Anda di halaman 1dari 13

Penanganan Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST

Aryananda Andika
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: miracledraw1@yahoo.co.id

Pendahuluan

Infak miokard akut merupakan salah bentuk angina pektoris tidak stabil bisa dengan
peningkatan elevasi segmen ST ataupun tanpa elevasi segmen ST. Pada makalah ini akan
dibahas mengenai STEMI ( ST elevation myocardial infarction) yaitu miokard infark akut
yang terdapat gambaran khas pada elektrokardiogram atau EKG terdapat elevasi dari segmen
ST. Pada makalah ini akan dibahas mengenai patofisiologi dari penyebab miokard infark akut
serta penangannya.

Anamnesis

Pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis agar dapat
membedakan apakah nyeri tersebut berasal dari jantung atau berasal dari luar jantung
misalkan paru – paru. Anamnesis dapat dilakukan dengan menanyakan lansung atau keluarga
pasien.1 Anamnesis dimulai dengan menanyakan identitas pasien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, dan riwayat
kehidupan sehari – hari maupun sosial. Pada penyakit jantung ditandai dengan keluhan rasa
tidak nyaman di dada. Di anamnesis kita menanyakan letak nyerinya, apakah menyebar, sejak
kapan, adakah pencetusnya, dan hilang pada saat kapan. Lalu adakah gejala lain seperti
demam, mual, muntah. Lalu ditanyakan adakah riwayat penyakit jantung, diabetes,
hipertensi. Terakhir ditanyakan bagaimana gaya hidup pasien apakah pasien merokok, minum
alkohol, sering berolahraga, dan pola makan.

Pemeriksaan fisik

Jika pasien datang dalam keadaan dengan tidak dalam keadaan darurat maka dapat dilakukan
pemeriksaan fisik tetapi pasien datang dalam keadaan darurat maka dilakukan
penatalaksanaan terlebih dahulu yang akan dibahas nanti. Pemeriksaan fisik dilakukan
dengan melihat keadaan umum pasien, kesadaran pasien, dan tanda – tanda vital. Pada
pemeriksaan ini kadang – kadang pasien ditemukan cemas dan gelisah. Seringkali ditemukan
ekstrimitas pucat disertai keringat dingin. Setelah itu dilakukan pemeriksaan fisik jantung
dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan aukultasi. Pada aukultasi dapat ditemukan S4 dan S3
gallop dan dapat juga ditemukan murmur midsistolik yang dikarenakan difungsi aparatus
katup mitral dan percardial friction rub.2

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui apakah gejala – gejala diatas hanya merupakan
angina stabil, angina tidak stabil, ataupun miokard infark akut maka dilakukan EKG atau
elektrokardiogram dan pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan enzim.

Elektrokardiogram

Pemeriksaan EKG dapat menentukan apakah gejala tersebut menuju ke miokard infark tanpa
elevasi ST ataupun dengan elevasi ST. Selain itu EKG dapat menentukan lokasi infark serta
pembuluh daerah koroner di jantung dengan melihat adanya anomali pada hasil gelombang di
masing – masing sadapan. Pada pembacaan gelombang EKG mungkin dapat ditemukan
resiprokal atau mirror image. Konsep ini menyatakan pada sadapan pada arah berlawanan
dari daerah yang sakit menunjukkan gambaran depersi segmen ST. Perubahan ini dijumpai
pada dinding jantung berlawanan dengan lokasi infark.3

Gambar 1. Gambara resiprokal

Jika terjadi infark pada sel miokardium tidak akan depolarisasi sempurna, secara elektrik
lebih bermuatan positif dibanding daerah yang tidak mengalami injuri dan pada EKG tampak
gambaran elevasi ST pada sadapan yang berhadapan dengan lokasi iskemik.
Gambar 3. Elevasi segmen ST

Perubahan EKG pada infark miokard lama jika aliran darah ke otot jantung terhenti atau tiba
– tiba menurun sehingga sel otot jantung mati. Sel infark yang tidak berfungsi tersebut teidak
mempunyai respon stimulus listrik sehingga arah arus yang menuju daerah infark akan
meninggalkan daerah yang nekrosis tersebut pada EKG memberikan gambaran defleksi
negatif berupa gelombang Q patologis dengan syarat durasi gelombang Q lebih dari 0,04
detik.

