Anda di halaman 1dari 18

1

PRESENTASI KASUS UJIAN BEDAH PLASTIK

SEORANG WANITA USIA 41 TAHUN DENGAN DEFEK REGIO TIBIA


PROXIMAL SINISTRA POST WIDE EKSISI ATAS INDIKASI
CHONDROSARCOMA

Periode: 2 Juli – 8 Juli 2017

Oleh:
Edwina Ayu Dwita
G99162111

Penguji :
dr. Amru Sungkar, Sp. B, Sp. BP-RE

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
2

STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas pasien
Nama : Ny.S
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 01403xxx
Alamat : Ngawi, Jawa Timur
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Menikah
MRS : 4 Juli 2017
Tanggal Periksa : 5 Juli 2017

B. KeluhanUtama
Kaki kiri bagian bawah bengkak

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSDM dengan keluhan kaki kiri bagian bawah
membengkak sejak 1 tahun SMRS. Awalnya pasien tidak terlalu
memperhatikan kaki kiri bagian bawah yang membesar, namun hari demi
hari kaki kiri bagian bawah pasien mulai tampak membengkak. Bengkak
disertai juga dengan rasa nyeri. Nyeri sudah dirasakan oleh pasien sejak 3
tahun SMRS namun makin memberat sejak 2 tahun SMRS.
Pasien sudah mencoba minum obat antinyeri namun tidak ada hasil.
Nyeri masih didapatkan pasien dan semakin memberat setiap harinya
disertai pembengkakan kaki. Karena keluhan semakin memberat, sehingga
pasien lebih banyak berbaring dan jarang beraktivitas. Saat jalan pasien
dibantu dengan tongkat untuk memudahkan jalan pasien serta mengurangi
rasa nyeri.
Nafsu makan dan minum pasien sedikit berkurang semenjak sakit.
Tidak terdapat keluhan BAB dan BAK. Namun semenjak sakit, pasien
merasa berat badan semakin turun.
3

Karena keluhan tersebut pasien berobat ke RSUD Dr. Moewardi


bagian Orthopaedi dan ditatalaksana dengan tindakan pembedahan yaitu
wide eksisi. Setelah dilakukan tindakan pembedahan selanjutnya pasien
dikonsultasikan ke bagian Bedah Plastik karena terdapat raw surface dan
bone expose sehingga perlu dilakukan tindakan pembedahan rekonstruksi
kosmetik untuk mendapatkan hasil yang baik.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit liver : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat mondok : (+) 4 minggu yang lalu di RSUD Dr.
Moewardi dengan chondrosarcoma post wide
eksisi
Riwayat operasi : (+) 4 minggu yang lalu post wide eksisi

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat operasi : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan

Makan Pasien mengaku makan 3 kali sehari. porsi untuk


sekali makan + 10-12 sendok makan. Pasien
makan dengan nasi, lauk pauk dan sayur-sayuran.
Merokok Disangkal
Alkohol Disangkal
Minum jamu Disangkal
Obat bebas Disangkal
4

Memasak dengan (-)


kayu bakar

G. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien bekerja sebagai wiraswasta dengan membuka warung
klontong. Saat ini pasien berobat dengan fasilitas BPJS kelas III.

II. ANAMNESIS SISTEMIK


Mata : mata kuning (-), mata kemerahan (-), mata bengkak
(-/-) pada regio palpebra inferior
Telinga : darah (-), lendir (-), cairan (-), pendengaran
berkurang (-)
Mulut : darah (-), gusi berdarah (-),maloklusi (-), gigi
tanggal (-)
Hidung : penciuman menurun (-), darah (-), sekret (-)
Sistem Respirasi : sesak nafas (-), suara sengau (-), sering tersedak (-)
Sistem Kardiovaskuler : nyeri dada (-), sesak saat aktivitas (-)
Sistem Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), diare(-), defans
muscular (+)
Sistem Muskuloskeletal : nyeri tekan(+) di regio tibia proximal sinistra
Sistem Genitourinaria : nyeri BAK (-), kencing darah (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Primary Survey
1. Airway : Bebas
2. Breathing Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri,
pernafasan 20x/menit
Palpasi : krepitasi (-/-)
Perkusi : sonor/ sonor
Auskultasi : SDV (+/+), ST (-/-)
5

