Anda di halaman 1dari 11

INFEKSI CHLAMYDIA

Chlamydia trachomatis adalah bakteri berukuran kecil yang menginvasi sel eukariot
dan memerlukan kultur sel untuk mengisolasinya. Infeksi Chlamydia merupakan penyaki
menular seksual (sexually transmitted disease, STD) yang disebabkan oleh bakteri tersering
di seluruh dunia, bersamaan dengan herpes genitalis dan infeksi HPV (human
papillomavirus), infeksi ini merupakan salah satu dari tiga STD tersering di Amerika Serikat.
Beberapa varian serologis (serovar) dari Chlamydia trachomatis menyebabkan binding
trachoma, suatu masalah kesehatan di beberapa negara berkembang. Tiga serovar yang
dinamakan L1, L2, dan L3 menyebabkan limfogranuloma venerum (LGV), salah satu dari
lima penyakit kelamin tersering (selain gonore, sifilis, chancroid, dan granuloma inguinale).
LGV dan serovar trakoma bukan masalah yang umum ditemukan pada negara-negara maju,
tapi infeksi rektal oleh serovar L2 mulai berkembang akhir-akhir ini sebagai penyakit MSM
(pria yang berhubungan seks dengan pria). Pneumonia chlamydofila berkaitan dengan
patogen respiratorik yang berhubungan dengan penyakit arteri koroner dan atherosklerosis,
tapi bukan penyakit menular seksual.
Pada orang dewasa, manifestasi yang dominan pada infeksi non-serovar LGV dari
Chlamydia trachomatis adalah urethritis non-gonokokus, servisitis, proktitis, dan
konjungtivitis, dimana semua penyakit tersebut sifatnya ringan dan seringkali asimtomatik.
Spektrum klinis hampir mirip dengan gonore, tapi lebih sedikit tanda dan gejala inflamasi
yang terlihat, periode inkubasi yang lebih lama, dan infeksi subklinis yang lebih sering. Sifat
alamiah infeksi Chlamydia secara parodoksikal meningkatkan risiko komplikasi
dibandingkan gonore, karena pengobatan infeksi Chlamydia seringkali ditunda-tunda dan
perlukaan dapat timbul dari infeksi subklinis (misalnya obstruksi tuba fallopi). Organisme
penginfeksi dapat ditemukan di traktus genitalis atas pada kebanyakan wanita dengan infeksi
serviks, terlepas dari ada atau tidaknya manifestasi klinis dari endometritis atau salpingitis.
Kebanyakan wanita dengan infertilitas tuba atau kehamilan ektopik setelah terinfeksi
Chlamydia menunjukkan tidak adanya riwayat pelvic inflammatory disease (PID) atau nyeri
abdomen yang tidak jelas, menunjukkan bahwa salpingitis subklinis dapat menyebabkan
perlukaan tuba (tubal scarring). Infeksi berulang Chlamydia trachomatis berhubungan
dengan peningkatan risiko komplikasi yang kemungkinan disebabkan oleh respons inflamasi
anamnestik berat.
Ketersediaan pengembangan dan penyebaran pemeriksaan amplifikasi asam nukleat
(NAATs, nucleic acid amplification tests) sangat membantu dalam mendiagnosis infeksi
Chlamydia. Prevalensi C. trachomatis pada wanita menurun drastis di beberapa negara
bagian Amerika Serikat dan Eropa Barat setelah dilaksanakannya upaya-upaya untuk
mengontrol infeksi Chlamydia sejak tahun 1990an, hanya berdasarkan pemeriksaan screening
dari wanita yang aktif secara seksual. Bagaimanapun juga, banyak daerah-daerah geografik
tertentu yang kemudian mengalami peningkatan masif jumlah wanita yang aktif secara
seksual, dan mungkin saja berkaitan dengan bertambah banyaknya pengguna skrining dan
pemeriksaan diagnostik lainnya. Diperkirakan bahwa penyebarluasan skrining dan
tatalaksana dini memiliki efek paradoksal dalam meningkatkan kerentanan individu atau
populasi terhadap C. trachomatis, karena penuruan imunitas dalam jangka lama dapat
diakibatkan oleh infeksi yang prolonged. Pendekatan yang optimal dalam mencegah
morbiditas akibat infeksi Chlamydia, pada dasarnya keseimbangan antara penyebarluasan
skrining wanita yang lebih menyeluruh, skrining lanjutan pada pria yang aktif secara seksual,
dan perbaikan terapi suatu pasangan, menjadi pokok perdebatan di akhir tahun 2000an.
Beberapa ahli mulai mempertanyakan kegunaan skrining rutin sebagai taktik pengontrol, tapi
pernyataan ini menjadi kontroversi, dan insidensi PID tampak menurun di Amerika Serikat
dan di Inggris, yang tentu saja merupakan hasil dari upaya-upaya pencegahan Chlamydia
yang berupa skrining. Skrining rutin pada wanita yang aktif secara seksual dan skrining dini
pada pria akan terus dilanjutkan di masa yang akan datang.