Gambar 3. Q patologis
Seperti disebutkan diatas, EKG dapat menentukan lokasi infark pada jantung dan pembuluh
darah koroner yang terkena.

Gambar 4. Lokasi anatomi infark

Pemeriksaan laboratorium

Pada saat terjadi serangan miokard infark akut dapat dilakukan pemeriksaan petanda
kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinine kinase CKMB dan cardiac spesific
troponin cTnT dan cTnI.4

 CK-MB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CK-MB.
 cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
 Myoglobin : mioglobin adalah protein yang mengikat oksigen. Mioglobin
ditemukan dalam sel otot rangka dan otot jantung. Mioglobin dilepas ke
sirkulasi setelah terjadi cedera. Kadar mioglobin dapat dideteksi satu jam
setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam. Nilai rujukan : 12-90 ng /
ml.
 Creatinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
 Lactic Dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Diferential diagnosis

Unstable angina pectoris

Unstable angina pectoris merupakan salah bentuk dari sindrom koroner akut. Gejala – gejala
dari sindrome koroner akut dari unstable angina pectoris adalah angina pada saat aktivitas
ringan atau saat beristirahat saja. Biasanya gejala akan hilang jika diberikan nitrat. Salah satu
gejala yang khas ada cressendo patern yaitu dimana walaupun aktivitas dikurangi frekuensi
gejala malah makin meningkat dan lebih parah. Dikarenakan gejala yang hampir sama, maka
harus dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu EKG dan pemeriksaan laboratorium untuk
mengukur serum jantung. Pada EKG unstable angina dan NSTMI ( Non ST Elevation
Myocardial Infarct) kadang tidak bisa dibedakan karena mempunyai ciri khas yang sama
yaitu depresi dari segmen ST. Untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan laboratorium
dengan mengecek cardiac marker yaitu CKMB dan troponin I dan T tidak naik. Untuk
pengobatannya sendiri dapat diberikan nitratgliserin agar arteri koronari jatung dilatasi
sehingga memperbanyak aliran darah ke jantung dan aspirin untuk mencegah terbentuknya
plak pada arteri koroner jantung.

NSTEMI (Non ST Elevation Myocardial Infarct)

Salah satu bentuk sindrom koroner akut adalah miokardial infark tanpa elevasi segmen ST.
Seperti diceritakan diatas gejala sindrom koroner akut pada NSTEMI sama seperti STEMI
dan angina tidak stabil yaitu nyeri di dada bagian kiri pada saat istirahat maupun melakukan
aktivitas fisik ringan yang menjalar ke bagian tubuh lain. Untuk itu diperlukan pemeriksaan
penunjang dengan EKG dan pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan serum jantung.
Pada EKG angina tidak stabil dan NSTEMI mempunyai ciri khas yaitu depresi dari segmen
ST. Depresi atau penurunan ini disebabkan oleh sel – sel miokardium yang mengalami
iskemia sehingga akan memperlambat repolarisasi sehingga dijumpai depresi dari segmen ST
dan inversi dari gelombang T. Untuk membedakan angina tidak stabil dengan NSTEMI
dilakukan pengecekan serum yaitu CKMB dan troponin I dan T. Pada NSTEMI terdapat
kenaikan serum dari troponin I dan T dan CKMB.
Etiologi

Secara umum dikenal berbagai faktor yang berperan penting terhadap timbulnya penyakit
jantung koroner (PJK). Faktor – faktor resiko tersebut ada yang tidak dapat dimodifikasi dan
dapat dimodifikasi.

Faktor – faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain meningkatnya usia akan
menyebabkan meningkat pula penderita PJK pembuluh darah mengalami perubahan progresif
dan berlangsung lama dari lahir sampai mati. Juga didapatkan hubungan antara umur dan
kadar kolesterol yaitu kadar kolesterol total akan meningkat dengan bertambahnya umur.
Jenis kelamin, merupakan kenyataan bahwa wanita lebih sedikit mengalami serangan jantung
dibandingkan pria. Secara umum faktor resiko lebih sedikit menyebabkan kelainan PJK.
Namun ketahanan wanita berubah setelah menopause. Hal ini diduga faktor hormonal seperti
estrogen melindungi wanita. Riwayat keluarga dengan penyakit arterosklerosis.

