Lukman H.Makmun
Div.Kardiologi Dept.I.Peny.Dalam FKUI/RSCM
Pendahuluan
Definisi Gagal Jantung (GJ) lebih merupakan suatu sindrom klinik daripada suatu diagnosis penyakit
(disease entity). Dengan membaiknya pengobatan pada PJK, hipertensi, mereka bertahan hidup selama
20 tahun, tetapi di hari tuanya kemudian, ada kemungkinan mereka akan mengalami Gagal Jantung. Di
Amerika didapat 5 juta penderita Gagal Jantung dan setiap tahun timbul 400,000 kasus baru. GJ jarang
pada usia dibawah 45 tahun, tetapi menanjak secara tajam pada usia 75‐84 tahun. Gagal Jantung
merupakan penyebab utama terjadinya penyakit kronik dan menurunkan kwalitas hidup, dimana sering
masuk rumah sakit.
Sekarang ini ada tambahan klasifikasi baru Gagal Jantung yaitu:
‐ Gagal Jantung Sistolik
‐ Gagal Jantung Diastolik.
+ Disfungsi Diastolik adalah terganggunya relaksasi, filling dynamics dan distensibility dari LV.
EF (Ejection Fraction) bisa normal atau rendah dan bisa simtomatik atau asimtomatik.
+ Gagal Jantung diastolik adalah dimana fungsi diastolik abnormal, secara klinis terdapat gambaran
gagal jantung, tetapi EF normal.
+ Gagal Jantung sistolik dengan manifestasi klinik gagal jantung, EF rendah dan fungsi sistolik
abnormal.
Diastolic Heart Failure (DHF) lebih banyak pada usia lanjut, dikaitkan dengan komorbid lain. Penegakan
diagnosis pada DHF lebih sulit dibanding dengan GJ sistolik. Menurut guidelines Heart Failure Society
2006, penegakan diagnosis adalah dengan gejala dan tanda klinis CHF, dengan EF yang masih normal
atau sedikit rendah dengan batasan berkisar 40‐50%. Selain itu perlu ditanyakan tentang komorbid yang
sering menyertai DHF, yaitu hipertensi, AF, DM, CAD.
Pemeriksaan penunjang DHF adalah Ekokardiografi Doppler dapat mengukur fungsi diastolik, yang
menunjukkan kekhasan pattern.
1
Angiotensin II (ATII)
Angiotensin II (A II) adalah peptida aktif hasil dari proses proteolitik dua langkah prekursor
angiotensinogen. Langkah pertama adalah renin yang memecah angiotensinogen menjadi angiotensin I
(A I) suatu deka peptida yang tidak aktif. Kemudian oleh peptidyl dipeptidase, ACE (Angiotensin
Converting Enzyme), A I diubah menjadi bentuk aktif yaitu A II.
Renin diproduksi oleh ginjal, masuk kedalam darah, sedangkan angiotensinogen di sekresi oleh hepar
dan reaksi enzym dengan substrat ini terjadi di dalam sirkulasi darah.
A I dikonversi oleh ACE pada permukaan sel endotel atau oleh ACE plasma yang dilepas oleh sel‐sel
tersebut. Pembentukan A II selain melalui mediasi ACE, dapat juga terjadi langsung dari angiotensinogen
dengan mediator kalikrein, cathepsin G dan lain‐lain, atau dari A I dengan mediator chymase dan lain‐
lain. Chymase di jantung diproduksi oleh mast cell, sel endothelial dan sel interstitial. Produksi A II
melalui chymase berbeda pada berbagai organ, tetapi di jantung ternyata 75% oleh chymase, 15%
melalui jalur ACE dan sisanya 10 ‐ 15% oleh mediator lain.
A II mengaktivasi reseptor spesifik dari berbagai target organ. Reseptor ini terdiri atas beberapa isoform,
yaitu: AT‐1, AT‐2, AT‐4. Pada membran AT‐1 terikat dengan proteinG, sedangkan AT‐2 tidak terikat
dengan protein G, dan AT‐4 belum diketahui.
A II bersifat negative feed back terhadap produksi Renin, tetapi positif terhadap ekspresi
angiotensinogen.
RAA system jaringan sesudah lahir bersifat tidak aktif, tetapi di reaktivasi sebagai respons terhadap luka
jaringan. RAA jaringan ini didapat di organ‐organ major seperti jantung, otak, pembuluh darah, ginjal,
adrenal dan lain‐lain.
RAA sirkulasi berpengaruh secara short term seperti vasokonstriksi akut, efek kronotropik atau
reabsorpsi akut garam dan air oleh ginjal. Sedangkan RAA jaringan bersifat jangka panjang berupa proses
remodelling jantung, pembuluh darah dan perubahan fungsi ginjal.
