Anda di halaman 1dari 33

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV / AIDS


2.1.1 DEFINISI
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah sekumpulan gejala
penyakit karena penurunan sistem kekebalan tubuh (Samsuridjal Djauzi, 2004).
Centers for Disease Control (CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa AIDS
ditujukan pada individu yang mengalami infeksi oportunistik, dimana individu tersebut
mengalami penurunan sistem imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang)
dan memiliki antibodi positif terhadap HIV. Kondisi lain yang sering muncul antara lain
demensia progresif, “wasting syndrome”, atau sarkoma kaposi (pada pasien berusia
lebih dari 60 tahun), kanker-kanker khusus lainnya (yaitu kanker serviks invasif) atau
diseminasi dari penyakit yang umumnya mengalami lokalisasi (misalnya, TB)
(Doengoes, 2000).
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk
dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan menggunakan RNA nya dan
DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang
panjang. Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik
laten), dan utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan
beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan
menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan diri. Dalam proses itu,
virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam 2007).

2.1.2 KLASIFIKASI
HIV terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa
menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan
HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Genom virus ini adalah RNA, yang mereplikasi
dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia
(Finch, Moss, Jeffries dan Anderson, 2007 ).
1. Stadium 1 : Periode Jendela
 HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibodi terhadap HIV dalam
darah
 Tidak ada tanda2 khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
 Test HIV belum dapat mendeteksi keberadaan virus ini
 Tahap ini disebut periode jendela, umumnya berkisar 1-6 bulan.
2. Stadium 2 : HIV Positif (tanpa gejala) rata-rata selama 5-10 tahun:
 HIV berkembang biak dalam tubuh
 Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
 Test HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah terbentuk
antibodi terhadap HIV
 Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya tahan
tubuhnya (rata-rata 8 tahun (di negara berkembang lebih pendek).
3. Stadium 3 : HIV Positif (muncul gejala)
 Sistem kekebalan tubuh semakin turun
 Mulai muncul gejala infeksi opportunistik, misalnya: pembengkakan kelenjar
limfa di seluruh tubuh, diare terus menerus, flu, dll
 Umumnya berlangsung selama lebih dari 1 bulan, tergantung daya tahan
tubuhnya
4. Stadium 4 : AIDS
 Kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah
 Berbagai penyakit lain (infeksi opportunistik) semakin parah
 Wasting (kehilangan berat badan secara drastis)
 Diare kronis.
2.1.3 ETIOLOGI
Agen penyebab AIDS yaitu HIV (human immunodeficiency virus). HIV
merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel dalam sistem imun, terutama sel
limfosit T CD4+, dan menyebabkan kerusakan progresif pada sel-sel tersebut. Partikel
infeksius HIV terdiri dari 2 rantai RNA dengan 1 protein inti, dikelilingi oleh selaput
lemak (lipid envelope) yang didapat dari sel host namun mengandung protein virus.
HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau
virus limfadenapati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili
lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam
deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV -1 dan HIV-2 adalah
lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh dunia.
Genom HIV mengode sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek siklus
hidup virus. Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan yaitu bahwa
protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya diganti oleh protein
Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan
duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan transkripsi virus. HIV-2,
yang pertama kali diketahui dalam serum dari para perempuan Afrika barat (warga
senegal) pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang
patogenik dibandingkan dengan HIV-1 (Sylvia, 2005)
2.1.4 PATOFISIOLOGI
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan
antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV
akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam
sepuluh tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel
target dalam waktu singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama.
Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih
yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel
serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian
menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut
CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker atau penanda
yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.Sel-
sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong.
Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem
kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya
membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV
menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh
dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui
3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memiliki limfosit
CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah
terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita
bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di
dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah
mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel
CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus
yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan
orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS,
jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL
darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang
menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang
berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami
penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi
oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh
virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam
mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan
sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode jendela” (window
period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih kurang 1-20
bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap positif (fase ini
disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang
lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai
menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10

tahun setelah diketahui HIV positif. (Heri : 2012)


2.1.5 MANIFESTASI KLINIS
Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara HIV
dan sistem imun :
1. Fase akut.
Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam,
ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik (Mitchell dan Kumar, 2007). Pada fase ini
terdapat produksi virus dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada
jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera
setelah hal itu terjadi, muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan
melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah pajanan)
dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia
mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya jumlah virus
dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus
berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan (Mitchell dan Kumar, 2007).

2. Fase kronis
Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar
sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien
tidak menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita
yang mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan (Candida) atau herpes zoster
(Mitchell dan Kumar, 2007). Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian
virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut. Namun, karena
kemampuan regenerasi sistem imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah
yang besar. Setelah melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan pejamu mulai
menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV
semakin meningkat (Mitchell dan Kumar, 2007).
3. Fase kritis
Tahap terakhir ini ditandai dengan
kehancuran pertahanan pejamu yang sangat
merugikan, peningkatan viremia yang nyata,
serta penyakit klinis. Para pasien khasnya
akan mengalami demam lebih dari 1 bulan,
mudah lelah, penurunan berat badan, dan
diare; jumlah sel CD4+ menurun di bawah 500
sel/µL. Setelah adanya interval yang berubah-
ubah, para pasien mengalami infeksi
oportunistik yang serius, neoplasma sekunder
dan atau manifestasi neurologis (disebut
dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika
kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak
muncul, pedoman CDC yang digunakan saat
ini menentukan bahwa seseorang yang
terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang
atau sama dengan 200 sel/µL sebagai
pengidap AIDS (Mitchell dan Kumar, 2007).

Menurut Barakbah et al (2007) hampir


semua orang yang terinfeksi HIV, jika tidak
diterapi, akan berkembang menimbulkan
gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.
1. Gejala Konstitusi
Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita mengalami
paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut
berupa:
a. Demam terus menerus lebih dari 37°C.
b. Kehilangan berat badan 10% atau lebih.
c. Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di
luar daerah inguinal.
d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus.
2. Gejala Neurologi
Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beranekaragam seperti kelemahan
otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa,
psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang otak).
3. Gejala Infeksi
Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan penderita sudah sangat
lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi, misalnya:
a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)
PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada penderita AIDS
(80%). Disebabkan parasit sejenis protozoa yang pada keadaan tanpa infeksi HIV
tidak menimbulkan sakit berat. Pada penderita AIDS, protozoa ini berkembang pesat
sampai menyerang paru-paru yang mengakibatkan pneumonia. Gejala yang
ditimbulkannya adalah batuk kering, demam dan sesak nafas. Pada pemeriksaan
ditemukan ronkhi kering. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya P.carinii pada
bronkoskopi yang disertai biopsi transbronkial dan lavase bronkoalveolar
(Murtiastutik, 2008).
b. Tuberkulosis
Infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada penderita AIDS sering mengalami
penyebaran luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten terhadap
obat anti tuberkulosis yang biasa. Gambaran klinis TBC pada penderita AIDS tidak
khas seperti pada penderita TBC pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tubuh
sudah tidak mampu bereaksi terhadap kuman. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
hasil kultur(Murtiasatutik, 2008).
c. Toksoplasmosis
Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi Toxoplasma gondii,
yang sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala dapat berupa sakit kepala dan
panas, sampai kejang dan koma. Jarang ditemukan toksoplasmosis di luar otak.
d. Infeksi Mukokutan.
Herpeks simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oris merupakan penyakit paling
sering ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul satu jenis atau beberapa jenis
secara bersama. Sifat kelainan mukokutan ini persisten dan respons terhadap
pengobatan lambat sehingga sering menimbulkan kesulitan dalam
penatalaksanaannya (Murtiastutik,2008).
e. Gejala Tumor
Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalam Sarkoma Kaposi dan
limfoma maligna non-Hodgkin (Murtiastutik,2008).
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO
dan atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat
bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor dan
satu gejala minor (Nasronudin, 2007).