EPIDEMIOLOGI
Insidensi dan Prevalensi
 Di Amerika Serikat, 1,24 juta kasus dilaporkan pada tahun 2009, perkiraan insiden
tahunan yang sebenarnya sekitar 3-4 juta kasus.
 Jumlah infeksi yang dilaporkan di Amerika Serikat mendekati 400 dari 100.000 kasus per
tahunnya dari seluruh kasus infeksi, 500-600 dari 100.000 wanita, dan 3.000 dari 100.000
wanita usia 15-19 tahun (setara dengan 3% remaja perempuan yang terinfeksi setiap
tahunnya).
 Tingkat insiden yang sebenarnya setidaknya dua kali angka yang dilaporkan, karena tidak
terdiagnosis dan tidak dilaporkan.
 Di antara wanita berusia <25 tahun, prevalensi rata-rata 5% fasilitas pelayanan primer dan
klinik kesehatan reproduksi, dan 10-30% di klinik penyakit menular seksual, serta 5-10%
di klinik-klinik berbasis sekolah menengah (SMP atau SMA), pusat-pusat masyarakat,
dan lokas-lokasi pelayanan sosial.
 Prevalensi infeksi uretra biasanya 5-10% pada laki-laki yang aktif secara seksual dan
berusia 15-30 tahun, lebih tinggi prevalensinya pada pria homoseksual, termasuk infeksi
rektal.
 Limfogranuloma venereum (LGV) jarang terjadi di Amerika Serikat (kasus yang
dilaporkan <100/tahun di tahun 1990an) di Eropa Barat, lebih umum di beberapa negara
berkembang, serta akhir-akhir ini meningkat pada pria homoseksual.

Penularan
 Khususnya melalui kontak seksual atau secara perinatal, kecuali penularan serovar
trachoma pada anak-anak.
 Infeksi faring dan penularan dari oral seks jarang terjadi, berbeda dengan gonorrhea.
 Limfogranuloma venerum (LGV) pada pria homoseksual ditularkan oleh paparan ke anal
secara langsung, misalnya dengan tangan atau alat seks (sex toys).

Usia
 Berhubungan erat dengan usia muda, mungkin karena faktor biologis (misalnya ektopi
serviks fisiologis) dan perilaku seksualnya.
 Insidensi puncak dan prevalensi tertinggi terjadi pada usia 15-19 tahun pada wanita, dan
usia 20-24 tahun pada pria.

Jenis Kelamin
 Lebih banyak kasus dilaporkan pada wanita daripada pria, karena wanita lebih sering
melakukan skrining dan kebanyakan pria diterapi tanpa diagnosis yang jelas.
 Rasio insidensi perempuan dan laki-laki sekitar 1:1
Orientasi Seksual
 Umumnya pada pria homoseksual (seks antara pria dengan pria), tapi seringkali tidak
terdiagnosis karena tingginya angka kejadian infeksi rektal yang tidak diketahui.
 Limfogranuloma venereum (LGV) kadang-kadang menyebabkan proktitis berat pada
pria homoseksual
 Dapat pula ditemukan pada beberapa wanita homoseksual (seks antara wanita dengan
wanita) tanpa pasangan pria, kemungkinan ditularkan melalui sekret vagina.

