Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut usia (lansia)


2.1.1 Pengertian lanjut usia
Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat
menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar
cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap
berbagai penyakit dan kematian (Setiati, 2009). Penduduk Lansia atau
lanjut usia menurut UU No.43 (2004) adalah penduduk yang telah
mencapai usia 60 tahun keatas. Umur yang dijadikan patokan sebagai
lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi
4 yaitu : usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly)
60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very
old) diatas 90 tahun. Menurut Depkes RI (2003), batasan lansia terbagi
dalam empat kelompok yaitu pertengahan umur usia lanjut (virilitas)
yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik
dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini (prasenium)
yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun,
kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun keatas dan usia lanjut
dengan resiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun
atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti,
menderita penyakit berat, atau cacat. Di Indonesia, batasan lanjut usia
adalah 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor
43 tahun 2004.
Secara umum, menjadi tua ditandai oleh kemunduran biologis
yang terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik, antara lain :
a) Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta garis-garis yang
menetap.
b) Rambut kepala mulai memutih atau beruban.
c) Gigi mulai lepas.
d) Penglihatan dan pendengaran berkurang.
e) Mudah lelah dan mudah jatuh.
f) Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah.

Disamping itu, juga terjadi kemunduran kognitif antara lain :

a) Suka lupa, ingatan tidak berfungsi dengan baik.


b) Ingatan terhadap hal-hal di masa muda lebih baik daripada hal-hal
yang baru saja terjadi.
c) Sering adanya disorientasi terhadap waktu, tempat dan orang.
d) Sulit menerima ide-ide baru (Haryono, 2013).

Lanjut usia yang mandiri adalah lanjut usia yang cara


berpikirnya masih baik, didukung oleh ekonomi yang cukup, kemudian
dia hidup bahagia secara lahir batin karena keluarganya harmonis. Yang
menjadi ukuran sosial ekonomi itu bukanlah standar umum kehidupan di
kota. Orang yang hidup di desa dengan keadaan yang sederhana, bisa
makan setiap hari, merasa bahagia dan diperhatikan itu masuk kategori
cukup sehingga dia tidak terlantar dan tidak merasa tersisihkan.

2.1.2 Teori mengenai proses menua


Penuaan atau menjadi tua adalah suatu proses yang natural dan
kadang-kadang tidak tampak mencolok. Proses ini terjadi secara alami
dan disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun
sosial yang akan saling berinteraksi satu sama lain.
Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat
digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan
(disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan
dengan proses kemunduran.
Berbagai penelitian eksperimental dibidang gerontologi dasar
selama 20 tahun terakhir ini berhasil memunculkan teori baru mengenai
proses menua. Beberapa teori tentang penuaan yang dapat diterima saat
ini, antara lain :
a) Teori radikal bebas
Teori ini menyebutkan bahwa produk hasil mentabolisme
oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat bereaksi dengan
berbagai komponen penting selular, termasuk protein, DNA, dan lipid,
menjadi moleku-molekul yang tidak berfungsi namun bertahan lama
dan mengganggu fungsi sel lainnya. Teori radikal bebas pertama kali
diperkenalkan oleh Denham Harman pada tahun 1956, yang
menyatakan bahwa proses menua normal, merupakan akibat
kerusakan jaringan oleh radikal bebas (Setiati, 2009).
Radikal bebas adalah senyawa kimia yang berisi elektron tidak
berpasangan. Radikal bebas tersebut terbentuk sebagai hasil
sampingan berbagai proses selular atau metabolisme normal yang
melibatkan oksigen. Sebagai contoh adalah reactive oxygen species
(ROS) dan reactive nirtogen species (RNS) yang dihasilkan selama
metabolisme normal. Karena elektronnya tidak berpasangan, secara
kimiawi radikal bebas akan mencari pasangan elektron lain dengan
bereaksi dengan substansi lain terutama protein dan lemak tidak jenuh.
Melalui proses oksidasi, radikal bebas yang dihasilkan selama
fosforilasi oksidatif dapat menghasilkan berbagai modifikasi
makromolekul. Sebagai contoh, karena membran sel mengandung
sejumlah lemak, ia dapat bereaksi dengan radikal bebas sehingga
membran sel mengalami perubahan. Akibat perubahan pada struktur
membran tersebut membran sel menjadi lebih permeabel terhadap
beberapa substansi dan memungkinkan substansi tersebut melewati
membran secara bebas. Struktur didalam sel seperti mitokondria dan
lisosom juga diselimuti oleh membran yang mengandung lemak,
sehingga mudah diganggu oleh radikal bebas (Setiati, 2009).
Radikal bebas juga dapat bereaksi dengan DNA, menyebabkan
mutasi kromosom dan karenanya merusak mesin genetik normal dari
sel. Radikal bebas dapat merusak fungsi sel dengan merusak membran
sel atau kromosom sel. Lebih jauh, teori radikal bebas menyatakan
bahwa terdapat akumulasi radikal bebas secara bertahap didalam sel
sejalan dengan waktu, dan bila kadarnya melebihi konsentrasi
ambang, maka radikal bebas mungkin berkontribusi pada perubahan-
perubahan yang seringkali dikaitkan dengan penuaan (Setiati, 2009).
Sebenarnya tubuh diberi kekuatan untuk melawan radikal bebas
berupa antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri, namun
antioksidan tersebut tidak dapat melindungi tubuh dari kerusakan
akibat radikal bebas tersebut (Setiati, 2009).
b) Teori glikoliasi
Teori ini menyatakan bahwa proses glikosilasi nonenzimatik
yang menghasilkan pertautan glukosa-protein yang disebut sebagai
advanced glycation end products (AGEs) dapat menyebabkan
penumpukan protein dan makromolekul lain yang termodifikasi
sehingga terjadi disfungsi pada hewan atau manusia yang menua.
Protein glikasi menunjukkan perubahan fungsional, meliputi
menurunnya aktivitas enzim dan menurunnya degradasi protein
abnormal. Jika manusia menua, AGEs berakumulasi diberbagai
jaringan, termasuk kolagen, hemoglobin, lensa mata. Karena jumlah
kolagen yang tinggi, maka jaringan ikat menjadi kurang elastis dan
kaku. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi elastisitas dinding
pembuluh darah. AGEs diduga juga berinteraksi dengan DNA dan
karenanya mungkin mengganggu kemampuan sel untuk memperbaiki
perubahan pada DNA (Setiati, 2009).
c) Teori DNA repair
Teori ini dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka
menunjukkan bahwa adanya perbedaan pola laju perbaikan (repair)
kerusakan DNA yang diinduksi oleh sinar ultraviolet (UV) pada
berbagai fibroblas yang dikultur. Fibroblas pada spesies yang
mempunyai umur maksimum terpanjang menunjukkan laju DNA
repair terbesar dan korelasi ini dapat ditunjukkan pada berbagai
mamalia dan primata (Setiati, 2009).
2.1.3 Beberapa masalah khusus pada lanjut usia
a) Gangguan fisik
Banyak perubahan fisik yang terjadi pada lansia karena
penyakit, akan tetapi sebagian juga disebabkan karena proses penuaan.
Beberapa perubahan fisik yang terjadi adalah berkurangnya ketajaman
pancaindra, berkurangnya kemampuan melaksanakan sesuatu karena
turunnya kekuatan motorik, perubahan penampilan fisik yang
mempengaruhi peranan dan status ekonomi dan sosial, serta
kemunduran efisiensi integratif susunan saraf pusat, misalnya
penciutan minat, kelemahan ingatan dan penurunan inteligensi. Tidak
jarang terjadi depresi pada orang berumur 60-an. Depresi sering
mengisyaratkan adanya suatu penyakit organik. Penyakit yang laten
mungkin menunjukkan eksaserbasi, seperti diabetes, hipertensi, dan
glaukoma.
Gangguan pembuluh darah yang progresif pada jantung dan otak
yang mengancam serta membatasi hidup, dapat menimbulkan reaksi
takut, amarah dan depresi. Sebaliknya, reaksi emosional yang
berlebihan dapat memperhebat gangguan kardiovaskuler, endokrin
dan penyakit lain yang sebelumnya masih ringan (Maramis, 2009).
Orang lanjut usia sering menyatakan kekhawatirannya terhadap
ketidak mampuan fisiknya, tetapi jarang tentang rasa takutnya
terhadap kematian. Ada yang dengan tenang menyiapkan diri dan
mengatur hal-hal duniawi (warisan, makam dan sebagainya) dalam
menghadapi hal yang tidak dapat dielakkan tersebut. Kadang-kadang
memang timbul 16 depresi atau penyangkalan dan kompensasi (yang
berlebihan) terhadap hal mati (Maramis, 2009).
b) Kehilangan dalam bidang sosial ekonomi
Kehilangan keluarga atau teman karib, kedudukan sosial, uang,
pekerjaan (pensiun), atau mungkin rumah tinggal, semua ini dapat
menimbulkan reaksi yang merugikan. Perasaan aman dalam hal sosial
dan ekonomi serta pengaruhnya terhadap semangat hidup, rupanya
lebih kuat dari pada keadaan badani dalam melawan depresi
(Maramis, 2009).
c) Seks pada usia lanjut
Orang usia lanjut dapat saja mempunyai kehidupan seks yang
aktif sampai umur 80-an. Libido dan nafsu seksual penting juga pada
usia lanjut, tetapi sering hal ini mengakibatkan rasa malu dan bingung
pada mereka sendiri dan anak-anak mereka yang menganggap seks
pada usia lanjut sebagai tabu atau tidak wajar. Orang yang pada masa
muda mempunyai kehidupan seksual yang sehat dan aktif, pada usia
lanjut masih juga demikian, biarpun sudah berkurang, jika saat muda
sudah lemah, pada usia lanjut akan habis sama sekali (Maramis,
2009).
Memang terdapat beberapa perubahan khusus mengenai seks.
Pada wanita; karena proses penuaan, maka pola vasokongesti pada
buah dada, klitoris dan vagina lebih terbatas. Aktivitas sekretoris dan
elastisitas vagina juga berkurang. Pada pria; untuk mencapai ereksi
diperlukan waktu lebih lama. Ereksi mungkin tidak akan dicapai
penuh, tetapi cukup untuk melakukan koitus. Kekuatan saat ejakulasi
juga berkurang. Pada kedua seks, semua fase eksitasi menjadi lebih
panjang, akan tetapi meskipun demikian, pengalaman subjektif
mengenai orgasme dan kenikmatan tetap ada dan dapat membantu
relasi dengan pasangan (Maramis, 2009).
d) Gangguan psikiatri
Yang sering terdapat pada usia lanjut adalah, sindrom otak
organik dan psikosis involusi. Skizofrenia, psikosis bipolar dan
ketergantungan obat bila ada, mungkin terjadi sejak masa muda.
Hampir semua gangguan jiwa pada masa muda dapat bertahan sampai
atau timbul lagi pada masa usia lanjut. Neurosis sering berupa
neurosis cemas dan depresi. Gangguan psikosomatis dapat juga
berlangsung sampai masa tua, tetapi beberapa menjadi lebih baik atau
hilang dengan sendirinya. Diabetes, hipertensi dan glaukoma dapat
menjadi lebih parah karena depresi. Insomnia, anorexia dan konstipasi
sering timbul dan tidak jarang gejala-gejala ini berhubungan dengan
depresi. Depresi pada masa usia lanjut sering disebabkan karena
aterosklerosis otak, tetapi juga tidak jarang psikogenik atau kedua-
duanya (Maramis, 2009).
2.1.4 Karakteristik Penyakit Lansia di Indonesia
a) Penyakit persendian dan tulang. Misalnya: rematik, osteoporosis,
osteoartritis.
b) Penyakit kardiovaskular. Misalnya: penyakit jantung koroner,
hipertensi, kolesterolemia, angina, cardiac attack, stroke, trigliserida
tinggi, anemia.
c) Penyakit pencernaan, yaitu gastritis dan ulkus peptikum.
d) Penyakit urogenital, seperti infeksi saluran kemih (ISK), gagal ginjal
akut atau kronis, benign prostat hiperplasia.
e) Penyakit metabolik atau endokrin. Misalnya: diabetes mellitus,
obesitas.
f) Penyakit pernafasan, seperti asma dan tuberkulosis paru.
g) Penyakit keganasan, seperti kanker.
h) Penyakit lainnya, seperti dimensia, alziemer, depresi, parkinson
(Haryono, 2013).

