Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Hospitalisasi

1. Pengertian

Hospitalisasi anak adalah pengalaman yang mengancam pada

anak ketika berada di rumah sakit (Asmadi, 2008).Hospitalisasi

merupakan masuknya individu ke rumah sakit sebagai pasien dengan

berbagai alasan seperti pemeriksaan diagnostik, prosedur operasi,

perawatan medis, pemberian obat dan juga menstabilkan kondisi tubuh

(Saputro, 2017).

2. Perkembangan Anak Usia Anak Sekolah

Anak usia sekolah dimulai dari usia 6 – 12 tahun. Periode ini

dimulai dengan masuknya anak ke lingkungan sekolah, yang memiliki

dampak signifikan dalam perkembangan dalam hubungan anak dengan

orang lain (Wong, 2009). Beberapa teori perkembangan anak usia

sekolah sebagai berikut:

a. Perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif menurut piaget usia anak sekolah

pada tahap operasional konkret. Pada tahap ini anak mulai berfikir

secara logis dan masuk akal. Anak mampu mengklasifikasikan,

7
8

mengurutkan, menyusun, dan mengatur fakta tentang dunia untuk

menyelesaikan masalah (Wong, 2009).

b. Perkembangan psikoseksual

Perkembangan psikoseksual menurut freud untuk usia

sekolah mengalami tahap laten. Pada tahap ini anak melakukan sifat

dan keterampilan yang telah diperoleh. Energi fisik dan psikis

diarahkan untuk mendapatkan pengetahuan dan bermain

(Wong,2009).

c. Perkembangan psikososial

Perkembangan psikososial menurut Erikson anak usia

sekolah pada tahap industri vs inferioritas. Pada tahap ini anak siap

untuk bekerja dan berproduksi. Anak belajar berkompetisi dan

bekerja sama dengan orang lain, dan mereka juga mempelajari

aturan – aturan. Periode ini merupakan periode pemantapan dalam

hubungan sosial dengan orang lain. Rasa ketidakadekuatan atau

inferioritas dapat terjadi jika terlalu banyak yang diharapkan dari

mereka atau jika mereka percaya bahwa mereka tidak dapat

memenuhi standar yang ditetapkan orang lain untuk mereka. (Wong,

2009).

d. Perkembangan Moral

Perkembangan moral menurut Kohlberg pada anak usia

sekolah adalah tingkat konvensional. Pada tahap ini anak – anak

berfokus pada kepatuhan dan loyalitas. Mereka menghargai


9

pemeliharaan harapan keluarga, kelompok, atau negara tanpa

mempedulikan konsekuensinya. Perilaku yang disetujui dan disukai

atau membantu orang lain dianggap sebagai perilaku yang baik

(Wong, 2009).

3. Perubahan yang Terjadi Akibat Hospitalisasi

Perubahan yang terjadi akibat hospitalisasi pada anak menurut

Astarani (2017) meliputi:

a. Perubahan konsep diri

Perubahan konsep diri terjadi akibat penyakit yang diderita atau

tindakan. Konsep diri merujuk pada pengetahuan yang disadari

mengenai persepsi diri. Konsep diri juga termasuk citra tubuh,

seksualitas, dan harga diri seseorang. Konsep diri yang positif akan

membuat anak merasa senang, berharga, dan mampu memberikan

kontribusi dengan baik. Sehingga membuat penghargaan diri,

kepercayaan diri, dan perasaan bahagia secara umum. Perasaan yang

negatif membuat keraguan terhadap diri sendiri (Wong, 2009).

b. Regresi

Klien mengalami kemunduran ketingkat perkembangan sebelumnya

atau lebih rendah dalam fungsi fisik, mental, perilaku dan juga

intelektual.

c. Dependensi

Klien merasa tidak berdaya dan tergantung pada orang lain.

d. Dipersonalisasi
10

Peran sakit yang dialami klien menyebabkan perubahan kepribadian,

tidak realistis, tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan,

perubahan identitas dan sulit bekerjasama mengatasi masalahnya.

e. Takut dan ansietas

Perasaan ini timbul karena persepsi yang salah terhadap

penyakitnya.

f. Kehilangan atau perpisahan

Hal ini terjadi karena lingkungan yang asing dan jauh dari suasana

kekeluargaan, kehilangan kebebasan, berpisah dengan pasangan dan

terasing dari orang yang dicintai.