Sedangkan terdapat faktor – faktor yang dapat dimodifikasi adalah sebagai berikut.
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk
jantung, sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri
(faktor miokard). Serta tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma
langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri coronaria, sehingga memudahkan
terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina pektoris,
insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi
dibandingkan orang normal.

Hiperkolesterolemia disebabkan oleh kolesterol, lemak dan substansi lainnya dapat


menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari pembuluh derah
tersebut menyempit dan proses ini disebut aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini
akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga aliran
derah pada pembuluh derah coroner yang fungsinya memberi O2 ke jantung menjadi
berkurang. Kurangnya O2 akan menyebabkan otot jantung menjadi lemah, sakit dada,
serangan jantung bahkan kematian.

Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh
katekolamin dan menurunnya konsumsi O2 akibat inhalasi CO2. Katekolamin juga dapat
menambah reaksi trombosis dan juga menyebabkan kerusakan dinding arteri, sedangkan
glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif dinding arteri.
Obesitas/kegemukan dapat meningkatkan kadar kolesterol total dan LDL kolesterol. Diabetes
Melitus menyebabkan intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai
predisposisi penyakit pembuluh darah. Mekanismenya belum jelas, akan tetapi terjadi
peningkatan tipe IV hiperlipidemi dan hipertrigliserid, pembentukan platelet yang abnormal
dan DM yang disertai obesitas dan hipertensi.5

Epidemiologi

Penyakit iskemia jantung merupakan penyakit yang mempunyai angka kematian tersebar.
Pada 1991 – 1993, WHO melaporkan bahwa penyakit jantung menyebabkan 12 juta kematian
penyebab setengah kematian di negara maju dan salah satu penyebab kematian terutama di
negara berkembang yang perekonomian sedang maju sehingga kematian diakibatkan
penyakit infeksius digantikan oleh penyakit degeneratif. Kebanyakan penyakit jantung
iskemik sering ditemukan di orang dewasa 60 tahun keatas dibandingkan pada dewasa muda.

Patofisiologi

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah coroner
menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri coroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak
memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi
jika thrombus arteri coroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini
dicetuskan oleh faktor – faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, rupture,
atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri coroner. Penelitian
histologis menunjukkan plak coroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai fibrous
cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respons terhadap terapi trombolitik.

Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan
A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan
konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor
mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut
(intergrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah
molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara stimultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak. Faktor
VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang kemudian
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri coroner yang terlibat kemudian akan
mengalami oklusi oleh thrombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.6

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis dari STEMI antara lain nyeri di dada seperti berat, tertekan, atau seperti
ditusuk. Gejalanya mirip seperti angina pectoris hanya saja jika angina pectoris menimbulkan
gejala pada saat beristirahat, STEMI menunjukkan gejala walapun sedang istirahat serta tidak
tergantung dari aktivitas. Gejala dari STEMI lebih berat dan bertahan lebih lama. Kadang
nyeri yang dirasakan dapat menjalar ke seluruh tubuh lainnya seperti tangan kiri tetapi tidak
sampai ke daerah umbillicus. Kadang gejala disertai juga oleh keringat dingin, mual, muntah.