Faktor Resiko Lainnya


 Di Amerika Serikat, terdapat hubungan yang kuat antara tingkat sosial-ekonomi dan
pendidikan yang rendah pada ras/etnis Afrika-Amerika atau Hispanik (hampir pada
semua penyakit menular seksual).

ANAMNESIS
Periode Inkubasi
 Biasanya 1-3 minggu pada orang-orang yang mengalami gejala, dapat pula berkisar
antara 1 minggu hingga beberapa bulan.
 Kebanyakan infeksi bersifat subklinis.

Gejala
 Laki-laki : Uretha discharge, biasanya sedikit, ada disuria, biasanya ringan, kadang-
kadang digambarkan seperti rasa gatal atau kesemutan pada urethra
 Perempuan : Vagina discharge, disuria, perdarahan vagina intermenstruasi atau
setelah koitus, nyeri perut ringan; atau gejala-gejala uretritis, servisitis,
salpingitis, epididimitis, atau konjungtivitis lainnya (lihat Bab 4, 15-20)

Epidemiologi dan Riwayat Paparan


 Adanya faktor-faktor risiko penyakit menular seksual dan marker-marker meningkatkan
risiko infeksi, tetapi infeksi dapat terjadi saat tidak ada faktor risiko ditemukan.
 Kebanyakan infeksi persisten selama berbulan-bulan dan kadang-kadang >1 tahun;
riwayat seksual yang dilakukan baru-baru saja seringkali menjadi prediktor infeksi yang
buruk.

PEMERIKSAAN FISIK
 Duh uretra, serviks, atau anal, biasanya berlendir atau mukopurulen
 Ektopi serviks tampak edematosa pada wanita
 Tanda-tanda uretritis, servisitis, salpingitis, proktitis, epididimitis, dan manisfestasi klinis
lainnya (lihat Bab 4, 15-20)
 Pemeriksaan fisik biasanya normal

DIAGNOSIS LABORATORIUM
Identifikasi Organisme
 Tes pilihannya adalah pemeriksaan amplifikasi asam nukleat (NAAT), termasuk
transcription-mediated amplification (TMA) misalnya Aptima, strand displacement assay
(SDA) misalnya ProbeTec, atau polymerase chain reaction (PCR) misalnya Amplicor.
 Sensitivitas NAAT 90-95% untuk pemeriksaan usap serviks, vagina, atau uretra, dan
spesifisitas urin> 99%, jarang didapatkan hasil positif palsu.
 TMA dan SDA dapat dipercaya untuk infeksi rektal dan direkomendasikan untuk
pemeriksaan pada pria homoseksual.
 Beberapa kombinasi NAAT dirancang untuk mendeteksi N. gonorrhoeae dan C.
trachomatis pada satu spesimen yang sama.
 Kultur dapat mendeteksi 70-80% infeksi serviks dan uretra; tergantung pada
laboratoriumnya.
 Uji probe DNA non-amplifikasi (misalnya Pace II) dan uji-uji untuk identifikasi antigen
C. trachomatis dapat mendeteksi <80% infeksi; dipercaya hanya untuk spesimen urethra
atau serviks; tidak direkomendasikan untuk pemakaian rutin.
 Saat ini tersedia tes cepat Chlamydia (point of care) tetapi tidak sensitif dan tidak
direkomendasikan untuk pemakaian rutin.
 Infeksi faring jarang ditemukan dan belum ada uji yang disetujui atau direkomendasikan
untuk pengujian faring.

Serologi
 Mikro-imunoflurosensi atau complement fixation antibody test bermanfaat dalam
mendiagnosa LGV (titer ≥1 : 128); kadang-kadang digunakan untuk evaluasi infertilitas
wanita, tetapi hasil positif tidak selalu menunjukkan infeksi saat ini.
 Tidak direkomendasikan pada pemeriksaan klinis lainnya.

