Anda di halaman 1dari 7

10 Muwasafat Tarbiyyah

Muslim yang ingin mempersiapkan diri dalam perjuangan Islam perlu memperbaiki dirinya
agar sentiasa terkehadapan dari manusia lain. Risalah Islam yang syumul ini hendaklah
difahami dengan membentuk diri yang syumul juga. Maka hendaklah diteliti di sini tentang
aspek-aspek seorang daie Muslim dalam rangkanya untuk menjadi seorang Muslim yang
sempurna.
Sifat-sifat yang perlu ada pada diri duah ialah:

1. Salimul Aqidah

Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap
muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat
kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan
dan ketentuan- ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang
muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya
yang artinya: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah
Tuhan semesta alam’ (QS 6:162). Karena memiliki aqidah yang salim merupakan sesuat u
yang amat penting, maka dalam da’wahnya kepada para sahabat di Makkah, Rasulullah
Saw mengutamakan pembinaan aqidah, iman atau tauhid.

2. Shahihul Ibadah

Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasul Saw yang
penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan: ’shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihat aku shalat.’ Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam
melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang
berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.

3. Matinul Khuluq

Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan
prilaku yang harus dimiliki oleh setkal muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah
maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan
bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting
memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw diutus untuk
memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlakn ya yang
agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al- Qur’an, Allah berfirman yang
artinya: ‘Dan sesungguhnya kamu benar- benar memiliki akhlak yang agung’ (QS 68:4).

4. Qowiyyul Jismi

Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus
ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat
melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa,
zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik
yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah dan bentuk- bentuk perjuangan
lainnya. Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim
dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun
demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang
terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga
termasuk yang penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya: ‘Mu’min yang kuat
lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah’ (HR. Muslim).

5. Mutsaqqoful Fikri

Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang
penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan Al-Qur’an banyak
mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia antuk berpikir, misalnya firman Allah
yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: ‘pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang
mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS 2:219). Di dalam
Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai
dengan aktivitas berpikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan
keislaman dan keilmuan yang luas. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya suatu
perbuatan tanpa mendapatka pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu.
Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas
seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah:samakah orang yang
mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui, sesungguhnya orang-orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS 39:9).

6. Mujahadatun Linafsihi

Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatun linafsihi) merupakan salah satu kepribadian
yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki
kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang
baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan
itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Oleh karena itu
hawa nafsu yang ada pada setkal diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran
Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak beragmana seseorang dari kamu
sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR.
Hakim).

7. Harishun ‘ala Waqtihi

Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia.
Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan
Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama
waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya. Allah Swt
memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, Yakni 24 jam sehari
semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit
manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan:

‘Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu.’ Waktu merupakan sesuatu yang
cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat
dituntut untuk memanaj waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan
penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi
Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni
waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum
sibuk dan kaya sebelum miskin.

8. Munazhzhamun fi Syu’unihi

Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang


muslim yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum
Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan
dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka
diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya. Dengan
kata lain, suatu udusán dikerjakan secara profesional, sehingga apapun yang
dikerjakannya, profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh,
bersemangat dan berkorban, adanya kontinyuitas dan berbasih ilmu pengetahu an
merupakan diantara yang mendapat perhatian secara serius dalam menunaikan tugas -
tugasnya.

9. Qodirun ‘alal Kasbi

Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun alal
kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim. Ini merupakan sesuatu
yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru
bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi
ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak
memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena itu pribadi muslim tidaklah mesti
miskin, seorang muslim boleh saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa
menunaikan haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan
yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al -Qur’an
maupun hadits dan hal itu memilik keutamaan yang sangat tinggi. Dalam kaitan
menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa
saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari
Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya
memerlukan skill atau ketrampilan.

