Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS

TRAUMA MEDULA SPINALIS

Disusun oleh:
Dr. Mohammad Syarif Mas’ud

Pembimng:
Dr. Eko Widya Nugroho Sp.EM

Departemen Emergency
Rumah Sakit H.L Manambai Abdul Kadir
2018
BAB I
STATUS PASIEN

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. MAS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 60 tahun
Alamat : Raberas, Sumbawa
Berat Badan : 70 kg
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan Terakhir : SD
Tanggal Pemeriksaan : 23 Januari 2018

1.2 ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA
Tidak dapat menggerakan kedua kaki sejak 5 jam SMRS.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang ke IGD dengan keluhan tidak dapat menggerakan kedua kaki sejak 5 jam
SMRS, keluhan dirasakan tiba-tiba setelah mengalami kecelakaan saat bekerja di hutan karena
puncak kepala pasien tertimpa batang pohon dengan ketinggian kurang lebih 3m, batang pohon
berukuran panjang kurang lebih 90 cm dan beratnya kurang lebih 6 kg. Setelah itu pasien
merasa seperti tersetrum dari bagian dada sampai ujung kakinya kemudia lemas pada kedua
kaki dan tanganya setelah itu terjatuh. Pasien mengaku kedua kaki dirasa lebih lemah tidak
dapat di gerakan sama sekali, mati rasa dibandingkan tanganya yang lama kelamaan pasien
masih dapat menggerakan kedua tangannya. Keluhan nyeri kepala diakui pasien. keluhan
wajah mencong, bicra pelo, penglihatan buram dan gangguan pendengaran disangkal. BAB
dan BAK belum sejak 5 jam lalu. Pasien masih dapat berkomunikasi dengan baik dan ingat
seluruh kejadian sampai saat di IGD. Setelah tertimpa batang pohon pasien menyangkal
pingsan, muntah, maupun kejang. Pasien juga menyangkal keluhan demam, penurunan berat
badan atau sakit sebelumnya. Pasien menyangkal adanya riwayat nyeri, pegal-pegal,
kesemutan yang menjalar ke kaki sebeumnya. Saat ini pasien sedang tidak mengkonsumsi obat-
obatan terntentu. Riwayat operasi sebelumnya disangkal. Sebelum masuk IGD pasien mengaku
belum mendapat terapi apapun untuk menghiLangkan keluhan sakitnya.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


DM (-), HT (-), Penyakit jantung (-), Stroke (-), keganasan/ neoplasma (-), TB paru (-
), operasi di daerah punggung (-).

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan sama, DM (-), HT (-), Penyakit jantung (-
), Stroke (-), keganasan/ neoplasma (-), TB paru (-).

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum
Keadaan umum : CM, GCS E4M6V5
Kesan sakit sedang

Tanda-Tanda Vtal
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 90 x/mnt, regular, kuat angkat
Pernafasan : 20 x/mnt
Suhu : 37 ºC
SpO2 : 98 %

Status Generalis
 Kepala
Teraba edema
 Mata
- Konjungtiva Anemis : (-)
- Sklera Ikterik : (-)
- Pupil Isokor
- Reflek cahaya langsun dan tidak langsung : (+)

 Leher
- Inspeksi : bentuk normal, pembesaran kelenjar tiroid (-),
- Palpasi : KGB (-), Trakea deviasi (-), JVP tidak meningkat

 Thorax
Pulmo
- Inspeksi : Bentuk simetris dan pergerakan simetris
retraksi dada (-), kelainan kulit (-), massa (-)
- Palpasi : Fremitus vokal dan fremitus taktil kanan = kiri
- Perkusi : Terdengar sonor di seluruh bagian paru
- Auskultasi : Vesikular +/+ , Rh -/, Wh -/-

Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V LMCS
- Perkusi : Batas jantung kanan  linea sternalis dextra ICS 5
Batas jantung kiri  linea midclavicularis sinistra ICS 6
Batas pingang jantung  linea parasternalis sinistra ICS 2
- Auskultasi : Bunyi Jantung 𝑆1, 𝑆2 Reguler normal, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
- Inspeksi : Cembung, soepel
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani diseluruh bagian perut, shifting dullness (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (-), Heparan dan lien tidak teraba membesar