Selain penyakit yang telah disebutkan di atas ada tujuh penyakit


kronik degeneratif yang kerap dialami para lanjut usia, yaitu:

1. Osteoartritis (OA)
Osteoartritis adalah peradangan sendi yang biasa disebut juga
dengan rematik, terjadi akibat peristiwa mekanik dan biologik yang
mengakibatkan penipisan rawan sendi, tidak stabilnya sendi, dan
perkapuran. OA merupakan penyebab utama ketidak mandirian pada
usia lanjut, yang dipertinggi resikonya karena trauma, penggunaan
sendi berlebihan dan obesitas.
2. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan salah satu bentuk gangguan tulang
dimana masa atau kepadatan tulang berkurang. Terdapat dua jenis
osteoporosis, tipe I merujuk pada percepatan kehilangan tulang selama
dua dekade pertama setelah menopouse, sedangkan tipe II adalah
hilangnya masa tulang pada usia lanjut karena terganggunya produksi
vitamin D.
3. Dimensia
Merupakan kumpulan gejala yang berkaitan dengan kehilangan
fungsi intelektual dan daya ingat secara perlahan-lahan, sehingga
mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari. Alzheimer merupakan
jenis demensia yang paling sering terjadi pada usia lanjut. Adanya
riwayat keluarga, usia lanjut, penyakit vaskular atau pembuluh darah
(hipertensi, diabetes mellitus, kolesterol tinggi), trauma kepala
merupakan faktor risiko terjadinya demensia. Demensia juga kerap
terjadi pada wanita dan individu pendidikan rendah.
4. Kanker
Kanker merupakan sebuah keadaan dimana struktur dan fungsi
sebuah sel mengalami perubahan bahkan sampai merusak sel-sel
lainnya yang masih sehat. Sel yang berubah ini mengalami mutasi
karena suatu sebab, sehingga sel tidak bisa menjalankan fungsinya
dengan normal. Biasanya perubahan sel ini mengalami beberapa
tahapan, mulai dari yang ringan sampai sangat berubah dari keadaan
awal (kanker).
5. Diabetes mellitus
Sekitar 50% dari lansia memiliki gangguan intoleransi glukosa
dimana gula darah masih tetap normal meskipun dalam kondisi puasa.
Kondisi ini dapat berkembang menjadi diabetes mellitus, dimana
kadar gula darah sewaktu diatas atau sama dengan 200 mg/dL dan
kadar gula darah saat puasa diatas 126 mg/dL. Obesitas, pola makan
yang buruk, kurang olah raga dan usia lanjut mempertinggi risiko DM.
Sebagai ilustrasi, sekitar 20% dari lansia berusia 75 tahun menderita
DM. Beberapa gejala adalah sering haus dan lapar, banyak berkemih,
mudah lelah, berat badan terus menurun, dan luka yang sulit sembuh.
6. Penyakit jantung koroner
Penyempitan pembuluh darah jantung sehingga aliran darah
menuju jantung terganggu. Gejala umum yang terjadi adalah nyeri
dada, sesak napas.
7. Hipertensi
Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik
sama atau lebih tinggi dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih
tinggi dari 90 mmHg, yang terjadi karena menurunnya elastisitas arteri
pada proses menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat memicu
terjadinya stroke, kerusakan pembuluh darah (arteriosclerosis),
serangan/gagal jantung, dan gagal ginjal (Haryono, 2013).
2.2 Kemandirian lansia (lanjut usia)
2.2.1 Definisi
Kemandirian adalah kebebasan untuk bertindak, tidak
tergantung pada orang lain, tidak terpengaruh pada orang lain dan bebas
mengatur diri sendiri atau aktivitas seseorang baik individu maupun
kelompok dari berbagai kesehatan atau penyakit (Ediawati, 2012).
Kemandirian dalam beraktivitas adalah hal yang sangat penting untuk
lansia agar tidak terjadi cidera pada lansia. Aktvitas sehari-hari dan
lingkungan merupakan faktor yang berperan terhadap terjadinya jatuh.
Lansia yang mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari akan dapat
memiliki resiko jatuh yang tinggi pula dalam aktivitas sehari-hari
(Miller, 2006).
Faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian lansia dalam
melakukan aktivitas kehidupan sehari – hari yaitu usia, imobilitas, dan
mudah jatuh (Nugroho, 2008). Semakin meningkatnya usia, seseorang
akan mengalami penurunan kondisi fisik, biologis, kondisi psikologis
serta kondisi sosial. Pertambahan usia pada lansia akan berbanding lurus
dengan tingkat kemandiriannya dalam beraktivitas sehari-hari (Maryam,
dkk, 2011).
2.2.2 Epidermiologi kemandirian lansia (lanjut usia)
1. Kemandirian lansia
Sebagian besar responden adalah mandiri karena sebagian besar
mereka berada pada kondisi kesehatan baik. Dengan kondisi yang
sehat mereka dapat melakukan aktivitas apa saja tanpa meminta
bantuan orang lain, atau sesedikit mungkin tergantung kepada orang
lain. Sedangkan responden yang tidak mandiri, mereka tidak dapat
melakukan aktifitas sendiri, mereka harus dibantu bahkan sama sekali
tidak mampu melakukan aktifitas sehari-hari. Responden yang tidak
mandiri dalam aktifitas instrumen terutama dalam menangani
keuangan, umumnya disebabkan karena sebagian besar responden
sudah tidak memiliki penghasilan, sehingga dalam hal keuangan harus
bergantung pada pemberian anak-anak. Kondisi fisik yang sudah
menurun karena proses penuaan, dan adanya penyakit yang diderita
responden menyebabkan responden memerlukan bantuan orang lain
dalam melakukan aktivitas. Selain itu juga karena beberapa aktifitas
yang sudah berbagi dan bahkan diambil alih oleh anak-anak dan
keluarga responden.
2. Usia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan
bahwa lebih dari separuh responden yaitu (52,2%) adalah Lanjut Usia
Resiko Tinggi yang berusia 70 tahun ke atas, dan selebihnya adalah
Lanjut Usia (60-69 tahun). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2004) di wilayah Paroki
Kristoforus Jakarta Barat, dimana jumlah usia 60-69 tahun lebih
banyak dibanding dengan usia 70 tahun ke atas yaitu (73,9%).
3. Jenis kelamin
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan
bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak
yaitu (56,7%) dibanding dengan responden yang berjenis kelamin
laki-laki. Hasil ini sebanding dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Kurniawan (2004), dimana jumlah responden yang berjenis
kelamin perempuan lebih banyak yaitu (69,7%) dibanding responden
yang berjenis kelamin laki-laki.
Hasil penelitian ini juga sebanding dengan hasil Susenas tahun
2009, menurut jenis kelamin jumlah lansia perempuan 10,44 juta
orang atau 8,96 persen dari seluruh penduduk perempuan. Jumlah
lansia perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki yang
hanya 8,88 juta orang atau 7,76 persen dari seluruh penduduk laki-
laki, hal ini disebabkan karena usia harapan hidup lansia perempuan
lebih tinggi dibandingkan lansia laki-laki. Namun berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Suhartini (2004), dimana jumlah
responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding
dengan jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan yaitu 56
orang (53,8 %).4,9.
4. Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan
bahwa pada umumnya responden berpendidikan rendah SMP ke
bawah yaitu (71,1%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Kurniawan (2004), dimana jumlah responden
yang berpendidikan rendah SMP kebawah lebih banyak dibanding
dengan responden yang berpendidikan tinggi (SMA keatas).
Hasil penelitian ini juga sebanding dengan hasil Susenas tahun
2009, dimana pendidikan penduduk lansia yang relatif masih rendah,
masih banyaknya lansia yang tidak/belum pernah sekolah dan tidak