Efek AII pada current Na yaitu terjadinya penurunan ambang rangsang (threshold) aksi potensial
sehingga memudahkan terjadinya reentrant arrhtymia. Karena itu pada pasien gagal jantung (GJ) kronik
mudah terjadi aritmia.
2
Remodeling vaskular dan miokard
Terjadinya hypertrofi miokard karena respons terhadap pressure‐volume overload dihubungkan dengan
munculnya kembali (reexpression) ‐myosin heavy chain, yaitu suatu fetal contractile protein dan skletal
chain.
Ekspresi gen ‐myosin heavy chain ini dapat langsung di induksi akibat pressure overload yang
meningkat. Peningkatan beban mekanis sudah dapat menginduksi RNA sehingga terjadi peningkatan
sintesis protein pada cardiocyte mammalia dewasa. Ada penelitian menyebutkan bahwa peregangan
papillaris akan mempercepat sintesis protein. Deformation‐dependent sodium influx kedalam myocyte
dapat merupakan suatu signal awal sebagai respons terhadap stimulus mekanik sehingga nantinya akan
terjadi hipertrofi miokard. Efek AII terhadap hipertrofi secara in vitro, ada hubungannya dengan aktivasi
proto‐oncogen seperti c‐fos dan c‐jun dan growth factor seperti PDGF (Platelet‐Derived Growth Factor).
Induksi c‐fos ini tergantung dari mobilisasi Ca intraseluler dan aktivasi Protein Kinase C (PKC). Melalui
aktivasi protein kinase C terjadi fosforilase protein nukleus sel otot polos vaskular.
Selain itu second messenger yang teraktivasi oleh regangan mekanis pada sel otot jantung adalah:
phosphatidylinositol, Raf‐1 kinase dan MAP kinase yang ada hubungannya dengan reekspresi sejumlah
gen, termasuk atrial natriutic peptide.
Jadi AII meng induksi hipertrofi kardiomiosit melalui kaskade PKC, Raf‐1 kinase dan MAP kinase. Selain
itu AII melalui signal‐signal, menginduksi proliferasi fibroblast.
Stretch (regangan) menstimulasi sekresi ET‐1 (Endothelin) selain AII dari myosit jantung, yang kemudian
mengaktivasi kaskade protein kinase dari fosforylase sehingga nantinya akan menyebabkan terjadinya
hipertrofi jantung. ET‐1 dan AII secara sinergis mengaktivasi Raf‐1 kinase dan MAP kinase dalam sel otot
jantung sehingga terjadi peningkatan sintesis protein.
Jadi secara bersama‐sama Na/H exchanger dan peptide vasoaktif AII dan ET‐1 akan mengaktivasi MAP
kinase dan menyebabkan hipertrofi kardiak.
Reseptor AT‐1 dan AT‐2:
Reseptor ini ter distribusi secara heterogen di jaringan perifer dan otak. Dari AT‐1 terdapat isoform AT1a
dan AT1b. Reseptor AT1a predominant terdapat dalam sel otot polos vaskular, jantung, paru, ovarium
dan hypothalamus. AT1a ini sangat berperan sebagai vasokonstriktor pada pembuluh darah.
Reseptor AT1 ber interaksi dengan berbagai protein G dan bergabung dengan salah satu heteromeric G‐
protein yaitu Gq atau G1. Setelah AII terikat pada reseptor AT‐1, terjadilah aktivasi secara berurutan
3
phospholipase C, D, dan A2 melalui Gq atau inhibisi adenilat siklase melalui Gi. Aktivasi fosfolipase C
menghasilkan pembentukan 1,4,5‐triposphate dan diacylglycerol, menyebabkan aktivasi protein kinase C
dan peningkatan kadar Ca intraseluler melalui kanal kalsium tipe L. Peningkatan Ca intraseluler
berhubungan dengan vasokonstriksi dan sekresi aldosterone.
Untuk terjadi hipertrofi cardiomyocyte dan cardiac fibrosis diperlukan kedua reseptor AT1 dan AT2.
Gagal jantung: RAA system
Pada gagal jantung (GJ) terjadi peningkatan RAA system (Renin‐Angiotensin‐Aldosterone) disamping
sistem saraf simpatis. Pasien dengan disfungsi LV minimal, efek RAA system tak sejelas efek sistem saraf
simpatis, tetapi Renin sirkulasi, A II dan Aldosterone akan meningkat banyak pada GJ yang makin
progresif. Sistem RAA jaringan berperan besar dalam remodeling miokard dan vaskular.