 Ekstremitas
Akral hangat, edema tungkai -/-, edema tangan -/-, CRT < 2”

Status Neurogis
Tanda rangsang meningeal
Kaku kuduk : Tidak dilakukan
Kernig : Tidak dilakukan
Lasegue : Tidak dilakukan
Brudzinski I : Tidak dilakukan
Nervus Kranialis
N.I : Tidak dilakukan
N.II : Reflks cahaya langsung +/+, visus tidak diperiksa
N.III, IV, VI : Kesan tidak ada paresis
N.V : Kesan tidak ada paresis
N.VII : Kesan tidak ada paresis
N.VIII : Tidak diperiksa
N.IX, X : Kesan tidak ada paresis
N. XI : Kesan tidak ada paresis
N. XII : Kesan tidak ada paresis

Motorik (kekuatan otot)

5555 5555
0000 0000

Kesan: Paraplegi

Refleks Fisiologis

+2 +2
+2 +2

Refleks Patologis
Babinsky :-/-
Gordon :-/-
Chaddock :-/-
Hoffman-Tromner :-/-

Sensorik
Hipestesi setinggi dermatome T6 kebawah (raba halus)

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil Laboratorium
24-01-17 Hasil Nilai Normal
Eritrosit 4.70 4.40 - 5.90
Hemoglobin 13.0 14 - 18
Hematokrit 45 40.0 - 52.0
Leukosit 7.62 4.80 – 10.80
Trombosit 321 150 – 450
GDS 114 <160
Ureum 25 6-26
Kreatinin 1,6 0,9-1,3

Gambaran Radiologi

Hasil Rontgen Thoracolumbal

Alligment sendi cv thoracolumbal tidak intak.


Curva kifotik melurus. Tidak tampak fraktur atau
destruksi. Mineralisasi tulang baik. Tampak
pergeserran ke kiri cv T4 terhadap T5. Osteofit
pada aspek anterolateral cv thoracolumbal. Discus
intervertebralis dalam batas normal

Kesan: Pergeseran cv T4 terhadap T5 ke sisi kiri.


Spondylosis thoracolumbal.
Hasil Rontgen Skull AP/LAT

Tabula externa diploe dan tabula interna intak.


Tulang orbita, os maxilla dan os mandibulla
intak. Sinus maxillaris kanan dan kiri
berselubung. Kedua aircell mastoid dan sinus
paranasalis lainnya dalam batas normal. Cavum
nasi dan cavum oris dalam batas normal.

Kesan: gambaran sinusitis maxillaris kanan dan


kiri
Hasil Rontgen Cervical

Allignment sendi cv cervical dalam batas normal.


Tidak tampak fraktur atau destruksi. Mineralisasi
tulang baik. Celah sendi dalam batas normal. Soft
tissue paravertebral dalam batas normal.

Kesan: Tidak tampak kelainan radiologi pada foto


cervical ini

Gambaran EKG

Interpretasi EKG:

Irama Sinus
Laju QRS: 67 x/m
Aksis: Nromal
Gelombang P normal
Interval PR 0,16”
Kompleks QRS 0,07”
Perubahan segmen ST –
Gelombang T Normal

Kesan : sinus rhythm

1.5 RESUME
Pasien laki-laki usia 60 tahun datang ke IGD dengan keluhan tidak dapat menggerakan
kedua kaki sejak 5 jam SMRS, keluhan dirasakan tiba-tiba setelah mengalami kecelakaan
saat bekerja di hutan karena puncak kepala pasien tertimpa batang pohon dengan ketinggian
kurang lebih 3m, batang pohon berukuran panjang kurang lebih 90 cm dan beratnya kurang
lebih 6 kg. Setelah itu pasien merasa seperti tersetrum dari bagian dada sampai ujung
kakinya kemudia lemas pada kedua kaki dan tanganya setelah itu terjatuh. Pasien mengaku
kedua kaki dirasa lebih lemah tidak dapat di gerakan sama sekali dan mati rasa
dibandingkan tanganya yang lama kelamaan pasien masih dapat menggerakan kedua
tangannya.
Pemeriksaan fisik didapatkan:

Motorik (kekuatan otot)

5555 5555
0000 0000
Kesan: Paraplegi

Sensorik
Hipestesi setinggi dermatome T6 kebawah (raba halus)

Pemeriksaan penunjang didapatkan:


Hasil rontgen thotakolmba: Tampak pergeserran ke kiri cv T4 terhadap T5. Osteofit pada
aspek anterolateral cv thoracolumbal. Discus intervertebralis dalam batas normal
Kesan: Pergeseran cv T4 terhadap T5 ke sisi kiri. Spondylosis thoracolumbal.

1.6 DIAGNOSIS KERJA


Trauma Medula Spinalis ec Spondylolithesis T4

1.7 USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


 CT Scan Thoracolumbal

1.8 PENATALAKSANAAN
Primary Survey
A : Paten, clear
B : RR: 20 x/m, SpO2: 98% pergerakan dinding dada simetris, tidak ada jejas, VBS
ka=ki rh -/- wh -/-
C : N: 90x/m regular kuat angkat, akral hangat, TD 130/80 mmHg
D : GCS: E4M6V5

 Farmakologi
1. IVFD Ringer Laktat 20 tpm
2. Metilprednisolon 2000 mg IV (Bolus dlm 15 menit)
 Lanjutkan metilprednisolon IV 378 mg/jam dlm NS 0,9 % selama 6 jam
3. Omeprazole 1 x 40 mg IV
4. Ondansentron 1 x 4 mg IV

 Non Farmakologi
1. Imobilisasi pasien dengan membatasi fleksi dan gerak lain dengan
pemasangan collar neck

 Rujuk RSUP kota mataram (pasien menolak di rujuk)


 Rawat Inap dengan disposisi Ortopedi

1.9 PROGNOSIS
 Ad vitam : ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad malam
 Ad sanationam : dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kolumna Vertebralis dan Medula Spinalis

Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai dari foramen
magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga seluruh panjang kanal vertebralis
(dibentuk dari seluruh foramen vertebralis), berkesinambungan dengan medulla oblongata di
otak, dan bagian terujung dari medulla spinalis terletak di batas bawah vertebra lumbar pertama
pada orang dewasa dan batas bawah vertebra lumbar ketiga pada anak-anak. Medulla spinalis
dikelilingi oleh 3 lapisan meninges, antara lain dura mater, araknoid mater, dan pia mater.
Selain itu, likuor cerebrospinalis (LCS) yang berada dalam rongga subaraknoid juga
memberikan perlindungan tambahan bagi medulla spinalis.
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen servikal, 12 segmen
torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1 segmen koksigeal. Nervus spinalis keluar
dari setiap segmen medulla spinalis tersebut (berjumlah 31 pasang nervus spinalis) dan terdiri
dari motor atau anterior roots (radiks) dan sensory atau posterior root. Penamaan nervus
spinalis dilakukan berdasarkan daerah munculnya nervus tersebut melalui kanal vertebralis.
Nervus spinalis C1 sampai C7 muncul dari atas kolumna vertebralis C1-C7, sedangkan C8
diantara kolumna vertebralis C7-T1. Nervus spinalis lainnya muncul dari bawah kolumna
vertebralis yang bersangkutan.
Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2 menginervasi otot-otot
leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang mempersarafi diafragma, C5-T1
mempersarafi otot-otot ekstremitas atas, segmen torakal mempersarafi otot-otot
torakoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah. Beberapa dermatom
penting yang memberikan gambaran untuk fungsi sensorik dari nervus spinalis, antara lain C2-
C3 untuk bagian posterior kepala-leher, T4-5 untuk daerah areola mamae, T10 untuk
umbilikus, bagian ekstremitas atas: C5 (bahu anterior), C6 (ibu jari), C7 (jari telunjuk dan
tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian medial antebrakii), T2 (bagian medial dari brakialis),
T2/T3 (aksila), bagian ekstremitas bawah: L1 (bagian anterior dan medial dari femoralis), L2
(bagian anterior dari femoralis), L3 (lutut), L4 (medial malleolus), L5 (dorsum pedis dan jari
1-3), S1 (jari 4-5 dan lateral malleolus), S3/Co1 (anus).
Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia kelabu (gray
matter) yang terletak internal dan substansia alba (white matter) yang terletak secara
eksternal. Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus ascending
(sensorik) dan descending (motorik), sedangkan substansia kelabu dapat dibagi menjadi 10
lamina atau 3 bagian (kornu anterior, posterior, dan lateral) yang tersusun dari nukleus-nukleus
yang berperan dalam potensi aksi neuron-neuron.
Gambar 1. Anatomi Medulla Spinalis