3. Circulation : Tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 89x/menit, CRT


< 2s
4. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm)
5. Exposure : suhu 36.7 ºC

B. Secondary Survey
1. Kepala : bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok
(-), alopesia (-) luka (-), atrofi m. temporalis(-)
2. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik
(-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter ( mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra
(-/-), strabismus (-/-)
3. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-),
4. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar
darah (-)
5. Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi(-), gusi
berdarah (-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-),
mukosa bibir basa(+)
6. Leher : JVP R+2 cmH2O pembesaran tiroid (-), pembesaran
limfonodi (-), nyeri tekan (-)
7. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-), jejas (-)
8. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V linea midcalvicularis
sinistra tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,bising
(-)
9. Pulmo
Inspeksi : normochest, pengembangan dada kanan sama
dengan kiri
6

Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri, nyeri tekan


(-/-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-)
10. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dari dinding thorak, sikatrik
(-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-),
Auskultasi : bising usus (+) 10x/ menit normal
Perkusi : timpani
Palpasi :supel, nyeri tekan (-), defans muscular (+), hepar
tidak teraba, lien tidak teraba
11. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri
BAK (-)
12. Ekstremitas : nyeri tekan (+) R. tibia proximal sinistra
Akral dingin Oedema

- - - -
- - - -

IV. STATUS LOKALIS


Regio Tibia Sinistra
Inspeksi : tampak raw surface di regio tibia proximal sinistra dan bone
exposed 3 cm x 8 cm, Pus (+)
Palpasi : nyeri tekan (+)
7

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium (RSDM, 4 Juli 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH RUTIN
Hemoglobin 11.7 g/dL 13.5 – 17.5
Hematokrit 45 % 33 – 45
Leukosit 15.3 ribu/µl 4.5 – 11.0
Trombosit 405 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 4.34 juta/µl 4.50 – 5.90
Golongan Darah B
HEMOSTASIS
PT 14.8 detik 10.0 – 15.0
APTT 34.7 detik 20.0 – 40.0
INR 1.170
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Nonreactive Nonreactive
8

HEMATOLOGI KLINIK
Albumin 3.8 g/dl 3.5-5.2
Gula Darah Sewakt 98 Mg/dl 60-140
Creatinin 0.5 Mg/dl 0.6-1.1
Ureum 17 Mg/dl <50

2. Femur AP/Lat (RSDM 11 Mei 2017)

Interpretasi :
1. Terpasang internal fixation di os femur kiri
2. Lesi litik di condyles lateral os femur kiri dapat merupakan bone metastasis