4. Stressor dan Respon Anak Usia Sekolah terhadap Hospitalisasi

Menurut Adriana (2013) reaksi anak sekolah terhadap

hospitalisasi adalah :

a. Mekanisme pertahanan utama anak usia sekolah adalah reaksi

formasi, suatu mekanisme pertahanan yang tidak disadari, anak akan

beranggapan suatu tindakan adalah berlawanan dengan dorongan

hati yang disembunyikan. Biasanya mereka akan menyatakan berani

saat merasa ketakutan.

b. Anak akan bereaksi terhadap perpisahan dengan menunjukan

kesendirian, kebosanan, isolasi dan depresi. Selain itu juga akan

menunjukan agresi, iritabilitas, dan ketidakmampuan dalam

berhubungan dengan saudara dan teman sebaya.


11

c. Perasaan hilang kendali dikaitkan dengan begantung kepada orang

lain dan gangguan peran dalam keluarga.

d. Takut cedera dan nyeri merupakan akibat dari rasa takut terhadap

kesehatan dan kematian.

5. Dampak Hospitalisasi

a. Dampak Hospitalisasi bagi perkembangan anak

Dampak hospitalisasi pada perkembangan anak menurut

Saputro (2017) tergantung pada faktor – faktor yang saling

berhubungan seperti sifat anak, keadaan perawatan dan keluarga.

Perawatan anak yang bekualitas tinggi dapat mempengaruhi

perkembangan intelektual anak dengan baik terutama pada anak –

anak yang kurang beruntung yang mengalami sakit dan dirawat di

rumah sakit. Anak yang sakit dan dirawat akan mengalami

kecemasan dan ketakutan.

b. Dampak jangka pendek dan panjang pada anak

Dampak Hospitalisasi pada anak menurut Saputro (2017)

dapat dibagi menurut jangka pendek dan jangka panjang. Dampak

jangka pendek dari hospitalisasi misalnya kecemasan dan

ketakutan yang tidak segera ditangani akan membuat anak

melakukan penolakan terhadap tindakan keperawatan dan

perngobatan yang diberikan sehingga berpengaruh terhadap

lamanya hari rawat, memperberat kondisi anak dan bahkan

menyebabkan kematian pada anak. Sedangkan tindakan jangka


12

panjang dari anak sakit dan dirawat yang tidak segera ditangani

akan menyebabkan kesulitan dan kemampuan membaca yang

buruk, memiliki gangguan bahasa dan perkembangan kognitif,

menurunnya kemampuan intelektual dan sosial serta fungsi imun.

c. Pada Klien dan Keluarga

Perawatan anak di rumah sakit tidak hanya berdampak pada

anak yang sakit saja tapi juga berdampak pada keluarga. Menurut

Asmadi (2008) dampak hospitalisasi pada klien dan keluarga

meliputi lima aspek yaitu privasi, gaya hidup, otonomi diri, peran,

dan ekonomi.

1) Privasi

Privasi dapat dikatakan sebagai refleksi perasaan

nyaman pada diri seseorang dan bersifat pribadi. Ketika

dirawat klien kehilangan sebagain privasinya hal ini

disebabkan karena beberapa hal seperti selama dirawat klien

berulang kali diperiksa oleh petugas kesehatan sehingga

terdapat beberapa bagian tubuh yang biasanya dijaga agar

tidak terlihat orang tiba – tiba dilihat dan disentuh oleh orang

lain dan hal ini membuat klien merasa tidak nyaman. Bebrapa

hal yang dapat dilakukan untuk menjaga privasi adalah sebagai

berikut : Setiap akan melakukan tindakan keperawatan selalu

menjelaskan perihal tindakan tersebut kepada klien,

memperhatikan lingkungan sebelum dilaksanakan tindakan


13

keperawatan, menjaga kerahasiaan tentang segala sesuatu

yang berkaitan dengan klien, menunjukan sikap profesional

selama berinteraksi dengan klien, dan libatkan klien dalam

aktivitas keperawatan.