Gejala Mayor dan Minor pada Pasien HIV & AIDS (Nasronudin, 2007)
Gejala mayor : Gejala minor:
 Berat badan menurun lebih dari  Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
10% dalam 1 bulan.  Dermatitis generalisata yang gatal.
 Diare kronik berlangsung > 1  Herpes Zoster multisegmental dan atau berulang.
bulan.  Kandidiasis orofaringeal.
 Demam berkepanjangan > satu  Herpes simpleks kronis progresif.
bulan.  Limfadenopati generalisata.
 Penurunan kesadaran dan  Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
gangguan neurologis.
 Retinitis oleh virus sitomegalo
 Demensia/ensefalopati HIV.
Tanda dan Gejala menurut WHO :
Stadium Klinis I : Stadium Klinis III :
1. Asimtomatik (tanpa gejala) 1. Berat badan turun > 10%
2. Limfadenopati Generalisata 2. Diare berkepanjangan > 1 bulan
3. Jamur pada mulut
(pembesaran kelenjar getah
4. TB Paru
bening/limfe seluruh tubuh) 5. Infeksi bakterial berat
3. Skala Penampilan 1: 6. Skala Penampilan 3 : < 50% dalam masa 1
asimtomatik, aktivitas normal. bulan terakhir terbaring
Stadium Klinis II : Stadium Klinis IV :
1. Berat badan berkurang < 10% 1. Kelemahan
2. Manifestasi mukokutaneus ringan 2. Jamur pada mulut dan kerongkonga
3. Radang paru-paru (PCP), TB Ekstra Paru
(kelainan selaput lendir dan
4. Radang saluran pencernaan (Diare
kulit) : gatal-gatal, jamur,
kriptosporidiosis > 1 bulan)
sariawan pada sudut mulut 5. Kanker kulit (Sarcoma Kaposi)
3. Herpes zoster 6. Radang Otak (Toksoplasmosis, Ensefalopati
4. Infeksi saluran napas bagian atas
HIV)
yang berulang 7. Skala Penampilan 4 : terbaring di tempat tidur
5. Skala Penampilan 2 : simtomatik,
> 50% dalam masa 1 bulan terakhir.
aktivitas normal.

2.1.6 TRANSMISI HIV


HIV ditransmisikan dalam cairan tubuh yang mengandung HIV dan/atau sel T CD4+
yang terinfeksi. Cairan tubuh ini termasuk darah, cairan semen, sekresi vagina, cairan
amnion, dan ASI. Transmisi HIV melalui tiga rute mayor, yaitu (Arif, 2000):
1) Kontak seksual
Kontak seksual merupakan penyebab tersering transmisi HIV, baik antara pasangan
heteroseksual maupun antara pasangan homoseksual. Hubungan seksual, dengan risiko
penularan 0,1-1% tiap hubungan seksual
2) Transmisi dari ibu ke bayi
Transmisi dari ibu ke bayi merupakan mayoritas penyebab kasus AIDS pada anak.
 Selama kehamilan
 Saat persalinan, risiko penularan 50%
 Melalui air susu ibu(ASI)14%
3) Transfuse darah dan produk darah yang terinfeksi HIV
 Transfusi darah yang mengandung HIV, risiko penularan 90-98%
 Tertusuk jarum yang mengandung HIV, risiko penularan 0,03%
 Terpapar mukosa yang mengandung HIV,risiko penularan 0,0051%

2.1.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Diagnosis infeksi HIV tergantung pada adanya antibodi HIV dan/atau deteksi langsung
HIV, atau salah satu dari metode tersebut.
1) Pemeriksaan antibody HIV
Ketika seseorang terinfeksi HIV, tubuh akan merespon dengan memproduksi antibody
spesifik untuk antigen HIV.
Antibodi ini secara umum
terdapat dalam sirkulasi dalam
2-12 minggu setelah infeksi.
Terdapat 2 metode untuk
mendeteksi adanya antibody
dalam darah pasien, yaitu
ELISA dan Western blot.
Interpretasi hasil pemeriksaan
ini yaitu:
a. Interpretasi hasil
Algoritma penggunaan pemeriksaan serologis untuk mendeteksi infeksi HIV-1
pemeriksaan positif
dan HIV-2
 Terdapat antibody HIV pada darah pasien (pasien terinfeksi HIV, dan tubuh
telah memproduksi antibody)
 HIV aktif dalam tubuh dan pasien dapat menularkannya pada orang lain
 Selain infeksi HIV, pasien belum tentu menderita AIDS
 Pasien tidak kebal terhadap AIDS (antibody tidak mengindikasikan kekebalan)
b. Interpretasi hasil pemeriksaan negatif
 Antibody HIV tidak terdapat dalam darah pasien saat ini. Terdapat dua
kemungkinan:
o Pasien tidak terinfeksi HIV
o Pasien terinfeksi, namun tubuh belum membentuk antibody terhadap
HIV
 Pasien harus terus melakukan tindakan pencegahan. Hasil pemeriksaan ini
tidak menunjukkan pasien kebal terhadap HIV atau pasien terinfeksi HIV, tetapi
hanya tubuh belum memproduksi antibody terhadap HIV.
2) Viral Load
Menghitung level atau kadar RNA atau DNA dari HIV. Metode ini meliputi PCR
(polymerase chain reaction), RT-PCR (reverse transcriptase polymerase chain reaction),
dan NASBA (nucleic acid sequence based amplification). Viral load tes yang banyak
digunakan yaitu untuk menghitung kadar RNA HIV dalam plasma. Saat ini viral load test
banyak digunakan untuk mengetahui respon terhadap terapi infeksi HIV. RT-PCR juga
digunakan untuk mendeteksi HIV pada individu dengan risiko tinggi infeksi HIV sebelum
pembentukan antibody, untuk konfirmasi EIA positif, dan untuk skrining neonates.

Hitung sel T CD4+


Hitung sel T CD4+ merupakan pemeriksaan laboratorium sebagai indikator status
imunologi pasien dengan infeksi HIV. Pengukuran ini, yang dapat dilakukan secara langsung
ataudihitung sebagai produk % sel T CD4+ (dengan metode flow cytometry) dan hitung total
limfosit (ditentukan dengan WBC dan persen diferensial) telah diketahui berhubungan
dengan status imunologi. Pasien dengan hitung sel T CD4+ <200/L berisiko tinggi terhadap
infeksi P. jiroveci, sedangkan pasien dengan hitung sel T CD4+ <50/L berisiko tinggi
terhadap infeksi CMV, mycobacteria M. avium complex, dan/atau T. gondii. Pasien dengan
infeksi HIV harus melakukan pengukuran sel T CD4+ pada saat didiagnosis dan setiap 3-6
bulan setelahnya.
Hasil hitung sel T CD4+ <350/L merupakan indikasi untuk terapi ARV, dan penurunan
hitung sel T CD4+ >25% merupakan indikasi untuk perubahan terapi. Jika hitung sel T CD4+
<200/L, pasien harus menerima regimen terapi profilaksis P.jiroveci, dan jika <50/L,
profilaksis untuk MAC.

Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan


diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid)
penderita.
1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan teknik ELISA
yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno). Biasanya memberikan hasil positif
2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan antigen recombinan, yang sangat
spesifik terhadap envelope dan core (Hanum, 2009).
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein
dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya protein HIV yang
digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti
gp120 dan gp41 (Kresno, 2001). Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% -
100%. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Hanum,
2009).
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal
masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun status infeksi
individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-
2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2 (Kresno, 2001).
Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan imunophenotyping yaitu dengan
flow cytometry dan cell sorter. Prinsip flowcytometry dan cell sorting (fluorescence
activated cell sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifasi
karakteristik permukaan setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada
dalam suatu suspensi menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu
celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser
menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel
bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel manapun yang terdapat di
dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai.
Dengan demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan
menghitung jumlah masing-masing dalam suatu populasi campuran (Kresno, 2001).

2.1.8 PENATALAKSANAAN
Beberapa strategi potensial yang secara spesifik ditujukan untuk mengganggu siklus
HIV antara lain:
 Menghamba virus untuk berikatan dengan reseptor sel T CD4+
 Mengganggu proses “uncoating” virus dalam sel, tahap pertama yang penting dalam
integrasi virus pada DNA host
 Menghambat reverse transcriptase
 Memblok protein regulatori dan transactivating protein, yang terlibat dalam transkripsi
serta translasi RNA virus dari DNA provirus
 Menghambat protease, enzim virus yang bertanggung jawab dalam perlekatan virus
dengan membran sel host
 Menghambat pelepasan virus baru dari sel host

 Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu (Endah
Istiqomah : 2009) :
a. Obat antiretroviral adalah obat yang dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna
menghambat perkembang-biakan virus. Obat-obat antiretrovirus yang diunakan
adalah:
1) Golongan obat anti-HIV pertama adalah nucleoside reverse transcriptase
inhibitor atau NRTI, juga disebut analog nukleosida. Obat golongan ini
menghambat bahan genetik HIV dipakai untuk membuat DNA dari RNA. Obat
dalam golongan ini yang disetujui di AS dan masih dibuat adalah:
 3TC (lamivudine)  d4T  ddI (didanosine)
 Abacavir (ABC) (stavudine)  Emtricitabine
 AZT (ZDV,  Tenofovir (FTC)
zidovudine) (TDF; analog
nukleotida)
2) Golongan obat lain menghambat langkah yang sama dalam siklus hidup HIV, tetapi
dengan cara lain. Obat ini disebut non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau
NNRTI. Empat NNRTI disetujui di AS:
 Delavirdine (DLV)  Etravirine (ETV)
 Efavirenz (EFV)  Nevirapine (NVP)
3) Golongan ketiga ARV adalah protease inhibitor (PI). Obat golongan ini
menghambat langkah kesepuluh, yaitu virus baru dipotong menjadi potongan
khusus. Sembilan PI disetujui dan masih dibuat di AS:
 Atazanavir (ATV)  Lopinavir (LPV)  Saquinavir
 Darunavir (DRV)  Nelfinavir (NFV) (SQV)
 Indinavir (IDV)
 Fosamprenavir (FPV)  Ritonavir (RTV)
4) Golongan ARV keempat adalah entry inhibitor. Obat golongan ini mencegah
pemasukan HIV ke dalam sel dengan menghambat langkah kedua dari siklus
hidupnya. Dua obat golongan ini sudah disetujui di AS:
 Enfuvirtide (T-20)
 Maraviroc (MVC)
5) Golongan ARV terbaru adalah integrase inhibitor (INI). Obat golongan ini
mencegah pemaduan kode genetik HIV dengan kode genetik sel dengan
menghambat langkah kelima dari siklus hidupnya. Obat INI pertama adalah:
Raltegravir (RGV)
b. Obat infeksi oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang mungkin
didapat karena sistem kekebalan tubuh sudah rusak atau lemah. Sedangkan obat
yang bersifat infeksi oportunistik adalah Aerosol Pentamidine, Ganciclovir, Foscamet.
 Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012)
a. Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:
 Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor stres,
aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk
setiap kenaikan Suhu 1°C.
 Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan
sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan
hati.
 Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak
disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak, digunakan
lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain Triglyceride/MCT). Minyak ikan
(asam lemak omega 3) diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi
kekebalan.
 Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi yang di
anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium, Seng
dan Selenium. Bila perlu dapat ditambahkan suplemen, tapi megadosis harus
dihindari karena menekan kekebalan tubuh.
 Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
 Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan gangguan
fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap dengan
konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick
fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin fluid).
 Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti (natrium,
kalium dan klorida).
 Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini sebaiknya
dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat kondisi dan
toleransi pasien. Apabila terjadi penurunan berat badan yang cepat, maka
dianjurkan pemberian makanan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama
atau makanan selingan.
 Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.
 Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik, termik,
maupun kimia.
b. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral,
enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan secara oral sebaiknya dievaluasi
secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan enteral atau
parental sebagai tambahan atau sebagai makanan utama. Ada tiga macam diet AIDS
yaitu Diet AIDS I, II dan III.
1) Diet AIDS I
Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala panas tinggi,
sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran menurun,
atau segera setelah pasien dapat diberi makan.Makanan berupa cairan dan
bubur susu, diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien,
dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan
dalam bentuk sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dan makanan
sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri atau menggunakan makanan
enteral komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi,
tiamin dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat ditambahkan
glukosa polimer (misalnya polyjoule).
2) Diet AIDS II
Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap akut
teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap 3 jam.
Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk memenuhi kebutuhan
energy dan zat gizinya, diberikan makanan enteral atau sonde sebagai
tambahan atau sebagai makanan utama.
3) Diet AIDS III
Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada pasien
dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa, diberikan
dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energy, protein, vitamin dan mineral.
Apabila kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih terjadi penurunan
berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai makanan
tambahan atau makanan utama.

