – NOVEMBER 2017
2017 : 591 kasus di 95 Kab/
Kota di 20 Provinsi
TREN KASUS DIFTERI 2010-2017
LANGKAH-LANGKAH PENANGGULANGAN DIFTERI
• Semua kasus Difteri dilakukan penyelidikan epidemiologi dan penemuan kasus
kontak dan karier

• Ditentukan ada tidaknya penularan dan penyebaran kasus Difteri


• Rujukan segera kasus Difteri ke Rumah Sakit dan pemberian antibiotika profilak s
is pada kasus kontak dan karier
• Tatalaksana kasus di Rumah Sakit, penempatan kasus di ruang isolasi, dan mengu
rangi kontak dengan orang lain

• Melaksanakan Outbreak Response Immunization (ORI) di Kabupaten/Kota kasus


difteri sebanyak tiga kali.
• Meningkatkan cakupan imunisasi rutin difteri agar mencapai minimal 95%
UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN
1. SURAT EDARAN KEWASPADAAN : FEBRUARI 2015
2. SURAT EDARAN KEWASPADAAN : APRIL 2017
OUTBREAK RESPONSE IMMUNIZATION – ORI
(1)

 Beberapa daerah telah melakukan ORI selektif di wilayah


desa/kecamatan yang terjadi kasus dengan sasaran sesuai
kelompok kasus, seperti Aceh, Jawa Timur, Banten, Jawa Barat
dan Bangka Belitung
 Rekomendasi Komite Ahli Difteri 30 November 2017: ORI luas
seluruh Kab/Kota dan harus 3 putaran
 Kewaspadaan Posko KLB Difteri ditempatkan pada tahap telah
munculnya KLB yang cukup luas
OUTBREAK RESPONSE IMMUNIZATION – ORI (2
)
• ORI dimaksudkan untuk (1)memutuskan penulara
n dengan segera, (2)menurunkan jumlah kasus dif
teri dan (3)mencegah agar penyakit tersebut tidak
semakin meluas dengan cara memberikan imunisa
si Difteri kepada kelompok usia tertentu.
• Sampai saat ini, direncanakan wilayah pelaksanaa
n ORI adalah di 82 kabupaten/kota di 14 provinsi (
Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selat
an, Lampung, Bangka Belitung, Kepri, DKI Jakarta,
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Kalimantan Timur).
39
KODE JUMLAH POPULASI KEBUTUHAN LOGISTIK (3 PUTARAN)
NO. PROVINSI KABUPATE KABUPATEN/KOTA 1-<5 TAHUN 5-<7 TAHUN 7- <19 TAHUN JUMLAH TOTAL VAKSIN
ADS 0,5 ML SB 5 LITER
N/KOTA L P JUMLAH L P JUMLAH L P JUMLAH DPT-HB-Hib DT Td

40
41
42
43
44
Area ORI di 3 Provinsi
Pelaksanaan mulai
11 Desember 2017

Kab/Kota area ORI


STRATEGI ORI

• Melakukan 3 putaran ORI Difteri dengan cakupan tinggi (>90%)


dengan jarak 1 dan 6 bulan
• Sasaran kelompok umur 1 - <19 tahun (sampai kelas tiga SLTA)
• Vaksin yang akan dipergunakan dalam ORI ini adalah :
– Vaksin DPT-HB-Hib untuk anak usia 1 s.d <5 tahun
– Vaksin DT bagi anak 5 s.d <7 tahun
– Vaksin Td untuk usia 7 s.d <19 tahun
• Total jumlah perkiraan kebutuhan vaksin untuk pelaksanaan ORI
tahun 2017 dan 2018 yaitu ± 5,2 juta vial vaksin DPT-HB-Hib, 1,3
juta vial vaksin DT dan ± 7,5 juta vial vaksin Td.
STRATEGI ORI
• Biaya yang dibutuhkan untuk penyediaan vaksin dan logistik lainnya dalam r
angka pelaksanaan ORI ini mencapai lebih dari 600 M.
• Dilaksanakan di sekolah-sekolah, Posyandu, Puskesmas dan Faskes lainn
ya. Minggu awal pelaksanaan di utamakan di sekolah-sekolah (upayakan s
eluruh anak sekolah selesai sebelum libur akhir tahun sekolah)
• Melibatkan organisasi profesi (IDAI, IDI, IBI,PPNI) untuk turut memba
ntu pelaksanaan ORI dengan mengirimkan Surat Edaran dari Dirjen P2P
• Puskesmas, Dinkes kabupaten/kota dan Dinkes Provinsi diminta melapor
kan secara berjenjang cakupan ORI harian kepada Subdit Imunisasi(Posk
o ORI Difteri)
48
PROVINSI DI LUAR 14 PROVINSI
Contoh Hasil Skrining Buku KIA Pada
• Penguatan program imunisasi rutin (bayi, Baduta Anak Umur 1-3 Tahun Saat
Penimbangan
dan BIAS)
– penjangkauan sasaran yang tidak atau belum
lengkap status imunisasi rutinnya
– perbaikan manajemen program, termasuk di
dalamnya adalah kualitas penyimpanan
vaksin dan pelayanan imunisasi
• Peningkatan kinerja surveilans PD3I (Penyakit
yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi).
• Cakupan imunisasi rutin difteri harus
dipertahankan tinggi dan merata minimal 95%.
49
4 PESAN UTAMA DALAM
MENURUNKAN DROP OUT

Empat pesan untuk orang tua/pengasuh


– Informasi tentang vaksin yang diberikan
– Kemungkinan KIPI
– Tanggal vaksinasi selanjutnya dan
– Memberitahu untuk memelihara buku imunisasi
(buku KIA) dan membawa buku tersebut pada
setiap kunjungan

Anda mungkin juga menyukai