VI. ASSESSMENT I
Defek regio tibia poximal sinistra post wide eksisi atas indikasi
chondrosarcoma

VII. PLAN I
1. Laboratorium darah
2. Infus Na Cl 0.9% 20 tpm
3. Injeksi metamizol 1g/12 jam k.p
4. Medikasi
5. Pro tutup defect
9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Kondrosarkoma merupakan tumor tulang ganas yang terdiri atas
kondrosit anaplastik yang dapat tumbuh sebagai tumor tulang perifer atau
sentral. Kondrosarkoma berasal dari kartilago primitif yang membentuk
mesenkim, memproduksi kartilago hialin dan menghasilkan pertumbuhan
yang abnormal dari tulang atau kartilago2,5 . Kondrosarkoma dapat dibagi
menjadi kondrosarkoma primer dan sekunder. Untuk keganasan yang
berasal dari kartilago itu sendiri (de novo) disebut kondrosarkoma primer.
Sedangkan apabila merupakan bentuk degenerasi keganasan dari penyakit
lain seperti enkondroma, osteokondroma dan kondroblastoma disebut
kondrosarkoma sekunder. Kondrosarkoma sekunder kurang ganas
dibandingkan kondrosarkoma primer. Berdasar lokasi kondrosarkoma dapat
diklasifikasi menjadi tumor sentral atau perifer6 . Sarkoma primer pada
tulang pelvis dianggap mempunyai prognosis lebih jelek dibandingkan
lokasi lain di tulang panjang7 . B. Anatomi pelvis Pelvis adalah sebuah
tulang bentuk cincin yang terdiri dari sepasang tulang innominata, sakrum
dan tulang ekor (gambar 1). Tulang-tulang inominata bersendi dengan
sakrum di posterior pada sinkondrosis sakroiliaka dan bersendi dengan
tulang inominata lainnya di anterior di simfisis pubis. Setiap tulang
innominata terdiri dari

B. EPIDEMIOLOGI
Kondrosarkoma bisa mengenai semua orang dengan berbagai umur,
meskipun sering terjadi pada dekade 5 atau 6 dengan perbandingan laki-laki
: perempuan (1,5-2: 1). Kondrosaroma jarang terjadi pada anak, dan
seandainya terjadi kejadiannya agresif. Meskipun semua tulang bisa terkena
namun lokasi paling sering terkena adalah pelvis (40-50% dari semua
kondrosarkoma)7, pergelangan bahu, tulang panjang bagian proksimal, iga,
scapula, dan sternum. Kondrosarkoma primer jarang terjadi di tulang
punggung (<1%) dan tulang kraniofasial dan juga jarang terjadi di tulang
10

kecil tangan dan kaki (kira-kira 1%) 6. Kejadian kondrosarkoma di femur


kirakira 20%-35% diikuti di tibia 5%. Ekstremitas atas kejadiannya sekitar
10%-20% dengan humerus bagian proksimal merupakan tempat yang
paling sering terjadi.
Kerangka aksial juga paling sering terkena dengan kejadian pada
tulang innominata 25% kasus dan kejadian pada tulang iga 8%. Lokasi yang
jarang terjadi antara lain di scapula (5%) dan di sternum (2%)3.
Pada tulang panjang lesi umumnya terletak di metafisis (49%)
diikuti di diafisis (36%). Kondrosarkoma konvensional yang terpusat di
diafisis tidak banyak terjadi, hanya 16% kasus3.

C. GEJALA KLINIS
Gejala klinis kondrosarkoma tergantung derajat tumor. Pada
kebanyakan kasus, gejalanya ringan dengan waktu yang lama, berkisar dari
beberapa bulan sampai tahun, dan biasanya nyeri tumpul dengan teraba
adanya masa. Pada derajat yang tinggi tumor dapat tumbuh cepat dengan
nyeri yang menyiksa. Tumor di pelvis biasanya disertai dengan keluhan
kencing yang sering atau sumbatan kencing6. Fraktur patologis terkadang
menjadi gejala yang tampak lebih dulu (3-17 % kasus) pada pasien dengan
kondrosaroma konvensional3.

D. KLASIFIKASI
Kondrosarkoma di klasifikasikan menjadi kondrosarkoma primer
(90%) jika lesi denovo dan kondrosarkoma sekunder (10%) jika berasal dari
defek kartilago jinak, seperti osteokondroma atau enkondroma. Selanjutnya
diklasifikasikan sebagai kondrosarkoma sentral (jika letak lesi di kanal
intramedular), kondrosarkoma perifer (jika letak lesi di permukaan tulang)
dan kondrosarkoma jukstakortikal atau periosteal dengan kejadian jarang
(2%). Secara patologi kondrosarkoma diklasifikasikan menjadi
kondrosarkoma konvensional (80-85%), dan kondrosarkoma dengan
subtipe tergantung lokasi, tampilan, terapi dan prognosis. Subtipe tersebut
antara lain kondrosarkoma clear cell (1%-2%), kondrosarkoma miksoid
11