2) Gaya hidup

Perubahan gaya hidup terjadi karena perubahan situasi

antara rumah sakit dan rumah tempat tinggal klien, juga oleh

perubahan kondisi kesehatan klien.

3) Otonomi

Untuk mengatasi perubahan otonomi, perawat harus

selalu memberi tahu klien sebelum melakukan intervensi

apapun dan melibatkan klien dalam intervensi, baik secara

aktif maupun pasif.

4) Peran

Perubahan peran yang terjadi pada pasien hospitalisasi

tidak hanya berpengaruh pada individu tapi juga pada

keluarga. Perubahan tersebut antara lain:

a) Perubahan peran

Perubahan peran yang terjadi pada orang sakit

mengharuskan dilaksanakannya tugas tertentu sesuai

dengan peran tersebut.


14

b) Masalah keuangan

Keungan keluarga akan terpengaruh oleh hospitalisasi.

Keungan yang sediannya di tujukan untuk memenuhi

kebutuhan hidup akhirnya digunakan untuk keperluan

dirawat.

c) Kesepian

Suasana keluarga akan berubah ketika ada anggota

keluarganya yang dirawat. Suasana keluarga menjadi sepi

karena perhatian keluarga berpusat pada penanganan

anggota keluarganya yang dirawat.

d) Perubahan kebiasaan sosial

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat.

Ketika salah satu anggota keluarga sakit, keterlibatan

keluarga dalam aktivitas sosial di masyarakat mengalami

perubahan.

6. Manfaat Hospitalisasi

Meskipun hospitalisasi menyebabkan stress pada anak, namun

hospitalisasi juga dapat memberikan manfaat yang baik, antara lain

menyembuhkan, anak, memberikan kesempatan kepada anak untuk

mengatasi stres dan merasa kompeten dalam kemampuan koping serta

dapat memberikan pengalaman bersosialisasi dan memperluas hubungan

interpersonal mereka (Astarani,2017).


15

Manfaat psikologis selain yang diperoleh anak juga diperoleh dari

keluarga, yakni hospitalisasi anak dapat memperkuat koping keluarga

dan memunculkan startegi koping baru. Menurut Saputro (2017) manfaat

psikologis perlu ditingkatkan dengan cara:

a. Membantu mengembangkan hubungan orangtua dengan anak

Kejadian yang dialami ketika anak harus menjalani

hospitalisasi dapat menyadarkan orang tua dan memberi

kesempatan orang tua untuk memahami anak – anak yang

bereaksi terhadap stress, sehingga orang tua dapat memberi

dukungan kepada anak untuk siap menghadapi pengalaman di

rumah sakit serta memberi pendampingan kepada anak setelah

pemulangannya.

b. Menyediakan kesempatan belajar

Anak – anak yang lebih besar akan belajar tentang

penyakit dan memberikan pengalaman terhadap profesional

kesehatan sehingga dapat membantu dalam memilih pekerjaan

yang nantinya akan menjadi keputusannya. Orang tua dapat

belajar tentang kebutuhan anak untuk kemandirian, kenormalan

dan keterbatasan. Bagi anak dan orangtua keduanya dapat

menemukan sistem suport yang baru dari staf sumah sakit.

c. Meningkatan penguasan diri

Pengalaman yang dialami akan memberikan kesempatan

untuk meningkatkan penguasaan diri anak. Anak akan menyadari


16

bahwa mereka tidak disakiti atau ditinggalkan tetapi mereka akan

menyadari bahwa mereka dicintai, dirawat, dan diobati dengan

pernuh perhatian.

d. Menyediakan lingkungan sosial

Anak dan orangtua akan merasa bahwa krisis yang dialami

tidak hanya oleh mereka sendiri tapi ada orang lain yang juga

merasakannya. Anak dan orang tua akan menemukan kelompok

sosial baru yang memiliki masalah yang sama, sehingga

memungkinkan mereka akan saling berinteraksi, bersosialisasi,

dan berdiskusi tentang keprihatinan dan perasaan mereka.