2.2 DEFINISI
Trauma medulla spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupn
tidak langsung, yang menimbulkan lesi di medulla spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologis, menyebabkan kecacatan menetap, atau kematian. Trauma medulla spinalis
merupakan kegawatdaruratan pada bidang neurologi.

2.3. EPIDEMOLOGI
Trauma medulla spinalis sering terjadi pada banyak orang. Diperkirakan 100.000
individu mengalaminya dalam tahun. Sekitar 8-10% diantaranya mengalami disfungsi
neurologis. Angka mortalitas dilaporkan 48% dalam 24 jam pertama dan 80% diantaranya
meniggal ditempat kejadian. Level vertebra yang paling sering mengalami trauma adala
servikal 5 (C5), C4, C6, torakal 12(12), T10, dan lumbar 1 (L1).
Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata 28 tahun
(terutama antara 16-30 tahun). Hampir seluruh pasien cedera medulla spinalis (80,6%)
adalah pria (perbandingan rasio pria: wanita yaitu 4:1) karena resiko yang lebih tinggi
terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera yang berhubungan dengan
rekreasi (seperti diving).

2.4 ETIOLOGI
Sejak tahun 2005 etiologi utama CMS, antara lain kecelakaan lalu lintas (39,2%), jatuh
(28,3%), kekerasan (luka tembak, 14,6%), olah raga (terutama diving, 8,2%), akibat
lainnya dari mencakup 9,7%. Etiologi nontraumatik, antara lain gangguan vaskular,
autoimun, degeneratif, infeksi, iatrogenik, dan lesi onkogenik.

Gambar 2. Etiologi Cedera Medula Spinalis

2.5 PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya trauma medulla spinalis dapat disebabkan karena:
1. Fraktur vertebra/ dislokasi dapat menekan medulla spinalis
2. Luka penetrasi/ luka tembus dapat melukai spinalis secara langsung
3. Perdarahan epidural/subdural dapat menyebabkan penekanan pada radiks saraf
sehingga menimbulkan nyeri progresif dan paraparesis
4. Trauma tidak langsun (fleksi tiba-tiba, hiperekstensi, kompresi vertebra, dan rotasi
kolumnar vertebralis)
5. Trauma intermedular/ kontusio
Tabel 1. Frekuensi Traumatic Spinal Cord Injury (TSCI) berdasarkan tingkat cedera