(8%-10%), kondrosarkoma mesenkimal (3%-10%) dan kondrosarkoma


dedifferentiated (5%10%)6.
Secara histologi berdasar ukuran lesi dan staining inti
(hiperkromasia) dan seluleritasnya derajat kondrosarkoma dibagi dalam
skala 1-3 (gambar 3). Derajat kondrosarkoma tersebut mencerminkan
agresifitas lesi, derajat 1 merupakan tumor derajat rendah, derajat 2
merupakan derajat sedang dan derajat 3 merupakan derajat tinggi6. Tumor
derajat 1 mempunyai kondrosit dengan inti tebal, meskipun beberapa inti
membesar (ukuran > 8 mikro) dan sedikit sel dengan multinucleated
(kebanyakan binucleated). Stroma lebih dominan dengan area miksoid
sedikit atau bahkan tidak ada. Kondrosarkoma derajat 1 ini sulit dibedakan
dengan enkondroma. Kondrosarkoma derajat 2 mempunyai matriks
kondroid yang sedikit dan lebih banyak mengandung sel. Peningkatan sel
lebih dominan di tumor perifer dengan matriks kondroit yang hampir tidak
ada dan jarang ditemukan gambaran mitosis. Kondrosarkoma derajat 3,
menampilkan sel-sel yang lebih besar dan inti lebih pleomorfisme
dibandingkan derajat 2. Matriks kondroit jarang bahkan hampir tidak ada
dengan material interseluler sedikit dan sering berupa mixoid. Selnya
umumya bentuk stellat atau ireguler. Fokus nekrosis sering tampak dan
sering meluas. Inti sel sering berbentuk spindle dengan ukuran bisa lebih
besar 5-10 kali dibandingkan dengan ukuran normal3.

E. ETIOLOGI
Etiologi kondrosarkoma masih belum diketahui secara pasti.
Informasi etiologi kondrosarkoma masih sangat minimal. Beberapa zat-zat
fisika dan kimia, seperti radiasi, beryllium, dan isotop radioaktif, telah
menunjukkan faktor resiko potensial terhadap perkembangan tumor
kondroid. Namun berdasarkan penelitian yang terus berkembang didapatkan
bahwa kondrosarkoma berhubungan dengan tumor-tumor tulang jinak seperti
enkondroma atau osteokondroma sangat besar kemungkinannya untuk
berkembang menjadi kondrosarkoma. Tumor ini dapat juga terjadi akibat efek
samping dari terapi radiasi untuk terapi kanker selain bentuk kanker primer.
12

Selain itu, pasien dengan sindrom enkondromatosis seperti Ollier disease dan
Maffucci syndrom, beresiko tinggi untuk terkena kondrosarkoma9.