Faktor‐faktor yang menyebabkan peningkatan pelepasan Renin adalah:
‐ Aktivitas baroreseptor arteri renalis
‐ Hipoperfusi renalis
‐ Hiponatremic perfusate ke macula densa
‐ Volume cairan berkurang karena diuretik dan restriksi garam
‐ Stimulasi reseptor beta adrenergik di ginjal.
Regulator penting dalam pelepasan renin adalah pengaruh dari faktor fisiologis dan farmakologis.
Faktor fisiologis yang menstimulasi pelepasan renin adalah:
‐ tekanan darah menurun ‐volume cairan menurun ‐ asupan K yang tinggi.
Faktor farmakologis terdiri atas stimulator dan penekan pelepasan renin.
Stimulator pelepasan renin adalah:
‐ blokade RAAS
‐ diuretik
‐ vasodilator
Penekan pelepasan renin adalah:
‐ beta blocker
‐ Anti hipertensi central.
4
A II adalah vasokontriktor kuat dan menstimulasi corteks adrenal untuk melepaskan: aldosterone
sehingga terjadi retensi Na. Susunan saraf simpatis dan RAA yang berlebihan akan menyebabkan
remodeling miokard dan vaskular dan kemudian menjadi gagal jantung.
A II juga dapat menginduksi proliferasi sel, sehingga dapat merubah struktur pada berbagai organ
termasuk kardiovaskular, seperti LV hipertrofi dan fibrosis, hipertrofi media vaskular, dan pembentukan
neointima.
Pada gagal jantung reseptor AT2 meningkat. Efek setelah stimulasi AT‐2 reseptor, adalah:
‐ vasodilatasi
‐ natriuresis
‐ stimulasi bradykinin‐nitric oxide‐cyclic GMP vasodilatasi.
‐ stimulasi konversi prostaglandin E2 ke PGF2a
Sistem RAA baik sirkulasi maupun jaringan mempunyai peran besar terhadap terjadinya perubahan
struktur jaringan kardiovaskular.
Efek A II terhadap sistem kardiovaskular adalah:
‐ vasokonstriktor
‐ inotrop positif
‐ aktivasi neurohormonal
‐ stimulasi pertumbuhan sel:
+ otot jantung (hipertrofi ventrikel)
+ otot polos vaskular (resiten perifer, disfungsi endotel)
+ fibroblast ( ventrikel kaku)
Supaya timbul efek AII diperlukan reseptor AT‐1 dan AT‐2.
AII selain diproduksi melalui mediator ACE , juga melalui mediator chymase dan produksinya jauh lebih
banyak.
Karena itu penggunaan reseptor AII antagonist yaitu blokade pada reseptor AT1, pada kelainan
kardiovaskular, akan bermanfaat untuk mengatasi efek hipertrofi dan fibrosis jaringan.
Patofisiologi Gagal jantung: (GJ)
Sesuai dengan definisinya adalah kegagalan jantung untuk memompakan darah dengan cardiac output
yang adekwat. Disini yang berperan utama adalah lapisan miokard, yang terdiri dari miosit. Pada miosit
terjadi hipertrofi, apoptosis sel miosit .
5
Terjadi perubahan pada matrix ekstra seluler berupa penambahan jaringan kolagen, berkurangnya
jaringan elastin.
Mekanisme terjadinya gagal jantung adalah cardiac remodelling dan aktivasi simpato‐neuro‐endokrin
berupa aktivasi adrenergik dan sistem RAAS. Cardiac remodelling dan abnormalitas sistem RAAS dapat
dihambat oleh ACEI.
Aktivasi simpato‐adrenal adalah bentuk kompensasi jantung untuk mempertahankan cardiac output
berupa peningkatan heart rate (denyut nadi) sehubungan dengan penurunan stroke volume (SV).
Penurunan stroke volume ini terjadi karena tekanan pompa yang dihasilkan jantung menurun dan
sebagai pengimbangnya adalah resistance menaik. Kenaikan resistance vascular ke perifer ini adalah
merupakan efek vasokonstriksi. Baik peningkatan heart rate maupun vasokonstriksi adalah hasil aktivasi
sistem simpato‐adrenal. Karena peningkatan heart rate akan mengakibatkan peningkatan demand sel
miokard, sedangkan supply darah sudah berkurang akibat cardiac output yang sudah sangat terbatas,
maka akan memperburuk fungsi jantung. Karena itu system simpato‐ adrenal seharusnya diinhibisi, yaitu
antara lain obat penyekat beta.