Adanya trauma pada medulla spinalis menyebabkan munculnya gejala dan tanda klinis
akibat dari cedera primer dan sekunder. Terdapat 4 jenis mekanisme cedera primer pada
medulla spinalis, antara lain benturan dengan kompresi persisten, benturan dengan kompresi
sementara, distraksi, dan laserasi/transection. Mekanisme cedera primer yang paling umum
adalah benturan disertai kompresi persisten, yang terutama terjadi pada burst fracture dengan
retropulsi dari fragmen tulang yang memberikan kompresi pada medulla spinalis (tear drop
fracture), fraktur-dislokasi, dan ruptur diskus akut. Mekanisme kedua yaitu benturan dengan
kompresi sementara yang contohnya terjadi pada cedera hiperekstensi di individu dengan
penyakit degenerasi servikal. Distraksi yaitu regangan kuat yang terjadi pada medulla spinalis
akibat gaya fleksi, ekstensi, rotasi atau dislokasi yang menyebabkan (dapat menyebabkan
gangguan perfusi) merupakan mekanisme ketiga. Cedera distraksi ini merupakan salah satu
penyebab terjadinya cedera medulla spinalis tanpa ditemukan adanya kelainan pada pencitraan
radiologi. Mekanisme cedera terakhir yaitu laserasi dapat disebabkan oleh cedera karena roket,
luka karena senapan api, dislokasi dari fragmen tulang yang tajam, dan distraksi hebat. Laserasi
dapat menyebabkan transection total sampai cedera minor. Seluruh mekanisme cedera primer
menyebabkan kerusakan pada substansia kelabu bagian sentral, tanpa kerusakan substansia
alba (bagian perifer). Adanya kecenderungan cedera pada bagian substansia kelabu
dispekulasikan merupakan akibat konsistensi yang lebih lunak dan adanya pembuluh darah
yang lebih banyak. Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pembuluh darah
(microhemorrhage) dalam hitungan menit awal pascatrauma sampai beberapa jam kedepan
yang berlanjut mengakibatkan iskemia dan hipoksia medulla spinalis. Kerusakan terjadi akibat
dari kebutuhan metabolisme yang tinggi dari medulla spinalis. Selain pembuluh darah, neuron
juga mengalami kerusakan (ruptur akson dan membran sel neuron) dan transmisinya terganggu
akibat adanya edema pada daerah cedera. Edema hebat medulla spinalis terjadi dalam hitungan
menit awal dan nantinya berlanjut menyebabkan iskemia cedera sekunder. Substansia kelabu
mengalami kerusakan ireversibel dalam 1 jam pertama setelah cedera, sedangkan substansia
alba dalam 72 jam setelah cedera.
Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder dari cedera medulla
spinalis. Mekanisme cedera sekunder, meliputi shok neurogenik, gangguan vaskular berupa
perdarahan dan iskemia-reperfusi, eksitotoksisitas, kerusakan sekunder akibat kalsium,
gangguan cairan-elektrolit, cedera imunologis, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan
proses lainnya.

Gambar 3. Cidera primer dan sekunder dari spinal cord injury

2.6 KLASIFIKASI
Klasifikasi trauma medulla spinalis ditegakkan dalam waktu 72 jam-7 hari setelah
trauma. Menurut skala ASIA (American Spinal Injury Association), cedera medulla spinalis
dibagi:
A = Cedera komplit, bila tidak ada fungsi motorik dan sensorik di bawah level cedera,
khususnya pada segmen S4-S5.
B = Cedera inkomplit, hanya fungsi sensorik yang ada di bawah level neurologik kadang
di segmen S4-S5.
C = Cedera inkomplit, beberapa fungsi motorik ada dibawah level cedera dan lebih dari
setengah otot dibawah pada level ini mempunyai kekuatan otot kurang dari 3.
D = Cedera inkomplit, fungsi motorik ada di bawah level cedera dan kebanyakan otot
kekuatannya lebih sama dengan 3.
E = Fungsi motorik dan sensorik normal.
Pada masa akut dapat terjadi spinal shock. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya somatic
motor, sensorik dan fungsi simpatetik otonom karena cedera medulla spinalis. Makin berat
cedera medulla spinalis dan makin tinggi level cedera, durasi spinal shock makin lama dan
makin besar pula. Spinal shock ini timbul beberapa jam sampai beberapa bulan setelah cedera
medulla spinalis. Pada lesi medulla spinalis setinggi servikal dan torakal dapat terjadi
vasodilatasi perifer akibat terputusnya intermediolateral kolumna medulla spinalis. Akibatnya
terjadi hipotensi. Ini dapat diatasi dengan pemberian agen-agen simpatomimetik, seperti
dopamin atau dobutamin. Bradikardi simptomatis dapat diberikan atropin.
Gambar 4. Metode ASIA dalam mengklasifikasikan CMS
2.7 MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Klinis Cedera medulla spinalis (CMS) ditandai oleh adanya tetraplegia
atau paraplegia, parsial atau komplit dan tingkatan atau level tergantung area terjadinya lesi
atau CMS. Tetraplegia atau quadriplegia adalah kehilangan fungsi sensorik dan motorik di
segmen cervical medulla spinalis. Sedangkan paraplegia adalah gangguan fungsi sensorik dan
motorik di segmen thorakal lumbal dan sakrum. CMS diklasifikasikan sebagai komplit dan
tidak komplit. CMS komplit adalah kehilangan sensasi dan fungsi mototrik volunter total
sedangkan tidak komplit adalah campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunter.
Definisi lainnya yaitu CMS komplit ditandai tidak adanya fungsi sensorik dan motorik yang
keluar dari bawah level cedera sedangkan CMS inkomplit masih ada fungsi sensorik dan
motorik di bawah level cedera.
Gejala klinis CMS sangat ditentukan oleh letak atau lokasi cedera sedangkan tingkat
keparahannya sangat ditentukan oleh kerusakan medulla spinalis itu sendiri, apakah
total/komplit atau parsial/ inkomplit.