Komplikasi

Infark dari miokard dapat menimbulkan komplikasi pada sistem kardiovaskular. Disfungsi
ventricular terjadi karena ventrikel kiri ataupun ventrikel kanan mengalami perubahan dalam
bentuk ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodeling ventrikular dan biasanya terjadi sebulan setelah terjadi miokard infark.
Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasal dari
ekspansi infark serat otot disrupsi sel miokard normal dan hilangnya jaringan di zona
nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan
yang disproporsional dan elongasi zona infark., sehingga proses remodelling menyebabkan
lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan
konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain.4,6

Edema paru akut pada miokard infark, seringkali terjadi bendungan sirkulasi vena. Pada
pasien dengan miokard infark atau gagal jantung kiri, hal ini menyebabkan bendungan pasif
sirkulasi paru. Seiring dengan semakin parahnya gagal ventrikel kiri, tekanan hidrostatik pada
pembuluh paru meningkat sehingga terjadi kebocoran cairan dan kadang-kadang eritrosit ke
dalam jaringan intersitium di rongga udara paru untuk menyebabkan edema paru. Kongesti
sirkulasi paru juga meningkatkan resistensi vaskular paru dan karenanya peningkatan beban
kerja bagi sisi kanan jantung. Peningkatan beban ini apabila menetap dan parah, akhirnya
menyebabkan sisi kanan jantung akan mengalami kegagalan.

Syok kardiogenik merupakan keadaan dimana jantung yang rusak sehingga tidak bisa
mensuplai darah ke seluruh organ. Syok kardiogenik biasanya ditandai dengan penurunan
tekanan darah (sistolik kurang dari 90 mmHg, atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata
lebih dari 30 mmHg) dan atau penurunan pengeluaran urin (kurang dari 0,5 ml/kg/jam)
dengan laju nadi lebih dari 60 kali per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ.

Komplikasi selanjutnya dapat menimbulkan aritmia jantung. Mekanisme yang dapat


menyebabkan aritmia disebabkan tidak seimbangnya sistem saraf, terganggunya elektrolit,
iskemia, dan konduksi dari aliran listrik yang melambat pada daerah iskemik.

Penatalaksanaan

Farmakologik

Pengobatan atau medika mentosa pada STEMI dilakukan dengan memberi Oksigen,
Nitrogliserin, dan obat – obat untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dada. Selain itu
juga dilakukan tindakan terapi reperfusi dan bedah.4,6,7

Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama.
Nitrogliserin (NTG) : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan
dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard
dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara
dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri
dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. Terapi nitrat harus dihindari
pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai
menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru
bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat
memicu efek hipotensi nitrat.
Obat yang mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan
dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.

Morfin : morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4
mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek
samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan
arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan
mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi
dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV
dengan NaCl 0,9%.

Aspirin : aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum acute coronary syndrome. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2. Aspirin diberikan oral
dengan dosis 75-162 mg.

Terapi farmakologis yang lain dapat berupa antitrombotik seperti aspirin dan ticagrelor yang
merupakan antagonis reseptir P2Y12. Setelah itu dapat juga diberikan penyekat Beta atau beta
blocker yang memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
mengurangi rasa nyeri, mengurangi luasnya infark dan menurukan risiko kejadian artimia
ventrikel yang serius. Beta blocker dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung,
blok jantung, hipotensi ortostatik atau riawayat asma. Obat selanjutnya yang dapat dipakai
dapat berupa ACE inhibitor dengan mekanisme yang melibatkan penurunan risiko
remodeling ventrikel pasca infark sehingga menurunkan risiko gagal jantung. Pemberian
ACE inhibitor diberikan 24 jam pertama pada pasien STEMI.

Terapi reperfusi

Terapi reperfusi merupakan terapi untuk melancarkan darah ke jantung biasanya digunakan
fibrinolisis. Obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin,
yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin. Obat yang digunakan biasanya berupa
streptokinasi, alteplase, reteplase, dan tenekteplase.6
Tindakan bedah

Terapi Bedah merupakan terapi definitif dari STEMI. Prosedur invasif yang dapat
dilakukan,yaitu: Intra-aortic Balloon Counterpulsation (IABP) disediakan untuk pasien yang
sulit mencapai terapi obat secara maksimal & mereka yang menggunakan catheterisasi
kardiak.