10. Naafi’un Lighoirihi

Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap
muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia
berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka
jangan sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan dan tidak adanya tirák
mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan
dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga
jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peran yang baik dalam
masyarakatnya. Dalam kaitan inilah, Rasulullah bersabda yang artinya: sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir).
Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan
hadits, sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.
Salah satu dari sepuluh muwashofat tarbiyah yaitu akhlaq yang kuat. Dan etika berbicara
merupakan bagian dari akhlaq yang kuat. Kali ini kita memuat adab atau etika berbicara.
Setiap kita manusia, setiap hari, dan hampir setiap saat, menggunakan dan membutuhkan
komunikasi. Salah satu alat komunikasi yang sering kita gunakan adalah bahasa lisan. Dalam
menggunakan bahasa atau berbicara dengan lawan bicara kita tentu harus menggunakan
bahasa yang baik, mudah dipahami dan dimengerti.
Rasulullah telah mencontohkan kepada kita. Betapa lembut dan dan santunnya Rasulullah.
Sehingga masing-masing lawan bicaranya merasa dia yang paling di muliakan Rasulullah.
Dalam berbicara dengan lawan biacara, kita harus menggunakan tata karma dan tutur kata
yang baik. Jangan sampai bahasa kita menyakiti orang lain, ketus, nyelekik dan menimbulkan
permusuhan. Akhlak yang baik akan mengeluarkan bahasa yang baik. Dalam istilah teko, “
teko akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya. Di dalamnya air kopi maka akan keluar
air kopi, kalau di dalamnya air teh maka yang akan keluar juga air teh. Begitu juga dengan
manusia, jika akhlaknya baik maka tutur katanya yang keluar juga baik dan sebaliknya.
Bagi kita yang tinggal di Minang adab berbicara dibedakan atas empat (ampek) jenis
audience atau lawan komunikasi kita, sebagai berikut:
1. Kato Mandaki, Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang
lebih tua atau dituakan dan lebih dihormati karena jabatan dan kedudukannya.
2. Kato Mandata, Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan teman sebaya
atau rekan kerja.
3. Kato Malereng, Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang
memiliki hubungan kekerabatan dengan kita dan keluarga seperti ipar, besan, sumando,
mamak rumah.
4. Kato Manurun, Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang
lebih muda ataupun kepada bawahan.

Maka oleh sebab itu kita sebagai umat muslim dan pelajar Islam, harus menunjukkan kata-
kata yang baik dalam setiap bicara. Berikut ini adalah beberapa etika berbicara yang dituntun
dienul Islam:

1. Berkata Baik Atau Diam


Adab Nabawi dalam berbicara adalah berhati-hati dan memikirkan terlebih dahulu sebelum
berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa kata-kata itu baik, maka hendaknya ia
mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya
ia menahan diri dan lebih baik diam.
“Barangsiapa yang beriman pada ALLAH dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau
lebih baik diam.” (HR Bukhari 6018 Muslim 47)

2. Sedikit Bicara Lebih Utama


Orang yang senang berbicara lama-lama akan sulit mengendalikan diri dari kesalahan. Kata-
kata yang meluncur bak air mengalir akan menghanyutkan apa saja yang diterjangnya,
dengan tak terasa akan meluncurkan kata-kata yang baik dan yang buruk. Ka-rena itu Nabi
Shallallaahu alaihi wa Salam melarang kita banyak bicara.
“Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari
Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih dan orang-
orang yang mutafaihiqun”. Para shahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti
mutafaihiqun? Nabi menjawab: “Orang-orang yang sombong”. (HR. At-Turmudzi, dinilai
hasan oleh Al-Albani).