PENGOBATAN
Infeksi tanpa komplikasi
 Regiman Pilihan
 Doksisiklin 100 mg PO, dapat diberikan hingga 7 hari
 Azithromisin 1 gram PO, dosis tunggal

 Regimen Alternative
 Levofloxacin 500 mg PO diberikan satu kali sehari selama 7 hari
 Ofloxacin 300 mg PO dapat diberikan hingga 7 hari
 Eritromisin 500 mg PO dapat diberikan hingga 7 hari (efikasi menurun)

 Wanita Hamil
 Azithromisin 1 gram PO, dosis tunggal
 Amoksisilin 500 mg PO dapat diberikan selama 7-10 hari

 Limfogranuloma Venereum
 Doksisiklin 100 mg PO diberikan hingga 21 hari
 Eritromisin 500 mg PO diberikan hingga 21 hari
 Azithromisin 1 gram PO diberikan sekali seminggu selama 3 minggu (data klinis
terbatas)

 Follow-up Infeksi tanpa komplikasi


 Infeksi persisten atau berulang terjadi dalam 3-6 bulan pada 10-15% pasien yang
diobati
 Pemeriksaan ulang semua pasien 3-6 bulan setelah perawatan (skrining ulang)
 Pemeriksaan kesembuhan jangka pendek (3-4 minggu) jika :
o Kepatuhan berobat tidak pasti
o Wanita hamil
o Pengobatan dengan eritromisin atau terapi non-standar lainnya
o Jangan lakukan tes ulang dengan NAAT <3 minggu setelah perawatan,
karena kemungkinan DNA Chlamydia masih ada meskipun eradikasi telah
berhasil

PENGELOLAAN PASANGAN SEKS


 Semua pasangan seks dalam sebulan terakhir, serta semua mitra yang mungkin, harus
diuji C. trachomatis dan diterapi (tanpa menunggu hasil tes).
 Terapi pasangan yang dipercepat (EPT, expedited partner treatment) (misalnya, terapi
pada pasangan seks yang ditularkan oleh pasien) diindikasikan jika kepatuhan
pasangan tersebut dengan pelayanan kesehatan tidak jelas.
 EPT direkomendasikan oleh beberapa ahli sebagai pengelolaan pilihan untuk
semua pasangan seks.
 Di praktis, pasangan seks yang diterapi dengan EPT masih harus diperiksa, diuji,
dan diberi konseling.

PENCEGAHAN
Konseling
 Menekankan pentingnya mencegah infeksiyang akan terjadi karena peningkatan risiko
komplikasi, terutama pada wanita.
 Menganjurkan monogami, penggunaan kondom, pemilihan pasangan seks yang berisiko
rendah, dan menghindari konkurensi (pasangan seks yang tumpang tindih).
 Menjelaskan risiko infeksi HIV menjadi lebih tinggi pada penderita penyakit menular
seksual karena bakteri.

Skrining
 Skrining wanita muda yang aktif secara seksual merupakan pencegahan utama
 Pemeriksaan rutin semua wanita yang aktif secara seksual yang berusia ≤20 tahun
 Pemeriksaan rutin wanita berusia 21-30 tahun jika memiliki ≥1 pasangan seks,
pasangan baru, atau pasangan dengan gejala urethritis
 Remaja laki-laki dan laki-laki muda yang aktif secara seksual (berusia ≤30 tahun)
harus di-skrining secara rutin
 Skrining rektal rutin pada pria homoseksual yang berhubungan secara anal
 Skrining semua wanita hamil

Skrining Ulang
 Secara rutin menguji ulang semua pasien 3-6 bulan setelah perawatan, dan/atau kapanpun
pasien kembali untuk pelayanan kesehatan rutin
 Sekitar 10-20% orang yang terinfeksi mengalami infeksi berulang atau persisten dalam 3-
6 bulan karena re-infeksi, kegagalan pengobatan yang tertunda, atau kepatuhan terapi
yang buruk.

Pelaporan
 Laporkan kasus sebagaimana diwajibkan oleh peraturan setempat
3-1. Urethritis non-gonokokus oleh Chlamydia trachomatis. (a) Duh urethra mukopurulen.
Pemeriksaan urethral dengan pewarnaan Gram menunjukkan polimorfonuklear tanpa
ICGND. Bandingkan dengan Gambar 4-1, 4-3b, 4-6, 4-8, dan 18-3b.