tamat SD.Penduduk lansia yang berpendidikan SMP kebawah
sebanyak (90,66%) dan berpendidikan SMA ke atas hanya sebanyak
(9,34%). Hasil ini juga di perkuat oleh penelitian yang dilakukan
Darmojo (2004) di wilayah Jawa Tengah bahwa lanjut usia pada
umumnya memiliki pendidikan yang rendah.4,13
Dari hasil wawancara dengan responden, rendahnya pendidikan
mereka kebanyakan disebabkan karena tidak adanya biaya untuk
melanjutkan pendidikan. Selain itu adanya paham yang tidak
mewajibkan anak perempuan untuk menempuh pendidikan yang
tinggi
5. Kondisi kesehatan
Menurut Depkes (2004) keluhan yang umum dialami Lanjut
Usia: mudah jatuh atau sering jatuh berulang kali, mudah lelah,
kekacauan pikiran (acute mental confusion), nyeri dada, sesak nafas
pada waktu melakukan kerja fisik, berdebar-debar, pembengkakan
pada kaki bagian bawah, nyeri pinggang atau punggung , nyeri pada
sendi pinggul, berat badan menurun, sukar menahan kencing atau
sering ngompol, sukar menahan buang air besar, gangguan pada
ketajaman penglihatan, gangguan pada pendengaran, gangguan
tidur/sulit tidur, keluhan pusing-pusing/sakit kepala, keluhan perasaan
dingin-dingin dan kesemutan pada anggota badan, mudah gatal-gatal,
adanya koreng atau borok yang tak mau sembuh. Dari hasil penelitian
keluhan yang banyak dialami lansia seperti nyeri pinggang atau
punggung, nyeri pada sendi dan pinggul, susah tidur, mudah lelah
adalah keluhan yang disebabkan karena posisi tubuh dan kurang
gerak, sehingga aliran darah kurang lancar, juga bisa terjadi karena
ada gangguan pada otot tubuh, lansia banyak duduk dan tidur di
rumah. Keluhan ini salah satunya dapat diatasi dengan melakukan
senam lansia minimal 3 kali seminggu. Karena dengan melakukan
senam banyak manfaat yang dapat diperoleh oleh lansia, salah satunya
adalah untuk mendapatkan tubuh yang sehat dan bugar.
6. Kehidupan beragama lansia
Responden dengan kehidupan beragama yang baik menjalankan
ibadah secara rutin dan teratur berupa sholat lima waktu setiap
harinya, membaca Al Quran, puasa di bulan ramadhan, beribadah ke
Mesjid, dan rajin mengikuti kegiatan ceramah di Mesjid/radio/televisi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Bustanuddin (2007) bahwa hidup
yang baik adalah terpenuhinya kebutuhan duniawi dan ukhrawi,
kebutuhan ukhrawi dipenuhi dengan beribadah, meningkatkan
keyakinan dan kepatuhan kepada Allah seperti sholat lima waktu,
berpuasa di bulan Ramadhan, pergi ke Mesjid mengikuti pengajian
dan membaca Al Qur’an.22
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kegiatan yang paling
sedikit dilaksanakan responden adalah bersedekah atau memberikan
santunan kepada anak yatim/fakir miskin. Hal ini disebabkan karena
kondisi ekonomi responden yang belum sanggup untuk melaksanakan
ibadah tersebut, bahkan responden termasuk kritaria orang yang
berhak menerima zakat/sedekah.
7. Kondisi ekonomi
Penelitian ini juga didukung oleh teori dari Nugroho (2000)
bahwa kondisi lanjut usia akan menyebabkan kemunduran di bidang
ekonomi. Masa pensiun akan berakibat turunnya pendapatan,
hilangnya fasilitas-fasilitas, kekuasaan, wewenang dan penghasilan.
Masalah ekonomi yang dialami orang lanjut usia adalah tentang
pemenuhan kebutuhan hidup sehari – hari seperti kebutuhan sandang,
pangan, perumahan, kesehatan, rekreasi dan sosial. Dengan kondisi
fisik dan psikis yang menurun menyebabkan mereka kurang mampu
menghasilkan pekerjaan yang produktif. Jika tidak bekerja berarti
bantuan yang diperoleh mereka dari bantuan keluarga, kerabat dan
orang lain.
Untuk kebutuhan berobat umumnya lanjut usia mampu untuk
berobat ke Puskesmas karena untuk pengobatan di Puskesmas dan RS
pemerintah Kota Payakumbuh sudah memberikan pelayanan gratis
untuk penduduk yang memiliki KTP wilayah setempat. Dengan
memberikan kartu Jamkesmas dan Jamkesko kepada penduduk
miskin, namun masih ada penduduk miskin terutama lansia yang tidak
mendapatkan kartu tersebut, sehingga mereka tidak dapat melanjutkan
pengobatan secara gratis ke RS untuk pelayanan lebih lanjut.
8. Aktifitas sosial
Aktifitas sosial yang banyak dilakukan responden adalah
kegiatan yasinan/wirit, arisan ibu-ibu dan senam lansia yang rutin
dilakukan setiap minggunya. Membantu saat pesta dan musibah juga
banyak dilakukan responden karena membantu saat pesta dan musibah
ini masih merupakan tradisi yang masih membudaya di daerah ini.
Lain halnya dengan daerah perkotaan, dimana budaya ini sudah mulai
hilang dengan terus meningkatnya fasilitas-fasilitas lengkap yang
ditawarkan.
Berdasarkan hasil riset tim dokter dari Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Harvard, bahwa aktivitas sosial dan kegiatan
produktif dapat meningkatkan kualitas, kemampuan dan usia hidup
seseorang. Mereka yang lebih aktif secara sosial ternyata lebih sedikit
yang meninggal dan lebih mandiri dibanding mereka yang kurang
aktif.
9. Dukungan keluarga
Sebagian besar keluarga dapat menghargai dan menghormati
lansia sebagai orang tua mereka. Jika keluarga jauh, mereka sering
menjenguk atau menanyakan kondisi responden melalui telepon.
Tetapi keluarga masih sangat kurang sekali memberikan dorongan dan
motivasi kepada responden untuk melakukan aktivitas di luar rumah.
Hal ini disebabkan karena sikap proteksi yang berlebihan dari
keluarga terhadap responden, seperti rasa takut terjatuh di luar rumah
dan kelelahan. Keluarga menganggap lansia tidak mampu lagi untuk
beraktifitas di luar rumah, sedangkan mereka tidak punya waktu untuk
mendampingi karena kondisi mereka yang sibuk dengan urusan
masing-masing. Disamping itu kondisi ekonomi juga menghalangi
keluarga untuk memberikan dukungan, misalnya ketiadaan biaya
untuk mengantar responden pergi mengikuti senam lansia atau yasinan
yang tempatnya selalu berpindahpindah, atau kegiatan rekreasi yang
diadakan kelompok lansia.
Menurut Pickett (2009) mengenai fenomena penuaan adalah
jumlah kelurga menurun, dan angka perceraian meningkat Hubungan
orang muda dan orang tua semakin renggang, kebutuhan yang
melanda kaum muda hampir menyita seluruh waktunya, sehingga
mereka hanya memiliki sedikit untuk memikirkan orang tua. Kondisi
seperti ini menyebabkan kurangnya komunikasi antara orang tua dan
anak, kurangnya perhatian dan pemberian keperawatan terhadap
terhadap orang tua. Untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia
lanjut usia perlu mengetahui kondisi lanjut usia dimasa lalu dan masa
sekarang sehingga orang lanjut usia dapat diarahkan menuju kondisi
kemandirian
10. Olah raga
Hasil penelitian ini sesuai dengan The centre for Diseases
Control and Prevention di Amerika Serikat dan The American College
of Sports Medicine yang memberikan rekomendasi berolah raga
selama 15-30 menit sehari selain aktivitas sehari-hari, dan tidak harus
berturut-turut. The Journal of the American Medical Association yang
mempublikasikan beberapa aktivitas yang dianggap mempunyai
intensitas sedang yang dianjurkan untuk lanjut usia yaitu jalan santai,
bersepeda, berenang, senam, olah raga menggunakan raket.
Teori kemandirian lansia
kemampuan untuk melakukan fungsi yang berhubungan dengan
aktivitas hidup sehari-hari, yaitu kemampuan untuk hidup mandiri di
masyarakat tanpa atau sedikit bantuan dari orang lain. Kemandirian ini
dapat diketahui melalui aktifitas hidup sehari-hari, yaitu aktifitas