Penatalaksanaan Gagal Jantung:
Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki kwalitas hidup, mengurangi kemungkinan
kambuh, dan memperpanjang survival. Mencapai kemungkinan terbesar dari pasien supaya dapat
mencapai hasil yang optimal, dalam fungsi, fisik, kognitif, emosional dan kegiatan social.
Kedua adalah untuk meningkatkan semaksimal mungkin kebebasan gerak dan kapasitas exercise. Usaha
untuk mencapainya adalah:
‐ 1. Koreksi sejauh mungkin penyakit dasarnya, misal revaskularisasi pada PJK berat
atau Aortic replacement pada AS berat.
‐ 2. Perhatian pada nonfarmaka dan rehabilitasi medik.
‐ 3. Pertimbangan obat‐obatan.
Sebagai obat pilihan utama pengobatan gagal jantung adalah ACEI. Banyak trial besar dengan ACE
Inhibitor pada GJ selain memperbaiki simtom, tetapi juga menurunkan morbiditas dan mortalitas, yaitu
16% pada derajat ringan dan sedang, sedangkan 31% pada GJ berat.
6
ACE Inhibitor
Asal mula ACE Inhibitor berawal dari penemuan teprotide yaitu satu salah satu peptida yang didapat dari
bisa ular Brazilia. Kemudian di tahun 1975 pertama kali diproduksi captopril oleh Squibb dengan nama
capoten.
Semula ditujukan untuk obat hipertensi. Cara kerjanya yang mula‐mula diketahui adalah menghambat
kerja ACE (Angiotensin Converting Enzyme). Enzym ini semula diketahui hanya diproduksi oleh jaringan
paru dan kerjanya mengkatalysis Angiotensin I menjadi Angiotensin II. Kemudian ternyata ACE ini
diproduksi oleh jaringan‐jaringan lain, seperti vaskular, jantung, ginjal dan lain‐lain.
Penelitian lebih lanjut ternyata ACEI mempunyai efek terhadap pencegahan terjadinya remodelling
miokard. ACEI saat ini selain untuk pengobatan hipertensi, tetapi juga menjadi pilihan pertama
pengobatan gagal jantung.
Jenis‐jenis ACEI:
ACEI ini dibagi menjadi dua golongan utama, yaitu:
‐ kerja pendek : Captopril
‐ kerja panjang: Lisinopril, fosinopril, perindopril, quinapril, ramipril dll.
Masing‐masing mempunyai kekhasan berbeda‐beda, misalnya :
‐ Daya afinitas didalam plasma dan jaringan
‐ Efek first dose hypotension yaitu dapat menurunkan tekanan darah segera pada saat di awal
pemberian obat.
‐ Pengeluaran melalui ginjal atau di metabolisme di hati.
Obat penyekat beta:
Terdiri atas bermacam jenis, tetapi yang paling banyak dipakai adalah golongan bisoprolol yang telah
banyak trialnya.
Pengobatan farmaka:
Obat‐obatan untuk GJ sistolik, adalah:
‐ ACE Inhibitor
‐ Digoxin
7
‐ Penyekat beta
‐ Diuretik
‐ Nitrat.
ACEI: signifikant menurunkan angka mortalitas, readmission hospital, memperbaiki toleransi exercise
dan menaikkan kwalitas hidup.
ACEI merupakan first line therapy pada disfungsi sistolik baik dengan/tanpa GJ. Bila tak tolerans
terhadap ACEI, dapat diberikan AIIRA.
Digoxin: bila terdapat takhikardia, terutama AF rapid respons
Penyekat beta: meng antagonist sympathetic nervous system. Kontra indikasi: GJ berat, asma bronchial,
bronchospastik, bradikardia < 50/menit, tensi systole < 90‐100 mmHg, AV block.
Diuretik: loop diuretic memperbaiki edem paru dan edem perifer, karena itu efeknya bersifat paliatif
pada GJ.
Spironolacton (Aldosterone antagonist): meng inaktivasi juga Angiotensin II, sehingga dapat dipakai
untuk pengobatan GJ.
.GJ dengan difungsi sistolik LV meningkatkan risiko tromboemboli, sehingga diperlukan obat
antitrombotik untuk mencegahnya. Terutama diberikan pada pasca IMA, UAP, PTCA atau CABG.
Beberapa trial pengobatan pada Gagal jantung:
‐ Meta analysis mengenai efek penyekat beta terhadap GJ dengan melibatkan juga usia
> 60 tahun, menunjukkan angka survival yang bermakna.
‐ Begitu juga dengan CIBIS II dan MERIT HF, US Caverdilol HF Study yang meneliti tentang obat penyekat
beta..