7. Upaya Mengatasi Hospitalisasi pada Anak

Menurut Inggriani (2016) untuk mengatasi masalah hospitalisasi

pada anak dapat dilakukan dengan cara:

a. Pendekatan kepada orang tua dan anak

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan memberikan

penjelasan, berkomunikasi, memotivasi kepada orang tua dan

anak untuk mengatasi ketakutan dan kecemasan pada anak.

b. Memberikan lingkungan yang aman dan nyaman

Memberi lingkungan yang aman artinya lingkungan

terhindaar dari bahaya misalnya jatuh dari tempat tidur. Selain

menciptakan rasa aman juga menciptakan rasa nyaman dengan

membatasi jumlah pengunjung.


17

c. Menyediakan mainan

Mainan dapat membantu anak untuk mengalihkan

perhatiannya ketika dilakukan tindakan sehingga dapat

minimalkan rasa takut dan cemas.

B. Konsep Kecemasan

1. Pengertian

Kecemasan atau ansietas adalah keadaan emosi yang tidak

menyenangkan, melibatkan rasa takut yang subjektif, rasa tidak nyaman

pada tubu, dan gejala fisik (Katona dkk, 2012).

2. Penyebab Kecemasan

Menurut Astarani (2017) beberapa teori yang menjelaskan

penyebab ansietas diantaranya:

a. Pandangan psikoanalitik

Teori beranggapan bahwa ansietas terjadi karena konflik

emosional dari dua kepribadian yaitu id (dorongan insting) dan

super ego (hati nurani).

b. Pandangan interpersonal

Teori ini beranggapan bahwa ansietas timbul dari perasaan takut

terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.


18

c. Pandangan Perilaku

Teori ini beranggapan bahwa ansietas merupakan produk dari

frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan

seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

d. Kajian keluarga

Teori ini beranggapan bahwa ansietas merupakan hal yang biasa

ditemui dalam keluarga.

e. Kajian biologis

Teori ini beranggapan bahwa otak mengandung reseptor khusus

untuk benzodiazepine. Reseptor ini membantu mengatur ansietas.

Penghambat GABA juga berperan dalam mekanisme biologis yang

berhubungan dengan ansietas sebagaimana halnya dengan

endofrin.

3. Tingkatan Kecemasan

Tingkat kecemasan menurut Saputro (2017) dibagi menjadai tiga:

a. Kecemasan ringan

Pada kecemasan ringan seseorang mengalami ketegangan yang

dirasakan setiap hari sehingga menyebabkan seseorang menjadi

waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Tanda kecemasan

ringan adalah gelisah, mudah marah, dan perilaku mencari

perhatian.
19

b. Kecemasan sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan

pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga

seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dilakukan

lebih terarah. Tanda kecemasan meliputi suara bergetar, perubahan

dalam nada suara, takikardi, gemetaran, peningkatan ketegangan

otot.

c. Kecemasan berat

Cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang rinci dan spesifik

serta tidak dapat berfikir tentang hal lain. Tanda kecemasan berat

meliputi perasaan terancam, ketegangan otot berlebihan,

perubahan pernapasan, perubahan gastointestinal, perubahan

kardiovaskuler, dan ketidakmampuan berkonsentrasi.

Menurut Astarani (2017), gangguan kecemasan pada anak

yang sering dijumpai di rumah sakit adalah panik, fobia, obsesif –

komplusif, gangguan kecemasan umum, dan lainnya.

4. Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Anak

Faktor yang mempengaruhi kecemasan anak:

a. Usia

Usia dikaitkan dengan pencapaian perkembangan kognitif anak.