Tabel 2. Gangguan Neurologi Berdasarkan Lesi di Medula Spinalis


2.8 Diagnosis
Evaluasi klinis pada pasien dengan CMS membutuhkan penilaian status neurologis
lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi klinis awal dilakukan observasi
primer. Pada observasi primer, ABC (Airway, Breathing, Circulation) dinilai terlebih dahulu.
Setelah ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka penilaian status neurologis baru dilaksanakan
(Disability).
Dugaan terhadap adanya CMS didapatkan melalui anamnesis yang menyeluruh baik
mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan trauma pada daerah spinal
(umumnya nyeri) dan adanya defisit motorik atau sensorik. Selain itu, CMS akut harus diduga
apabila ditemukan adanya gejala otonom (retensio urin, konstipasi, ileus, hipotermia, hipotensi,
bradikardia), defisit motorik (hemiplegia, tetraplegia, paraplegia), dan sensorik (hemianestesia,
hemihipestesia).
pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detil (fungsi motorik, sensorik, dan fungsi
sfingter) diperlukan untuk melihat perjalanan klinis dari CMS. Praktik klinik yang umum
dilakukan adalah mendefinisikan CMS sesuai dengan International standards for neurological
classification of spinal cord injury yang dikeluarkan oleh ASIA. Langkah-langkah dalam
penilaian status neurologis berturut-turut, antara lain menentukan level sensorik untuk sisi
kanan dan kiri dengan key sensory points, menentukan level motorik dengan key motor
muscles, menentukan single neurological level, menentukan apakah cedera komplit atau
inkomplit berdasarkan ada-tidaknya sacral sparing, dan terakhir menentukan ASIA
impairment scale. Level sensorik didefinisikan sebagai dermatom intak yang paling kaudal
untuk fungsi nyeri dan raba kasar (memiliki nilai 2/normal/intak), fungsi sensorik pada level
dibawahnya tidak normal. Nilai level sensorik pada kanan dan kiri mungkin memiliki
perbedaan, sehingga nilai keduanya harus ditentukan. Level motorik ditentukan dengan
mengevaluasi key muscle paling rendah dengan kekuatan minimal 3 (dalam posisi telentang),
dengan fungsi motorik pada segmen diatas level tersebut memiliki kekuatan 5. Single
Neurological Level ditentukan dengan level neurologik paling rostral (paling atas) diantara 4
level yang ditemukan (level sensorik dan motorik kanan, level sensorik dan motorik kiri).
Pemeriksaan radiologi dengan standar yang tinggi merupakan aspek krusial dalam
mendiagnosis cedera spinal. Plain x-ray posisi lateral dan anteroposterior merupakan
pemeriksaan yang fundamental untuk mendiagnosis cedera spinal, sedangkan pemeriksaan CT
dan MRI dapat digunakan untuk evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan CT-Scan jauh lebih
superior dibandingkan plain x-ray karena dapat melihat dari potongan sagittal, koronal, atau
potongan lainnya sesuai dengan keinginan. Namun, apabila CT-Scan tidak tersedia, plain x-
ray tetap memberikan gambaran penting untuk screening dari fraktur dan dislokasi.
Pemeriksaan MRI yang normal memperbolehkan dilepasnya collar support dan mobilisasi
dini, hal ini dikarenakan MRI servikal dapat memperlihatkan setiap cedera pada daerah
servikal dari medulla spinalis, kompresi dari radiks, herniasi diskus, dan cedera pada ligamen
dan jaringan lunak.
Pemeriksaan foto x-ray pada daerah servikal harus melibatkan seluruh tulang dari
servikal (C1-C7) dan bagian atas dari T1 untuk menghindari tidak teridentifikasinya cedera
pada segmen bawah servikal, apabila masih tidak dapat melibat bagian cervico-thoracic
junction (CTJ) dapat digunakan swimmer’s view atau traksi lengan. Interpretasi dari
gambaran radiologi x-ray servikal dapat dilakukan dengan “ABCS”, alignment, bones,
cartilages, dan soft tissues.18 Alignment ditelusuri menggunakan 4 garis utama (perbedaan
>3,5 mm antara vertebra satu dengan yang lainnya dianggap abnormal, dibawah <5mm
unilateral facet dislocation dan diatasnya bilateral), bone dilihat apakah adanya fraktur atau
tidak (tipe fraktur), cartilage dinilai adanya displacement dari facet joints dan pelebaran
diskus intervertebralis, dan soft tissues dinilai adanya pelebaran anterior dari tulang belakang.