F. PATOGENESIS
Patogenesis kondrosarkoma primer maupun sekunder adalah
terbentuknya kartilago oleh sel-sel tumor tanpa disertai osteogenesis. Sel tumor
hanya memproduksi kartilago hialin yang mengakibatkan abnormalitas
pertumbuhan tulang dan kartilago. Secara fisiologis, kondrosit yang mati
dibersihkan oleh osteoklas kemudian daerah yang kosong itu, diinvasi oleh
osteoblas-osteoblas yang melakukan proses osifikasi. Proses osifikasi ini
menyebabkan diafisis bertambah panjang dan lempeng epifisis kembali ke
ketebalan semula. Seharusnya kartilago yang diganti oleh tulang di ujung
diafisis lempeng memiliki ketebalan yang setara dengan pertumbuhan kartilago
baru di ujung epifisis lempeng. Namun pada kondrosarkoma proses
osteogenesis tidak terjadi, sel-sel kartilago menjadi ganas dan menyebabkan
abnormalitas penonjolan tulang, dengan berbagai variasi ukuran dan lokasi5.
Proses keganasan kondrosit dapat berasal dari perifer atau sentral.
Apabila lesi awal dari kanalis intramedular, di dalam tulang itu sendiri
dinamakan kondrosarkoma sentral sedangkan kondrosarkoma perifer apabila
lesi dari permukaan tulang seperti kortikal dan periosteal. Tumor kemudian
tumbuh membesar dan mengikis korteks sehingga menimbulkan reaksi
periosteal pada formasi tulang baru dan soft tissue. Penelitian baru-baru ini
berkesimpulan patogenesis dari kondrosarkoma bisa melibatkan inaktifasi
mutasional dari gen supresor tumor terdahulu. Telah dilaporkan terjadinya
inaktifasi mutasional tumor supresor p16, Rb, dan p53 pada contoh
kondrosarkoma. Lebih lanjut lagi, inaktifasi p53 berhubungan dengan tumor
tingkat yang lebih tinggi dan prognosis yang lebih jelek10.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis kondrosarkoma dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang antara
lain pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi. Pemeriksaan radiologi
meliputi pemeriksaan foto polos, CT scan, MRI dan PET scan. Foto polos atau
13

foto konvensional merupakan pemeriksaan penting yang dilakukan untuk


diagnosis awal kondrosarkoma. Foto polos bisa menggambaran lokasi lesi,
identifikasi sifat kartilago dan agresifitasnya.
Tampilan khas dari lesi tulang rawan pada radiografi polos adalah
kalsifikasi diskrit. Lesi dapat berupa radiolusen atau sklerotik pada foto polos,
dengan disertai adanya kalsifikas. Tampilan lesi tergantung jumlah
mineralisasi yang terjadi15. Kondrosarkoma dimulai di metafisis dan meluas ke
diafisis10. Baik kondrosarkoma primer atau sentral memberikan gambaran
radiolusen pada area dekstruksi korteks dan muncul scallop erosion pada
kortex endosteal atau disebut endosteal scalloping, dan penipisan atau
penebalan korteks. Endosteal scalloping terjadi akibat pertumbuhan tumor
yang lambat dan permukaan tumor yang licin. Pada kondrosarkoma, endosteal
scalloping kedalamannya lebih dari 2/3 korteks, hal ini dapat membedakan
kondrosarkoma dengan enkondroma9.
Ketika tumor meluas ke jaringan lunak massa sering besar dan teraba.
Bentuk destruksi biasanya berupa pengikisan dan reaksi eksternal periosteal
pada formasi tulang baru. Karena ekspansi tumor, terjadi penipisan korteks di
sekitar tumor yang dapat mengakibatkan fraktur patologis. Gambaran
kondrosarkoma lebih agresif disertai destruksi tulang, erosi korteks dan reaksi
periosteal, jika dibandingkan dengan enkondroma9. Tumor high grade
menunjukkan tepi yang tidak teratur. Kalsifikasi dari matriks tumor bisa berupa
stippled, punctata, flocculent, atau ring and arc like pattern. Kalsifikasi bisa
kecil, tersebar, padat maupun halus. Tidak ada kriteria absolut untuk penentuan
malignansi. Namun, pada lesi maligna, terdapat kecenderungan penetrasi
korteks tampak lebih jelas dan tampak massa jaringan dengan kalsifikasi yang
ireguler. Namun, sering pula tampak area yang luas dengan sedikit kalsifikasi
bahkan tanpa kalsifikasi sama sekali3,10,11,12. Destruksi korteks dan soft
tissue di sekitarnya juga menunjukkan tanda malignansi tumor. Jika terjadi
destruksi dari kalsifikasi matriks yang sebelumnya terlihat sebagai
enkondroma, hal tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan ke arah
keganasan menjadi kondrosarkoma10.
Komponen radiolusen dari kondrosarkoma biasanya menunjukkan
adanya lisis tulang tipe geografik dan lesi multilobulated berhubungan
14