Semakin muda usia anak, maka kecemasan hospitalisasi semakin

tinggi (Saputro, 2017).

b. Karakteristik saudara
20

Karakteristik saudara dapat mempengaruhi kecemasan pada anak

yang dirawat di rumah sakit. Anak yang dilahirkan pada anak

pertama lebih merasa cemas daripada anak kedua (Saputro, 2017).

Berdasrkan penelitian yang dilakukan oleh Sa’diah (2014)

menyatakan bahwa anak pertama dan anak tunggal lebih mudah

dalam mengalami kecemasan karena orang tua seringkali tidak

memberi kesempatan pada anak untuk belajar beradaptasi dengan

lingkungan.

c. Jenis kelamin

Jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat stres hospitalisasi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mariyam (2008)

didapatkan data jenis kelamin perempuan lebih mendominasi

dibandingkan jenis kelamin laki – laki. Hal ini terjadi karena

perempuan lebih cenderung mengalami kecemasan dibanding laki

– laki.

d. Pengalaman terhadap sakit dan perawatan di rumah sakit

Anak yang mempunyai pengalaman hospitalisasi sebulmnya akan

memiliki kecemasan lebih rendah dibandingkan dengan anak yang

belum memiliki pengalaman sama sekali. Pengalaman yang

dirawat sebelumnya akan dihubungkan dengan perawatan

sekarang. Anak yang memiliki pengalaman yang tidak

menyenangkan selama dirawat di rumah sakit akan membuat anak

menjadi takut dan trauma. Sedangkan apabila mendapat


21

pengalaman dirawat di rumah sakit dengan perawatan yang baik

maka akan lebih kooperatif (Saputro, 2017).

e. Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah

Semakin tinggi dukungan keluarga pada anak, maka semakin

rendah tingkat kecemasan anak. Jumlah saudara kandung sangat

erat hubungannya dengan dukungan keluarga, maka anak akan

cenderung cemas, merasa sendiri serta kesepian saat anak harus

dirawat di rumah sakit. Koping emosi yang baik dari anak akan

memunculkan rasa percaya diri pada anak dalam menghadapi

permasalahannya. Keterlibatan orang tua dapat memfasilitasi anak

terhadap lingkungan yang asing (Saputro, 2017).

f. Persepsi anak terhadap sakit

Anak selama di hospitalisasi bisa menyebabkan dampak bagi anak

sendiri maupun orangtua. Munculnya dampak tersebut karena

kemampuan pemilihan koping yang belum baik dan kondisi stress

karena pengobatan (Saputro, 2017).

5. Alat Ukur Kecemasan

Tingkat kecemasan dapat terlihat dari manifestasi yang

ditimbulkan oleh seseorang. Alat ukur yang digunakan adalah Hamilton

Anxiety Scale (HAS) disebut juga dengan Hamilton Anxiety Rating

Scale untuk mengukur kecemasan baik kecemasan psikis maupun

somatik. HARS terdiri dari 14 item pertanyaan untuk mengukur tanda

adanya kecemasan pada anak dan orang dewasa (Astarani, 2017).


22

Penilaian kecemasa dengan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)

yang dikutip oleh Nursalam (2013) terdiri dari :

a. Perasaan cemas: firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung.

b. Ketegangan : merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah

tersinggung dan lesu.

c. Ketakutan : bila tinggal sendiri dan takut pada binatang besar.

d. Gangguan tidur : sukar memulai tidur, terbangun pada malam

hari, tidur tidak pulas dan mimpi buruk.

e. Gangguan kecerdasan : mudah lupa dan sulit berkonsentrasi.

f. Perasaan depresi : sedih, perasaan tidak menyenangkan

sepanjang hari.

g. Gejala somatik : kaku, gertakan gigi, suara tidak stabil.

h. Gejala sensorik : penglihatan kabur, muka merah, dan pucat

serta merasa lemah.

i. Gejala kardiovaskuler : nyeri di dada dan detak jantung hilang

sekejap.

j. Gejala pernapasan : sering menarik napas panjang dan merasa

napas pendek.

k. Gejala gastrointestinal : sulit menelan, nyeri lambung sebelum

dan sesudah makan, perasaan panas di perut.

l. Gejala urogenital : sering kencing, tidak dapat menahan

kencing.
23

m. Gejala vegetatif : mulut kering, pusing, dan sakit kepala

n. Perilaku sewaktu berbicara : gelisah, jari gemetar, mengerutkan

dahi ataukening, muka tegang, dan napas pendek dan cepat.