hidup sehari-hari dasar yang hanya memerlukan kemampuan tubuh
untuk berfungsi sederhana misalnya bangun dari tempat tidur,
berpakaian, makan, ke kamar mandi/WC, berkomunikasi, berdandan,
berpindah tempat. Aktivitas hidup sehari-hari instrumental yang selain
kemampuan dasar juga memerlukan berbagai koordinasi kemampuan
otot, susunan saraf yang lebih rumit, juga kemampuan berbagai organ
kognitif. Misalnya, menulis, membaca, membersihkan rumah,
berbelanja, mencuci-menyetrika pakaian, gunakan telepon, menangani
obat-obatan, menangani keuangan, mampu pergi jauh. Kemudian
kemampuan mental dan kognitif, menggunakan Short Portable Mental
Status Questioner (SPMSQ) untuk mendeteksi adanya dan tingkat
kerusakan intelektual, memori dalam hubungannya dengan
kemampuan perawatan diri, memori jauh, kemampuan matematis.
2.2.3 Tingkat kemandirian lansia
Mandiri adalah kebebasan untuk bertindak, tidak tergantung
pada orang lain, tidak terpengaruh pada orang lain dan bebas mengatur
diri sendiri atau aktivitas seseorang baik individu maupun kelompok dari
berbagai kesehatan atau penyakit. Mandiri juga dikatakan merawat diri
sendiri atau merawat diri dan dapat melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari (AKS). AKS ADL pekerjaan rutin sehari-hari seperti halnya ;
makan, minum, mandi, berjalan, tidur, duduk, BAB, BAK, dan bergerak
(Setiawan, 2009).
Menurut Hardiwynoto (2005) faktor yang mempengaruhi
penurunan Activity Daily Living bukan hanya masalah fisik, namun juga
dapat karena kapasitas mental, status mental seperti kesedihan dan
depresi, penerimaan terhadap fungsinya anggota tubuh dan dukungan
keluarga.
Berdasarkan observasi peneliti banyak ditemukan lansia tetap
memaksa untuk memenuhi aktivitasnya sendiri secara mandiri misalnya
lansia tetap berusaha mandiri untuk pergi ke toilet walaupun sudah tidak
mampu untuk berjalan dengan normal. Pada beberapa lansia, mereka
tetap berusaha untuk 6
makan secara mandiri walaupun mereka sudah tidak mampu
untuk memasukkan lebih banyak nasi ke mulut karena penyakit dan
kelemahan yang mereka miliki.
2.3 Aktivitas kehidupan sehari – hari
2.3.1 Definisi
Aktivitas sehari-hari merupakan semua kegiatan yang dilakukan
oleh lanjut usia setiap hari. Aktivitas ini dilakukan tidak melalui upaya
atau usaha keras. Aktifitas tersebut dapat berupa mandi, berpakaian,
makan, atau melakukan mobilisasi (Luekenotte, 2000). Seiring dengan
proses penuaan maka terjadi berbagai kemunduruan kemampuan dalam
beraktifitas karena adanya kemunduran kemampuan fisik, penglihatan
dan pendengaran sehingga terkadang seorang lanjut usia membutuhkan
alat bantu untuk mempermudah dalam melakukan berbagai aktivitas
seharihari tersebut (Stanley, 2006).
1. Makan
Gangguan yang terjadi berupa ketidakmampuan lansia mengingat
apa yang dimakan sebelumnya (87,88%), penurunan nafsu makan
(78,79%), namun lansia masih mampu mengingat jadwal makan yang
ditetapkan oleh panti. Hal ini dikarenakan karena pada penderita
demensia terjadi kerusakan pada sistem saraf pusat yang dapat
mengakibatkan hilangnya memori jangka pendek sehingga lansia sulit
mengingat kejadian yang terjadi dalam waktu yang singkat seperti
tidak ingat makanan apa yang di makan sebelumnya.
2. Kontinensia
Gangguan yang timbul berupa kesulitan menemukan kamar
mandi (63,64%) ketika ingin buang air padahal kamar mandi terletak
di dalam wisma dan berdekatan dengan kamar lansia. Hal ini timbul
karena pada penderita demensia terjadi disorientasi tempat sehingga
mereka mengalami kebingungan untuk menemukan kamar mandi .
Namun, di panti ini kamar mandi terletak di dalam wisma dan
berdekatan dengan kamar lansia sehingga jarak kamar mandi
seharusnya tidak menjadi kendala bagi lansia.
3. Berpakaian
Gangguan yang timbul berupa seringnya lansia lupa
mengancingkan baju/resleting atau tidak tepat memasukkan kancing
ke dalam lubangnya (66,67%). Lansia juga sering memakai pakaian
dalam keadaan terbalik (54,55%). Hal ini dikarenakan penderita
demensia mengalami defisit kognitif yaitu berkurangnya kemampuan
berpikir seperti agnosia yaitu kesulitan untuk mengidentifikasi benda
dan apraksia yaitu ketidakmampuan melakukan gerakan sehingga
mereka kesulitan untuk melakukan kegiatan walaupun hal yang
sederhana seperti mengancingkan baju. Hal ini relevan dengan
penelitian Kuntjoro yang menyatakan bahwa penderita demensia
mengalami penurunan fungsi daya ingat dan daya pikir yang dapat
menimbulkan gangguan aktivitas kehidupan sehari- hari salah satunya
aktivitas berpakaian.
4. Toileting
Toileting meliputi aktivitas sikat gigi, cuci muka dan menyisir
rambut. Pada penelitian ini, 23 orang (38,33%) lansia mengalami
gangguan aktivitas toileting. Gangguan ini di alami oleh lansia
demensia sebesar (48,49%).Gangguan yang timbul berupa seringnya
lansia lupa meletakkan perlengkapan toileting seperti sikat gigi, pasta
gigi, dan sisir (42,42%). Namun lansia masih bisa mengidentifikasi
perlengkapan tersebut. Hal ini dikarenakan penderita demensia
mengalami gangguan fungsi daya ingat yang makin lama makin berat
terutama daya ingat jangka pendek. Sehingga tidak mengherankan jika
mereka sering lupa dimana mereka meletakkan barang – barang yang
baru saja mereka gunakan.
5. Ambulasi
Ketidakmampuan ambulasi dan hilangnya keterampilan bahasa
secara lengkap merupakan ciri klasik demensia tahap akhir / terminal
Gangguan yang timbul berupa kesulitas lansia mengenali dengan jelas
letak tia wisma (66,67%), mengenali jalan sehingga mereka jarang
berpergian dari wisma. Banyak dari mereka pernah tersesat (75,76%)
sehingga mereka membutuhkan orang lain ketika ingin berpergian
keluar panti. Hal ini dikarenakan penderita demensia mengalami
defisit kognitif termasuk gangguan memori sehingga mereka kesulitan
untuk mempelajari hal – hal baru seperti jalan atau tempat.
Hal ini mungkin berhubungan dengan kebiasaan lansia untuk
mengikuti senam lansia yang rutin diadakan di panti. Mereka hanya
membutuhkan orang lain ketika ingin melakukan perjalanan keluar
panti misalnya ketika mereka hendak pulang kampung. Jangankan
untuk mengingat jalan menuju kampungnya, untuk mengenali letak
tiap wisma di panti ini saja mereka merasa kesulitan. Untuk itu
mereka membutuhkan pendamping ketika ingin melakukan perjalanan
keluar panti.
6. Mandi
Gangguan yang timbul berupa lansia sering mengalami kesulitan
menemukan kamar mandi (42,42%), sering lupa meletakkan peralatan
mandi dan kesulitan mengidentifikasi perlengkapan mandi seperti
sabun (30,30%). Mereka juga kesulitan untuk membedakan mana
sabun yang digunakan untuk mandi atau mencuci.
Hal ini mungkin berhubungan dengan berkurangnya kemampuan
lansia dalam mengidentifikasi benda (agnosia) karena hilangnya
fungsi kognitif secara multidemensional dan terus menerus dan
disebabkan oleh kerusakan organik sistem saraf pusat sehingga
mereka mengalami kesulitan mengenali sabun atau pasta gigi.
Lansia yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan aktivitas
sehari-harinya secara mandiri, maka akan beresiko untuk terjadinya
jatuh jika dibandingkan dengan lansia yang kemandiriannya rendah
atau dibantu. Jatuh pada lansia dengan tingkat kemandirian yang
tinggi di panti semakin meningkat dikarenakan sebagian besar lansia
di panti berjalan dengan tidak menggunakan alat bantu jalan dengan
tepat, memiliki penyakit

