Undangan Rutinan Malam Senin Pon1
Undangan Rutinan Malam Senin Pon1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 KLASIFIKASI
HIV terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa
menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan
HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Genom virus ini adalah RNA, yang mereplikasi
dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia
(Finch, Moss, Jeffries dan Anderson, 2007 ).
1. Stadium 1 : Periode Jendela
HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibodi terhadap HIV dalam
darah
Tidak ada tanda2 khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
Test HIV belum dapat mendeteksi keberadaan virus ini
Tahap ini disebut periode jendela, umumnya berkisar 1-6 bulan.
2. Stadium 2 : HIV Positif (tanpa gejala) rata-rata selama 5-10 tahun:
HIV berkembang biak dalam tubuh
Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
Test HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah terbentuk
antibodi terhadap HIV
Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya tahan
tubuhnya (rata-rata 8 tahun (di negara berkembang lebih pendek).
3. Stadium 3 : HIV Positif (muncul gejala)
Sistem kekebalan tubuh semakin turun
Mulai muncul gejala infeksi opportunistik, misalnya: pembengkakan kelenjar
limfa di seluruh tubuh, diare terus menerus, flu, dll
Umumnya berlangsung selama lebih dari 1 bulan, tergantung daya tahan
tubuhnya
4. Stadium 4 : AIDS
Kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah
Berbagai penyakit lain (infeksi opportunistik) semakin parah
Wasting (kehilangan berat badan secara drastis)
Diare kronis.
2.1.3 ETIOLOGI
Agen penyebab AIDS yaitu HIV (human immunodeficiency virus). HIV
merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel dalam sistem imun, terutama sel
limfosit T CD4+, dan menyebabkan kerusakan progresif pada sel-sel tersebut. Partikel
infeksius HIV terdiri dari 2 rantai RNA dengan 1 protein inti, dikelilingi oleh selaput
lemak (lipid envelope) yang didapat dari sel host namun mengandung protein virus.
HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau
virus limfadenapati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili
lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam
deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV -1 dan HIV-2 adalah
lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh dunia.
Genom HIV mengode sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek siklus
hidup virus. Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan yaitu bahwa
protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya diganti oleh protein
Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan
duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan transkripsi virus. HIV-2,
yang pertama kali diketahui dalam serum dari para perempuan Afrika barat (warga
senegal) pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang
patogenik dibandingkan dengan HIV-1 (Sylvia, 2005)
2.1.4 PATOFISIOLOGI
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan
antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV
akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam
sepuluh tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel
target dalam waktu singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama.
Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih
yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel
serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian
menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut
CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker atau penanda
yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.Sel-
sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong.
Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem
kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya
membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV
menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh
dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui
3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memiliki limfosit
CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah
terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita
bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di
dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah
mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel
CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus
yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan
orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS,
jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL
darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang
menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang
berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami
penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi
oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh
virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam
mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan
sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode jendela” (window
period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih kurang 1-20
bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap positif (fase ini
disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang
lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai
menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10
2. Fase kronis
Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar
sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien
tidak menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita
yang mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan (Candida) atau herpes zoster
(Mitchell dan Kumar, 2007). Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian
virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut. Namun, karena
kemampuan regenerasi sistem imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah
yang besar. Setelah melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan pejamu mulai
menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV
semakin meningkat (Mitchell dan Kumar, 2007).
3. Fase kritis
Tahap terakhir ini ditandai dengan
kehancuran pertahanan pejamu yang sangat
merugikan, peningkatan viremia yang nyata,
serta penyakit klinis. Para pasien khasnya
akan mengalami demam lebih dari 1 bulan,
mudah lelah, penurunan berat badan, dan
diare; jumlah sel CD4+ menurun di bawah 500
sel/µL. Setelah adanya interval yang berubah-
ubah, para pasien mengalami infeksi
oportunistik yang serius, neoplasma sekunder
dan atau manifestasi neurologis (disebut
dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika
kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak
muncul, pedoman CDC yang digunakan saat
ini menentukan bahwa seseorang yang
terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang
atau sama dengan 200 sel/µL sebagai
pengidap AIDS (Mitchell dan Kumar, 2007).
Gejala Mayor dan Minor pada Pasien HIV & AIDS (Nasronudin, 2007)
Gejala mayor : Gejala minor:
Berat badan menurun lebih dari Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
10% dalam 1 bulan. Dermatitis generalisata yang gatal.
Diare kronik berlangsung > 1 Herpes Zoster multisegmental dan atau berulang.
bulan. Kandidiasis orofaringeal.