C. Konsep Terapi Bermain

1. Pengertian

Terapi bermain merupakan salah satu aspek terpenting dari

kehidupan anak dan salah satu alat penting dari kehidupan anak dan

salah satu alat paling efektif utnuk mengatasai stress anak ketika

dirawat dirumah sakit. Bermain tidak hanya utuk latihan fisik tapi juga

intelektual (Wong, 2009). Terapi bermain yang dilakukan untuk anak

usia 6 – 12 tahun contohnya bermain origami, mewarnai gambar,

menyusun puzzle, menggambar bebas, bercerita, dan meniup balon

(Saputro, 2017).

2. Bermain dan mainan anak usia sekolah

Pada saat usia sekolah, permainan anak menggunakan dimensi

baru yang merefleksikan tingkat perkembangan anak yang baru. Tipe

bermain untuk anak usia sekolah menurut Wong (2009):

a. Peraturan dan ritual

Kebutuhan untuk konformitas pada masa anak usia pertengahan

yang dimanifestasikan dengan sangat kuat dalam aktivitas dan

permainan sangat penting untuk anak usia sekolah. Anak mulai

melihat kebutuhan terhadap peraturan, dan permainan yang


24

dimainkan memiliki peraturan tertentu dan tidak bervariasi yang

mungkin tampak aneh dan sangat kaku.

b. Permainan tim

Permainan tim mengajarkan anak untuk memodifikasi atau

mengubah tujuan pribadi menjadi tujuan kelompok dan bahwa

konsep pembagian kerja merupakan strategi yang efektif untuk

mencapai tujuan. Permainan tim juga bermanfaat untuk

pertumbuhan hubungan sosial, intelektual, dan keterampilan anak.

c. Permainan dan aktivitas yang tenang

Walaupun permainan anak usia sekolah sangat aktif, mereka juga

menikmati banyak aktivitas yang tenang dan dilakukan seorang

diri.

d. Menguasai ego

Permainan juga memberikan anak cara untuk memperoleh

gambaran kekuatan mereka pada dirinya, lingkungannya, dan

orang lain.

3. Prinsip Pelaksanaan terapi bemain

Menurut Saputro (2017) prinsip pelaksanaan terapi bermain

meliputi:

a. Permainan tidak banyak menggunakan energi, waktu bermain lebih

singkat untuk menghindari kelelahan dan alat – alat permainanya

lebih sederhana.

b. Mainan harus relatif aman dan terhindar dari infeksi silang.


25

c. Sesuai dengan kelompok usia

Pengelompokan menurut usia dilakukan karena kebutuhan bermain

berlainan antara usia yang lebih rendah dan yang lebih tinggi.

d. Tidak bertentangan dengan terapi

Terapi bermain harus memperhatikan kondisi anak. Bila program

terapi mengharuskan anak untuk beristirahat, maka aktivitas

bermain hendaknya dilakukan ditempat tidur. Apabila anak harus

tirah baring maka harus dipilih permainan yang dapat dilakukan di

tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak bermain dengan

kelompoknya di tempat bermain.

e. Keterlibatan orang tua dan keluarga

Keterlibatan orang tua dalam terapi adalah sangat penting, hal ini

disebabkan karena orangtua mempunyai kewajiban untuk tetap

melangsungkan upaya stimulasi tumbuh kembang pada anak

walaupun sedang dirawat di rumah sakit. Keterlibatan orangtua

tidak hanya mendorong perkembangan kemampuan dan

ketrampilan sosial anak, namun juga memberi dukungan bagi

perkembangan emosi yang positif.