2.1.9 PENCEGAHAN
Upaya pencegahan infeksi HIV sangat penting untuk mengontrol dan mencegah epidemi HIV.
Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
 Tidak berganti-ganti pasangan  Menggunakan kondom jika melakukan
seksual hubungan berisiko tinggi
 Melakukan abstinensi seks /  Skrining darah dan produk darah untuk
melakukan hubungan kelamin dengan transfusi
 Hindari transfusi darah yang tidak jelas
pasangan yang tidak terinfeksi.
 Memeriksa adanya virus paling sumbernya
 Gunakan alat-alat medis dan nonmedis yang
lambat 6 bulan setelah hubungan
terjamin steril
seks terakhir yang tidak terlindungi
2.1.10 KOMPLIKASI
Adapun komplikasi klien dengan HIV/AIDS (Arif Mansjoer, 2000 ) antara lain :
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan
berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
a. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency
Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan
motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.
b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala,
malaise, demam, paralise, total / parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.
d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci
Virus (HIV).
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal
dan diare.
4. Respirasi
a. Pneumonia Pneumocystis (PCP)  Pada umumnya 85% infeksi opportunistik pada
AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering,
sakit bernafas dalam dan demam.
b. Cytomegalo Virus (CMV)  Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial
pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan
penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.
c. Mycobacterium Avilum  Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir
dan sulit disembuhkan.
d. Mycobacterium Tuberculosis  Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi
miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru.
5. Dermatologik  Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies, dan dekubitus dengan efek nyeri,gatal,rasa
terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik
 Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
 Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan
efek nyeri.
DAFTAR PUSTAKA

1. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 2006.
2. Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rd edition. New York. 2000 : 482-90.
3. Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
4. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency
(HIV)/AcquiredImmunodeficiencySindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 1.Edisi 6. Jakarta: EGC,2006.
5. Profesor.dr.H. Jusf Misbach, dkk. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. Neurologi. Jakarta :
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.
6. Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice Medicine.
Januari 2003.
7. Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
2001.
8. Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and Acquired
Immunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz. 2003:955 -89.
9. Mansjoer, Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta : Media Sculapius
10. Marilyn , Doenges , dkk . 1999 . Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien . Jakarta : EGC
11. Price , Sylvia A dan Lorraine M.Wilson . 2005 . Patofissiologis Konsep Klinis Proses –
Proses Penyakit . Jakarta : EGC
UNIVERSAL PRECAUTION

Alat pelindung diri ( APD ) adalah seperangkat alat


yang digunakan oleh tenaga kerja untuk melindungi
seluruh atau sebagian tubuhnya terhadap
kemungkinan adanya potensi bahaya atau kecelakaan
kerja merupakan suatu kejadian yang tidak terduga
dan tidak diharapkan, biasanya kecelakaan
menyebabkan kerugian material dan penderitaan dari
yang paling ringan sampai yang paling berat ( Safety
2008 ). Safety 2008. Pengendalian Kesehatan Dan
Kesekamatan Kerja Di Rumah Sakit;Surabaya
Melihat tingginya risiko terhadap gangguan
kesehatan di rumah sakit, maka perlu dilakukan
upaya-upaya pencegahan terhadap kejadian penyakit
atau traumatic akibat lingkungan kerja dan faktor
manusianya. Salah satu diantaranya adalah
penggunaan alat perlindungan diri (APD).
Kemampuan perawat untuk mencegah transmisi
infeksi di rumah sakit dan upaya pencegahan adalah
tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan
bermutu. Perawat berperan dalam pencegahan infeksi
nosokomial, hal ini disebabkan perawat merupakan
salah satu anggota tim kesehatan yang berhubungan
langsung dengan klien dan bahan infeksius di ruang
rawat (Habni, 2009).
Menurut Kusmiyati (2009), faktor yang
mempengaruhi rendahnya perilaku perawat dalam
tindakan universal precautions yaitu : Pengetahuan,
sikap, ketersediaan sarana alat pelindung diri dan
motivasi perawat. Ketidak patuhan atau keengganan
petugas untuk melakukan prosedur universal
precautions adalah karena dianggap terlalu
merepotkan dan tidak nyaman. Tugas perawat yang
sangat banyak juga menjadi faktor lain menyebabkan
perawat sulit untuk menerapkan universal
precautions. Kusmiyati. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penggunaan alat pelindung diri http:
//digilib.unimus.ac.id/files/disk1/134/jtptunim
us-gdl gunawannim -6663-2-babi.pdf diakses
tanggal 9 juni 2014