Aktifitas dasar sehari-hari bagi anjut usia sebenarnya meliputi


tugastugas perawatan pribadi setiap harinya yang berkaitan dengan
kebersihan diri, nutrisi dan aktivitas-aktivitas lain yang terbatas. Agar
tetap dapat menjaga kebugaran dan dapat melakukan aktivitas dasar
maka lanjut usia perlu melakukan latihan fisik seperti olah raga. Latihan
aktifitas fisik sangat penting bagi orang lanjut tua untuk menjaga
kesehatan, mempertahankan kemampuan untuk melakukan ADL, dan
meningkatkan kualitas kehidupan (Luekenotte, 2000).

2.3.2 Manfaat aktivitas sehari – hari pada lansia


a. Meningkatkan kemampuan dan kemauan seksual lansia. Terdapat
banyak faktor yang dapat membatasi dorongan dan kemauan seksual
pada lanjut usia khususnya pria. Sejumlah masalah organik dan
jantung serta sistem peredaran darah, sistem kelenjar dan hormon
serta sistem saraf dapat menurunkan kapasitas dan gairah seks. Efek
samping dari berbagai obat-obatan yang digunakan untuk
menyembuhkan beberapa macam penyakit dapat menyebabkan
masalah organik, selain itu masalah psikologis juga berpengaruh
terhadap kemampuan untuk mempertahankan gairah seks (Bandiyah,
2009).
b. Kulit tidak cepat keriput atau menghambat proses penuaan
c. Menghambat pengecilan otot dan mempertahankan atau mengurangi
kecepatan penurunan kekuatan otot. Pembatasan atas linkup gerak
sendi banyak terjadi pada lanjut usia, yang sering terjadi akibat
keketatan/kekakuan otot dan tendon dibanding sebagai akibat
kontraktur sendi. Keketatan otot betis sering memperlambat gerak
dorso-fleksi dan timbulnya kekuatan otot dorsoflektor sendi lutut
yangdiperlukan untuk mencegah jatuh ke belakang.
d. Self efficacy (keberdayagunaan mandiri) yaitu suatu istilah untuk
menggambarkan rasa percaya diri atas keamanan dalam melakukan
aktivitas. Hal ini berhubungan dengan ketidaktergantungan terhadap
instrumen ADL (IADL). Dengan keberdayagunaan mandiri ini
seorang lanjut usia mempunyai keberanian dalam melakukan aktivitas
atau olah raga (Darmojo, 2006).
2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Aktifitas Sehari-hari pada
Lansia
Kemp dan Mitchel (dalam Blackburn dan Dulmus, 2007)
menyebutkan bahwa aktivitas sehari-hari pada lansia dipengaruhi oleh
depresi. Kemp dan Mitchel juga menyebutkan kemampuan aktivitas
sehari-hari dapat menyebabkan ketakutan, kemarahan, kecemasan,
penolakan dan ketidakpastian. Kemauan dan kemampuan untuk
melaksanakan aktifitas sehari-hari pada lansia adalah sebagian berikut
(Potter, 2005):
a. Faktor-faktor dari dalam diri sendiri
1) Umur
Mobilitas dan aktivitas sehari-hari adalah hal yang paling
vital bagi kesehatan total lansia. Perubahan normal muskuloskelatal
terkait usia pada lansia termasuk penurunan tinggi badan,
redistribusi massa otot dan lemak subkutan, peningkatan porositas
tulang, atrofi otot, pergerakan yang lambat, pengurangan kekuatan
dan kekakuan sendi-sendi yang menyebabkan perubahan
penampilan, kelemahan dan lambatnya pergerakan yang menyertai
penuaan (Stanly dan Beare, 2007).
2) Kesehatan fisiologis
Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi
kemampuan partisipasi dalam aktifitas sehari-hari, sebagai contoh
sistem nervous menggumpulkan dan menghantarkan, dan
mengelola informasi dari lingkungan. Sistem muskuluskoletal
mengkoordinasikan dengan sistem nervous sehingga seseorang
dapat merespon sensori yang masuk dengan cara melakukan
gerakan. Gangguan pada sistem ini misalnya karena penyakit, atau
trauma injuri dapat mengganggu pemenuhan aktifitas sehari-hari.
Diabetes mellitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul
pada seseorang akibat tubuh mengalami gangguan dalam
mengontrol kadar gula darah. Gangguan tersebut dapat disebabkan
oleh sekresi hormon insulin tidak adekuat atau fungsi insulin
terganggu (resistensi insulin) atau justru gabungan dari keduanya.
DM disebut sebagai penyakit kronis sebab DM dapat menimbulkan
perubahan yang permanen bagi kehidupan seseorang. Penyakit
kronis tersebut memiliki implikasi yang luas bagi lansia maupun
keluarganya, terutama munculnya keluhan yang menyertai,
penurunan kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas
keseharian, dan menurunnya partisipasi sosial lansia Dikatakan
paling sedikit separuh dari populasi lanjut usia tidak tahu bahwa
mereka terkena DM. Keluhan tradisional dari hiperglikemia seperti
polidipsi dan poliuria sering tidak jelas, karena penurunan respon
haus dan peningkatan nilai ambang ginjal untuk pengeluaran
glukosa urin. Penurunan berat badan, kelelahan dan kencing malam
hari dianggap hal yang biasa pada lanjut usia, berakibat tertundanya
deteksi adanya DM. Penampilan klinis seperti dehidrasi, konfusio,
inkontinentia dan komplikasikomplikasi yang berkaitan DM
merupakan gejala-gejala yang tampak (Potter, 2005).
Komplikasi mikrovaskuler seperti neuropati dapat berupa
kesulitan untuk bangkit dari kursi atau menaiki tangga. Pandangan
yang kabur atau diplopia juga dapat dikeluhkan, akibat
mononeuropati yang mengenai syaraf kranialis yang mengatur
okulomotorik. Proteinuria tanpa adanya infeksi, harus dicari
kemungkinan adanya DM (Potter, 2005).
Infeksi khusus yang sering berkaitan dengan DM, lebih
banyak dijumpai pada lanjut usia antara lain otitis eksterna maligna
dan kandidiasis urogenital. Sebaliknya adanya penyakitpenyakit
akut seperti bronkopneumoni, infark miokard atau stroke dapat
meningkatkan kadar glukosa sehingga berakibat tercapainya
kriteria diagnosis DM, pada mereka yang telah ada peningkatan
kadar intoleransi glukosa. Beberapa gejala unik yang dapat terjadi
pada penderita lanjut usia antara lain adalah: neuropati diabetika
dengan kaheksia, neuropati diabetic akut, amiotropi, otitis eksterna
maligna, nekrosis papilaris dari ginjal dan osteoporosis (Potter,
2005).
3) Fungsi kognitif
Kognitif adalah kemampuan berfikir dan memberi
rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi
dan memperhatikan (Keliat,1995). Tingkat fungsi kognitif dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas
sehari-hari. Fungi kognitif menunjukkan proses menerima,
mengorganisasikan dan menginterpestasikan sensor stimulus untuk
berfikir dan menyelesaikan masalah. Proses mental memberikan
kontribusi pada fungsi kognitif yang meliputi perhatian memori,
dan kecerdasan. Gangguan pada aspek-aspek dari fungsi kognitif
dapat mengganggu dalam berfikir logis dan menghambat
kemandirian dalam melaksanakan aktifitas seharihari.
4) Fungsi psikologis
Fungsi psikologis menunjukkan kemampuan seseorang
untuk mengingat sesuatu hal yang lalu dan menampilkan informasi
pada suatu cara yang realistik. Proses ini meliputi interaksi yang
komplek antara perilaku interpersonal dan interpersonal.
Kebutuhan psikologis berhubungan dengan kehidupan emosional
seseorang. Meskipun seseorang sudah terpenuhi kebutuhan
materialnya, tetapi bila kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi,
maka dapat mengakibatkan dirinya merasa tidak senang dengan
kehidupanya, sehingga kebutuhan psikologi harus terpenuhi agar
kehidupan emosionalnya menjadi stabil (Tamher, 2009).
5) Tingkat stres
Stres merupakan respon fisik non spesifik terhadap berbagai
macam kebutuhan. Faktor yang menyebabkan stres disebut
stressor, dapat timbul dari tubuh atau lingkungan dan dapat
mengganggu keseimbangan tubuh. Stres dibutuhkan dalam
pertumbuhan dan perkembangan. Stres dapat mempunyai efek
negatif atau positif pada kemampuan seseorang memenuhi aktifitas
sehari-hari (Miller, 1995).
b. Faktor-faktor dari luar meliputi :
1) Lingkungan keluarga
Keluarga masih merupakan tempat berlindung yang
paling disukai para lanjut usia. Lanjut usia merupakan kelompok
lansia yang rentan masalah, baik masalah ekonomi, sosial, budaya,
kesehatan maupun psikologis, oleh karenanya agar lansia tetap
sehat, sejahtera dan bermanfaat, perlu didukung oleh lingkungan
yang konduktif seperti keluarga.
Budaya tiga generasi (orang tua, anak dan cucu) di bawah
satu atap makin sulit dipertahankan, karena ukuran rumah di daerah
perkotaan yang sempit, sehigga kurang memungkinkan para lanjut
usia tinggal bersama anak (Hardywinoto, 2005). Sifat dari
perubahan sosial yang mengikuti kehilangan orang yang dicintai
tergantung pada jenis hubungan dan definisi peran sosial dalam
suatu hubungan keluarga. Selain rasa sakit psikologi mendalam,
seseorang yang berduka harus sering belajar keterampilan dan
peran baru untuk mengelola tugas hidup yang baru, dengan
perubahan sosial ini terjadi pada saat penarikan, kurangnya minat
kegiatan, tindakan yang sangat sulit. Sosialisasi dan pola interaksi
juga berubah. Tetapi bagi orang lain yang memiliki dukungan
keluarga yang kuat dan mapan, pola interaksi independent maka
proses perasaan kehilangan atau kesepian akan terjadi lebih cepat,
sehingga seseorang tersebut lebih mudah untuk mengurangi rasa
kehilangan dan kesepian (Lueckenotte, 2000).
2) Lingkungan tempat kerja