Percutaneous coronary intervention (PCI) adalah tindakan berupa memasukkan selang


kateter langsung menuju jantung dari pembuluh arah di pangkal paha dapat berupa
pengembangan balon maupun cincin/stent. Pada mulanya tindakan percutaneous
transluminal angioplasty hanya dilakukan pada satu pembuluh darah saja, sekarang ini telah
berkembang lebih pesat baik oleh karena pengalaman, peralatan terutama stent dan obat-obat
penunjang. Pada pasien dengan PJK stabil dengan anatomi coroner yang sesuai maka PCI
dapat dilakukan pada satu atau lebih pembuluh darah (multi-vessel) dengan baik (PCI
sukses). Tindakan PCI pada pasien PJK stabil dibandingkan dengan obat medis, tidaklah
menambah survival dan hal ini berbeda dibanding CABG.

Coronary Artery bypass Graft (CABG) dapat dibuat untuk menyembuhkan iskemia berlanjut
atau berulang dan untuk membantu mencegah perkembangan menjadi MI atau kematian.
Tekniknya menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh yang lain untuk memintas
(melakukan bypass) arteri yang menghalangi pemasokan darah ke jantung. Vena kaki atau
arteri mamari (payudara) internal bisa digunakan untuk operasi bypass. Operasi ini membantu
memulihkan aliran darah yang normal ke otot jantung yang tersumbat. Pada operasi bypass,
pembuluh cangkok baru, yaitu arteri atau vena sehat yang diambil dari kaki, lengan, atau
dada pasien, kemudian diambil lewat pembedahan dan dijahitkan ke sekeliling bagian yang
tersumbat. Pembuluh cangkok ini memasok darah beroksigen ke bagian jantung yang
membutuhkannya, sehingga "mem-bypass" arteri yang tersumbat dan memulihkan aliran
darah ke otot jantung.

Pencegahan dan edukasi

Gaya hidup sehat adalah kebiasaan seseorang untuk menerapkan hidup sehat dalam
kehidupan sehari-harinya dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu
kesehatan. Salah satunya dengan menghentikan merokok dan juga minum alkohol.
Melakukan aktivitas fisik dan olahraga yang teratur yaitu lakukan minimal 30 menit dalam
sehari agar mempunyai efek terhadap sistim jantung & pembuluh darah. Dan juga makan-
makanan sehat dan gizi seimbang Hindari makanan yang banyak mengandung kolesterol,
pilihlah daging putih (ikan, ayam tanpa kulit) dan hindari daging merah (sapi, kambing dll).
Banyak makan makanan yang mengandung serat, sehingga membantu dalam mengganggu
penyerapan lemak. Jangan terlalu banyak kalori sehingga berlebih, hal ini menjaga dari
kelebihan berat badan/obesitas.

Prognosis

Dengan penangan yang tepat pasien dengan STEMI dapat menurunkan angka kematian.
Prognosis yang baik ditentukan oleh reperfusi yang cepat , menjaga fungsi dari ventrikel kiri,
dan pemberian obat jangka pendek maupun panjang dengan penyekat beta, ACE inhibitor,
dan aspirin. Sedangkan prognosis yang buruh dipengaruhi oleh faktor – faktor yang lain
seperti diabetes, reperfusi yang terlambat, adanya penyakit pembuluh yang lain , dan lain –
lainnya.

Kesimpulan

Dari skenario diatas dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut menderita STEMI dikarenakan
gejala yang sesuai dan hasil EKG dengan elevasi ST. Dengan penanganan, pemberian obat,
dan perubahan gaya hidup, prognosis dari STEMI akan semakin baik.

Daftar pustaka

1. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Erlangga;


2007.h.1-17.
2. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan Bates. Edisi ke- 8.
Jakarta : EGC; 2008.h.245-48.
3. Dharma S. Pedoman praktis sistematika interpretasi ekg. Edisi ke- 1. Jakarta: EGC;
2009.h.15-24.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam: jilid 2 dan 3. Edisi ke-6. Jakarta Pusat: InternaPublishing; 2014.
5. Robbins, Cotran. Buku saku dasar patologis penyakit. Edisi ke-7. Jakarta :
EGC;2009.h.434-5.
6. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In : Kasper DL, Fauci AS, Lonyo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jamesan JL, editor. Harrison’s principle of internal
medicine. 17th Ed. United States: McGrow-Hill; 2008.
7. Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman and gilman manual of
pharmacology and theurapetics. United Staes: McGrow-Hill;2008.

Anda mungkin juga menyukai