Demam berkepanjangan > satu Herpes simpleks kronis progresif.
bulan. Limfadenopati generalisata.
Penurunan kesadaran dan Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
gangguan neurologis.
Retinitis oleh virus sitomegalo
Demensia/ensefalopati HIV.
Tanda dan Gejala menurut WHO :
Stadium Klinis I : Stadium Klinis III :
1. Asimtomatik (tanpa gejala) 1. Berat badan turun > 10%
2. Limfadenopati Generalisata 2. Diare berkepanjangan > 1 bulan
3. Jamur pada mulut
(pembesaran kelenjar getah
4. TB Paru
bening/limfe seluruh tubuh) 5. Infeksi bakterial berat
3. Skala Penampilan 1: 6. Skala Penampilan 3 : < 50% dalam masa 1
asimtomatik, aktivitas normal. bulan terakhir terbaring
Stadium Klinis II : Stadium Klinis IV :
1. Berat badan berkurang < 10% 1. Kelemahan
2. Manifestasi mukokutaneus ringan 2. Jamur pada mulut dan kerongkonga
3. Radang paru-paru (PCP), TB Ekstra Paru
(kelainan selaput lendir dan
4. Radang saluran pencernaan (Diare
kulit) : gatal-gatal, jamur,
kriptosporidiosis > 1 bulan)
sariawan pada sudut mulut 5. Kanker kulit (Sarcoma Kaposi)
3. Herpes zoster 6. Radang Otak (Toksoplasmosis, Ensefalopati
4. Infeksi saluran napas bagian atas
HIV)
yang berulang 7. Skala Penampilan 4 : terbaring di tempat tidur
5. Skala Penampilan 2 : simtomatik,
> 50% dalam masa 1 bulan terakhir.
aktivitas normal.
2.1.8 PENATALAKSANAAN
Beberapa strategi potensial yang secara spesifik ditujukan untuk mengganggu siklus
HIV antara lain:
Menghamba virus untuk berikatan dengan reseptor sel T CD4+
Mengganggu proses “uncoating” virus dalam sel, tahap pertama yang penting dalam
integrasi virus pada DNA host
Menghambat reverse transcriptase
Memblok protein regulatori dan transactivating protein, yang terlibat dalam transkripsi
serta translasi RNA virus dari DNA provirus
Menghambat protease, enzim virus yang bertanggung jawab dalam perlekatan virus
dengan membran sel host
Menghambat pelepasan virus baru dari sel host
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu (Endah
Istiqomah : 2009) :
a. Obat antiretroviral adalah obat yang dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna
menghambat perkembang-biakan virus. Obat-obat antiretrovirus yang diunakan
adalah:
1) Golongan obat anti-HIV pertama adalah nucleoside reverse transcriptase
inhibitor atau NRTI, juga disebut analog nukleosida. Obat golongan ini
menghambat bahan genetik HIV dipakai untuk membuat DNA dari RNA. Obat
dalam golongan ini yang disetujui di AS dan masih dibuat adalah:
3TC (lamivudine) d4T ddI (didanosine)
Abacavir (ABC) (stavudine) Emtricitabine
AZT (ZDV, Tenofovir (FTC)
zidovudine) (TDF; analog
nukleotida)
2) Golongan obat lain menghambat langkah yang sama dalam siklus hidup HIV, tetapi
dengan cara lain. Obat ini disebut non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau
NNRTI. Empat NNRTI disetujui di AS:
Delavirdine (DLV) Etravirine (ETV)
Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP)
3) Golongan ketiga ARV adalah protease inhibitor (PI). Obat golongan ini
menghambat langkah kesepuluh, yaitu virus baru dipotong menjadi potongan
khusus. Sembilan PI disetujui dan masih dibuat di AS:
Atazanavir (ATV) Lopinavir (LPV) Saquinavir
Darunavir (DRV) Nelfinavir (NFV) (SQV)
Indinavir (IDV)
Fosamprenavir (FPV) Ritonavir (RTV)
4) Golongan ARV keempat adalah entry inhibitor. Obat golongan ini mencegah
pemasukan HIV ke dalam sel dengan menghambat langkah kedua dari siklus
hidupnya. Dua obat golongan ini sudah disetujui di AS:
Enfuvirtide (T-20)
Maraviroc (MVC)
5) Golongan ARV terbaru adalah integrase inhibitor (INI). Obat golongan ini
mencegah pemaduan kode genetik HIV dengan kode genetik sel dengan
menghambat langkah kelima dari siklus hidupnya. Obat INI pertama adalah:
Raltegravir (RGV)
b. Obat infeksi oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang mungkin
didapat karena sistem kekebalan tubuh sudah rusak atau lemah. Sedangkan obat
yang bersifat infeksi oportunistik adalah Aerosol Pentamidine, Ganciclovir, Foscamet.
Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012)
a. Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:
Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor stres,
aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk
setiap kenaikan Suhu 1°C.
Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan
sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan
hati.
Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak
disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak, digunakan
lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain Triglyceride/MCT). Minyak ikan
(asam lemak omega 3) diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi
kekebalan.
Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi yang di
anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium, Seng
dan Selenium. Bila perlu dapat ditambahkan suplemen, tapi megadosis harus
dihindari karena menekan kekebalan tubuh.
Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan gangguan
fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap dengan
konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick
fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin fluid).
Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti (natrium,
kalium dan klorida).
Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini sebaiknya
dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat kondisi dan
toleransi pasien. Apabila terjadi penurunan berat badan yang cepat, maka
dianjurkan pemberian makanan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama
atau makanan selingan.
Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.
Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik, termik,
maupun kimia.
b. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral,
enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan secara oral sebaiknya dievaluasi
secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan enteral atau
parental sebagai tambahan atau sebagai makanan utama. Ada tiga macam diet AIDS
yaitu Diet AIDS I, II dan III.
1) Diet AIDS I
Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala panas tinggi,
sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran menurun,
atau segera setelah pasien dapat diberi makan.Makanan berupa cairan dan
bubur susu, diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien,
dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan
dalam bentuk sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dan makanan
sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri atau menggunakan makanan
enteral komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi,
tiamin dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat ditambahkan
glukosa polimer (misalnya polyjoule).
2) Diet AIDS II
Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap akut
teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap 3 jam.
Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk memenuhi kebutuhan
energy dan zat gizinya, diberikan makanan enteral atau sonde sebagai
tambahan atau sebagai makanan utama.
3) Diet AIDS III
Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada pasien
dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa, diberikan
dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energy, protein, vitamin dan mineral.
Apabila kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih terjadi penurunan
berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai makanan
tambahan atau makanan utama.
2.1.9 PENCEGAHAN
Upaya pencegahan infeksi HIV sangat penting untuk mengontrol dan mencegah epidemi HIV.
Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
Tidak berganti-ganti pasangan Menggunakan kondom jika melakukan
seksual hubungan berisiko tinggi
Melakukan abstinensi seks / Skrining darah dan produk darah untuk
melakukan hubungan kelamin dengan transfusi
Hindari transfusi darah yang tidak jelas
pasangan yang tidak terinfeksi.
Memeriksa adanya virus paling sumbernya
Gunakan alat-alat medis dan nonmedis yang
lambat 6 bulan setelah hubungan
terjamin steril
seks terakhir yang tidak terlindungi
2.1.10 KOMPLIKASI
Adapun komplikasi klien dengan HIV/AIDS (Arif Mansjoer, 2000 ) antara lain :
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan
berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
a. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency
Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan
motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.
b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala,
malaise, demam, paralise, total / parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.
d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci
Virus (HIV).
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal
dan diare.
4. Respirasi
a. Pneumonia Pneumocystis (PCP) Pada umumnya 85% infeksi opportunistik pada
AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering,
sakit bernafas dalam dan demam.
b. Cytomegalo Virus (CMV) Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial
pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan
penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.
c. Mycobacterium Avilum Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir
dan sulit disembuhkan.
d. Mycobacterium Tuberculosis Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi
miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru.
5. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies, dan dekubitus dengan efek nyeri,gatal,rasa
terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan
efek nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 2006.
2. Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rd edition. New York. 2000 : 482-90.
3. Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
4. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency
(HIV)/AcquiredImmunodeficiencySindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 1.Edisi 6. Jakarta: EGC,2006.
5. Profesor.dr.H. Jusf Misbach, dkk. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. Neurologi. Jakarta :
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.
6. Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice Medicine.
Januari 2003.
7. Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
2001.
8. Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and Acquired
Immunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz. 2003:955 -89.
9. Mansjoer, Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta : Media Sculapius
10. Marilyn , Doenges , dkk . 1999 . Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien . Jakarta : EGC
11. Price , Sylvia A dan Lorraine M.Wilson . 2005 . Patofissiologis Konsep Klinis Proses –
Proses Penyakit . Jakarta : EGC
UNIVERSAL PRECAUTION
Etanoldan 2-propanol
Etanol (etil -alkohol) dan 2-propanol (isopropyl alkohol)
mempunyai sifat disinfektan yang serupa. Mereka adalah
germisidal untuk bakteri bentuk vegetatif, mikobakteria, jamur,
dan virus setelah beberapa menit terjadi kontak. Mereka tidak
efektif melawan spora bakteri.Untuk efektivitas yang paling
tinggi senyawa harus digunakan dalam konsentrasi kira-kira 70%
(70% alkohol, 30% air); konsentrasi lebih rendah dan lebih tinggi
adalah kurang efektif. Etanol dapat digunakan dalam bentuk
denaturasi, yang mungkin lebih murah.Semua alkohol sangat
mahal jika mereka harus diimport, karena mereka tunduk
kepada peraturan kargo udara yang menuntut pengemasan
80
berat khusus. Import alkohol terlarang di beberapa negaranegara Islam.