2.9 PENATALAKSANAAN
I. Manajemen Pre-Hospital
Perlu diperhatiakan tatalaksana disaat pre-hospital yaitu :
 Stabilisasi manual

 Penanganan imobilitas vertebra dengan kolar leher dan vertebra brace.

II. Manajemen Di Unit Gawat Darurat


Tindakan darurat mengacu pada:
1. A (Airway)
Manjaga jalan nafas tetap lapang
2. B (Breathing)
Mengatasi gangguan pernafasan, kalau perlu lakukan intubasi endotrakeal (pada
cedera medula spinalis, cervikalis atas) dan pemasangan alat bantu nafas.
3. C (Circulation)
Memperhatikan tanda-tanda hipotensi, harus dibedakan antara:
a) Syok hipovolemik. Tindakan : berikan cairanj kristaloid, kalo perlu dengan
koloid.
b) Syok neurogenik. Pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi (awasi edema
paru) maka harus diberikan obat vasopressor :
 Dopamin untuk menjaga MAP > 70 mmhg
 Bila perlu adrenalin 0,2 mg s.k
 Boleh diulangi 1 jam kemudian
4. Selanjutnya :
 Pasang foley kateter untuk moniter hasil urin dan cegah retensi urin.
 Pasang pipa naso gastrik dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada
distensi dan kepentingan nutrisi enteral.

5. Jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis :


 Servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan di samping kanan
kiri leher ditaruh bantal pasir.
 Torakal : lakukan fiksasi (brace)
 Lumbal : fiksasi dengan korset lumbal