D. Konsep Bermain Menggambar

1. Pengertian

Menggambar sebuah objek yang ada didalam angan – angan dan

khayalan, disebut menggambar ekspresi. Menggambar ekspresi disebut

juga dengan menggambar bebas, yaitu berimajinasi dan bebas


26

bereksperimen, dalam rangka membuat sebuah gambar memiliki milai

keindahan dan kepuasan (Nurhadiat, 2008). Menggambar adalah

kegiatan mengekspresikan diri dan berkreasi dengan berbagai ide atau

imajinasi menggunakan berbagai media atau bahan, sehingga

menghasilkan karya seni (Olivia, 2013).

2. Manfaat Menggambar

Beberapa manfaat dari menggambar menurut Iqbal (2013) :

a. Menggali kemampuan kreativitas anak yang terpendam.

b. Melatih kekuatan pikir untuk membayangkan sesuatu (imajinasi)

dan mewujudkan dalam bentuk gambar.

c. Menyeimbangkan fungsi kerja otak kiri dan kanan sehingga mampu

mengolah emosi dan meningkatkan kesabaran, ketekunan, dan

kesungguhan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

d. Melatih kemampuan motorik halus jari dan tangan serta

meningkatkan koordinasi antara mata dan tangan.

e. Meningkatkan konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan merekam

gambar.

f. Menguasai cara berpikir abstrak dan mengasah kecerdasan spatial /

ruang.

g. Kepekaan dan kemampuan mengolah sesuatu (manajemen) baik

garis maupun warna.

h. Meningkatkan kepercayaan diri anak, kemandirian, dan

kemampuan untuk menemukan solusi dan menyelesaikan masalah.


27

3. Waktu Bermain Terapi Menggambar

Lama pemberian terapi bermain idelanya 15 – 30 menit dalam sehari

selama 2-3 hari. Terapi ini dapat memberikan mekanisme koping dan

menurunkan kecemasan (Saputro, 2017).

4. Pengaruh Menggambar pada Kecemasan

Teknik menggambar dapat membantu mengurangi kecemasan

sehingga dapat menjadi alternatif pilihan dalam menurunkan kecemasan

hospitalisasi. Anak dapat mengekspresikan perasaan dan emosinya terkait

pengalaman selama dirawat di rumah sakit. Kegiatan teknik menggambar

dapat menjadi salah satu alternatif cara untuk mengungkapkan perasaan

terpendam sehingga mampu mengurangi kecemasan (Rahmawati, 2016).


28

E. Kerangka Teori Penelitian

Faktor yang mempengaruhi kecemasan


anak:
A. Usia
B. Karakteristik Saudara
C. Jenis kelamin Kecemasan hospitalisasi
D. Pengalaman terhadap sakit dan pada anak sekolah
dirawat di rumah sakit
E. Jumlah anggota keluarga dalam
satu rumah Upaya Perawat untuk mengatasi
F. Persepsi anak terhadap sakit hospitalisasi :
A. Pendekatan kepada orang tua
dan anak
Penyebab kecemasan : B. Menyediakan lingkungan
yang aman dan nyaman
1. Pandangan psikoanalitik C. Menyediakan mainan
2. Pandangan interpersonal 1. Menggambar
3. Pandangan perilaku
4. Kajian keluarga
5. Kajian biologis
Mengekspresikan perasaan dan emosi

Kecemasan turun

Gambar 2.7 kerangka Teori

Sumber : Saputro (2017), Astarani (2017), Inggriani (2016),

Rahmawati (2016)
29

F. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Dilakukan Terapi Kecemasan Hospitalisai


Menggambar pada Anak Usia Sekolah

Gambar 2.8 Kerangka Konsep Penelitian

G. Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini hipotesis yang diambil adalah :

Ha : Ada pengaruh terapi bermain menggambar terhadap tingkat kecemasan

hospitalisasi anak usia sekolah

Anda mungkin juga menyukai