langsung dengan pola pertumbuhan lesi kartilago hialin. Pola lisis tulang yang
lebih agresif (moth eaten dan permeative) bisa terlihat pada kondrosarkoma
derajat tinggi tetapi lebih sering berhubungan dengan kondrosarkoma tipe
mesenkimal, miksoid, dan dedifferentiated3.
CT scan memiliki peran diagnostik untuk menunjukkan destruksi
tulang, kalsifikasi kecil, dan batas intra dan ekstra tulang. Pada CT scan, 90%
kasus ditemukan gambaran radiolusen yang berisi kalsifikasi matriks kartilago.
Pemeriksaan CT scan memberikan hasil lebih sensitif untuk penilaian
distribusi kalsifikasi matriks dan integritas korteks. Endosteal scalloping pada
tumor intramedullar juga terlihat lebih jelas pada CT scan dibandingkan
dengan foto konvensional. CT scan ini juga dapat digunakan untuk memandu
biopsi perkutan dan melihat adanya proses metastase di tempat lain9.
MRI dapat menunjukkan lesi lobulated dengan sinyal rendah atau
menengah pada T1W1 dan intensitas sinyal tinggi pada T2W1. MRI bisa
menunjukkan staging yang tepat terhadap adanya keterlibatan meduler dan
massa jaringan lunak. Kondrosarkoma derajat rendah menunjukkan lesi dengan
pola lobulated dan adanya peningkatan septasi setelah dilakukan injeksi media
kontras intravena. Tumor derajat tinggi tidak memiliki septasi dan
menunjukkan peningkatan penyangatan heterogen yang difus. Tumor jinak dan
kondrosakoma derajat rendah tidak dapat dibedakan dengan MRI dari matriks
saja10.
Kondrosarkoma secara khas menunjukkan peningkatan penyerapan
radioisotop pada bone scan, namun belum bisa digunakan untuk membedakan
antara osteokondroma dan enkondroma. Peningkatan penyerapan
menunjukkan adanya aktifitas metabolik pada kondroma atau pada tranformasi
ke ganas. Namun demikian tidak adanya peningkatan penyerapan, curiga
keganasan bisa disingkirkan6.

H. TATALAKSANA
Penatalaksanaan kondrosarkoma merupakan bentuk kerja tim antara
dokter dengan profesional kesehatan lainnya. Para radiologist, diperlukan
untuk melihat faktor- faktor untuk evaluasi kecepatan perkembangan tumor,
diagnosis spesifik, dan pembesaran tumor. Perawat dan ahli gizi, terlibat
15

menjelaskan kepada pasien efek samping dari penanganan kondrosarkoma


dan memberikan dorongan kesehatan makanan untuk membantu melawan
efek samping tersebut.
Jenis terapi yang diberikan kepada pasien tergantung pada beberapa hal
seperti:
1. Ukuran dan lokasi dari kanker
2. Menyebar tidaknya sel kanker tersebut.
3. Grade dari sel kanker tersebut.
4. Keadaan kesehatan umum pasien

Pasien dengan kondrosarkoma memerlukan terapi kombinasi pembedahan


(surgery), kemoterapi dan radioterapi.