Alat Pelindung Diri (APD) adalah seperangkat alat keselamatan yang


digunakan oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari
kemungkinan adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Alat Pelindung Diri (APD) perlu sebelumnya dipilih secara hati-hati agar dapat
memenuhi beberapa ketentuan yang diperlukan,(BPP Semester V, 2008)yaitu :
a. Alat Pelindung Diri(APD)harus dapat memberikan perlindungan yang adekuat
terhadap bahaya yang spesifik atau bahaya-bahaya yang dihadapi oleh tenaga
kerja.
b. Berat alatnya hendaknya seringan mungkin, dan alat tersebut tidak menyebabkan
rasa ketidaknyamanan yang berlebihan.
c. Alat harus dapat dipakai secara fleksibel.
d. Bentuknya harus cukup menarik.
e. Alat pelindung tahan untuk pemakaian yang lama.
f. Alat tidak menimbulkan bahaya-bahaya tambahan bagi pemakainya, yang
dikarenakan bentuknya yang tidak tepat atau karena salah dalam penggunaanya.
g. Alat pelindung harus memenuhi standar yang telah ada.
h. Alat tersebut tidak membatasi gerakan dan presepsi sensoris pemakainya.
i. Suku cadangnya mudah didapat guna mempermudah pemeliharaannya.
6. Pemilihan Alat Pelindung Diri (APD)
Pemakaian APD yang tidak tepat dapat mencelakakan tenaga kerja yang
memakainya, bahkan mungkin lebih membahayakan dibandingkan tanpa memakai
APD. Oleh karena itu agar dapat memilih APDyang tepat, maka perusahaan harus
mampu mengidentifikasi bahaya potensial yang ada, khususnya yang tidak dapat
dihilangkan ataupun dikendalikan.
a. Macam-macam Alat Pelindung Diri (APD)
Alat Pelindung Diri (APD) ada berbagai macam yang berguna untuk
melindungi seseorang dalam melakukan pekerjaan yang fungsinya untuk
mengisolasi tubuh tenaga kerja dari potensi bahaya di tempat kerja. Berdasarkan
fungsinya, ada beberapa macam APD yang digunakan oleh tenaga kerja, antara
lain (Tarwaka, 2008) :
1. Alat Pelindung Kepala(Headwear)
Alat pelindung kepala ini digunakan untuk mencegah dan melindungi
rambut terjerat oleh mesin yang berputar dan untuk melindungi kepala dari
bahaya terbentur benda tajam atau keras, bahaya kejatuhan benda atau
terpukul benda yang melayang, melindungi jatuhnya mikroorganisme,
percikan bahan kimiakorosif, panas sinar mataharidll. Jenis alat pelindung
kepala antara lain:
a) Topi pelindung (Safety Helmets)
Alat ini berfungsi untuk melindungi kepala dari benda-benda keras
yang terjatuh, benturan kepala, terjatuh dan terkena arus listrik. Topi pelindung harus
tahan terhadap pukulan, tidak mudah terbakar, tahan
terhadap perubahan iklim dan tidak dapat menghantarkan arus listrik. Topi
pelindung dapat terbuat dari plastik (Bakelite), serat gelas (fiberglass)
maupun metal.
b) Tutup kepala
Alat ini berfungsi untuk melindungi/mencegah jatuhnya
mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala petugas terhadap alatalat/daerah
steril dan percikan bahan-bahan dari pasien. Tutup kepala ini
biasanya terbuat dari kain katun.(PK3 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, 2006)
c) Topi/Tudung
Alat ini berfungsi untuk melindungi kepaladari api, uap-uap korosif,
debu, dan kondisi cuaca buruk. Tutup kepala ini biasanya terbuat dari
asbestos, kain tahan api/korosi, kulit dan kain tahan air.
2. Alat Pelindung Mata
Alat pelindung mata digunakan untuk melindungi mata dari percikan
bahan kimia korosif, debu dan partikel-partikel kecil yang melayang di udara,
gas atau uap yang dapat menyebabkan iritasi mata, radiasi gelombang
elegtromagnetik, panas radiasi sinar matahari, pukulan atau benturan benda
keras, dll. Jenis alat pelindung mata antara lain:
a) Kaca mata biasa (spectacle goggles)
Alat ini berfungsi untuk melindungi mata dari partikel-partikel kecil,
debu dan radiasi gelombang elegtromagnetik.
b) Goggles
Alat ini berfungsi untuk melindungi mata dari gas, debu, uap, dan
percikan larutan bahan kimia. Goggles biasanya terbuat dari plastik
transparan dengan lensa berlapis kobalt untuk melindungi bahaya radiasi
gelombang elegtromagnetik mengion.
3. Alat Pelindung Pernafasan(Respiratory Protection)
Alat pelindung pernafasan digunakan untuk melindungi pernafasan
dari resiko paparan gas, uap, debu, atau udara terkontaminasi atau beracun,
korosi atau yang bersifat rangsangan. Sebelum melakukan pemilihan terhadap
suatu alat pelindung pernafasan yang tepat, maka perlu mengetahui informasi
tentang potensi bahaya atau kadar kontaminan yang ada di lingkungan kerja.
Hal-hal yang perlu diketahui antara lain:
a) Bentuk kontaminan di udara, apakah gas, uap, kabut, fume, debu atau
kombinasi dari berbagai bentuk kontaminan tersebut.
b) Kadar kontaminan di udara lingkungan kerja.
c) Nilai ambang batas yang diperkenankan untuk masing-masing
kontaminan.
d) Reaksi fisiologis terhadap pekerja, seperti dapat menyebabkan iritasi mata
dan kulit.
e) Kadar oksigen di udara tempat kerja cukup tidak, dll.
Jenis alat pelindung pernafasan antara lain:
1) Masker
Alat ini digunakan untuk mengurangi paparan debu atau partikelpartikel yang lebih
besar masuk kedalam saluran pernafasan.
2) Respirator
Alat ini digunakan untuk melindungi pernafasan dari paparan debu,
kabut, uap logam, asap, dan gas-gas berbahaya. Jenis-jenis respirator ini
antara lain:
a. Chemical Respirator
Merupakan catridge respirator terkontaminasi gas dan uap dengan
tiksisitas rendah. Catridge ini berisi adsorban dan karbon aktif, arang dan
silicagel. Sedangkan canister digunakan untuk mengadsorbsi khlor dan
gas atau uap zat organik.
b. Mechanical Filter Respirator
Alat pelindung ini berguna untuk menangkap partikel-partikel zat
padat, debu, kabut, uap logam dan asap. Respirator ini biasanya
dilengkapi dengan filter yang berfungsi untuk menangkapdebu dan kabut
dengan kadar kontaminasi udara tidak terlalu tinggi atau partikel yang
tidak terlalu kecil. Filter pada respirator ini terbuat dari fiberglas atau wol
dan serat sintetis yang dilapisi dengan resin untuk memberi muatan pada
partikel.
4. Alat Pelindung Tangan(Hand Protection)
Alat pelindung tangan digunakan untuk melindungi tangan dan bagian
lainnya dari benda tajam atau goresan, bahan kimia, benda panas dan dingin,
kontak dengan arus listrik. Jenis alat pelindung tangan antara lain:
1) Sarung tangan bersih
Sarung tangan bersih adalah sarung tangan yang di disinfeksi tingkat
tinggi, dan digunakan sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir
misalnya tindakan medik pemeriksaan dalam, merawat luka terbuka. Sarung
tangan bersih dapat digunakan untuk tindakan bedah bila tidak ada sarung
tangan steril.(PK3 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, 2006)
2) Sarung tangan steril
Sarung tangan steril adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus
digunakan pada tindakan bedah. Bila tidak tersedia sarung tangan steril baru
dapat digunakan sarung tangan yang didisinfeksi tingkat tinggi.(PK3 RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta, 2006)
3) Sarung tangan rumah tangga (gloves)
Sarung tangan jenis ini bergantung pada bahan-bahan yang digunakan:
a. Sarung tangan yang terbuat dari bahan asbes, katun, wool untuk
melindungi tangan dari api, panas, dan dingin.
b. Sarung tangan yang terbuat dari bahan kulit untuk melindungi tangan dari
listrik, panas, luka, dan lecet.
c. Sarung tangan yang terbuat dari bahan yang dilapisi timbal (Pb) untuk
melindungi tangan dari radiasi elegtromagnetik dan radiasi pengion.
d. Sarung tangan yang terbuat dari bahan karet alami (sintetik) untuk
melindungi tangan dari kelembaban air, zat kimia.
e. Sarung tangan yang terbuat dari bahan poli vinyl chlorida (PVC) untuk
melindungi tangan dari zat kimia, asam kuat, dan dapat sebagai oksidator.
(PK3 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, 2006)
5. BajuPelindung(Body Potrection)
Baju pelindung digunakan untuk melindungi seluruh atau sebagian
tubuh dari percikan api, suhu panas atau dingin,cairan bahan kimia, dll. Jenis
baju pelindung antara lain:
1) Pakaian kerja
Pakaian kerja yang terbuat dari bahan-bahan yang bersifat isolasi
seperti bahan dari wool, katun, asbes, yang tahan terhadap panas.
2) Celemek
Pelindung pakaian yang terbuat dari bahan-bahan yang bersifat kedap
terhadap cairan dan bahan-bahan kimia seperti bahan plastik atau karet.
3) Apron
Pelindung pakaian yang terbuat dari bahan timbal yang dapat
menyerap radiasi pengion.
6. Alat Pelindung Kaki(Feet Protection)
Alat pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dan bagian
lainnya dari benda-benda keras, benda tajam, logam/kaca, larutan kimia,
benda panas, kontak dengan arus listrik. Jenis alat pelindung kaki(PK3 RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta, 2006)antara lain:
1) Sepatu steril
Sepatu khusus yang digunakan oleh petugas yang bekerja di ruang
bedah, laboratorium, ICU, ruang isolasi, ruang otopsi.
2) Sepatu kulit
Sepatu khusus yang digunakan oleh petugas pada pekerjaan yang
membutuhkan keamanan oleh benda-benda keras, panas dan berat, serta
kemungkinan tersandung, tergelincir, terjepit, panas, dingin.
3) Sepatu boot
Sepatu khusus yang digunakan oleh petugas pada pekerjaan yang
membutuhkan keamanan oleh zat kimia korosif, bahan-bahan yang dapat
menimbulkan dermatitis, dan listrik.
7. Alat Pelindung Telinga(Ear Protection)
Alat pelindung telinga digunakan untuk mengurangi intensitas suara
yang masuk ke dalam telinga. Jenis alat pelindung telinga antara lain:
1) Sumbat telinga(Ear plug)
Ukuran dan bentuk saluran telinga tiap-tiap individu dan bahkan
untuk kedua telinga dari orang yang sama adalah bebeda. Untuk itu sumbat
telinga (Ear plug) harus dipilih sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
ukuran dan bentuk saluran telinga pemakainya. Pada umumnya diameter
saluran telinga antara 5-11 mm dan liang telinga pada umumnya berbentuk
lonjong dan tidak lurus. sumbat telinga (Ear plug) dapat terbuat dari kapas,
plastik, karet alami dan bahan sintetis. Untuk Ear plug yang terbuat dari
kapas, spons, dan malam (wax) hanya dapat digunakan untuk sekali pakai
(Disposable). Sedangkan yang terbuat dari bahan karet plastik yang dicetak
dapat digunakan berulang kali (Non Disposable). Alat ini dapat mengurangi
suara sampai 20 dB.
2) Tutup telinga (Ear muff)
Alat pelindung tangan jenis ini terdiri dari dua buah tutup telinga dan
sebuah headband. Isi dari tutup telinga dapat berupa cairan atau busa yang
berfungsi untuk menyerap suara frekuensi tinggi. Pada pemakaian untuk
waktu yang cukup lama, efektivitas ear muff dapat menurun karena
bantalannya menjadi mengeras dan mengerut sebagai akibat reaksi dari
bantalan dengan minyak dan keringat pada permukaan kulit. Alat ini dapat
mengurang intensitas suara sampai 30 dB dan juga dapat melindungi bagian
luar telinga dari benturan benda keras atau percikan bahan kimia.
8. Sabuk PengamanKeselamatan (Safety Belt)
Alat pelindung tangan digunakan untuk melindungi tubuh dari
kemungkinan terjatuh dari ketinggian, seperti pada pekerjaan mendaki,
memanjat dan pada pekerjaan konstruksi bangunan.
b. Syarat-syarat Alat Pelindung Diri (APD)
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh APD agar dalam
pemakaiannya dapat memberikan perlindungan yang maksimal.
Menurut ILO (1989) dari beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh
semua jenis peralatan pelindung, maka hanya dua yang terpenting yaitu:
1) Apapun sifat dan bahayanya, peralatan atau pakaian harus memberikan cukup
perlindungan terhadap bahaya tersebut.
2) Peralatan atau pakaian harus ringan dipakainya dan awet dan membuat rasa
kurang nyaman sekecil mungkin, tetapi memungkinkan mobilitas, penglihatan
dan sebagainya yang maksimum.
7. Peraturan Perundangan
a. Kewajiban dalam penggunaan APD di tempat kerja yang mempunyai resiko
terhadap timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja telah diatur didalam
Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Pasal-pasal yang
mengatur tentang penggunaan APDantara lain:
Pasal 3 ayat 1 sub f, menyebutkan bahwa ”Dengan peraturan perundangan
ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk memberikan alat-alat pelindung
diri pada pekerja”.
Pasal 9 ayat 1 sub c, menyebutkan bahwa ”Pengurus diwajibkan
menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang, alat–alat
pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan”.
Pasal 12 sub b, menyebutkan bahwa ”Dengan peraturan perundangan
diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk, memakai alat-alat pelindung
diri yang diwajibkan”.
Pasal 14 sub c, menyebutkan bahwa ”Pengurus diwajibkan menyediakan
secara cuma-cuma, semua alat pelindung diri yang diwajibkan pada tenaga kerja
yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang
memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang
diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja.
b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 1/MEN/1981 tentang
Kewajiban Melaporkan Penyakit Akibat Kerja.
Pasal 4 ayat 3 menyebutkan bahwa pengurus wajib menyediakan secara
cuma-cuma semua alat perlindungan diri yang diwajibkan penggunaannya oleh
tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya untuk pencegahan penyakit
akibat kerja.
Pasal 5 ayat 2 menyebutkan bahwa tenaga kerja harus memakai alat-alat
perlindungan diri yang diwajibkan untuk pencegahan penyakit akibat kerja.