KASUS
Profil pasien : Usia 19 tahun, mahasiswa tahun kedua, heteroseksual tunggal
Anamnesis : Mulai berhubungan seksual 6 minggu sebelumnya, pasangan
seks terakhir berakhir 2 bulan yang lalu; Keluhan duh urethra
intermiten selama 3 minggu tanpa disuria; dirujuk berobat
oleh pasangannya karena hasil skrining menunjukkan positif
infeksi C. trachomatis.
Pemeriksaan : Duh mukopurulen yang keluar saat pemencetan urethra
Diagnosis diferensial : Urethritis non-gonokokus; kemungkinan infeksi Chlamydia
berdasarkan riwayat paparan; urethritis gonokokus,
trikomonas, dan herpetik masih mungkin walaupun jarang.
Laboratorium : Pewarnaan duh urethra menunjukkan 10-15 neutrofil PMN per
1.000 lapang pandang, tanpa ICGND; NAAT untuk C.
trachomatis (positif) dan N. gonorrheae (negatif); Uji antibodi
VDRL dan HIV (keduanya negatif).
Diagnosis : Urethritis non-gonokokus Chlamydia
Tatalaksana : Azithromisin 1 gram PO, dosis tunggal, observasi berkala
Pengelolaan pasangan seks : Ditawarkan EPT dengan Azithromisin dan Cefixime untuk
pacar lamanya, tetapi pasien menolak (alasannya ‘saya tidak
pernah bertemu dengannya lagi’); dianjurkan untuk tidak
berhubungan seksual dengan pasangan yang sama sampai
minggu setelah gejala membaik.
Follow-up : Diinstruksikan unutk kembali dalam 3 bulan untuk skrining
ulang dengan NAAT urin, dan konseling untuk
memberitahukan hal yang sama ke pasangannya.
Keterangan : Gejala-gejala ringan timbul karena penanganan yang lambat (3
minggu) hingga infeksi Chlamydia terdiagnosis.
3-2. Servisitis mukopurulen akibat Chlamydia trachomatis (credit dari Claire E. Stevens)

KASUS
Profil pasien : Usia 17 tahun, pelajar SMA
Anamnesis : Asimtomatik; datang ke klinik kesehatan reproduksi untuk
melengkapi resep kontrasepsi oralnya; aktif secara seksual
selama 6 minggu dengan pasangan seks pria tunggal, seorang
mahasiswa lokal; hubungan sebelumnya dengan seorang
teman sekelas, telah berkahir 2 bulan sebelumnya.
Pemeriksaan : Eksudat mukopurulen merembes dari os serviks; tampak
sedikit area edema; saat dilakukan usap, terjadi perdarahan
endoserviks.
Diagnosis diferensial : Servisitis mukopurulen, pertimbangkan C. trachomatis, N.
gonorrhoeae, Mycoplasma genitalium
Laboratorium : Pemeriksaan usap serviks dengan pewarnaan Gram
menunjukkan banyak PMN tanpa ICGND; pH cairan vagina
4,0 dengan uji amin KOH negatif; tidak ada jamur, clue cell,
atau trikomonas tampak pada uji wet mount salin dan KOH;
NAAT serviks untuk C. trachomatis (positif) dan N.
gonorrheae (negatif); Uji serologis sifilis dan HIV (keduanya
negatif).
Diagnosis : Servisitis mukopurulen e.c. Chlamydia trachomatis
Tatalaksana : Azithromisin 1 gram PO, dosis tunggal, observasi berkala
Follow-up : Diinstruksikan unutk kembali dalam 3 bulan untuk skrining
ulang NAAT dengan usap vagina yang diambil pasien sendiri.
Pengelolaan pasangan seks : Ditawarkan EPT dan diterima, terapi dengan Azithromisin
pasangan saat ini, yang berada jauh di perguruan tinggi;
Pasangan sebelumnya dianjurkan ke klnik dan diuji, hasil
positif infeksi C. trachomatis dan diterapi.