‐ RESOLVD: Candesartan mempunyai efek yang sama dengan enalapril dan bila digabung efeknya lebih
baik.
‐ CONSENSUS I menunjukkan hasil yang baik dengan enalapril. Begitu juga ATLAS
Menurut Charm‐Preserved study menunjukkan bahwa dengan penggunaan candesartan dapat
mencegah perburukan terjadinya CHF pada pasien DHF, tetapi bukan sebagai single agent.
Penggunaan statin untuk mengambil efek pleiotropik, berkaitan dengan pengurangan atau pencegahan
terjadi fibrosis miokard.
8
Pada PEP‐CHF study dengan menggunakan peridonpril, pada usia < 75 tahun, dan EF >45% dengan
parameter echo untuk disfungsi diastolic, dapat memperbaiki jarak 6’ walk, tetapi belum jelas
bagaimana perannya dalam mengobati kelainan ini.
Perkembangan terbaru mengenai obat‐obatan pada GJ, adalah antara lain:‐ target kontraktilitas seperti
cardiac myosin activator, ANP;‐ metabolic modulator yang akan mengotimalkan ustilisasi energy
miokard.
Masih dalam penelitian obat baru yang dapat memperbaiki compliance LV yaitu ALT‐711 , derivate
thiazolium dengan memecah protein dari AGE, sehingga dapat dicegah penumpukan AGE. Dengan
demikian compliance arterial lebih baik dan memperbaiki fungsi jantung.
Kesimpulan:
‐ Yang sangat berperan terjadinya Gagal Jantung adalah ATII yang termasuk dalam system RAAS.
‐ Sebagai kompensasi adalah efek system simpato‐adrenal.
‐ ACE Inhibitor adalah obat pertama untuk gagal jantung karena menginhibisi ACE sehingga dapat
menginhibisi AT II.
‐ ARB dapat dipergunakan juga sebagai pengganti ACEI atau boleh juga kombinasi.
‐ Sebagai obat penunjang adalah obat penyekat beta untuk menghambat efek system simpato adrenal
yang diberikan sebagai on top therapy.
‐ Aldosteron antagonist juga menghambat efek AT II sehingga dapat bermanfaat untuk GJ.
‐ Diuretik dan Digitalis masih dapat diberikan sesuai kondisi.
Daftar pustaka:
1. Ichihara S et al.Angiotensin II type 2 receptor is essential for LVH and cardiac fibrosis in chronic Angiotensin II‐ induced
hypertension. Circulation.2001;July 17:346‐351.
2. Willenbrock R.,Philipp S.,Mitrovic V.,Dietz R. Neurohumoral blockade in CHF management.J.of the RAAS.2000 Sept.;vol.1
(suppl.1):24‐30
3. Mc Murray J.Why we need new strategies in CHF management. J.of the RAAS.2000 Sept.;vol.1 (suppl.1): 12‐16.
4. Yamazaki T., Yazaki Y.Role of tissue AII in myocardial remodelling induced by mechanical stress. J.of human Hypertension.
1999 Jan.;13(suppl.1):S43‐47.
5. Chung O.,Csikos T.,Unger T.AII recepor pharmacology and AT‐1 receptor blockers. J.of human Hypertension. 1999
Jan.;13(suppl.1): S11‐20.
6. Roberts R.Molecular Basis of cardilogy.1996.Blackwell WSc.publ. Boston.
9
7. Francis GS.Pathophysiology of the heart failure clinical syndrome. In: Textbook of cardiovascular medicine.Editor:.Topol
EJ..Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.2002;2nd.ed.:pg.1793‐4.
8. Mc.Gorisk GM, Treasure CB. Endothelial dysfunction in CHD. Curr.Opin.Card.1996 Jul,11;4:341‐50.
9. Swinne C. Heart Failure.In:Evas JG,et al.Oxford Textbook.
10. Fox KM,Henderson JR,Bertrand ME dkk. The European trial on reduction of cardiac events with perindopril in stable CAD
(EUROPA). Eur.Heart J..1998;19suppl.J:J52‐5
11. Pfeffer MA et al.Prevention of events with ACEI (the PEACE study design). Am.J.Card.1998;82: 25H‐30H.
12. Packer M.,Cohn JN(Eds). Concensus Recommendations for the management of Chronic Heart
Failure.Am.J.Card.1999;100:2312‐8.
13. Remme WJ. Hypotension after first‐ dose ACEI administration in Heart Failure ‐ Should doctors stop worrying?
Card.vascular Drugs and Therapy 2001;15:475‐477.
10