PEMBERSIHAN, DISINFEKSI DAN STERILISASI PERALATAN


Tergantung pada penggunaan, ada tiga tingkat pembersihan,
disinfeksi dan sterilisasi peralatan:
(a) bila peralatan hanya digunakan untuk kontak dengan kulit
yang utuh, hanya diperlukanpembersihan;
(b) bila peralatan harus kontak dengan lapisan mukosa atau
terkontaminasi dengan darah, dia memerlukan pembersihan
dan disinfeksi tingkat tinggi;
(c) bila peralatan kontak dengan jaringan normal yang tidak
terinfeksi, dia memerlukan pembersihan dan sterilisasi.
Pembersihan harus selalu mendahului disinfeksi dan
sterilisasi. Pembersihan harus dilakukan den gan deterjen dan
air yang cukup,dan:
(i) sarung tangan harus dipakai selama pembersihan;
(ii) alat-alat harus dicuci dan digosok untuk mengangkat
semuakontaminasi yang tampak, bila mungkin dengan
cara-cara mekanik seperti mesin cuci piring; harus hatihati selama pembersihan untuk
menghindari percikan;
(iii) pelindung mata harus dipakai bila percikan mungkin
terjadi.
Penggunaan yang tidak benar dari bebe rapa disinfektan
potensial berbahaya, dan instruksi pada label dan dalam
lembar data keselamatan bahan harus diikuti. Peralatan sterilisasi harus digunakan sesuai
dengan instruksi dan setelah
memberikan pelatihan yang memadai.

PEMBERSIHAN TUMPAHAN DARAH


Tumpahan darah harus dinilai dan ditangani segera. Waktu
membersihkan ceceran darah:
(a) sarung tangan yang sesuai harus dipakai;
(b) bahan penyerap seperti lap kertas, kain atau serb uk
gergaji, harus digunakan untuk m enyerap darah atau cairan
tubuh;
(c) semua bahan harus disimpan dalam kantong sampah yang
anti bocor setelah digunakan;
(d) daerah tersebut kemudian harus dibersihkan dan
disinfeksi menggunakan bahan disinfeksi yang sesuai;
(e) tumpahan besar dapat disiram dengan air oleh pekerja
yang menggunakan pakaian pelindung ;
(f) pekerja harus didorong untuk melaporkan semua kejadian
pajanan.