6. Pemberian kortikosteroid :
 Bila diagnosis ditegakkan < 3 jam pasca trauma berikan : methylprednisolon 30
mg/kgBB i.v bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit (tidak diberikan
methylprednisolon dalam kurun waktu ini), selanjutnya diberikan infus teus-
menerus methylprednisolon selama 23 jam dengan dosis 5,4 mg/KgBB/jam.
 Bila 3-8 jam, sama seperti yang diatas hanya infus methylprednisolon
dilanjutkan untuk 47 jam.
 Bila > 8 jam tidak dianjurkan pemberian methylprednisolon.
III. Manajemen Di Ruang Rawat
1. Perawatan umum
 Lanjutkan A,B,C sesuai keperluan
 Usahakan suhu badan tetap normal
 Jika ada gangguan miksi pasang kateter
2. Medikamentosa
 Lanjutkan pemberian methylprednisolon
 Analgetik
 Mencegah dekubitus
 Mencegah trombosis vena dalam dengan stoking kaki khusus atau fisioterapi.
 Mencegah proses sekunder dengan pemberian vitamin C, dan vitamin E.
 Terapi obat lain sesuai indikasi seperti antibiotik bila ada infeksi.
 Memperbaiki sel saraf yang rusak dengan stem sel.
3. Operasi
1. Waktu operasi
Tindakan operatif awal (< 24 jam) lebih bermakna menurunkan perburukan
neurologis, dan komplikasi.
2. Indikasi operatif
 Ada fraktur, pecahan tulang menekan medula spinalis
 Gambaran neurologis progresif memburuk
 Fraktur, dislokasi yang labil
 Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula spinalis
Konsultasi ke bagian bedah saraf atau ortopedi berdasarkan indikasi.
IV. Neurorehabilitasi
Tujuan :
1. Memberikan penerangan dan pendidikan pada pasien dan keluarga mengenai
medula spinalis.
2. Memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan self care atau latih langsung.
3. Mencegah komorbiditi (kontraktur, dekubitus, infeksi paru dll)

Tindakan :
1. Fisioterapi
2. Terapi okupasi
3. Latihan miksi dan defekasi rutin
4. Terapi psikologis

2.10 PROGNOSIS
Kurang dari 5% pasien dengan cedera medulla spinalis yang komplit dapat sembuh.
Jika paralisis komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera, kemungkinan pulih adalah 0%.
Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit. Jika masih terdapat
beberapa fungsi sensorik, peluang untuk bisa berjalan kembali adalah lebih dari 50%.
Sembilan puluh persen pasien cedera medulla spinalis dapat kembali ke rumah dan mandiri.
Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom dapat kembali dalam 1 minggu sampai
6 bulan pasca cedera. Kemungkinan pemulihan spontan menurun setelah 6 bulan. Bila terjadi
pergerakan penderita pada cedera yang tidak stabil maka akan mempengaruhi medulla spinalis
sehingga memperberat kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA

1. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury Facts and Figures at
a Glance. Birmingham, Alabama. 2012. Downloaded from: https://www.nsisc.uab.edu
2. Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM. Chapter 255. Spine and Spinal
Cord Trauma. In: Tintinalli JE, Stapczynski JS, Cline DM, Ma OJ, Cydulka RK,
Meckler GD, eds.Tintinalli’s Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide. 7th
ed. New York: McGraw-Hill; 2011.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=6389092.
3. Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and Descending Tracts. In:
Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia. 2010. p. 133-84
4. Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional Anatomy of the Spinal Cord.
Emedicine Medscape 2013. http://emedicine.medscape/article/1148570-
overview#showall
5. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape
2013. http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview#showall
6. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg Nurse 2005;
12(9):29-38
7. Waxman SG. Chapter 6. The Vertebral Column and Other Structures Surrounding the
Spinal Cord. In: Waxman SG, ed.Clinical Neuroanatomy. 26th ed. New York:
McGraw-Hill; 2010. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272198.
8. Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms. Clin
Neuropharmacol 2001;24(5):254-64
9. Gondim FAA. Spinal Cord Trauma and Related Diseases. Emedicine Medscape
2013. http://emedicine.medscape.com/article/1149070-overview#a0199
10. Derwenskus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal Cord Injury and Related Diseases. In:
Suarez JI. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey. Humana Press.
2004. p.417-32
11. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases of the Spinal Cord. In: Ropper AH,
Samuels MA, eds.Adams and Victor’s Principles of Neurology. 9th ed. New York:
McGraw-Hill; 2009. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625.
12. Kirshblum et al. International standards for neurological classification of spinal cord
injury (Revised 2011). J Spinal Cord Med 2011;34(6):535-46

Anda mungkin juga menyukai