1. Surgery
Langkah utama penatalaksanaan kondrosarkoma pembedahan karena
kondrosarkoma kurang berespon terhadap terapi radiasi dan
kemoterapi. Variasi penatalaksanaan bedah dapat dilakukan dengan
kuret intralesi untuk lesi grade rendah, eksisi radikal, bedah beku
hingga amputasi radikal untuk lesi agresif grade tinggi. Lesi besar yang
rekuren penatalaksanaan paling tepat adalah amputasi.
2. Kemoterapi
Kemoterapi, meskipun bukan yang paling utama, namun ini diperlukan
jika kanker telah menyebar ke area tubuh lainnya. Terapi ini
menggunakan obat anti kanker (cytotoxic) untuk menghancurkan sel-
sel kanker. Namun kemoterapi dapat memberikan efek samping yang
tidak menyenangkan bagi tubuh. Efek samping ini dapat dikontrol
dengan pemberian obat.
3. Radioterapi
Prinsip radioterapi adalah membunuh sel kanker menggunakan sinar
berenergi tinggi. Radioterapi diberikan apabila masih ada residu tumor,
baik makro maupun mikroskopik. Radiasi diberikan dengan dosis per
fraksi 2,5 Gy per hari dan total 50-55 Gy memberikan hasil bebas tumor
sebanyak 25% 15 tahun setelah pengobatan. Pada kasus-kasus yang
16

hanya menjalani operasi saja menunjukkan kekambuhan pada 85%.


Efek samping general radioterapi adalah nausea dan malasea. Efek
samping ini dapat diminimalkan dengan mengatur jarak dan dosis
radioterapi.
17

DAFTAR PUSTAKA

1. Schrage YM, Bovee JVMG, Hogendoorn PCW. Towards new therapeutic


strategies in chondrosarcoma. Netherlands Organisation for Scientific Research;
2009.
2. Kundu S, Mousumi P, Ranjan R, Paul. Clinicopathologic correlation of
chondrosarcoma of mandible with a case report. Contemporary Clinical Dentistry.
Oct-Dec 2011;2: 390-93.
3. Murphey MD, Walker EA, Wilson AJ, Kransdorf MJ, Temple TH, Gannon FH.
Imaging of primary chondrosaroma : Radiologic-pathologic correlation.
Radiographics. 2003; 23: 1245-78.
4. Solomon L, editor, Apley’s system of orthopedics and fractures. 8 th ed. New York.
Oxford University Press Inc; 2011.
5. Wijaya C, editor. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 4.
Jakarta EGC; 1995
6. Mavrogenis AF, Gambarotti M, Angelini A, Palmerini E, Staals EL, Ruggieri P, et
al. Chondrosarcomas Revisited. Orthopedics; 2012 March (35);2. Available from
http://www.ORTHOSuperSite.com.Search:20120222-30
7. Wirbel RJ, Schulte M, Maier B, Koschnik M, Mutschler W. Chondrosarcoma of
the pelvis: oncologic and functional outcome. Sarcoma. 2000; 4: 161-68.
8. Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for diagnostic imaging. 2nd ed.
Elsivier limited; 2004.
9. Murphey MD, Flemming DJ, Boyea SR, Bojescul JA, Sweet D, Temple HT.
Enchondroma versus chondrosarcoma in the appendicular skeleton:
differentiating feature. Radiographics. 1998; 18:1213-37.
10. Ollivier L, Vanel D, Lecl`ere J. Imaging of chondrosarcomas. Cancer
imaging. Paris; International Cancer Imaging Society; 2003; 4. Available from:
http://www.e-med.org.uk
11. Sutton D, editor. Text book of radiology and imaging. 7th ed. Churchill
livingstones. Elsevier science Ltd; 2003.
12. Riddle NMD, Yamauchi H, Caracciolo JT, Johnson D, Letson GD, Hakam A, et al.
Dedifferentiated chondrosarcoma arising in fibrous dysplasia: A case report and re
iew of the current literature. Pathology and Laboratory Medicine International
2009; (1):1–6.
13. Muller PE, Durr HR, Nerlich A, Pellengahr C, Maier M, Jansson V. Malignant
transformation of benign enchondroma of the hand to secondary chondrosarcoma
with isolated pulmonary metastasis. Acta chir belg, 2004; 104: 341-344
14. Fitzpatrick1 KA, Taljanovic1 MS, Speer DP, Graham AR, Jacobson JA, Barnes
GR, Hunter TB. Imaging findings of fibrous dysplasia with histopathologic and
intraoperative correlation. American Journal Radiology. 2004; 182: 1389-98.
Available from http://www.ajronline.org by175.111.89.175 on 08/22/13 from IP
address 175.111.89.175.
15. Gelmann H, editor. Chondrosarcoma. eMedicine world medical library. 1994
(update 2013 july 15). Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1258236-overview.
16. Hong P, Trites JR, Taylor M, Nasser JG, Hart RD. Chondrosarcoma of the head
and neck: Report of 11 cases and literature review. Journal of Otolaryngology Head
& Neck Surgery. 2009; 38(2): 279-85.
18