3. Dilarang Membicarakan Setiap yang Didengar


Dunia kata di tengah umat manusia adalah dunia yang campur aduk. Seperti manusianya
sendiri yang beragam dan campur aduk; shalih, fasik, munafik, musyrik dan kafir. Karena itu,
kata-kata umat manusia tentu ada yang benar, yang dusta; ada yang baik dan ada yang buruk.
Karena itu, ada kaidah dalam Islam soal kata-kata, ‘Siapa yang membicarakan setiap apa
yang didengarnya, berarti ia adalah pembicara yang dusta’. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi
Shallallaahu alaihi wa Salam.
“Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa
yang telah ia dengar”. (HR. Muslim)

4. Jangan Mengutuk dan Berbicara Kotor


Mengutuk dan sumpah serapah dalam kehidupan modern yang serba materialistis sekarang
ini seperti menjadi hal yang dianggap biasa. Seorang yang sempurna akhlaknya adalah orang
yang paling jauh dari kata-kata kotor, kutukan, sumpah serapah dan kata-kata keji lainnya.
Maka kita menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang
yang berbicara.
” seorang mu’min itu bukanlah pencela atau pengutuk atau yang keji pembicaraannya”..
(HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab al Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani).

5. Jangan Senang Berdebat Meski Benar


Saat ini, di alam yang katanya demokrasi, perdebatan menjadi hal yang lumrah bahkan malah
digalakkan. Ada debat calon presiden, debat calon gubernur dan seterusnya. Pada kasus-kasus
tertentu, menjelaskan argumentasi untuk menerangkan kebenaran yang berdasarkan ilmu dan
keyakinan memang diperlukan dan berguna.
Tetapi, berdebat yang didasari ketidaktahuan, ramalan, masalah ghaib atau dalam hal yang
tidak berguna hanya membuang-buang waktu dan berpengaruh pada retaknya persaudaraan
dan menimbulkan permusuhan.
“Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari
pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga
bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda”. (HR. Abu Daud dan dinilai
hasan oleh Al-Albani).

6. Dilarang Berdusta Untuk Membuat Orang Tertawa


Dunia hiburan (entertainment) menjadi dunia yang digemari oleh sebagian besar umat
manusia. Salah satu jenis hiburan yang digandrungi orang untuk menghilangkan stress dan
beban hidup yang berat adalah lawak. Dengan suguhan lawak ini orang menjadi tertawa
terbahak-bahak, padahal di dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan, seperti
memaksa diri dengan mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka inilah yang
mendapat ancaman melalui lisan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dengan sabda
beliau:
“Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa.
Celakalah dia, dan celakalah dia!” (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).

7. Hendaknya berbicara dengan suara yang dapat didengar, tidak terlalu keras dan tidak pula
terlalu rendah. Ungkapannya jelas dapat dipahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat
atau dipaksakan.
Dari Aisyah rahimahallaahu, beliau berkata: “Bahwasanya perkataan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam itu perkataan yang jelas sehingga bisa difahami oleh semua yang
mendengar.”(HR Abu Daud 4839. Dinilai hasan oleh Al Albani dalam Shahih al Jaami’ no
4826) .
8. Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna. Hadis Rasulullah saw
menyatakan, “Termasuk kebaikan islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang
tidak berguna.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

9. Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah ra telah menuturkan, “Sesungguhnya
Nabi apabila membicarakan sesuatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang
menghitungnya, niscaya ia dapat mengihitungnya.” (Muttafaq ‘alaih).

10. Menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah berfirman yang
artinya, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.” (QS. Al-Hujarat:
12).

11. Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak
menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak mengganggap rendah
pendapatnya atau mendustakannya.

12. Menghindari perkataan kasar, keras, dan ucapan yang menyakitkan perasaan, dan tidak
mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat
mengundang kebencian, permusuhan, dan pertentangan.
Demikian di antara sekian banyak adab dan etika berbicara dalam Islam. Semoga bermanfaat
dan dapat kita amalkan dalam berkomunikasi sehari-harinya.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-
olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena)
boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-
olokan). (QS. Al-Hujurat [49]: 11).