3-3. Konjungtivitis Chlamydia (bandingkan dengan konjungtivitis gonokokus, Gambar 4-3a)

KASUS
Profil pasien : Usia 22 tahun, seorang pramugari
Anamnesis : Gatal ringan pada mata selama 2-3 minggu; pacarnya dirawat
sebulan sebelumnya karena "infeksi saluran kemih";
Keduanya melakukann seks vaginal dan oral tanpa kondom
setelah pengobatan pacarnya, tidak ada pasangan seks lain
dalam setahun terakhir.
Pemeriksaan : Konjungtiva menunjukkan hipertrofi, gambaran
"cobblestone”, sedikit eritema; pemeriksaan pada genital
normal, termasuk serviks
Diagnosis diferensial : Konjungtivitis e.c. C. trachomatis, N. gonorrhoeae,
Haemophilus influenzae, bakteri piogenik, virus, alergi
lainnya; pemeriksaan diarahkan ke infeksi C. trachomatis.
Laboratorium : Perwanaan gram apusan konjungtiva menunjukkan beberapa
sel mononuklear, sedikit sekali PMN, dan tidak ada bakteri
ditemukan; C.trachomatis teridentifikasi oleh NAAT dari usap
konjungtiva dan serviks; kultur bakteri konjungtiva negatif
untuk pathogen.
Diagnosis : Konjungtivitis Chlamydia dan infeksi serviks Chlamydia
asimtomatik
Penatalaksanaan : Doksisiklin 100 mg PO hingga 7 hari
Follow-up : Diinstruksikan unutk kembali dalam 3 bulan untuk skrining
ulang NAAT
Pengelolaan pasangan seks : Disarankan merujuk pasangannya untuk dievaluasi ulang
dengan kemungkinan urethritis non-gonokokus, diperkirakan
telah salah didiagnosa dengan infeksi saluran kemih; pasien
adalah pasangan yang skeptis untuk datang dan diberikan EPT
dengan Azithromisin 1 gram.
Komentar : Bandingkan dengan konjungtivitis gonokokus, Gambar 4-3;
mungkin didapat baik melalui auti-inokulasi dari infeksi
genital atau oleh paparan orogenital; serviks yang normal dan
tidak ada gejala genital adalah ciri khas infeksi Chlamydia.

3-4. Limfogranuloma venereum. Perhatikan terpisahnya nodus limfatik kanan oleh ligamen
inguinal (groove sign). Nodul pada inguinal kiri telah ruptur secara spontan. (Credit dari
Professor Olu Osaba).

KASUS
Profil Pasien : Usia 27 tahun, pria yang belum menikah yang berimigrasi dari
Ethiopia 3 minggu sebelumnya; berhubungan seks dengan
beberapa wanita pekerja seks komersial.
Anamnesis : Pembengkakan dan nyeri di selangkangan selama 3 minggu,
keluar nanah dari sisi kiri sejak 1 minggu yang lalu.
Pemeriksaan : Limfadenopati inguinalis bilateral, berbatas tegas, nodus
teraba kenyal-keras, diameter 1,5 - 3 cm, nodul pada inguinal
kiri memiliki pusat yang lunak dan jaringan eskar di atasnya,
nodul kanan dipisahkan oleh ligamentum inguinalis (groove
sign), tidak ada duh urethra, lesi genital, atau ruam kulit.
Diagnosis Banding : LGV, infeksi piogenik, cat-scratch disease;
likuifaksi dan drainase menjadikan sifilis dan herpes tidak
mungkin; menyingkirkan limfadenitis tuberkulosis, limfoma,
dan penyakit HIV akibat oportunistik.
Laboratorium : NAATs uretra untuk N. Gonorrhoeae dan C. Trachomatis
(keduanya negatif); uji serologi sifilis dan HIV (keduanya
negatif); aspirasi nodul inguinal kiri didapatkan sedikit nanah,
tidak ditemukan organisme pada pewarnaan gram; beberapa
Staphylococcus epidermidis terisoloasi, NAAT negatif untuk
C. Trachomatis; Titer Chlamydia/LGV complement fixation
test 1:1,024.
Diagnosis : Limfogranuloma venerum
Pengobatan : Doksisiklin 100 mg oral selama 3 minggu
Follow-up : Aspirasi jarum berulang pada nodul inguinalis kiri (3 kali
dalam 8 hari); ulangi pemeriksaan serologi sifilis dan HIV
setelah 3 bulan (negatif)
Pengelolaan pasangan seks : Pasien menolak indentifikasi pasangan seks
Komentar : Tidak adanya lesi kulit primer atau uretritis tipikal dari LGV;
Adanya nodus limfatik yang dipisahkan oleh ligamentum
inguinalis (groove sign) merupakan tanda klasik tetapi terlihat
pada sebagian kecil kasus; Aspirasi jarum berulang pada
nodul yang berfluktuasi dapat mencegah terjadinya ruptur
spontan dan infeksi sekunder; Akhir-akhir ini, gambaran klinis
LGV yang paling umum di negara-negara industrialis adalah
proktitis (pada pria homoseksual).