Iodine polyvidone (IPV)
IPV adalah suatu iodophor e (suatu campuran yang mengandung
yodium) dan dapat digunakan dalam larutan aqueous sebagai
disinfektan yang kuat. Aktivitas disinfektan ini sangat mirip
dengan larutan hipoklorit, tetapi lebih stabil dan kurang
bersifat korosif pada logam. Bagaimanapun juga, senyawa ini
tidak boleh digunakan pada tembaga dan aluminium. Biasanya
diformulasikan sebagai larutan 10% (1% yodium). Senyawa ini
dapat digunakan dengan pengenceran menjadi 2,5% IPV (1
bagian larutan 10% kepada 3 bagian air mendidih). Pensterilan
sela ma 15 menit dalam suatu larutan 2,5% menghasilkan
disinfeksi tingkat tinggi untuk peralatan yang bersih. Larutan
encer (2,5%) untuk perendaman instrumen harus disiapkan
segera setiap hari.
Glutaral (glutaraldehyde)
Glutaral pada umumnya tersedia sebagai2% larutan aqueous
yang perlu diaktifkan sebelum digunakan. Pengaktifan
melibatkan penambahan bubuk atau cairan disediakan bersama
dengan larutan; ini mem buat larutan bersifatalkali. Penst erilan
dalam larutan yang diaktifkan menghancurkan bakteri
vegetatif, virus dan jamur dalam waktu kurang dari 30 menit.
Sepuluh jam diperlukan untuk pembinasaan spora. Setelah
pensterilan, semua peralatan harus dibilas secara menyeluruh
untuk menghilangkan residu glutaral beracun yang ada. Sekali
diaktifkan, larutan tid ak boleh disimpan lebih dari dua minggu.
Larutan harus dibuang jika menjadi keruh. Larutan glutaral
yang stabil yang tidak perlu diaktifkan telah diformulasikan
baru-baru ini. Bagaimanapun juga, data yang ada tidak cukup
untuk penggunaan mereka direkomendasikan. Larutan glutaral
mahal.
Hidrogen peroksida
Ini merupakan suatu disinfektan yang kuat karena aktivitasnya
dengan pelepasan oksigen. Penstrerilan dari peralatan bersih di
dalam larutan 6% menghasilkan disinfeksi tingkat tinggi dalam
waktu kurang dari30 menit. Larutan 6% harus disiapkan segera
sebelum digunakan dari larutan stabil 30% (1 bagian dari
larutan stabil 30% ditambahkan ke 4 bagian air yang mendidih).
Larutan pekat stabil 30% harus ditangani dan diangkut dengan
81
penuh kewaspadaan sebab bersifat korosif. Larutan harus
disimpan dalam suatu tempat yang dingin dan terlindung dari
cahaya. Hidrogen peroksida tidak cocok untuk digunakan di
suatu lingkungan yang panas. Sebab bersifat korosif, hidrogen
peroksida tidak boleh digunakan pada tembaga, alu minium,
kuningan atau seng.
Panduan lapangan untuk sterilisasi dan disinfeksi tingkat
tinggi: teknik yang efektif melawan HIV. Setelah pembersihan
yang seksama, alat-alat harus disterilkan dengan panas (uap air
atau panas kering). Jika sterilisasi tidak mungkin, disinfeksi
tingkat tinggi dengan pendidihan bisa diterima. Disinfeksi
kimiawi tidak boleh digunakan untuk jarum suntik dan spuite.
Disinfeksi kimiawi untuk pemotong kulit dan instrumen badah
lain hanya boleh kerjakan sebagai pilihan terakhir, dan h anya
jika konsentrasi yang sesuai dan ativitas bahan kimia dapat
dijamin dan jika instrumen telah dibersihkan secara seksama
sebelumnya dengan merendam dalam disinfektan kimiawi
ILO & WHO. 2005. Pedoman Bersama ILO/WHO Tentang Pelayanan Kesehatan dan
HIV/AIDS. Jakarta: Direktorat Pengawasan Kesehatan Kerja Direktorat Jenderal
Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
RI September 2005