Kerja sangat mempengaruhi keadaan diri dalam mereka
bekerja, karena setiaap kali seseorang bekerja maka ia memasuki
situasi lingkungan tempat yang ia kerjakan. Tempat yang nyaman
akan membawa seseorang mendorong untuk bekerja dengan senang
dan giat.
2.4 Resiko jatuh pada lanjut usia (lansia)
2.4.1 Definisi
Risiko jatuh (risk for fall) merupakan diagnosa keperawatan
berdasarkan North American Nursing Diagnosis Association (NANDA),
yang didefinisikan sebagai peningkatan kemungkinan terjadinya jatuh
yang dapat menyebabkan cedera fisik (Wilkinson, 2005).
Jatuh merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak sengaja
tergeletak di lantai, tanah atau tempat yang lebih rendah, hal tersebut
tidak termasuk orang yang sengaja berpindah posisi ketika tidur (WHO,
2007).
2.4.2 Faktor yang memperbarui resiko jatuh
Risiko jatuh dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri
seseorang, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari
luar diri orang tersebut misalnya dari lingkungan sekitar.
1) Faktor intrinsik
a. Usia
Usia mempengaruhi risiko jatuh dari seseorang, dimana
usia atau umur erat kaitannya dengan proses pertumbuhan dan
proses penuaan. Pada lansia yang telah mengalami proses penuaan,
terjadi penurunan fisiologis pada tubuhnya, dan proses penuaan
tersebut berlangsung secara terus menerus.
Proses penuaan menyebabkan terjadinya perubahan
fisiologis pada lansia. Perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem
muskuloskeletal, saraf, kardio-vaskuler-respirasi, indra dan
integumen. Perubahan - perubahan fisiologis yang terjadi pada
lansia meliputi
 Sistem muskuloskeletal
Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi
perubahan pada jaringan penghubung, kartilago, tulang, otot dan
sendi
 Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada
kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat
mengalami perubahan dan penurunan hubungan tarikan linear
sehingga terjadi penurunan mobilitas pada jaringan tubuh
karena penuaan. Penuaan menyebabkan perubahan kualitatif
dan kuantitatif pada kolagen sehingga terjadi penurunan daya
mekanik, daya elastik dan timbul kekakuan (Timiras &
Navazio, 2008). Perubahan pada kolagen itu merupakan
penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga
menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kekuatan otot
dan penurunan kemampuan bergerak dari duduk ke berdiri,
jongkok dan berjalan, serta terjadi hambatan dalam
melakukan aktivitas setiap hari (Lewis & Bernstein, 1996).
Dimana hambatan tersebut dapat mempengaruhi aktivitas
sehari – hari pada lansia.
 Kartilago
Karena penuaan jaringan kartilago pada persendian
menjadi lunak dan akhirnya menjadi rata, sehingga
kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan
degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progesif.
Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks
kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Kartilago di
persendian mengalami kalsifikasi, sehingga fungsinya
sebagai peredam kejut dan permukaan sendi yang berpelumas
menurun, sehingga kartilago pada persendian rentan terhadap
gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar
penumpu berat badan. Akibat perubahan tersebut sendi
mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan
gerak dan terganggunya aktivitas setiap hari (Sri Surini &
Utomo, 2002).
 Tulang
Secara fisiologis penuaan berdampak pada
menurunnya kepadatan tulang. Trabecula longitudinal
menjadi tipis dan trabekula transversal terabsorbsi kembali,
sehingga jumlah spongiosa berkurang dan tulang kompakta
menjadi tipis. Perubahan yang lain berupa penurunan
estrogen sehingga produksi osteoklast tidak terkendali,
penurunan penyerapan kalsium di usus, peningkatan kanal
Haversi sehingga tulang keropos. Berkurangnya jaringan dan
ukuran tulang secara keseluruhannya menyebabkan kekakuan
dan penurunan kekuatan tulang sehingga berdampak
munculnya osteoporosis yang selanjutnya dapat
mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur (Timiras &
Navazio, 2008). Kondisi tersebut dapat membatasi
kemampuan dari lansia dan menyebabkan lansia mengalami
gangguan dalam aktivitas fisiknya sehari – hari.
 Otot
Perubahan struktur otot karena penuaan bervariasi
pada masing – masing orang. Perubahan tersebut meliputi
penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, atropi pada
beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut
otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan
penghubung dan lain-lain mengakibatkan efek negatif. Efek
tersebut adalah penurunan kekuatan, otot penurunan
fleksibilitas otot, perlambatan waktu reaksi dan penurunan
kemampuan fungsional (Bonder & Wagner, 1994).
Perubahan Morfologis Otot pada Proses Penuaan
- Penurunan jumlah serabut otot
- Atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril menjadi tidak
teratur, dan hipertrofi pada beberapa serabut otot yang
lainnya.
- Berkurangnya 30% masa otot terutama otot tipe II (fast
twitch)
- Penumpukan lipofusin.
- Peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung.
- Adanya ringbinden.
- Adanya badan sitoplasma
- Degenerasi miofibril
- Timbulnya berkas garis Z pada serabut otot
 Sendi
Jaringan ikat disekitar sendi seperti tendon, ligamen
dan fasia pada lansia mengalami penurunan elastisitas.
Ligamen, kartilago dan jaringan partikular mengalami
penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi,
erosi dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi sehingga
sendi kehilangan fleksibilitasnya yang berdampak pada
penurunan luas gerak sendi dan menimbulkan kekakuan
sendi.
 Sistem Saraf
Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan
respons motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan
reseptor proprioseptif, hal ini menyebabkan terjadinya gangguan
koordinasi dan kemampuan dalam beraktivitas pada lansia. Hal
ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami
perubahan morfologis dan biokimia. Akson, dendrit dan badan
sel saraf banyak yang mengalami kematian, sedangkan yang
hidup mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk
komunikasi antar sel saraf mengalami perubahan menjadi lebih
tipis dan kehilangan hubungan dengan sel saraf lain. Daya
hantar saraf mengalami penurunan 10 % sehingga gerakan
menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis menurun 37 %
(Timiras & Maletta, 2008). Kondisi tersebut mengakibatkan
penurunan fungsi kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan
otot, refleksi, proprioseptif, perubahan postur dan peningkatan
waktu reaksi. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian latihan
koordinasi dan keseimbangan serta latihan untuk menjaga
mobilitas dan postur (Sri Surini & Utomo, 2002). Latihan untuk
menjaga dan mengoptimalkan kebugaran lansia juga harus
diberikan untuk memaksimalkan kondisi sistem saraf lansia.
 Sistem kardiovakuler
Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami
hipertrofi dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena
perubahan pada jaringan ikat katup jantung mengalami fibrosis.
Sinoatrial node (SA node) dan jaringan konduksi berubah
menjadi jaringan ikat. Kemampuan arteri dalam menjalankan
fungsinya berkurang sampai 50%. Pembuluh darah kapiler
mengalami penurunan elastisitas dan permeabilitas. Terjadi
perubahan fungsional berupa kenaikan tahanan vaskular
sehingga menyebabkan peningkatan takanan sistole dan
penurunan perfusi jaringan (Timiras & Navazio, 2008). Curah
jantung (cardiac output) menurun akibat penurunan denyut
jantung maksimal dan volume sekuncup. Respon vasokontriksi
untuk mencegah terjadinya penumpukan darah (poling of bload)
maksimal (VO2 maksimum) berkurang, sehingga kapasitas vital
paru menurun. Latihan berguna untuk meningkatkan VO2
maksimum, mengurangi tekanan darah dan berat badan (Timiras
& Navazio, 2008 ). menurun, sehingga respon terhadap hipoksia
menjadi lambat. Konsumsi oksigen pada tingkat maksimal (VO2
maksimum) berkurang, sehingga kapasitas vital paru menurun.
Latihan berguna untuk meningkatkan VO2 maksimum,
mengurangi tekanan darah dan berat badan (Timiras & Navazio,
2008 ).
 Sistem Indera
Semua sistem indera yang berhubungan dengan
keseimbangan statik dan dinamik akan menurun bersamaan
dengan menurunnya usia, seperti penglihatan (visual) dan
vestibular. Perubahan pada sistem penglihatan (visual)
menyebabkan cahaya yang dihantar ke retina berkurang
sehingga ambang visual meningkat dan daya adaptasi terang-
gelap menurun, ketajaman penglihatan serta jarak pandang
menurun. Penurunan tajam penglihatan pada lansia disebabkan
oleh katarak, degenerasi makuler dan penglihatan perifer yang
menghilang. Pada sistem vestibular terjadi degenerasi sel-sel
rambut dalam makula dan sel saraf. Karena kondisi tersebut
lansia akan kesulitan memperkirakan jarak dan memposisikan
kepala pada garis keseimbangan sehingga sering terjadi