CARA STERILISASI DAN DISINFEKSI TINGKAT TINGGI


Prinsip -prinsip umum
Dalam praktek klinis, peralatan yang terkontaminasi, pakaian
dll, dapat menyebarkan berbagai macam mikro-organisme yang
memiliki tingkat kerentanan yang berbeda- beda untuk di nonaktifkan. Sterilisasi dapat me
-nonaktifkan bahkan bakteri
endospora yang resisten. Metode disinfeksi yang
direkomendasikan disini tidak dapat me- nonaktifkan spora
tetapi dapat me-nonaktifkan organisme yang mungkin
ditemukan. Walaupun pedoman ini memuat secara khusus
tentang HIV danVHB, juga menekank an bahwa pat ogen lain
mungkin timbul ,dan metode sterilisasi panas adalah cara yang
lebih disukai dalam rangka dekontaminasi. Instrumen yang
digunakan untuk menembus kulit dan memasuki daerah badan
yang biasanya steril , jugaharus disterilkan.
Instruksi-instruksi dari pihak pembuat harus di perhatikan
tentang kesesuaian bahan-bahan dengan metode sterilisasi atau
disinfeksi yang lebih disukai. Peralatan yang digunakan untuk
sterilisasi atau disinfeksi harus ditempatkan dalam suatu
instalasi, diperbaiki dan d irawat serta diperiksa secara regular
sesuai dengan instruksi pembuatnya dan peraturan dan standar
nasional yang relevan, atau pedoman internasional yang diakui.
Dalam semua kasus, pencucian menyeluruh harus mendahului
sterilisasi atau disinfeksi perangkat atau peralatan. Pekerja
yang bertugas disini harus menggunakan pakaian pelindung yang
sesuai termasuk didalamnya sarung tangan rumah tangga. HIV
dapat ditularkan dari seseorang ke orang lainnya melalui
penggunaan jarum yang tidak steril, spuit, dan kulit yang
ditusuk dan peralatan yang dimasukkan. Sterilisasi yang tepat
bagi peralatan-peralatan tersebut menjadi penting untuk
mencegah penularan. HIV sangat sentitif terhadap metode
sterilisasi standar dan disinfeksi tingkat tinggi, dan metode yang
dirancang untuk me- nonaktifkan virus -virus lainnya (seperti
virus hepatitis B) juga akan me-nonaktifkan HIV.
Pemanasan merupakan metode yang paling efektif untuk menonaktifkan HIV; karena itu
metode sterilisasi (1) dan desinfeksi
76
tingkat tinggi (2) dengan menggunakan panas menjadi metode
pilihan. Desinfeksi tingkat tinggi dengan perebusan merupakan
yang paling layak pada sebagian besar keadaan, dimana untuk
hal ini hanya diper lukan adanya sumber panas, sebuah wadah
dan air. Dalam prakteknya di lapangan, desinfeksisuhu tinggi
dengan menggunakan bahan kimia masih jauh dari kenyataan.
Merupakan hal yang sangat penting bahwa semua peralatan
dicuci keseluruhannya sebelum disterilisasi atau didesinfeksi
dengan suhu tinggi dengan metode apapun. Disarankan,
khususnya dal am lingkungan pelayanan kesehatan dimana
tingkat prevalensi infeksi HIV di antara para pasien tinggi, agar
peralatan medis yang digunakan harus direndam dengan
menggunakan bahan kimia desinfektan selama 30 menit
sebelum dicuci. Hal ini akan memberikan perl indungan yang
lebih jauh terhadap setiap orang dari kemungkinan terpapar HIV
selama proses pencucian.
Metoda Fisika
Sterilisasi dengan uap (otoklaf)merupakan metode pilihan
untuk peralatan medis seperti jarum dan spuit yang dapat
digunakan ulang. Jenis otoklafyang tidak mahal adalah jenis
pemasak bertekanan yang telah dimodifikasi dengan tepat
(WHO/UNICEF Type) (3). Otoklafdan pemasak bertekanan harus
dioperasikan pada suhu 121°C (250°F) setara dengan tekanan 1
atmosfir (101 kPa, 15 1b/in²) diatas tek anan atmosfir, selama
minimum 20 menit. WHO dan UNICEF telah bekerjasama dalam
mengembangkan sterilisator uap yang dapat dipindahkan berisi
suatu rak, dimana jarum-jarum, spuit dan peralatan lain yang
umumnya digunakan di tempat perawatan kesehatan dapat
ditempatkan dengan cocok.
Sterilisasi dengan pemanasan kering di dalam oven listrik
merupakan metode yang tepat untuk peralatan-peralatan yang
dapat bertahan pada suhu 170°C (340°F). Karena itu metode ini
tidak cocok untuk spuit plastik yang dapat dipakaiulang.
Sebuah oven elektrik rumah tangga biasa cukup memuaskan
untuk sterilisasi dengan pemanasan kering. Waktu sterilisasi
yang dibutuhkan adalah 2 jam dengan suhu 170°C (340°F).
Disinfeksi pemanasan suhu tinggi dengan perebusan akan
dicapai ketika instrumen, jarum suntik dan spuitdididihkan
selama 20 menit. Ini adalah metoda paling sederhana dan
77
paling dapat dipercaya untuk menonaktifkan sebagian besar
mikroba patogen, termasuk HIV ketika peralatan sterilisasi tidak
tersedia. Virus hepatitis B dinonakt ifkan setelah beberapa
menit pendidihan dan juga mungkin HIV, yang sangat sensitif
terhadap panas juga dinonaktifkan setelah beberapa menit
dididihkan. Bagaimanapun, untuk lebih pasti, pendidihan harus
dilanjutkan selama 20 menit.
Metode Kimiawi
Banyak disinfektan yang direkomendasikan untuk digunakan
dalam saranapelayanan kesehatan telah dibuktikan
menonaktifkan HIV dalam uji laboratorium. Bagaimanapun juga,
dalam praktiknya, disinfektan kimiawi tidak dapat dipercaya,
karena mereka mungkin dinonaktifkanoleh darah atau bahan
organik lain yang ada. Untuk bahan dan permukaan tidak tahan
panas yang tidak bisa disterilkan atau dididihkan akan
memerlukan metode disinfeksi bahan kimia. Penggunaan bahan
kimia dibatasi oleh banyak faktor, termasuk variable efek
mereka terhadap bermacam mikro organisme yang,
ketidakcocokan dengan berbagai permukaan, mengurangi
kemanjuran dengan adanya bahan organik, kepekaan untuk
rusak dalam gudang dan potensi beracun. Disinfeksi bahan kimia
hanya dikerjakan bila suatu alternatifyang memuaskan tidak
didapatkan. Rekomendasi disinfektan untuk tujuan
penonaktifan HIV dan virus hepatitis terbatas oleh ketiadaan
data yang cukup untuk beberapa agen kimiawi. Walaupun
berbagai publikasi sudah mengklaim kemanjuran melawan HIV
untuk berbagai jenis disinfektan dan deterjen dengan cakupan
yang luas, bukti untuk beberapa klaim masih samar-samar.
Lagipula, dalam setiap situasi klinis di mana mungkin saja perlu
untuk menonaktifkan HIV itu juga perlu untuk menonaktifkan
VHB yang secara umum diang gap lebih resisten(4).
Senyawa yang melepaskan Klorin
(a) Sodium hipoklorit: cairan sodium hipoklorit (cairan
pemutih, eau de javel, dll.) adalah disinfektan yang sempurna:
dapat membunuh bakteri, virus, murah dan tersedia secara
luas. Tetapi bahan ini mem punyai dua kerugian penting yaitu:
· Senyawa bersifat korosif. Senyawa akan mengkorosi nikel ,
baja,chromuim, besi dan logam lain yang bisa dioksidasi.
Larutan dengan kandungan klor lebih besar dari 0.1% tidak
78
boleh digunakan berulang -kali untuk disinfeksi peralatan
baja tahan karat yang berkualitas baik. Kontak harus tidak
lebih dari 30 menit dan harus diikuti dengan pembilasan
dan pengeringan yang seksama. Pengenceran tidak boleh
dilakukan dalam wadah metalik karena dapat mengkorosi
dengan cepat.
· Cepat rusa k.Larutan harus segera dibuat dan dilindungi
dalam gudang dari panas dan cahaya. Larutan harus
disiapkan tepat sebelum digunakan. Perusakan yang cepat
mungkin merupakan masalah utama di negara-negara
denganiklim hangat. Dua senyawa lain yang melepaskan
klorin(kalsium hipoklorit, sodium dichloroisocyanurate)
mungkin lebih cocok karena lebih stabil. Sebagai tambahan,
senyawa inidapat diangkut dengan lebih mudah dan lebih
murah. Efektivitas mereka, bagaimanapun, belum
dievaluasi.
(b) Kalsium hipoklorit(5) (bubuk, butir halus atau tablet):
Bahan ini juga mengurai secara berangsur-angsur jika tidak
dilindungi dari panas dan cahaya ,tetapi penguraiannya lebih
lambat dibanding dengan larutan sodium hipoklorit. Tersedia
dalam dua bentuk: murni - “high-tested” kals ium hipoklorit dan
chlorinated lime atau bubuk pemutih. Suatu endapan di dalam
larutan adalah normal.
(c) Sodium dichloroisocyanurate (6) (NaDCC): Ketika
dilarutkan dalam air, NaDCC membentuk hipoklorit (asam
hypochlorous); senyawa ini jauh lebih stabil diban ding larutan
sodium hipoklorit atau kalsium hipoklorit, dan biasanya dibuat
sebagai tablet.
(d) Kloramin (tosylchloramide sodium;kloraminT):kloramin
lebih stabil daripada sodium hipoklorit dan kalsium hipoklorit.
Bagaimanapun juga, harus disimpan terlindung dari
kelembaban, cahaya dan panas berlebihan. Tersedia dalam
bentuk bubuk atau tablet.
Kekuatan disinfektan dari semua campuran yang mengeluarkan
klorin dinyatakan sebagai " klorin tersedia" (persentase untuk
campuran padat; persentase atau bagian per sejuta (ppm)
untuk larutan) tergantung pada tingkat konsentrasi. Jadi,
0,0001%= 1 mg/litre= 1 ppm dan 1%= 10g/litre= 10.000 ppm.