17. Hide G. Chondrosarcoma. Diunduh dari http://www.flyingpig.ws, tanggal 8


Oktober 2011.
18. Bergh P, Gunterberg B, Kindblom JM, Kindblom LG. Prognostic factor and
outcome of pelvic sacral and spinal chondrosarcoma : a center-based study of 69
cases. American cancer society. 2001; 91(7): 1201-12.
19. Gelderblom H, Hagendoorn PCW, Dijkstra SD, Rijswijk CS, Krol AD,
Taminiau AHM, et al. The clinical approach towards chondrosarcoma. The
oncologist: sarcoma research series. 2008; 13: 320-329. Available from
www.TheOncologist.com.
20. Akpolat N, Yildirim H, Poyraz K. Sacral chondroblastic osteosarcoma
misdiagnosed as chondrosarcoma and cordoma. Turk J Med Sci. 2007; 37(4):
243-49. A
21. Cesari M, Bertoni F, Bacchini P, Mercuri M, Palmerini E, Ferrari S. Mesenchymal
chondrosarcoma. An analysis of patients treated at a single institution. Tumori.
2007;93:423–7
22. Frezza AM, Cesari M, Baumhoer D, Biau D, Bielack S, Campanacci DA, Casanova
J, Esler C, Ferrari S, Funovics PT, Gerrand C, Grimer R, Gronchi A, Haffner N,
Hecker-Nolting S, Holler S, Jeys L, Jutte P, Leithner A, San-Julian M, Thorkildsen
J, Vincenzi B, Windhager R, Whelan J. Mesenchymal chondrosarcoma: prognostic
factors and outcome in 113 patients. A European Musculoskeletal Oncology
Society study. Eur J Cancer. 2015;51:374–81.
23. Bishop MW, Somerville JM, Bahrami A, Kaste SC, Interiano RB, Wu J, Mao S,
Boop FA, Williams RF, Pappo AS, Samant S. Mesenchymal Chondrosarcoma in
Children and Young Adults: A Single Institution Retrospective Review. Sarcoma.
2015;2015:608279.
24. Indelicato DJ, Rotondo RL, Begosh-Mayne D, Scarborough MT, Gibbs CP, Morris
CG, Mendenhall WM. AProspective Outcomes Study of Proton Therapy for
Chordomas and Chondrosarcomas of the Spine. Int J Radiat Oncol Biol Phys.
2016;95:297–303.
25. Liu C, Xi Y, Li M, Jiao Q, Zhang H, Yang Q, et al. (2017) Dedifferentiated
chondrosarcoma: Radiological features, prognostic factors and survival statistics in
23 patients. PLoS ONE 12(3): e0173665
26. Xu J, Li D, Xie L, Tang S, Guo W (2015) Mesenchymal Chondrosarcoma of Bone
and Soft Tissue: A Systematic Review of 107 Patients in the Past 20 Years. PLoS
ONE 10(4): e0122216
27. Angelini A, Guerra G, Mavrogenis AF, Pala E, Picci P, Ruggieri P. Clinical
outcome of central conventional chondrosarcoma. J Surg Oncol. 2012;106:929–37.

Anda mungkin juga menyukai