gangguan keseimbangan fungsional pada lansia (Sri Surini &
Utomo, 2002 ).
b. Kekuatan otot
Kekuatan otot adalah kekuatan suatu otot atau group otot
yang dihasilkan untuk dapat melawan tahanan dengan usaha yang
maksimum. Kekuatan otot diperlukan saat melakukan aktivitas.
Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu
peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot
dapat dijabarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik
berupa beban internal (internal force) maupun beban eksternal
(external force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem
neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf
mengaktivasi otot untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin
banyak serabut otot yang teraktivasi, maka semakin besar pula
kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Irfan, 2012).
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat
agar bisa menggerakan anggota gerak bawah untuk melakukan
gerakan fungsionalnya (Nugroho, 2011). Kekuatan otot tersebut
berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan
gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara
berkelanjutan mempengaruhi posisi tubuh. Kemampuan otot untuk
mempertahankan posisi tegak dan stabil merupakan bentuk dari
aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis maupun
dinamis saat melakukan suatu gerakan. Hal tersebut dapat
dilakukan apabila otot memiliki kekuatan dengan besaran tertentu.
Perubahan morfologis pada otot menyebabkan perubahan
fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan otot,
elastisitas dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu reaksi dan
rileksasi, dan kinerja fungsional. Setelah melewati usia 30 tahun,
manusia akan kehilangan kira-kira 3 – 5 % jaringan otot total per
dekade. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan
yaitu (1) penurunan kemampuan mempertahankan keseimbangan
tubuh, (2) hambatan dalam gerak duduk ke berdiri, (3) peningkatan
risiko jatuh, (4) perubahan postur. Masalah pada kemampuan gerak
dan fungsi lansia berhubungan erat dengan kekuatan otot yang
bersifat individual. Lansia dengan kekuatan otot quadrisep yang
baik dapat melakukan aktivitas berdiri dari posisi duduk dan
berjalan 6 meter dengan lebih cepat (Bonder & Wagner, 1994).
Penelitian lain menunjukkan bahwa kelemahan otot abduktor sendi
panggul dapat mengurangi kemampuan lansia mempertahankan
keseimbangan berdiri pada satu tungkai dan timbulnya gangguan
postural. Penurunan serabut otot reaksi cepat (tipe II) dapat
meningkatkan risiko jatuh karena penurunan respons terhadap
keseimbangan (Bonder & Wagner, 1994). Penurunan terhadap
respon keseimbangan meyebabkan timbulnya ganngguan dalam
mengontrol keseimbangan.
c. Keseimbangan
Keseimbangan merupakan kemampuan tubuh untuk
mengontrol pusat gravitasi (center of gravity) atau pusat massa
tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu (base of support).
Pusat gravitasi (center of gravity) adalah suatu titik dimana massa
dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan tarikan gravitasinya.
Pada manusia normal, pusat gravitasi terletak di perut bagian
bawah dan sedikit di depan sendi lutut. Agar dapat menjaga
keseimbangan, pusat gravitasi tersebut berpindah untuk
memberikan kompensasi agar tidak terjadi gangguan yang dapat
menyebabkan orang kehilangan keseimbangannya (Barnedh et al,
2006).
2) Faktor Ekstrinsik
a. Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi risiko jatuh adalah
penerangan yang tidak baik, lantai yang licin dan basah, tempat
berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah dipegang, dan alat – alat
atau perlengkapan rumah yang tidak stabil
b. Latihan atau Aktivitas Fisik
Menurut WHO (2007) salah satu intervensi yang bisa
digunakan untuk memperbaiki faktor fisiologis yang menyebabkan
kejadian jatuh adalah program latihan fisik. Latihan fisik dapat
didefinisikan sebagai sebuah tipe aktivitas yang direncanakan,
terstruktur dan berupa gerakan tubuh yang berulang – ulang yang
dilakukan untuk meningkatkan atau mempertahankan satu atau
lebih komponen kebugaran fisik.
2.4.3 Dampak Jatuh Pada Lansia
Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik
dan psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh
adalah fraktur collum femur. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat
jatuh adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta
kerusakan jaringan lunak. Dampak psikologis yang terjadi antara lain
syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak
konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan
dalam aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh meskipun kejadian
jatuh yang dialami tidak menimbulkan cedera fisik (Stanley & Beare,
2006).
Selain dampak diatas, kejadian jatuh pada lansia juga bisa
mennyebabkan komplikasi antara lain
a. Perlukaan (injury)
Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang
terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot,
robeknya arteri/vena, patah tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis,
femur, humerus, lengan bawah, tungkai atas.
b. Disabilitas
Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang
berhubungan dengan perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat
jatuh yaitu kehilangan kepercayaan diri dan pembatasan gerak.
c. Kematian
2.4.4 Pencegahan Jatuh Pada Lansia
Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari (Darmojo, 2004), ada
3 usaha pokok untuk pencegahan jatuh yaitu :
a) Identifikasi faktor risiko
Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk
mencari adanya faktor instrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan
assessment keadaan sensorik, neurologis, muskuloskeletal dan
penyakit sistemik yang sering menyebabkan jatuh. Keadaan
lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh
harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak
menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda
kecil yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak
aman (lapuk, dapat bergerser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan
rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu jalan/tempat aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat
tidak licin sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang
mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi
pegangan di dinding.
b) Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)
Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan
badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi.
Evaluasi yang dapat dilakukan salah satunya dengan TUG Test untuk
menilai mobilitas, keseimbanan dan risiko jatuh. Bila badan tidak
stabil saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan
latihan oleh rehabilitasi medis, latihan yang bias di lakukan antara lain
Otago Home Exercise Programme yang menitik beratkan pada
pelatihan berdasarkan kemampuan fungsional dan Balance Strategy
Exercise yang menitikberatkan pada mengaturan postur selama
melakukan gerakan. Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan
dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak mudah
goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat
berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup
untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila
terdapat kelainan/penurunan.
c) Mengatur/ mengatasi faktor situasional.
Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita
lanjut usia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut
usia secara periodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat
dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan , faktor
situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan
kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh
melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil
pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut usia tidak
melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi
untuk terjadinya jatuh.
2.4.5 Mekanisme Penurunan Risiko Jatuh Setelah Latihan
Latihan utama dalam penurunkan risiko jatuh pada lansia adalah
latihan untuk meningkatkan keseimbangan lansia. Keseimbangan
berkaitan dengan sistem kontrol postural. Systematical review yang
dikemukakan oleh Horak (2006) dan meta analisis Sibley et al (2015)
menyimpulkan bahwa terdapat 6 komponen dasar penyusun sistem
kontrol postural, meliputi:
a) Kendala biomekanik, terkait kekuatan otot dan limit of stability yaitu
kemampuan seseorang dalam menggerakkan pusat gravitasi tubuh dan
mengontrol keseimbangan tanpa mengubah bidang tumpu,
b) Strategi gerakan berupa feedback dan feedforward
c) Strategi sensoris meliputi: sensory integration dan sensory re-
weighting, yaitu kemampuan untuk meningkatkan bobot sensorik
bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga
stabilitas