Banyak orang yang terjerumus ke dalam lubang kemakisatan dan kesesatan karena pengaruh
teman bergaul yang jelek. Namun juga tidak sedikit orang yang mendapatkan hidayah dan
banyak kebaikan disebabkan bergaul dengan teman-teman yang shalih.
Dalam sebuah hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan
dampak seorang teman dalam sabda beliau :
َ‫ َوإِ َّما أَ ْن ت َِجد‬، ُ‫ع ِم ْنه‬ ِ ‫ام ُل ْال ِمس‬
َ ‫ َوإِ َّما أ َ ْن ت َ ْبتَا‬، َ‫ْك إِ َّما أ َ ْن يُحْ ِذيَك‬ ِ ‫ْك َونَافِخِ ْال ِك‬
ِ ‫ فَ َح‬، ‫ير‬ ِ ‫ام ِل ْال ِمس‬
ِ ‫صا ِلحِ َوالس َّْو ِء َك َح‬ ِ ‫َمث َ ُل ْال َج ِل‬
َّ ‫يس ال‬
ِ ‫ َونَافِ ُخ ْال ِك‬، ً‫ط ِِّيبَة‬
‫ َوإِ َّما أ َ ْن ت َِجدَ ِري ًحا َخبِيثَة‬، َ‫ير إِ َّما أ َ ْن يُحْ ِرقَ ثِيَابَك‬ َ ‫ِم ْنهُ ِري ًحا‬
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi
dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi,
atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap
mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya)
mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak
sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan teman sebagai patokan terhadapa baik
dan buruknya agama seseorang. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kepada kita agar memilih teman dalam bergaul. Dalam sebuah hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل‬
“Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat
siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927).

Setiap seseorang itu pasti mempunyai temen mulai sejak kecil hingga dewasa entah teman itu
teman yang baik atau buruk, kadang kita merasa senang dan pasti dimana-mana orang juga
akan mempunyai temen yang baik, namun juga ada sebagian kita senang bertemen dengan
teman yang buruk.
Suatu ketika si fulan ini mempunyai teman dan dia sangat akrab dengan temennya itu
temennya ini sering berkata-kata yang bisa membuat orang termotivasi, meskipun temannya
ini kadang tidak melakukan apa yang dia katakan, mungkin dia melakukan namun tidak
istiqomah, namun si fulan tetap mengambil apa yang temennya katakan. Ternyata ketika
temennya ini sering melakukan perilaku yang buruk akhirnya diapun juga mengikutinya
perilaku buruknya juga iya ikuti. Dan suatu hari si fulan bertemu dengan temen yang lain,
temennya ini anaknya super cerdas baik dan sholeh, orangnya tegas, rajin ibadah, teguh
pendirian.
Dan suatu temennya ini ingin sekali kerumah si fulan tersebut karna mungkin belum pernah main
ke rumah si fulan meskipun sudah lama berteman, akhirnya ikutlah teman tersebut dan bermalam
di rumah si fulan, namun apa yang terjadi si fulanpun terharu, dia pura2 tidak tau kalau dia
terbangun, ternyata apa yang dilakukan temannya ini dia melakukan sholat malam di rumah si
fulan, si fulanpun yang tak pernah sholat menjadi terharu ketika melihat temannya bangun malam
di rumah dia, kemudian si fulan selalu terfikir, temen saya sholat di rumahku sedangkangkan aku
tak pernah melakukan hal tersebut, selalu terfikir seperti itu dalam fikirannya. Dan pada akhirnya
dia juga melakukan apa yang dilakukan temennya tersebut yaitu sering sholat, mengaji, bahkan
sholat malam.
Inilah hikmah kita ketika kita berteman, dengan siapapun maka mayoritas kita akan mengikuti
perilaku temen kita,

Oleh karena itu Al-Hadiid sebagai ujung tombak dakwah Islam di Fakultas Teknik
merupakan wadah bagi kawan2 semua untuk mengupgrade akhlaq kita semua. Insya Allah
dengan bergabung dengan Al-Hadiid kita akan mendapatkan teman yang akan menjaga
akhlaq kita agar tetap di koridor Islami.

Anda mungkin juga menyukai