Etanoldan 2-propanol
Etanol (etil -alkohol) dan 2-propanol (isopropyl alkohol)
mempunyai sifat disinfektan yang serupa. Mereka adalah
germisidal untuk bakteri bentuk vegetatif, mikobakteria, jamur,
dan virus setelah beberapa menit terjadi kontak. Mereka tidak
efektif melawan spora bakteri.Untuk efektivitas yang paling
tinggi senyawa harus digunakan dalam konsentrasi kira-kira 70%
(70% alkohol, 30% air); konsentrasi lebih rendah dan lebih tinggi
adalah kurang efektif. Etanol dapat digunakan dalam bentuk
denaturasi, yang mungkin lebih murah.Semua alkohol sangat
mahal jika mereka harus diimport, karena mereka tunduk
kepada peraturan kargo udara yang menuntut pengemasan
80
berat khusus. Import alkohol terlarang di beberapa negaranegara Islam.
Iodine polyvidone (IPV)
IPV adalah suatu iodophor e (suatu campuran yang mengandung
yodium) dan dapat digunakan dalam larutan aqueous sebagai
disinfektan yang kuat. Aktivitas disinfektan ini sangat mirip
dengan larutan hipoklorit, tetapi lebih stabil dan kurang
bersifat korosif pada logam. Bagaimanapun juga, senyawa ini
tidak boleh digunakan pada tembaga dan aluminium. Biasanya
diformulasikan sebagai larutan 10% (1% yodium). Senyawa ini
dapat digunakan dengan pengenceran menjadi 2,5% IPV (1
bagian larutan 10% kepada 3 bagian air mendidih). Pensterilan
sela ma 15 menit dalam suatu larutan 2,5% menghasilkan
disinfeksi tingkat tinggi untuk peralatan yang bersih. Larutan
encer (2,5%) untuk perendaman instrumen harus disiapkan
segera setiap hari.
Glutaral (glutaraldehyde)
Glutaral pada umumnya tersedia sebagai2% larutan aqueous
yang perlu diaktifkan sebelum digunakan. Pengaktifan
melibatkan penambahan bubuk atau cairan disediakan bersama
dengan larutan; ini mem buat larutan bersifatalkali. Penst erilan
dalam larutan yang diaktifkan menghancurkan bakteri
vegetatif, virus dan jamur dalam waktu kurang dari 30 menit.
Sepuluh jam diperlukan untuk pembinasaan spora. Setelah
pensterilan, semua peralatan harus dibilas secara menyeluruh
untuk menghilangkan residu glutaral beracun yang ada. Sekali
diaktifkan, larutan tid ak boleh disimpan lebih dari dua minggu.
Larutan harus dibuang jika menjadi keruh. Larutan glutaral
yang stabil yang tidak perlu diaktifkan telah diformulasikan
baru-baru ini. Bagaimanapun juga, data yang ada tidak cukup
untuk penggunaan mereka direkomendasikan. Larutan glutaral
mahal.
Hidrogen peroksida
Ini merupakan suatu disinfektan yang kuat karena aktivitasnya
dengan pelepasan oksigen. Penstrerilan dari peralatan bersih di
dalam larutan 6% menghasilkan disinfeksi tingkat tinggi dalam
waktu kurang dari30 menit. Larutan 6% harus disiapkan segera
sebelum digunakan dari larutan stabil 30% (1 bagian dari
larutan stabil 30% ditambahkan ke 4 bagian air yang mendidih).
Larutan pekat stabil 30% harus ditangani dan diangkut dengan
81
penuh kewaspadaan sebab bersifat korosif. Larutan harus
disimpan dalam suatu tempat yang dingin dan terlindung dari
cahaya. Hidrogen peroksida tidak cocok untuk digunakan di
suatu lingkungan yang panas. Sebab bersifat korosif, hidrogen
peroksida tidak boleh digunakan pada tembaga, alu minium,
kuningan atau seng.
Panduan lapangan untuk sterilisasi dan disinfeksi tingkat
tinggi: teknik yang efektif melawan HIV. Setelah pembersihan
yang seksama, alat-alat harus disterilkan dengan panas (uap air
atau panas kering). Jika sterilisasi tidak mungkin, disinfeksi
tingkat tinggi dengan pendidihan bisa diterima. Disinfeksi
kimiawi tidak boleh digunakan untuk jarum suntik dan spuite.
Disinfeksi kimiawi untuk pemotong kulit dan instrumen badah
lain hanya boleh kerjakan sebagai pilihan terakhir, dan h anya
jika konsentrasi yang sesuai dan ativitas bahan kimia dapat
dijamin dan jika instrumen telah dibersihkan secara seksama
sebelumnya dengan merendam dalam disinfektan kimiawi
ILO & WHO. 2005. Pedoman Bersama ILO/WHO Tentang Pelayanan Kesehatan dan
HIV/AIDS. Jakarta: Direktorat Pengawasan Kesehatan Kerja Direktorat Jenderal
Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
RI September 2005

Anda mungkin juga menyukai