d) Orientasi ruang, yaitu kemampuan untuk mengarahkan bagian tubuh
sehubungan dengan gravitasi, bidang tumpu, sistem visual, dan
referensi internal
e) Kontrol dinamik
f) Proses kognitif terkait perhatian dan proses pembelajaran.
Sistem saraf pusat menggunakan tiga sistem gerakan untuk
mengontrol keseimbangan ketika tubuh mengalami gangguan, melalui
gerak refleks, respon postural otomatis, dan gerakan volunter. Gerakan
volunter dimediasi oleh sistem kortikal dengan tingkat latensi paling
lama dibandingkan gerakan lainnya seperti respon postural otomatis yang
dimediasi oleh batang otak atau bagian subkortikal dengan tingkat latensi
menengah, dan gerak refleks yang dimediasi oleh medula. Ketiga sistem
gerakan ini akan berintegrasi dalam menjaga keseimbangan postural
tubuh (Colby & Kisner, 2007).
Pelatihan keseimbangan mengaktifkan sistem gerakan volunter
dan respon postural otomatis tubuh. Ketika melakukan pelatihan maka
tubuh mengirimkan informasi sensoris melalui mekanoreseptor terkait
perubahan sensasi posisi tubuh dari persendian ke sistem saraf bermielin
besar. Informasi ini diteruskan ke dalam sistem kolumna dorsalis
lemniskus medialis dan berakhir pada girus postsentralis dari korteks
serebri (area somatosensorik I) untuk kemudian diolah di dalam korteks
serebri (Squire et al, 2008).
Korteks serebri (area korteks motorik primer, area premotorik,
dan area motorik pelengkap) akan mengolah informasi sensoris untuk
menghasilkan sinyal motorik. Penjalaran sinyal motorik ini akan
diteruskan ke serabut piramidal melalui traktus kortikospinal lateralis
medula spinalis dan berakhir pada interneuron di region intermediet dari
substansia grisea medula, beberapa berakhir di neuron penyiar radiks
dorsalis, dan berakhir secara langsung di neuron-neuron motorik anterior.
Neuron motorik anterior mengadakan potensial aksi pada terminal saraf
(Squire et al, 2008).
Potensial aksi akan membuka banyak kanal kalsium dalam
membran saraf terminal, akibatnya konsentrasi ion kalsium di dalam
membran terminal meningkat. Peningkatan konsentrasi ion Ca2+ di
dalam membran terminal akan meningkatkan laju penggabungan vesikel
asetilkolin dan menimbulkan eksositosis asetilkolin ke dalam ruang
sinaps. Kanal asetilkolin yang terbuka memungkinkan ion positif yang
penting seperti natrium (Na+), kalium (K+), dan kalsium (Ca2+) dapat
bergerak mudah melewatinya. Peristiwa ini akan menciptakan suatu
perubahan potensial positif setempat di dalam membran serabut otot yang
disebut potensial end plate dan akan menimbulkan suatu potensial aksi
yang menyebar di sepanjang membran otot. Potensial aksi menyebabkan
retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium dan ion-
ion ini akan menimbulkan kekuatan tarik-menarik antara filamen aktin
dan miosin dan menghasilkan proses kontraksi otot (Squire et al, 2008).
Sistem somatosensoris juga akan memberikan feedback ke korteks
motorik melalui sistem sensorik radiks dorsalis dengan mengatur
ketepatan kontraksi otot. Sinyal somatosensorik ini timbul di kumparan
otot, organ tendon otot, dan reseptor taktil kulit yang menutupi otot dan
akan menimbulkan positive feedback enhancement dengan lebih
merangsang kontraksi otot (Guyton & Hall, 2008).
Neuron berada pada keadaan terfasilitasi pada awal pelatihan,
yaitu besarnya potensial membran mendekati nilai ambang untuk
peletupan daripada keadaan normal tetapi belum cukup mencapai batas
peletupan. Pelatihan keseimbangan yang dilakukan dengan frekuensi tiga
kali seminggu selama lima minggu memberikan efek berupa adaptasi
neural. Adaptasi neural meliputi sumasi spasial dan sumasi temporal
pada sistem saraf. Sumasi spasial diartikan sebagai penjumlahan
potensial postsinaps yang simultan dengan cara mengaktivasi ujung-
ujung saraf multipel pada daerah membran neuron yang luas sedangkan
sumasi temporal peningkatan tempo peletupan ujung saraf presinaptik
sehingga dapat meningkatkan potensial efektif postsinaps yang terjadi.
Adaptasi neural ini menimbulkan sumasi serabut multipel yaitu suatu
keadaan peningkatan jumlah unit motorik yang berkontraksi secara
bersama-sama. Dengan meningkatnya jumlah unit motorik, maka akan
terjadi peningkatan kekuatan otot (Guyton & Hall, 2008).
memberikan efek berupa adaptasi neural. Adaptasi neural
meliputi sumasi spasial dan sumasi temporal pada sistem saraf. Sumasi
spasial diartikan sebagai penjumlahan potensial postsinaps yang simultan
dengan cara mengaktivasi ujung-ujung saraf multipel pada daerah
membran neuron yang luas sedangkan sumasi temporal peningkatan
tempo peletupan ujung saraf presinaptik sehingga dapat meningkatkan
potensial efektif postsinaps yang terjadi. Adaptasi neural ini
menimbulkan sumasi serabut multipel yaitu suatu keadaan peningkatan
jumlah unit motorik yang berkontraksi secara bersama-sama. Dengan
meningkatnya jumlah unit motorik, maka akan terjadi peningkatan
kekuatan otot (Guyton & Hall, 2008).
Dengan adanya peningkatan keseimbangan dan kekuatan otot
akan meningkatkan kontrol dinamik berkaitan dengan gait dan
locomotion. Dengan peningkatan semua komponen tersebut maka akan
menurunkan risiko jatuh.
2.5 Hubungan Tingkat Kemandirian Dalam Aktivitas Sehari-hari dengan
Resiko Jatuh Pada Lansia
Kemandirian adalah kebebasan untuk bertindak, tidak tergantung pada
orang lain, tidak terpengaruh pada orang lain dan bebas mengatur diri sendiri
atau aktivitas seseorang baik individu maupun kelompok dari berbagai
kesehatan atau penyakit (Ediawati, 2012). Kemandirian dalam beraktivitas
adalah hal yang sangat penting untuk lansia agar tidak terjadi cidera pada lansia.
Aktvitas sehari-hari dan lingkungan merupakan faktor yang berperan terhadap
terjadinya jatuh. Lansia yang mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari
akan dapat memiliki resiko jatuh yang tinggi pula dalam aktivitas sehari-hari
(Miller, 2006).
Faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian lansia dalam melakukan
aktivitas kehidupan sehari – hari yaitu usia, imobilitas, dan mudah jatuh
(Nugroho, 2008). Semakin meningkatnya usia, seseorang akan mengalami
penurunan kondisi fisik, biologis, kondisi psikologis serta kondisi sosial.
Pertambahan usia pada lansia akan berbanding lurus dengan tingkat
kemandiriannya dalam beraktivitas sehari-hari (Maryam, dkk, 2011).
Lansia yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-
harinya secara mandiri, maka akan beresiko untuk terjadinya jatuh jika
dibandingkan dengan lansia yang kemandiriannya rendah atau dibantu. Jatuh
pada lansia dengan tingkat kemandirian yang tinggi di panti semakin meningkat
dikarenakan sebagian besar lansia di panti berjalan dengan tidak menggunakan
alat bantu jalan dengan tepat, memiliki penyakit patologis dan kelemahan pada
ekstermitas (Miller, 2006).
Jatuh merupakan kondisi dimana seseorang tidak sengaja tergeletak di
lantai, tanah atau tempat yang lebih rendah, hal tersebut tidak termasuk orang
yang sengaja berpindah (WHO, 2007). Menurut (Probosuseno, 2008) tingkat
aktivitas menjadi salah satu penyebab terjadinya jatu pada lansia, sehingga
lansia yang mandiri akan memiliki resiko jatuh lebih besar daripada lansia yang
tidak mandiri. Kejadian jatuh pada lanjut usia dipengaruhi oleh faktor instrinsik
dan faktor ekstrinsik (Lemier & Silver, 2008).
Faktor instrinsik, faktor ini menggambarkan variabel-variable yang
menentukan jatuh mengapa seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang
laindalam kondisi yang sama mungkin tidak jatuh. Faktor ekstrinsik, faktor ini
merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitar) diantaranya cahaya ruangan
yang kurang terang, lantai yang licin dan lainnya (Stanley, 2006).
Menurut analisa peneliti bahwa lansia yang melakukan aktivitas secara
mandiri beresiko untuk terjadinya jatuh. Hal ini karena banyak lansia yang
memaksakan melakukan aktivitasnya secara mandiri walaupun tidak mampu
untuk memenuhinya. Ketidakmampuan lansia dapat dilihat dari lansia memiliki
penyakit yang dapat mengganggu aktivitasnya dan juga banyak lansia yang
memakai alat bantu dalam melakukan aktivitas. Lansia terhambat oleh
keadaannya yang lemah seperti penuaan, perubahan pada sistem organ sehingga
dapat membuat lansia itu memiliki resiko jatuh dalam melakukan aktivitasnya,
artinya semakin mandiri lansia dalam beraktivitas maka semakin beresiko lansia
terhadap jatuh.
Resiko untuk jatuh pada lansia dengan tingkat kemandirian yang tinggi
di panti semakin meningkat karena faktor resiko untuk terjadinya jatuh juga
meningkat, karena lansia yang tinggal di panti yang sebagian besar berjalan
dengan tidak menggunakan alat bantu jalan yang tepat, memiliki penyakit
patologis, dan kelemahan pada eksremitas. Kelemahan pada eksremitas dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan pada lansia yang dapat mengakibatkan
kelemahan dalam berjalan, kaki tidak menapak dengan kuat dan sering goyah.

Anda mungkin juga menyukai