3-5. Kemungkinan limfogranuloma venerum: (a) Limfadenopati femoralis fluktuatif dengan


eritema kutaneus yang menyelubungi secara intens dan gambaran eksfoliasi yang tidak
spesifik. (b) Perbaikan setelah 10 hari terapi dengan Doksisiklin 100 mg oral. Adaya nodus
limfatik femoralis merupakan tanda yang tidak khas pada LGV dan C. Trachomatitis, yang
tidak terisolasi dari kultur aspirasi nodus limfatik dan uretra; NAAT tidak tersedia. Namun
titer LGV complement fixation test bersifat reaktif pada titer 1 : 512. Genital warts tipe
papular juga tampak pada batang penis.
RUJUKAN BACAAN

Gaydos C, et al. Laboratory aspects of screening men for Chlamydia trachomatis in the new
millennium. Sex Transm Dis. 2008;35(Suppl):S40-4. In addition to screening men, this
review is a good introduction to available NAATs for chlamydial infection.
Gottlieb SL, et al, eds. Introduction: natural history and immunobiology of Chlamydia
trachomatis genital infection and implications for chlamydia control. J Infect Dis.
2010;201(Suppl 2):S85-7. The introduce-tory article to 11 reviews of the biology, clinical
manifestations, prevention and control of sexually transmitted chlamydial infections.
McLean CA, et al. Treatment of lymphogranuloma venereum. Clin Infect Dis. 2007;44(Suppl
3):S147-52. Review of data in support of CDC’s 2006 STD treatment guideline.
Oakeshott P, et al. Randomised controlled trial of screening for Chlamydia trachomatis to
prevent pelvic inflammatory disease; the POPI (prevention of pelvic infection) trial. IBMJ.
2010;340:c1642. A study showing modest benefit of chlamydia screening in PIDP
prevention and a useful introduction to public health chlamydia prevention strategies.
Scholes D, et al. Prevention of pelvic inflammatory disease by screening for cervical
chlamydial infection. N Engl J Med.1996;334:1362-6. A prospective study documenting
reduced incidence of symtomatic PID in women screened for chlamydial infection; a
central underpinning of chlamydia prevention strategies.
Schwebke JR, et al. Re-evaluation the treatment of nongonococcal urethritis: emphasizing
emerging pathogens—a randomized clinical trial. Clin Infect Dis. 2011;52:163-70. This
multicenter trialk raised questions about the efficacy of azithromycin for chlamydial
NGU, with a 77% cure rate, compared whit 95% for doxycycline.
Stamm WE. Chlamydia trachomatis infection. Chapter 29 in KK Holmes, et al., eds. Sexually
Transmitted Disiases. 4th ed. New York, NY: McGraw-Hill, 2008:775-93. A
comprehensive, extensively referenced state-of-the-art review.
White JA. Manifestations and management of lymphogranuloma venereum. Curr Opin Infect
Dis, 2009;22:57-66. A succinct review of recently emergent LGV inmen who have sex with
men.

Anda mungkin juga menyukai